Latest Article
Refleksi Tahun Baru 2017

Refleksi Tahun Baru 2017

Berkarya untuk Kemuliaan Tuhan

(Pkh. 3:1-13; Mzm. 8; Why. 21:1-6; Mzm. 25:31-46)

Saat waktu senggang dalam masa libur Natal saya dan isteri menonton film Passengers yang dibintangi oleh Christ Pratt dan Jenniver Lawrence. Film ini menceritakan 5000 orang penumpang pesawat kapal luar angkasa menuju planet baru bernama Homestead II. Lama perjalanan ke planet baru akan ditempuh selama 120 tahun. Untuk itu semua penumpang harus masuk ke dalam hibernasi dengan kapsul tidur. Arti “hibernasi” adalah kondisi menonaktifkan dan menurunkan metabolisme tubuh agar dapat menghemat energi sehingga tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah situasi kritis. Tetapi karena suatu musibah, pesawat angkasa bernama Avalon itu mengalami gangguan akibat benturan dengan benda di luar angkasa. Akibatnya salah seorang penumpang bernama Jim Preston terbangun lebih awal setelah menempuh perjalanan 30 tahun. Jadi dia masih harus menunggu 90 tahun lagi untuk mencapai planet baru bernama Homestead II.

Walau film ini adalah fiksi tetapi mengandung suatu kebenaran ilmiah tentang keberadaan bumi di antara planet-planet di alam semesta. Bumi adalah bagian dari planet-planet dalam galaksi Bima Sakti. Tetapi galaksi Bima Sakti bukanlah satu-satunya galaksi di alam semesta ini. Dalam alam semesta ini terdapat jutaan galaksi. Kita juga mengenal jarak bintang yang terdekat dengan bumi dengan ukuran waktu 4 tahun cahaya. Karena itu batasan waktu yang kita kenal seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad hanyalah salah satu ukuran waktu periodik. Jarak bintang ke bumi yang diukur oleh sekian tahun cahaya menunjukkan betapa maha luasnya alam semesta di sekitar kita. Namun manusia yang begitu kecil, fana dan tidak berarti dikaruniai Allah kemuliaan. Mazmur 8:4-5 menyatakan: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Keberadaan manusia tidak berakhir setelah kematiannya sebab Allah menganugerahkan keabadian. Waktu keabadian setelah kematian bukanlah ketiadaan keberadaan hidup. Sebaliknya suatu kehidupan abadi setelah kematian yang di dalamnya kita harus mempertanggungjawabkan setiap hal yang telah kita perbuat selama hidup di dunia ini.

Narasi Matius 25:31-46 sebagai pembacaan di awal Tahun Baru mengisahkan penghakiman Kristus kepada umat manusia setelah mengalami kematian. Manusia tidak hanya mengenal waktu temporal, rentang waktu dalam ukuran kecepatan cahaya, tetapi juga waktu “keabadian” berupa penghakiman Allah setelah kematian yang dialaminya. Pesan dari pembacaan Matius 25:31-46 yang disusun oleh The Revised Common Lectionary adalah perlunya umat di awal tahun baru mendasari setiap langkah yang akan ditempuh sepanjang tahun 2017 dengan perspektif waktu keabadian dalam penghakiman Kristus, yaitu:

  1. Waktu keabadian menyadarkan kita untuk melakukan karya yang berkualitas selama kita diberi kesempatan hidup di dalam dunia ini. Sebab setiap hal yang kita lakukan dalam waktu temporal dan fana di dalam kehidupan di dunia tercatat dalam Kitab Kehidupan. Seluruh tindakan, perkataan dan kehidupan kita di dunia memiliki dampak pada kehidupan kita selanjutnya. Kehidupan di masa kini merupakan kesempatan yang bermakna agar diolah dengan seluruh talenta dan karunia yang telah dianugerahkan Tuhan.
  2. Keselamatan di dalam Kristus mengandung dua aspek yang tidak pernah terpisahkan, yaitu bahwa pembenaran (justification) dalam karya penebusan Kristus tidak terlepas dari pengudusan (sanctification), yaitu spiritualitas yang menolak kehidupan yang bercela karena mengikuti nafsu duniawi. Karena itu hakikat iman kepada Kristus dinyatakan dalam perbuatan yang tidak bercela, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:26).
  3. Karya penebusan Kristus yang mengaruniakan keselamatan dengan pembenaran dan tanggungjawab hidup kudus berfokus pada tindakan kasih, yaitu menyatakan belarasa Allah kepada sesama, khususnya mereka yang tertindas dan lemah. Sebab Kristus dalam inkarnasi-Nya menjadi manusia telah menempatkan hakikat kemanusiaan di dalam diri-Nya. Surat 1 Yohanes 4:20 menyatakan: “Jikalau seorang berkata: Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Hakikat dan martabat kemanusiaan menjadi luhur dan kudus karena Kristus Sang Firman Allah telah menjadi manusia, sehingga seluruh perlakuan kita kepada sesama merupakan perlakuan kita kepada Dia sendiri.

Apabila kita merenungkan jejak dan langkah-langkah kita di tahun-tahun yang telah lewat, pertanyaan yang timbul adalah mengapa kita pada umumnya gagal melakukan ketiga aspek tersebut di atas? Mengapa kita tidak melakukan secara optimal semua karunia yang telah dianugerahkan Tuhan? Mengapa kita gagal hidup dalam pengudusan, sehingga cenderung melakukan kecemaran? Mengapa kita cenderung pembenaran diri dan mengabaikan karya pembenaran Allah? Mengapa kita lebih cenderung mengasihani diri sendiri sehingga kita mengabaikan sesama di sekitar kita?

Kegagalan kita untuk menghayati ketiga aspek dalam kehidupan kita adalah karena kita menempatkan dimensi waktu “keabadian” di masa mendatang sebagai sesuatu jauh di depan. Kita menganggap penghakiman Kristus tidak terkait dengan realitas kehidupan yang kita alami sekarang. Bahkan kedatangan-Nya hanya dianggap sebagai suatu pengajaran doktrin gereja semata. Seandainya ajaran gereja tersebut dianggap benar, kita pahami secara samar. Dengan kesadaran itu kita cenderung menempatkan seluruh makna dan pertanggungjawaban seluruh tindakan kita hanya pada realitas masa kini saja yang terputus dengan penghakiman Kristus sebagai Hakim. Kita baru sedikit diingatkan akan pertanggungjawaban kelak saat Kristus datang kembali apabila kita menghadapi anggota keluarga, teman, atau orang-orang terdekat yang wafat.

Narasi Matius 25:31-46 memang bersifat eskatologis, yaitu terjadi pada zaman akhir. Tetapi dimensi eskatologis yang dikisahkan dalam Matius 25:31-46 berpusat pada peristiwa inkarnasi dan karya keselamatan Kristus di dunia ini. Karena itu seharusnya cara pandang dan sikap iman kita bukan pada tindakan Kristus yang kelak menghakimi kita, tetapi seharusnya berfokus pada diri Kristus yang merangkum seluruh waktu dan zaman. Kristus adalah Sang Firman Allah sehingga Dia adalah Alfa dan Omega. Kristus adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Kristus adalah sumber dan Peng-Ada seluruh penciptaan dan akhir seluruh penciptaan. Dia adalah penguasa (kurios) dan pemilik segala kuasa di bumi dan di surga. Di Wahyu 21:6 menyatakan: “Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” Karena Kristus adalah Yang Awal dan Yang Akhir, penguasa langit dan bumi maka hanya Dia yang dapat mengaruniakan air kehidupan, yaitu keselamatan abadi.

Jikalau perspektif iman kita difokuskan kepada Kristus, maka karya penebusan dan penghakiman Kristus seharusnya kita hayati di masa kini. Karya penebusan Kristus bukan sekadar peristiwa sejarah di masa lalu dan penghakiman-Nya bukanlah sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, tetapi seharusnya menjadi “titik temu” yang terhayati secara eksistensial dalam setiap kehidupan umat percaya di masa kini. Dengan demikian makna kehidupan kita di masa kini merupakan respons iman terhadap anugerah penebusan Kristus dan penghakiman-Nya di masa mendatang. Melalui karya penebusan Kristus di masa lalu kita menerima anugerah keselamatan Allah, dan melalui penghakiman-Nya di masa mendatang kita dipanggil untuk mempertanggungjawabkan keselamatan Allah dalam tindakan kasih kepada sesama di sekitar. Jadi hari-hari di depan sepanjang tahun 2017 seharusnya kita jalani dan hayati dalam dua dimensi karya keselamatan Kristus, yaitu penebusan dan penghakiman-Nya.

Melalui karya penebusan-Nya kita dilengkapi dengan kasih dan rahmat Allah, dan melalui penghakiman-Nya kita dimurnikan untuk semakin tulus mengasihi orang-orang di sekitar kita. Karena benarlah firman Tuhan bahwa barangsiapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17). Dengan sikap iman kepada Kristus, seharusnya mata hati kita dipertajam untuk melihat dan memperlakukan orang-orang di sekitar kita sebagai diri Kristus sendiri. Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Sesama bukan sekadar orang-orang yang berarti dan berharga namun juga sesama adalah manifestasi dari wajah Kristus sendiri. Karena itu merendahkan orang lain karena faktor etnis, agama, sosial-ekonomi dan pendidikan merupakan penistaan terhadap Kristus.

Dalam bukunya yang berjudul Totality and Infinity (1979), Emmanuel Levinas menggunakan istilah “wajah” (visage). Makna “wajah” yang dimaksud oleh Levinas bukanlah secara harafiah seperti seseorang yang memiliki kepala yang terdiri dari mata, hidung, mulut, dagu, pipi, dan sebagainya. Makna “wajah” dalam filsafat Levinas dipakai untuk menunjuk pada situasi orang lain muncul di hadapan kita. Kita berhadapan muka dengan muka dengan orang lain. Orang lain dengan wajahnya itu menyapa kita baik dengan ataupun tanpa kata. Wajah orang lain tersebut dipahami Levinas sebagai suatu “epifani” (penampakan), yaitu peristiwa penampakan wajah melalui peristiwa munculnya ‘orang lain’ di hadapan ‘aku’ (fenomena), serta penglihatan sebagai sarana untuk menangkap ‘orang lain’ yang muncul di hadapan ‘aku’ (Levinas 1979, 194-195). Karena itu tanggungjawab setiap orang adalah menghormati dan saling membagi ruang. Lebih utama lagi dalam perspektif teologia iman Kristen, sesama adalah penampakan wajah Kristus (epifania) sehingga barangsiapa yang menista sesamanya sesungguhnya sedang menista Allah sendiri.

Mengasihi dan menghargai sesama dengan belarasa Kristus merupakan respons iman yang dinyatakan umat sebagai karya yang memuliakan Allah. Jika demikian keberhasilan kita dalam menjalani hari-hari yang tersedia bukan sekadar keberhasilan dalam studi, karier, rumah-tangga dan pelayanan di gereja. Tetapi utamanya lagi adalah apakah seluruh tindakan yang kita lakukan adalah mengangkat derajat dan martabat sesama dalam kasih Kristus sehingga setiap orang yang kita jumpai melihat diri kita sebagai manifestasi wajah-wajah Kristus. Sebaliknya kita juga memandang wajah sesama juga sebagai wajah Kristus yang menampakkan diri di depan kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono