Latest Article
Penginjilan dan Kebudayaan

Penginjilan dan Kebudayaan

Arti Penginjilan

Secara etimologis, Injil berasal dari kata Yunani, euaggelion yang berarti kabar baik. Sebagai kabar baik, Injil menpersaksikan kabar gembira yang diberikan Allah kepada umat manusia, yaitu bahwa di dalam diri Tuhan Yesus, Sang Firman, Allah berkenan menjadi manusia dan berkarya untuk menyelamatkan manusia.

Tujuan Pemberitaan Injil

Tujuan pemberitaan Injil pada hakikatnya didasarkan pada nubuat Nabi Yesaya yang diamini Tuhan Yesus sebagai penggenap nubuat tersebut. Dalam Lukas 4:18-19, disaksikan, Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Dari nubuat Nabi Yesaya tersebut, kita dapat melihat bahwa pemberitaan Injil sebagai kabar baik ditujukan kepada:

  1. Orang miskin, yang tersingkir, yang lemah, yang tidak berdaya, kelompok minoritas, dan kelompok marginal;
  2. Pemberitaan yang membebaskan para tawanan, yang terbelenggu, dan yang tertindas.;
  3. Memberikan penglihatan, pencerahan, pemahaman, pengertian, kesadaran;
  4. Pemberitaan tahun rahmat: anugerah Allah, belas kasihan, kerahiman, dan kemurahan Allah.

Secara prinsipiil, Injil sebagai kabar baik memiliki tujuan untuk mentransformasikan kehidupan manusia seutuhnya berdasarkan kasih Allah agar dalam kehidupan manusia tercipta shalom‘damai sejahtera’ dan eirene’ keselamatan’. Keselamatan dan damai sejahtera tersebut meliputi seluruh dimensi hidup yaitu secara vertikal—shalom dengan Allah, horizontal—shalom dengan sesama, kosmos—shalom dengan alam, dan internal—shalom dengan diri sendiri. Ini berarti bahwa tujuan pemberitaan Injil adalah terciptanya keutuhan ciptaan (integration of creation) yang dapat hidup dalam damai sejahtera dan keselamatan Allah.

Jikalau demikian, pemberitaan Injil bukanlah sekadar suatu upaya orang Kristen untuk melakukan “penanaman gereja” secara fisik. Pemberitaan Injil juga bukanlah sekadar suatu upaya untuk “mengkristenkan” orang lain. Yang “sekadar” inilah yang banyak terjadi. Orang “sekadar” menjadi Kristen dan gereja secara fisik “sekadar” berdiri. Padahal, setelah menjadi Kristen, mereka tetap tidak berubah dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kehidupan dan ajaran lamanya. Sebaliknya, pemberitaan Injil bertujuan agar melalui iman kepada Tuhan Yesus, kita dapat mengalami perubahan dan pembaruan orientasi hidup. Inilah yang disebut dengan transformasi. Perubahan dan pembaruan itu mengakibatkan kita hidup dalam nilai-nilai iman Kristen secara konsisten (Rm. 12:2).

Jikalau kita memerhatikan misi Tuhan Yesus, yang pertama-tama dikemukakan dalam seluruh khotbah dan ajaran-Nya adalah menghadirkan Kerajaan Allah. Penggunaan istilah “kerajaan Allah” (basileia tou Theou) dalam seluruh Injil mencapai 150 kali, padahal kata ekklesia di Injil Matius hanya disebut 2 kali saja (Mat. 16:18; 18:17)! Makna kerajaan Allah pada hakikatnya adalah untuk menghadirkan pemerintahan Allah di atas muka bumi ini yang terjadi di dalam kehidupan dan karya Tuhan Yesus. Karena itu dalam melaksanakan pemberitaan Injil, kita dipanggil untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah tersebut. Hal ini diwujudkan melalui perubahan pola pikir dan nilai-nilai duniawi yang lama menjadi pola pikir dan nilai-nilai yang baru, yang sesuai dengan kehendak Allah. Sikap demikian menjadi dasar bagi manusia untuk mengekspresikan pengakuan imannya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat.

Namun, tugas pemberitaan Injil itu tidaklah cukup hanya berada dalam lingkup mentransformasi nilai-nilai dan pola pikir dunia ini yang lama. Usaha transformasi itu akan efektif dan dapat mencapai tujuannya apabila gereja mengalami proses pertumbuhan. Gereja yang tidak bertumbuh tidak akan pernah menjadi gereja yang transformatif. Gereja yang bertumbuh secara kualitatif dan kuantitatif secara efektif dapat menjadi suatu gereja transformatif yang memperbarui dunia.

Tugas pemberitaan Injil ini pada prinsipnya merupakan karya Allah, bukan karya manusia (1Kor. 1:27-29, Ef. 2:8-9). Karena itu tidaklah tepat dan berbahaya jikalau kita menganggap bahwa “pertobatan” dari pemberitaan Injil tersebut ditentukan oleh usaha dan perbuatan manusia. Itu merupakan salah satu bentuk kesombongan rohani. Dalam Alkitab sangatlah jelas bahwa Allah yang bertindak memilih manusia (lihat Mat. 22:14, Yoh. 15:16, Ef. 1:4). Allah sendirilah yang memiliki otoritas yang menentukan pertumbuhan iman seseorang (1Kor. 3:5-7). Kita prihatin, jikalau ada kecenderungan sikap mengklaim bahwa metode pemberitaan Injil tertentu lebih manjur dan efektif dibandingkan metode pemberitaan Injil yang lain. Kalau kita sendiri tidak hidup dalam kerendahan hati, sangatlah sulit bagi kita untuk mengubah dunia. Bagaimana mungkin kita bisa mengubah dunia jika mengubah diri sendiri saja kita tidak mampu.

Bagaimana Memberitakan Injil?

Hasil keputusan Konsili Vatikan II (1963-1965) menegaskan bahwa liturgi gereja boleh memakai bahasa setempat. Sikap tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan dipakai oleh Allah. Kebudayaan bukan sekadar alat bantu, melainkan menjadi lahan yang subur untuk menerima Injil dan mengekspresikan kekayaan iman. Karena itu ditegaskan bahwa fungsi Injil di tengah-tengah kebudayaan adalah untuk: “Terus-menerus memperbarui, memurnikan dan mengangkat, memperkuat, menyempurnakan, memugar kehidupan dan kebudayaan manusia serta adat-isiadat bangsa-bangsa.” Itu sebabnya gereja perlu melakukan inkulturasi atau kontekstualisasi. Dengan inkulturasi atau kontekstualisasi tersebut, gereja dimampukan untuk “mengingkarnasikan Tuhan Yesus ke ruang dan waktu tertentu serta memperkenankan Ia dilahirkan kembali ke dalam kehidupan kita.”

Keberhasilan Marcopolo melintasi Asia di abad ke-13 mendorong para pater Fransiskan untuk memberitakan Injil ke wilayah yang jauh. Para pater tersebut menerjemahkan Alkitab atau ajaran gereja dalam bahasa setempat. Padahal, pola tersebut sudah dilakukan oleh Martin Luther sejak reformasi gereja tahun 1517.

Pendekatan inkulturasi atau konstektualisasi banyak terjadi dalam proses pemberitaan Injil di Asia. Hal itu dapat kita lihat dari pola pemberitaan Injil yang dilakukan Sadhu Sundar Singh dari India. Ia tetap menggunakan sorban bangsa Sikh dan tampil sebagai seorang Sannyasi. Pola inkulturasi juga dilakukan oleh Coenrad Laurens Collen, seorang Eropa peranakan yang memberitakan Injil di Ngoro (kebun seluas 1.420 hektar). Collen sangat memerhatikan alam pikir budaya dan adat-istiadat Jawa. Selain itu, pekabaran Injil dilakukan oleh Dr. Albert C. Kruyt tahun 1862 dan Dr. N. Andriani sejak tahun 1895 dengan mempelajari bahasa daerah Toraja. Sejak tahun 1900, Suku Toraja dapat menerima Tuhan Yesus. Sangat menarik pula jika kita memerhatikan kisah pertobatan Ang Boen Swi yang semula memeluk “agama Tionghoa”. Ia bertemu dengan Pdt. J.A.W. Krol dan diberi Alkitab PB Bahasa Jawa sehingga lahirlah kekristenan di kalangan orang Tionghoa.

Sikap Gereja di Tengah-Tengah Kebudayaan

Kebudayaan merupakan ekspresi pola hidup dari suatu suku atau bangsa. Karena itu, di tengah-tengah berbagai kebudayaan, pemberitaan Injil berhadapan dengan keanekaragaman itu. Konflik-konflik yang menyakitkan pun tidak terelakkan. Realita keanekaragaman dan konflik-konflik tersebut secara detail berhubungan dengan budaya, agama, adat-istiadat, pola pikir, kebiasaan, dan karakter orang yang hidup di dalamnya. Keadaan ini dapat kita lihat dari sejarah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Perniagaan yang dimulai tahun 1856 dengan kedatangan penginjil Gwan Kwee dari Amoy. Dia sangat memperhatikan penggunaan bahasa, adat-isitiadat, dan latar belakang agama orang Tionghoa. Kita juga bisa melihat bagaimana gereja kurang tepat menempatkan strategi gerejanya dalam suatu kebudayaan. Misalnya, Gereja Kristen Jawab (GKJ) sebenarnya bersifat paternalistis, tetapi memilih model “presbiterial”; atau Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang memiliki kebudayaan demokratis, justru memilih model “episkopal”. Apabila dilihat dari kondisi kebudayaannya, seharusnya GKJ memilih model bergereja yang bersifat episkopal, sedangkan HKBP seharusnya memilih model bergereja yang bersifat presbiterial.

Pemberitaan Injil yang Efektif

Dalam realita sejarah, sering terjadi bahwa pemberitaan Injil justru menjadi bumerang bagi gereja. Gereja justru makin ditolak dan masyarakat sekitar justru antipati terhadapnya. Dalam hal ini, para pemberita Injil tampaknya perlu menerjemahkan alam pemikiran (world-view) seseorang dalam konteks budaya dan agama lamanya. Di sini, tugas hermeneutik yang tepat sangat dibutuhkan. Pemberitaan Injil bukanlah sekadar menerjemahkan istilah-istilah kebudayaan atau memindahkan konsep-konsep impor denominasi gereja. Robert J. Schreiter dalam Listening to a Culture berkata, “Supaya kita dapat mempertahankan keterbukaan dan kepekaan terhadap situasi setempat secara memadai, hendaknya modus penginjilan dan pengembangan gereja dilaksanakan dalam sikap menemukan Kristus dalam situasi, daripada kita memaksakan Kristus ke dalam situasi.”

Kita memang dapat melihat bahwa hubungan/nisbah Injil dengan kebudayaan sering bermasalah. Tetapi yang memprihatinkan, gereja sering tidak mau belajar dari sejarah, sehingga gereja terus-menerus menolak kebudayaan. Penolakan dapat terlihat misalnya dari sikap Paus pada masa penginjilan Matteo Ricci. Paus menolak seluruh adat-istiadat Tionghoa baik dalam hal penyebutan Allah, kehidupan moral, dan kebiasaan. Akibatnya pekabaran Injil di Tiongkok ditiadakan dan dihentikan kaisar Cina selama dua abad. Sebaliknya, sikap gereja yang terlalu membuka diri membuat gereja juga terjebak dalam sinkrestisme. Pola pekabaran Injil Kyai Sadrakh mencampur Injil dengan kebatinan Jawa. Ini juga tidak tepat sebab fungsi Injil adalah untuk menerangi, kritis, mentransformasikan, dan membimbing kehidupan serta kebudayaan agar memuliakan Allah.

Karena itu, kita, gereja Tuhan masa kini, perlu senantiasa bergerak secara progresif untuk membangun sistem iman (teologi) dan pemberitaan Injil secara hidup agar semakin menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Injil bukan sekadar berita atau kesaksian. Hakikat Injil adalah kesaksian tentang kehidupan yang telah ditebus oleh Allah dalam karya Tuhan Yesus. Untuk itu, kita dipanggil untuk menempatkan pemberitaan Injil lebih dari sekadar pola yang bersifat dokriner dan ideologis. Injil merupakan ekspresi hidup orang percaya. Perhatikanlah firman Tuhan, “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (2Kor. 4:10).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply