Latest Article
Spiritualitas Penyangkalan Diri dalam Kenosis Kristus  (Implementasi Nilai-nilai Kristiani di UK Maranatha)

Spiritualitas Penyangkalan Diri dalam Kenosis Kristus (Implementasi Nilai-nilai Kristiani di UK Maranatha)

Refleksi Teologis tentang Universitas Kristen Maranatha – Bandung

Pengantar

Core-value Universitas Kristen Maranatha mencakup tiga sikap spiritualitas yaitu: Integritas (integrity), Kepedulian (care) dan Keprimaan (excellence). Untuk mudahnya disingkat dengan: ICE (Integrity, Care, Excellence). Secara singkat makna ketiga esensi spiritualitas UK Maranatha adalah: 1). Esensi “integritas” berkaitan dengan panggilan dan memahami jati diri (value of being). Dalam esensi integritas, seseorang memiliki kualitas diri untuk berlaku jujur, hidup bermoral, dapat dipercaya, konsisten dalam kata dan tindakan, dan keteladanan. 2). Esensi ‘kepedulian” berkaitan dengan pelayanan yang terjadi dalam hidup bersama dengan sesama (value of relating). Dalam esensi “kepedulian,” seseorang menyatakan kesungguhan diri dan tindakan yang lahir dari kasih Kristus yang empatis, persahabatan dan bersedia berkurban. 3). Esensi “keprimaan” berkaitan dengan profesionalisme yang dilandasi oleh kerendahan-hati sebagai pelayan Kristus secara prima (value of working). Dalam esensi “keprimaan” berkaitan dengan kualitas diri untuk mencapai hasil yang terbaik, kreatif, original dan transformatif yang dicapai melalui ketekunan, sikap yang rasional, penelitian dan standar akademis.

Ketiga sikap spiritualitas tersebut berfokus pada sikap hidup dan karya keselamatan Kristus. Berdasarkan spiritualitas dan sikap iman yang demikian, maka Universitas Kristen Maranatha merumuskan visinya, yaitu: “Universitas Kristen Maranatha menjadi perguruan tinggi yang mandiri dan berdaya cipta, serta mampu mengisi dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni abad ke-21 berdasarkan kasih dan keteladanan Yesus Kristus.” Visi UK Maranatha sebagai Perguruan Tinggi mengandung nilai-nilai kemandirian, berdaya cipta, mengembangkan Ilmu Pengetahuan-teknologi-seni yang didasarkan pada “kasih dan keteladanan Yesus Kristus.”

Dengan misi yang hendak dicapai secara operatif berdasarkan visinya, UK Maranatha merumuskannya sebagai berikut: “Mengembangkan cendekiawan yang handal, suasana yang kondusif, dan nilai-nilai hidup yang kristiani sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi.” Implementasi misi tersebut mencakup dua hal yang mendasar yaitu sosok cendikiawan yang hidup berdasarkan nilai-nilai iman Kristen sehingga mampu menghadirkan dan berkontribusi dalam kehidupan masyarakat, negara dan bangsa.

Spiritualitas dengan esensi ICE/Integritas-Kepedulian-Keprimaan menjadi dasar visi dan misi UK Maranatha dalam perspektif nilai-nilai iman Kristen. Pertanyaannya adalah bagaimanakah nilai-nilai iman Kristen tersebut harus diimplementasikan di UK Maranatha? Sejauh mana nilai-nilai iman Kristen tersebut bersumber dalam relasi dengan Kristus? Hakikat Kristus yang bagaimanakah yang dapat menjadi sumber spiritualitas dengan nilai-nilai-nilai iman Kristen? Bagi penulis, pengenalan akan Kristus dimungkinkan karena Sang Firman berinkarnasi menjadi manusia di dalam Kristus. Dalam inkarnasi-Nya, Kristus mengosongkan diri-Nya. Karena itu pengosongan diri (kenosis) Kristus merupakan media untuk memahami jati-diri Kristus secara utuh.

Kenosis Kristus

Nilai-nilai iman Kristen bersumber pada diri Kristus. Karena itu nilai-nilai iman Kristen berakar pada personalitas diri Yesus yang adalah Kristus. Di Surat Filipi 2:6-7 Rasul Paulus mendeskripsikan personalitas Yesus, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Problem teologis yang sering diajukan adalah apakah tindakan Kristus yang mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia menyebabkan keilahian-Nya untuk sementara hilang? Kemungkinan yang lain adalah keilahian Kristus hilang total saat Ia menjadi manusia. Jikalau keilahian Kristus hilang secara tetap/sementara saat Ia menjadi manusia akan membawa konsekuensi teologis-etis.

Apabila keilahian Kristus hilang saat Ia berinkarnasi menjadi manusia, maka nilai-nilai iman Kristen yang berpusat kepada Kristus juga kehilangan dimensi keilahian Kristus secara utuh. Sebab Kristus yang diimani oleh umat Kristen bukan hanya Kristus yang bangkit setelah kematian-Nya, tetapi juga Kristus saat Ia berkarya dan melayani sebagai manusia. Karena itu bagaimanakah gereja dan umat percaya memahami makna “pengosongan diri” dalam inkarnasi Kristus. Personalitas Kristus yang bagaimanakah dihayati oleh gereja dan umat percaya, apakah personalitas Kristus sebagai manusia belaka ataukah ilahi semata? Dalam hal ini gereja telah menyatakan pengakuan iman (konfesi), yaitu hakikat Kristus sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia.

Namun apakah pengakuan iman (konfesi) gereja tersebut didukung secara alkitabiah, dan bukan sekadar suatu doktrin gereja?

Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkanlah saya mengajukan tafsiran singkat dari Filipi 2:6-7 yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Di Filipi 2:6 personalitas Yesus dideskripsikan “ dalam rupa Allah” (ἐν μορφῇ θεοῦ). Kata “rupa” dalam konteks ini berasal dari kata “morphe” untuk menunjuk hakikat atau kodrat Kristus yang tidak pernah berubah. Karena itu kata “morphe” bukan untuk menunjuk bentuk luar atau jasmaniah kedirian Kristus. Jadi makna gelar Kristus yang disebut oleh Rasul Paulus dengan “dalam rupa Allah” menyatakan bahwa sejak kekal diri Kristus telah sehakikat dengan Allah. Keilahian Kristus sebagai Sang Firman Allah tidak berubah saat Ia berinkarnasi menjadi manusia. Karena itu argumentasi bahwa keilahian Yesus sebagai Sang Firman Allah yang tidak berubah esensi/hakikat-Nya dikuatkan oleh:

  1. Pernyataan sebelumnya di Filipi 2:6, yaitu kata: “yang walaupun.” Kata “yang walaupun” (hos huparcho) memiliki makna yang seharusnya diterjemahkan, yaitu: yang telah berada (although he existed). Sebab frasa “huparcho dalam bentuk present tense, karena itu memiliki arti bahwa hakikat Kristus yang sejak kekal adalah ilahi tetap berlanjut.
  2. Kata “kesetaraan dengan Allah” (εἶναι ἴσα θεῷ) menunjuk bahwa sejak kekal dalam keilahian-Nya Kristus sehakikat dengan Allah. Makna kesetaraan dengan Allah tersebut bukan karena kesempurnaan yang berhasil dicapai oleh Kristus, tetapi Ia sejak kekal sempurna sebagaimana Allah maha sempurna.

Kedudukan Kristus yang sejak kekal sehakikat dengan Allah ternyata tidak menghalangi Dia untuk mengosongkan diri-Nya. Makna kata “mengosongkan diri” berasal dari kata “kenosis” untuk menunjuk tindakan yang meniadakan kepentingan diri. Frasa “mengosongkan dirinya” (ἑαυτὸν ἐκένωσεν), khususnya kata ἐκένωσεν merupakan bentuk aoris pertama-indikatif aktif-orang ketiga tunggal. Dalam hal ini kata kerja “keno” (κενόω) umumnya dipahami sebagai tindakan memindahkan sesuatu dari satu tempat atau mencurahkannya ke tempat lain sehingga tidak tersisa. Perlu dipahami bahwa makna pengosongan diri Kristus tidak terlepas “dalam rupa Allah” dan kesetaraan dengan Allah” sebagaimana telah diuraikan di atas. Karena itu Kristus yang melakukan pengosongan diri dalam inkarnasi-Nya itu adalah benar-benar menjadi manusia dan benar-benar Allah.

Personalitas Kristus bukan sekedar kemanusiaan semu (melawan pengajaran doketisme), sebaliknya Kristus juga bukan hanya memiliki kodrat ilahi (melawan pengajaran dan aliran Gnostik). Hakikat keilahian Kristus tidak berubah saat Ia menjadi manusia. Sebaliknya karena Kristus mengosongkan diri-Nya, Ia yang Ilahi justru memperoleh tambahan kodrat insani. Di Kolose 2:9 menyatakan: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” Dalam inkarnasi-Nya Yesus menjadi manusia dan kepenuhan ke-Allah-an Dia tidak berkurang atau hilang. Jadi personalitas Kristus adalah benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Karena itu Filipi 2:1-11 menyatakan: “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yagn ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa.” Kedua dimensi ilahi dan insani terpadu secara integral dalam personalitas Yesus yang adalah Allah dan manusia, sehingga disebut dengan Teantropik.

ICE dalam Perspektif Teantropik

Core value yaitu ICE (Integrity, Care, Excellence) sejak awal dipahami UKM dilandasi oleh nilai-nilai iman Kristen yang berpusat kepada Kristus. Karena itu hakikat dari ICE adalah personalitas Kristus yang teantropik, yaitu Kristus yang sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Hakikat teantropik adalah penyataan Allah dalam inkarnasi Yesus menjadi manusia.

Misi inkarnasi Kristus yang teantropik adalah karya pendamaian Allah dan penebusan dosa bagi umat manusia. Dalam konteks ini makna dan implementasi ICE ditempatkan dalam perspektif inkarnasi dan karya penebusan Kristus. Perlu dipahami bahwa narasi atau kesaksian Rasul Paulus di Filipi 2:1-11 tidak memperlihatkan secara spesifik tujuan inkarnasi Kristus yang mengosongkan diri-Nya untuk melakukan karya pendamaian dan penebusan dosa bagi umat manusia. Tetapi pada pihak lain kita menyadari bahwa tidaklah realistis satu perikop (Filipi 2:1-11) harus merangkum seluruh dimensi personalitas dan karya keselamatan Allah di dalam Kristus.

Karya pendamaian dan penebusan Kristus dipersaksikan begitu luas dalam kitab-kitab di Perjanjian Baru. Karena itu agar konsisten dengan pemikiran Rasul Paulus di Surat Filipi 2:1-11, saya hanya memilih pernyataan Rasul Paulus tentang karya pendamaian dan penebusan dosa di Surat kepada jemaat di Roma, yaitu:

  1. Roma 3:25 yaitu: “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Nas ini memiliki kaitan dengan ibadah kurban di Perjanjian Lama. Pada hari raya Yom Kippur umat Israel mempersembahkan kurban penebusan dosa di hadapan Imam. Namun melalui kurban penebusan yang dilakukan oleh Kristus, Allah menentukan-Nya sebagai jalan pendamaian karena iman. Kata “jalan pendamaian” berasal dari kata hilasterion untuk menunjuk pada gagasan hukuman Allah telah didamaikan dan dosa dihapuskan oleh persembahan kurban dengan darah Kristus.
  2. Roma 8:3 yaitu: “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging.” Dalam konteks ini Rasul Paulus menyatakan bahwa Hukum Taurat tidak berdaya menyelamatkan manusia sebab manusia dikuasai oleh keinginan “daging” (sarx). Dengan keadaan “daging” (sarx) manusia dikuasai oleh dosa yang disebut dengan “hamartia.” Apa yang tidak dapat dicapai oleh manusia, itulah yang dilakukan oleh Kristus. Kristus Sang Firman Allah berinkarnasi menjadi “daging” (sarx) dan membebaskan manusia dari kuasa dosa di dalam sarx. Bandingkan dengan kesaksian Yohanes 1:14, yaitu: “Firman itu telah menjadi daging” (ho logos sarx egeneto).

Karya penebusan Kristus adalah memulihkan dan mendamaikan manusia dengan Allah. Dalam keberadaannya yang dikuasai “daging” (sarx) manusia hidup dalam status dan perbuatan dosa, yaitu hamartia. Karena manusia berpaling dari Allah, maka sarx menyimpang dan menjadi perlawanan kepada Allah. Itulah sebabnya manusia berada dalam kondisi berdosa. Makna dosa dalam kategori hamartia sebagai bentuk tunggal menggambarkan keadaan manusia yang berdosa di hadapan Allah. Jadi makna dosa sebagai hamartia bukan menunjuk suatu tindakan yang membuat dosa. Makna dosa bukan sekadar melanggar Sepuluh Firman atau hukum-hukum Allah. Karena itu Rasul Paulus dalam konteks ini berbicara tentang kuasa dosa (Rm. 3:9), pengenalan dosa (Rm. 3:20), bertambahnya dosa (Rm. 5:20), hamba dosa (Rm. 6:16) dan upah dosa (Rm. 6:23). Semua ungkapan ini untuk menunjuk pada keadaan yang terjadi dalam kodrat umat manusia. Aktualisasi dosa dalam kategori hamartia merupakan kegagalan manusia untuk mencapai sasaran yang berusaha diraih walau ia telah berusaha seoptimal dan sebaik mungkin. Dalam terang karya penebusan Kristus, umat percaya harus menyadari bahwa apa yang diharapkan dari dirinya dan setiap usaha-usahanya yang terbaik telah gagal sehingga ia membutuhkan pendamaian dengan Allah melalui kurban Kristus.

Pergumulan umat manusia tentang keadaan dosa hamartia terlihat dari kesaksian Rasul Paulus, yaitu: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rm. 7:19). Di tengah-tengah perasaan gagal dan putus-asa karena hidup dalam keadaan berdosa, Rasul Paulus menemukan jalan keluar, yaitu anugerah keselamatan yang dikaruniakan Allah melalui penebusan Kristus. Di Roma 7:24-25 Rasul Paulus berkata: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Dengan demikian melalui karya penebusan Kristus Allah mencurahkan rahmat-Nya sehingga membenarkan umat yang gagal karena dosa hamartia. Di dalam Kristus umat memperoleh anugerah Allah yang mendamaikan, sehingga dimampukan untuk serupa dengan Kristus. Kelemahan manusiawi yang berdosa dipulihkan dan dikuduskan oleh karya Roh Kudus melalui iman kepada Kristus.

Dalam perspektif teologis karya penebusan dan terang Roh Kudus inilah kita perlu menempatkan core-value UKM, yaitu ICE (Integrity, Care, Excellence):

  1. Pencapaian ICE pada hakikatnya tidak didasarkan pada kebenaran, kesalehan/kebajikan insani manusia baik secara pribadi maupun komunitas di UKM, tetapi berdasarkan anugerah Allah yang telah dinyatakan dalam inkarnasi dan karya penebusan Kristus. Karena itu ICE hanya dapat dicapai melalui respons iman yang mengandalkan pada rahmat Allah di dalam karya penebusan Kristus.
  2. Hambatan utama dari ICE adalah dosa hamartia sebab setiap orang telah terbelenggu oleh keinginan daging (sarx), sehingga walaupun telah mengerahkan seluruh potensi dan upaya yang terbaik dalam dirinya tidak menjamin bahwa kita berhasil mewujudkan di hadapan Allah dan sesama. Karena itu setiap orang perlu bergantung pada Kristus seperti setiap ranting tidak dapat hidup tanpa melekat dengan batang pohon anggur (Yoh. 15:5).
  3. Komponen-komponen ICE akan terwujud apabila setiap orang secara pribadi dan komunitas bersedia untuk mengalami pendamaian yang holistik sebagaimana dinyatakan dalam penderitaan-wafat-kebangkitan Kristus. Melalui karya penebusan Kristus, Allah menganugerahkan Roh Kudus sehingga memampukan setiap orang untuk hidup menurut kehendak Roh, yaitu menghasilkan “buah Roh” (Gal. 5:22-23).
  4. Makna “integrity” mencakup situasi keberadaan seseorang yang telah berdamai secara holistik dengan Allah, diri sendiri, sesama dan ekologi sehingga menghasilkan jati-diri yang otentik dan mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan tindakannya di hadapan Allah dan sesama. Dampak dari “integrity” adalah kredibilitas diri seseorang sehingga ia dapat dipercaya oleh siapapun.
  5. Makna “care” adalah hasil karya penebusan dan pendamaian Kristus sehingga seseorang bersedia melayani secara total sebagaimana Kristus melayani dan mengorbankan diri-Nya. Sikap “care” dalam konteks ini bukan sekadar dorongan humanisme atau kepatutan budaya dan sopan-santun tetapi utamanya sebagai manifestasi belarasa Allah yang bersedia berkurban tanpa syarat. Sikap “care” yang dilandasi oleh kasih Kristus tersebut dilakukan dalam lingkup internal keluarga besar UKM dan lingkup eksternal berupa pelayanan kepada masyarakat, negara dan bangsa.
  6. Makna “excellence” adalah respons iman seseorang kepada Allah yang telah mengaruniakan berbagai talenta dan karunia. Karena itu ia bersedia mengembangkan dirinya seoptimal mungkin sebagai ungkapan syukur dan tanggungjawab etis-moral yang dipercayakan kepadanya. Makna “excellence” mencakup keseluruhan karya dan profesi baik sebagai pengurus Yayasan, lembaga dan staf rektorat, pengembangan dan kreativitas para dosen, skill dan kemampuan para karyawan, dan perkembangan studi/prestasi para mahasiswa.

ICE dalam Spiritualitas Penyangkalan-diri

ICE dalam spiritualitas penyangkalan diri merupakan respons iman setiap pribadi dan komunitas terhadap inkarnasi Kristus yang telah mengosongkan diri-Nya. Dalam inkarnasi Kristus yang mengosongkan diri-Nya setiap orang memperoleh anugerah keselamatan dan pengampunan Allah. Karena itu dalam perspektif pengosongan diri Kristus, esensi ICE bersumber pada rahmat dan kerahiman Allah yang membenarkan setiap insan melalui kurban Kristus di atas kayu salib. Dalam pengosongan diri Kristus setiap umat memperoleh pembenaran (justification) dari Allah. Namun karya penebusan Kristus tersebut wajib direspons oleh setiap orang melalui penyangkalan diri. Melalui penyangkalan dirinya, setiap orang dipanggil melawan setiap keinginan daging (Gal. 5:19-21).

Tujuan penyangkalan diri dalam mengikut Kristus adalah pengudusan (sanctification). Makna “pengudusan” dalam konteks ini bukan sekadar sikap hidup dalam hubungan secara vertikal dengan Allah, tetapi juga secara horizontal dengan sesama dan secara internal dengan diri sendiri serta keutuhan ciptaan. Makna ICE dalam spiritualitas penyangkalan diri merupakan upaya bersengaja yang dilakukan oleh setiap pribadi sebagai keluarga besar UKM untuk “bertarak” terhadap nilai-nilai dunia yang tidak sesuai dengan nilai-nilai iman Kristen.

Anugerah Allah yang membenarkan manusia (justification) dalam karya penebusan Kristus akan menjadi anugerah yang murah (cheap-grace), apabila tidak diwujudkan dalam pengudusan (sanctification). Syarat mengikut Yesus dinyatakan dalam Lukas 9:23, yaitu: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Komitmen mengikut Yesus seharusnya direspons oleh umat dengan penyangkalan diri dan memikul salib-Nya setiap hari.

Makna penyangkalan diri berasal dari kata “arneomai” untuk menunjuk perjuangan rohani untuk melepaskan diri (abnegate) dari ikatan yang membelenggu. Karena itu spiritualitas menyangkal diri merupakan sikap iman umat yang dilandasi oleh anugerah keselamatan Kristus dan terang Roh Kudus untuk membebaskan diri dari berbagai ikatan keinginan daging. Umat mampu fokus untuk hidup benar sebagai anak-anak Allah. Tanpa spiritualitas penyangkalan diri kita tidak dapat mewujudkan core-value ICE (Integrity, Care, Excellence) dalam kehidupan sehari-hari Universitas Kristen Maranatha.

Core-value ICE merupakan prinsip dan way of life dalam dunia akademis UKM yang dilandasi oleh nilai-nilai iman Kristen. Karena itu tanpa penyangkalan diri, ICE menjadi sekadar suatu wacana/paradigma semata. ICE harus dinyatakan dalam spiritualitas penyangkalan diri agar menjadi nilai-nilai iman yang operatif dan terwujud dalam kehidupan bersama sebagai keluarga besar Universitas Kristen Maranatha, yaitu:

  1. Spiritualitas penyangkalan diri dalam core-value “Integrity” (integritas) adalah:
  2. Kejujuran yang diwujudkan dalam tindakan yang menolak segala bentuk plagiarisme, berdusta, memanipulasi sumber data/informasi/keuangan, dsb.
  3. Tranparansi diri yang diwujudkan dalam tindakan yang menolak segala bentuk kemunafikan, sikap mendua/berpura-pura.
  4. Konsistensi yang diwujudkan dengan sikap yang dilandasi oleh prinsip-prinsip etis-moral dan kebijaksanaan ilahi sehingga menjunjung kebenaran, tidak bersikap plin-plan, dan mencari rasa aman yang semu.
  5. Komitmen yang diwujudkan dengan sikap taat pada firman Tuhan dan prinsip/peraturan yang telah disepakai bersama oleh lembaga UKM.
  6. Kredibilitas yang diwujudkan dengan sikap yang dapat dipercaya, memiliki akuntabilitas, bertanggungjawab, dan tidak mencari kambing-hitam.
  7. Kerendahan-hati yang diwujudkan dengan kesungguhan menghargai harkat dan martabat sesama, memberi pujian yang tulus, menyampaikan kritik/ teguran dengan kasih, kesediaan untuk ditegur, tidak bersikap arogan dan menyalahgunakan jabatan/ kekuasaan.
  8. Kesalehan yang diwujudkan dalam kesetiaan dalam ibadah, mendengar dan membaca firman Tuhan, berdoa dan bertindak dalam nilai-nilai etis Injil.

Spiritualitas penyangkalan diri dalam core-value “Care” (Kepedulian) adalah:

  1. Empati yang diwujudkan dengan ketulusan untuk menempatkan diri di posisi sesama sehingga mampu memahami secara utuh situasi, keberadaan, penderitaan, dan pergumulan yang sedang dialami orang lain.
  2. Kemurahan-hati yang diwujudkan dengan kesediaan membantu dengan tulus terhadap pergumulan, kesulitan, dan beban orang lain.
  3. Hospitalitas yang diwujudkan dalam keramahtamahan yang tulus, sikap bersahabat, menolak membicarakan kekurangan/kelemahan orang lain di belakang (gosip), tidak berprasangka, dan tidak memfitnah.
  4. Kesetaraan yang diwujudkan pola pikir dan tindakan yang tidak diskriminatif, yaitu: tanpa membedakan sesama berdasarkan perbedaan latar-belakang suku, agama, gender, budaya dan filosofi.
  5. Kemitraan yang diwujudkan dalam relasi kerjasama, persahabatan, berpatner/kawan sekerja sehingga setiap bidang mampu menjadi tim yang solid dan sinergis untuk melakukan kepedulian di berbagai elemen masyarakat.
  6. Pemberdayaan dengan tujuan edukatif yaitu menggali berbagai potensi dan karunia yang dimiliki orang-orang yang dibantu sehingga mereka mampu menemukan kekuatan, kepercayaan dirinya dan memupuk kemandirian yang kreatif-produktif.
  7. Berkurban yang diwujudkan dalam kerelaan dan keikhlasan menyediakan diri, mempersembahkan waktu, pikiran dan tenaga bagi orang lain sehingga sesama mengalami situasi dihargai, diakui dan diterima dalam kasih Kristus.

Spiritualitas penyangkalan diri dalam core-value “Excellence” (keprimaan) adalah:

  1. Karya-karya yang inspiratif dan transformatif yang diwujudkan dengan prinsip-prinsip etis-akademis sehingga menjadi acuan yang inspiratif dan membawa pembaruan dalam lingkup nasional dan internasional.
  2. Pola kerja yang terukur secara kualitatif, estetik dan sistematik sehingga menghasilkan keprimaan dalam setiap lingkup/bidang di UKM.
  3. Pengembangan diri baik secara otodidak maupun terencana sehingga mampu menghasilkan insan-insan yang berkualitas secara akademis, dan memiliki skill/kemampuan yang piawai.
  4. Riset yang kreatif dan inovatif yang diwujudkan dalam pencarian yang tiada henti untuk berkreasi dan melakukan penelitian sehingga mampu menemukan gagasan-gagasan dan pola kerja yang baru, efisien, efektif, dan kontekstual.
  5. Hikmat-marifat yang diwujudkan dalam pola pikir yang bijaksana dalam terang Roh Kudus sehingga mampu memberi pertimbangan yang holistik, tepat sasaran dan membangun kehidupan bersama.
  6. Visioner yang diwujudkan dalam sikap yang mampu berpikir ke arah masa depan, memiliki cita-cita/mimpi, dan upaya untuk mencapainya secara operatif yang dilandasi oleh analisa situasi dan kemampuan memprediksi sehingga mampu mengantisipasi berbagai halangan/hambatan.
  7. Membangun kemitraan yang sinergis sehingga setiap insan dan bidang mampu menjadi tim yang solid dan handal dalam menangani suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat dan negara.

Catatan Penutup

Refleksi teologis ini sekadar coretan yang perlu terus-menerus diperbarui, dievaluasi dan diperdalam. Penulis belum banyak mengenal kehidupan sehari-hari Universitas Kristen Maranatha (UKM) Bandung. Selama ini penulis lebih banyak berkecimpung dalam kehidupan jemaat di lingkungan GKI. Jemaat yang pertama dilayani sebagai calon pendeta adalah di GKI Mojokerto Bajem Mojosari (Jatim), ditahbiskan di GKI Blimbing Malang, dan mutasi pelayanan di GKI Perniagaan Jakarta. Apabila penulis sempat berkarya di dunia akademis hanya dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar paruh-waktu di SMAK Petra Malang, Universitas Merdeka Malang, Sekolah Alkitab Elohim di Malang Selatan, dan Universitas Krida Wacana Jakarta.

Sesungguhnya penulis masih awam mengenal lika-liku dunia akademis sebagai lembaga dan organisasi. Karena itu penulis harus banyak belajar, mendengar, menggali, berkenalan dan menjalin relasi dengan seluruh anggota UKM. Dalam hal ini penulis mengucapkan syukur kepada Allah di dalam Kristus yang mengizinkan penulis dapat hadir dan melayani di UKM. Penulis ingin mendedikasikan diri secara total kepada Kristus sampai ajal menjemput.

Penulis sadar akan kekurangan dan keterbatasannya, sehingga perlu senantiasa menyangkal diri dalam perspektif pengosongan diri Kristus. Karena itulah penulis menyadari keberadaan dirinya di hadapan Tuhan sekadar sebuah “ranting” saja. Ranting itu kecil dan lemah. Keberadaan sebuah “ranting” tidak pernah ada tanpa kesediaan melekat dan bersumber pada pokok pohon anggur, yaitu Kristus. Di dalam dan melalui Kristus, kita berharap dapat menjadi “ranting yang berbuah.” Karena itu dukungan doa, nasihat, dan teguran dari para sahabat sangat penulis butuhkan.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono