Latest Article
Minggu Prapaskah VI: Palmarum dan Sengsara Tahun B

Minggu Prapaskah VI: Palmarum dan Sengsara Tahun B

Minggu Palma: Mazmur 118:1-2, 19-29; Markus 11:1-11.

Liturgi Sengsara: Yesaya 50:4-9; Mazmur 31:10-17; Filipi 2:5-11; Markus 15:1-15

Dasar Pemikiran

Minggu Prapaskah VI memiliki makna ganda, yaitu Minggu Palmarum dan Minggu Sengsara. Dalam pengisahan di Minggu Palmarum, penduduk Yerusalem mengelu-elukan Yesus dengan nyanyian “Hosana.” Namun di Minggu Sengsara, umat yang semula menyanjung Yesus berubah menjadi kumpulan orang yang melampiaskan kemarahan dan kebencian, sehingga Yesus disalibkan. Dengan demikian di Minggu Prapaskah VI mengandung dua makna yang paradoksal. Realitas yang paradoks adalah kedua makna yang mengandung kebenaran, namun juga memiliki sifat yang kontradiktif. Walter Brueggemann dalam Texts for Preaching Year B menyarankan agar pengkhotbah memilih salah satu dari dua dimensi Minggu Prapaskah VI, yaitu Minggu Palma ataukah Minggu Sengsara. Namun perlu diingat bahwa pemilihan tema liturgis Minggu Sengsara bukan dimaksudkan pemberitaan firman mengulas kisah Jumat Agung. Makna Minggu Sengsara merupakan liturgi yang mempersiapkan umat untuk menghayati makna perayaan Triduum (trihari suci), yaitu Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Dalam hal ini pengkhotbah dapat mengulas lebih mendalam penafsiran Yesaya 50:4-9 dan Mazmur 31:10-17.

Walaupun pengkhotbah akan memilih salah satu dimensi dari Minggu Prapaskah VI yaitu Minggu Palma ataukah Minggu Sengsara, namun penekanan pada salah satu dimensi tersebut tetap perlu ditekankan karakter paradoksalnya. Misalnya menekankan pada Minggu Palma, pengkhotbah tidak boleh lalai bahwa penduduk Yerusalem kelak akan menolak dengan berteriak untuk menyalibkan Yesus. Demikian pula bila pengkhotbah menekankan Minggu Sengsara, ulasan teologis tentang masuknya Yesus ke kota Yerusalem dengan disambut dengan daun-daun palem harus diberi tempat yang proporsional. Dengan memperhatikan dua dimensi secara seimbang, maka perayaan Minggu Prapaskah VI akan dialami oleh umat sebagai perayaan sukacita namun juga dukacita, puji-pujian dan sikap hormat namun juga pengkhianatan. Dua dimensi yang kontradiktif dalam perayaan Minggu Prapaskah VI mengingatkan umat agar mengembangkan pemahaman iman yang lebih utuh dan luas, sehingga tidak terjebak pada pemahaman ideologis yang sempit dan fanatik. Umat dipanggil memahami diri Kristus secara utuh dan menyeluruh, sehingga mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bagaimana umat mengembangkan hidup dalam integritas imannya di tengah-tengah sanjungan dan caci-maki sesama di sekitar.

Hermeneutika Leksionaris

 Tafsir untuk Minggu Palma

Yesus dan murid-murid-Nya masuk ke kota Yerusalem setelah perjalanan dari Yerikho (Mark. 10:46). Tindakan Yesus masuk ke kota Yerusalem akan membawa Dia kepada penderitaan dan kematian-Nya di atas kayu salib. Kisah Yesus yang naik ke kota Yerusalem juga dipersaksikan oleh Mazmur 118. Dalam hal ini Mazmur 118 sengaja dipilih oleh The Revised Common of Lectionary sebagai bacaan leksionaris untuk memahami makna Yesus masuk ke kota Yerusalem. Di Mazmur 118:19 mempersaksikan: “Bukakanlah aku pintu gerbang kebenaran, aku hendak masuk ke dalamnya, hendak mengucap syukur kepada TUHAN.” Menurut Frank H. Ballard dalam The Interpreter’s Bible Volume 4, makna “pintu kebenaran” menunjuk kepada pintu Bait Allah di Yerusalem. Umat sebagai orang-orang yang benar di hadapan Allah diundang masuk melalui pintu gerbang rumah Allah. Undangan tersebut bertujuan agar umat bersedia mendedikasikan hidupnya pada kebenaran (Mzm. 118:20) sebab mereka telah menerima keselamatan dari Allah. Keselamatan tersebut justru terjadi pada umat yang semula dianggap tidak layak masuk ke pintu gerbang rumah Allah, namun kini mereka diperkenankan untuk menerimanya. Dalam hal ini Frank H. Ballard menafsirkan bahwa “batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan” sebenarnya menunjuk kepada bangsa-bangsa di luar umat Israel. Dahulu mereka dianggap tidak berguna, namun kemudian Allah berkenan menjadikan mereka sebagai “batu penjuru.” Itu sebabnya respons di Mazmur 118:24 pemazmur menyatakan sukacita bersama umatnya, yaitu: “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” Tampaknya sikap sukacita umat tersebut dilandasi oleh pengharapan bahwa mereka senantiasa membutuhkan keselamatan dari Allah, sehingga umat menyatakan: “Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!” (Mzm. 118:25). Dengan demikian seruan umat “Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan!” menggemakan gagasan hosanna yang diucapkan oleh penduduk Yerusalem saat Yesus masuk melalui pintu gerbang kota Yerusalem.

Dekat Betfage dan Betania yang terletak di Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawalah ke mari” (Mark. 11:1-2). Injil Markus mempersaksikan kuasa Yesus yang mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi di depan, bahkan juga reaksi orang yang akan bertanya alasan para murid untuk melepaskan keledai tersebut. Dengan demikian kemampuan Yesus yang memprediksi masa depan tersebut berkaitan pula dengan prediksi-Nya tentang apa yang akan terjadi pada diri-Nya. Di Markus 8:31, Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (bdk. Mark. 9:31; 10:33-34; 14:62). Dengan demikian keputusan Yesus pergi ke Yerusalem didasari pada kesadaran ilahi-Nya bahwa Dia melaksanakan kehendak dan rencana keselamatan Allah. Kesadaran ilahi Yesus merujuk pada kuasa Allah yang maha tahu (omniscience) apa yang akan terjadi, sehingga peristiwa kematian yang dialami oleh Yesus merupakan wujud dari rencana keselamatan Allah. Allah telah mempersiapkan karya keselamatan dalam penebusan Kristus, sehingga penderitaan dan kematian Yesus merupakan karya pendamaian yang akan memulihkan dan mengampuni umat yang percaya kepada-Nya.

Umat Israel di Yerusalem dikisahkan menyambut Yesus dengan meriah dan sikap hormat. Kesaksian Markus 11:8 yaitu: “Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang” menunjukkan pemahaman umat Israel di Yerusalem yang begitu hormat dengan menganggap Yesus seperti seorang pahlawan yang menang perang. Penduduk Yerusalem bersedia baju yang mereka pakai diinjak oleh keledai yang ditunggangi Yesus. Di kitab Makabe 13:51 mempersaksikan bagaimana sikap penduduk Yerusalem menyambut Simon saudara Yudas Makabe setelah ia berhasil mengalahkan para musuh yang menguasai puri Yerusalem. Penduduk Yerusalem menyambut Simon sebagai seorang pahlawan, yaitu: “Pada tanggal dua puluh tiga bulan kedua tahun seratus tujuh puluh satu maka Simon memasuki puri itu dengan kidung dan daun palem, diiringi dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur.”

Namun sikap penduduk Yerusalem memandang diri Yesus melebihi seorang pahlawan yang menang perang, karena mereka menyebut diri Yesus sebagai Mesias Allah, yaitu Sang Mesias yang menghadirkan Kerajaan Allah di atas bumi. Di Markus 11:9-10 mempersaksikan sikap umat Israel di Yerusalem, yaitu: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” Makna kata hosanna adalah: “Oh, selamatkanlah sekarang!” atau: “Sudilah menyelamatkan kami.” Penduduk Israel memohon agar Yesus Sang Mesias Allah berkenan menyelamatkan mereka sekarang dari penjajahan bangsa Romawi. Apabila mereka telah terbebas dari penjajahan politis, maka mereka berharap agar Kerajaan Allah yang jaya seperti kerajaan Daud menguasai seluruh kehidupan umat. Dengan demikian, penduduk Yerusalem memiliki harapan yang begitu besar dan keyakinan bahwa Yesus Sang Mesias memiliki kemampuan untuk mengalahkan kuasa penjajahan bangsa Romawi, dan mendirikan kerajaan Mesias.

Harapan yang begitu besar dapat membutakan mata hati seseorang. Demikian pula yang terjadi pada penduduk Yerusalem dalam memahami makna ke-Mesias-an Yesus. Karena harapan penduduk Yerusalem masih didasari oleh pemahaman Mesias politis. Pengharapan politis penduduk Yerusalem semakin bertambah besar setelah mereka menyaksikan bagaimana Yesus berkuasa membuat berbagai macam mukjizat dengan kekuatan ilahi. Pengharapan politis tersebut ternyata membutakan iman mereka untuk melihat makna dan tujuan yang sesungguhnya dari perbuatan-perbuatan mukjizat yang dilakukan Yesus yaitu untuk menyatakan kedudukan dan kuasa-Nya sebagai Anak Allah yang ditentukan Allah menjadi penyelamat. Penduduk Yerusalem belum memahami sepenuhnya makna ke-Mesias-an Yesus bertujuan untuk membebaskan mereka dari penjajahan dan kuasa dosa. Karena itu penduduk Yerusalem menjadi sangat kecewa saat Yesus tidak memberi perlawanan saat ditangkap. Saat dianiaya Yesus tidak memperlihatkan kuasa-Nya yang menakjubkan di hadapan Pontius Pilatus. Sikap yang menyanjung-nyanjung Yesus segera berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dari teriakan pujian “Hosana” berubah menjadi teriakan “salibkanlah Dia.” Sebagai penyelamat, Yesus memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (bdk. Mark. 2:10). Kuasa dan praktik penjajahan hanyalah salah satu manifestasi dari kuasa dosa. Karena itulah Yesus datang ke dalam dunia untuk menghancurkan kuasa dosa yang membelenggu umat manusia (Mark. 10:45).

Sebagai bagian umat Israel, Yesus memahami kota Yerusalem sebagai kota Allah sebab di sanalah Bait Allah berada. Tindakan Yesus masuk ke kota Yerusalem merupakan pernyataan Yesus untuk mendedikasikan hidup-Nya kepada kebenaran. Lebih daripada itu Yesus masuk ke kota Yerusalem dilakukan dalam rangka melaksanakan kehendak dan rencana Allah untuk menyatakan karya keselamatan Allah. Umat Israel berziarah ke kota Yerusalem dalam rangka mengucap syukur atas keselamatan yang dikaruniakan Allah. Sebaliknya Yesus masuk ke kota Yerusalem dilakukan dalam rangka mewujudkan karya keselamatan Allah, yaitu pendamaian melalui penderitaan dan kematian-Nya. Penduduk kota Yerusalem merespons kedatangan Yesus dengan sambutan yang meriah dan hormat. Seruan mereka, hosanna yang artinya: “Oh, selamatkanlah sekarang!” atau: “Sudilah menyelamatkan kami” menunjuk pada harapan penduduk Yerusalem untuk mengalami keselamatan yang bebas dari penjajahan Romawi. Karena itu mereka kecewa dan marah karena harapan mereka tidak terwujud, sebab Yesus datang untuk membebaskan mereka dari kuasa dosa. Karena itu mereka yang semula berteria menyambut Yesus dengan “Hosana” berubah menjadi “Salibkanlah Dia!” Dalam konteks ini umat pada masa kini perlu menjadi sadar pengaruh pemikiran dan harapan yang ideologis, sehingga mereka mampu memahami karya keselamatan yang lebih utuh dan menyeluruh.

Tafsir untuk Minggu Sengsara

Kesaksian Markus 14:1-15:47 (penulis meringkas bacaan menjadi Markus 15:1-15) adalah pengisahan penderitaan, kematian Yesus sampai akhirnya Ia dimakamkan. Sengaja kisah penderitaan, kematian Yesus dan pemakaman telah dibaca pada Minggu Prapaskah VI (Minggu Palma) dan yang juga disebut dengan “Minggu Sengsara” agar umat memahami bahwa kisah Yesus masuk ke kota Yerusalem berkaitan dengan karya penebusan melalui penderitaan dan kematian-Nya. Umat pada pengisahan Minggu Palma yang bersorak-sorak memuji Yesus adalah umat yang juga kelak akan berteriak dan menuntut akan kematian-Nya. Dengan demikian pada Minggu Prapaskah VI memiliki dua dimensi kembar yang paradoks, yaitu puji-pujian yang menyambut Yesus dan teriakan kemarahan yang menuntut kematian Yesus. Kisah Yesus masuk ke kota Yerusalem seperti seorang pahlawan yang menang, tapi tak lama lagi Ia akan diperlakukan seperti seorang penjahat.

Kesaksian Yesaya 50:4-9 juga menggemakan penderitaan seorang hamba Tuhan. Di Yesaya 50:6 mempersaksikan: “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” Kesaksian ini paralel dengan Yesaya 53:3, yaitu hamba Tuhan yang dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan. Namun di tengah-tengah penderitaan yang dialaminya, hamba Tuhan tersebut memiliki lidah seorang murid, sehingga ia mampu memberi semangat yang baru kepada sesamanya yang letih lesu. Di tengah-tengah penderitaannya Sang Hamba Tuhan tersebut tidak berkeluh-kesah, menyalahkan keadaan atau mencari kambing hitam. Sebaliknya ia memberi semangat dan kekuatan rohani kepada orang-orang yang putus-asa. Jadi arti lidah seorang murid menunjuk pada lidah yang terlatih dengan baik. Kemampuan mengendalikan lidah yang terlatih hanya dapat terjadi jikalau hamba Tuhan tersebut senantiasa membuka telinganya. Ia mengutamakan kesediaan mendengarkan dengan baik sebagai seorang hamba Tuhan, sehingga mampu berbicara dengan bijaksana untuk meneguhkan dan menyatakan karya keselamatan Allah. Mulai Mazmur 50:7-9, pemazmur menegaskan bahwa Allah berpihak kepadanya. Sebab di tengah-tengah penderitaan dan cela yang dialaminya, ia tetap setia. Sang Hamba Tuhan tersebut tidak memberontak atau berpaling dari Allah. Pada akhirnya Allah akan menolong dia, sehingga ia tidak mendapat noda. Para musuhnya tidak sanggup menundukkan dia.

Konteks Mazmur 31 adalah didasari pada pengalaman pribadi yang dialami oleh pemazmur. Ia dicela dan dipermalukan oleh para musuhnya (Mzm. 31:12). Para musuhnya bersekongkol dengan menyiarkan dusta (Mzm. 31:19). Lebih daripada itu pemazmur dikejar-kejar oleh para musuhnya (Mzm. 31:16) sehingga ia terjebak dalam jaring yang dipasang mereka (Mzm. 31:5). Di tengah-tengah komunitasnya, pemazmur ditinggalkan (Mzm. 31:12-13), sehingga ia menderita sakit (Mzm. 31:10-11), dipermalukan sebagai orang yang dianggap terbuang dari hadapan Allah (bdk. Mzm. 31:17-18). Dalam kondisi demikian pemazmur menganggap dirinya terbuang dari hadapan Allah. Tampaknya curahan hati pemazmur bukan dimaksudkan untuk mengungkapkan sebagai keluh-kesah pribadinya saja, namun diungkapkan agar menjadi cermin bagi umat percaya yang menderita. Karena itu dalam Mazmur 31 kita dapat melihat secara sengaja pemazmur menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pribadi agar setiap orang yang membaca dan menyanyikan curahan hatinya tersebut menggambarkan pengalaman hidup umat percaya yang ditindas dan dipermalukan oleh para musuh. Umat percaya yang telah kehilangan harapan dan hidup dalam kesedihan yang begitu berat justru dituntun oleh pengalaman pemazmur yang melihat kehadiran Allah.

Di hadapan para musuh yang menindasnya, pemazmur tidak meminta belas-kasihan dari mereka. Sebaliknya pemazmur hanya mengharap belas-kasihan dari Allah (Mzm. 31:10). Iman pemazmur justru bertumbuh dengan kokoh, sehingga ia dapat menyikapi masalah yang dihadapi dengan sikap percaya kepada Allah. Mulai Mazmur 31:15 sikap iman pemazmur menggeser semua kesedihan, kepahitan dan rasa putus-asanya, yaitu: “Tetapi aku, kepada-Mu aku percaya, ya Tuhan, aku berkata: Engkaulah Allahku!” Dalam konteks ini kita menjumpai dua aspek penting dalam kehidupan iman pemazmur, yaitu: 1). Pernyataan iman bahwa hanya kepada Allah saja ia percaya, 2). Pengakuan iman bahwa Yahweh adalah Allahnya. Sikap iman pemazmur tersebut justru relevan untuk direnungkan secara lebih mendalam. Iman pemazmur ditemukan justru ketika ia berada di tengah-tengah penderitaan dan situasi kritis yang seharusnya menghancurkan dirinya. Namun di tengah-tengah situasi “ketiadaan” tersebut Allah justru hadir dan mengaruniakan kekuatan untuk menopang kehidupan pemazmur, sehingga pemazmur berkata: “Masa hidupku ada dalam tangan-Mu, lepaskanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku! Buatlah wajah-Mu bercahaya atas hamba-Mu, selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu!” (Mzm. 31:16-17). Dalam konteks ini pemazmur tidak menggunakan kekuatan dan upaya manusiawinya untuk membalas dendam kepada para musuh, namun ia serahkan sepenuhnya kepada Allah.

Dalam tulisannya yang berjudul Reconstructing Honor in Roman Philippi – Carmen Christi as Cursus Pudorum, Joseph H. Hellerman menginterpretasikan Surat Filipi 2:7 sebagai cursus pudorum. Maksud dari cursus pudorum adalah: Yesus merendahkan diri-Nya walau Ia setara dengan Allah. Dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia, Kristus memilih untuk menjadi seorang doulos (hamba). Lebih daripada itu Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk mengalami kematian di atas kayu salib. Dalam spiritualitas cursus pudorum dalam kehidupan Yesus, kita dapat melihat pola spiritualitas yang tidak bergerak ke “atas” (menuntut kemuliaan yang lebih tinggi), namun sebaliknya Yesus memilih untuk bergerak ke “bawah.” Karena itu Yesus sengaja masuk kota Yerusalem dengan menunggang seekor keledai tanpa dikawal oleh para prajurit atau kekuatan politis. Apabila penduduk Yerusalem mengelu-elukan Yesus, yaitu: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” adalah ungkapan yang spontan sebagai harapan mereka.

Dengan pola ini rasul Paulus menunjukkan sikap yang berbeda antara Kristus dan pemerintah Romawi. Sikap pemerintah Romawi yang menjajah senantiasa lebih cenderung memeroleh kehormatan dan kemuliaan dengan meningkatkan kedudukan dan status seseorang (cursus honorum). Kecenderungan kita selaku umat lebih suka mencari kehormatan di balik pelayanan dan kesalehan. Karena itu kita tidak segan menggunakan nama Allah atau Kristus, namun sesungguhnya kita haus akan pujian dan kehormatan. Kristus bersikap sebaliknya. Ia turun dari kedudukan dan statusnya sampai ke titik terendah bahkan sampai pada status yang paling hina dengan mati di kayu salib, dengan tujuan berkurban memberikan nyawa-Nya bagi umat manusia (cursus pudorum) (Hellerman 2005, 130). Kesediaan Kristus mengosongkan diri adalah agar Ia dapat memberikan hidup-Nya sehingga umat memperoleh hidup yang berlimpah. Prinsip teologis ini dikemukakan oleh Injil Yohanes tentang tujuan utama kedatangan Tuhan Yesus, yaitu: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b).

 Refleksi

  1. Dalam perayaan Minggu Prapaskah VI mengandung dua dimensi yang paradoksal, yaitu Minggu Palma dan Minggu Sengsara. Pengkhotbah dapat menguraikan secara singkat perbedaan dan penekanan pada perayaan Minggu Palma dengan Minggu Sengsara. Dengan penjelasan tersebut pengkhotbah menginspirasi umat untuk memahami karakter Minggu Prapaskah VI yang mengandung aspek sukacita dan dukacita, sanjungan dan caci-maki, sikap simpati dan antipasti. Karakter Minggu Prapaskah VI yang paradoksal tersebut dapat dipakai oleh pengkhotbah untuk menginspirasi umat agar mengembangkan spiritualitas yang lebih integratif sehingga tidak hidup dalam kontradiksi.
  2. Pengkhotbah dapat mengutip pandangan Roger Van Harn dalam The Lectionary Commentary yang menyatakan bahwa pada Minggu Prapaskah VI pada hakikatnya didasari pada pertanyaan teologis, yaitu: “Siapakah Yesus itu?” Jawab atas pertanyaan ini: Yesus sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Sebab bila Yesus tidak sepenuhnya manusia, bagaimana Ia mampu menyelamatkan manusia. Pada pihak lain bila Yesus tidak sepenuhnya Allah, bagaimana Ia mampu membenarkan kita di hadapan Allah. Melalui Minggu Prapaskah VI, pengkhotbah dapat memperdalam hakikat Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia melalui perayaan Minggu Palma dan Minggu Sengsara. Jadi melalui perayaan Minggu Palma, hakikat Kristus yang sungguh manusia nyata sebagaimana kesaksian Mazmur 31, dan juga hakikat Kristus yang sungguh Allah sebagaimana kesaksian Markus 11:1-11 dan Flp. 2:5-11.
  3. Pengkhotbah dapat menguraikan makna teologis dari Filipi 2:5-11. Rasul Paulus mempersaksikan diri Kristus yang setara dengan Allah namun berkenan menjadi manusia (cursus pudorum). Tentunya aplikasi tafsiran Filipi 2:5-11 tidak dapat diterapkan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita bukanlah seperti Kristus yang memiliki satu hakikat dengan Allah yang bersedia mengosongkan diri-Nya menjadi manusia. Kita adalah ciptaan belaka. Namun kepada umat, pengkhotbah dapat mengembangkan perlunya spiritualitas yang tidak mencari kehormatan diri sendiri (cursus honorum). Sebagaimana Yesus masuk ke kota Yerusalem pada prinsipnya bukan untuk mencari kehormatan duniawi. Yesus tidak masuk ke kota Yerusalem dengan simbol-simbol kekuasaan, sebaliknya dengan kerendahan hati.
  4. Dalam perayaan Minggu Palma dan Minggu Sengsara yang tampak pada diri Yesus adalah sikap-Nya yang Ia berdiam diri. Pada Minggu Palma, Yesus berdiam diri di tengah-tengah sambutan penduduk Yerusalem yang menyanjung dan memuji-muji diri-Nya. Demikian pula Yesus berdiam diri selama diadili, didera, dan disalibkan. Bahkan saat Yesus disalibkan, Allah juga berdiam diri dan tidak menyelamatkan Dia. Pengkhotbah dapat menjelaskan makna keberdiaman diri Yesus dan Allah di tengah-tengah puji-pujian dan caci-maki dunia. Jelaskan bahwa keberdiaman diri Yesus bukanlah suatu bentuk keberdiaman yang pasif dan tanpa makna. Sebaliknya keberdiaman diri Yesus dalam Minggu Palma dan Minggu Sengsara merupakan suatu keberdiaman diri yang mampu merangkum situasi yang paradoksal. Yesus dengan penuh kesadaran dan visi yang jelas mengambil keputusan melakukan kehendak Allah, yaitu berkurban bagi keselamatan manusia.
  5. Setelah itu pengkhotbah dapat memotivasi umat untuk melayani Tuhan dengan mengutamakan tindakan nyata daripada banyak bicara. Sebab yang utama adalah sikap hening namun sarat dengan pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Melalui keteladanan Yesus, umat dimotivasi untuk hidup dalam keheningan seperti Yesus sehingga tidak terpengaruh oleh puji-pujian dan caci-maki orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya umat dengan setia dan rendah-hati berjalan menuju tanah terjanji melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan mereka.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply