Latest Article
Tinjauan Reading of the Fifth Commandment  Contextually (Exodus 20:12)

Tinjauan Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12)

Sumber: Ruku, Welfrid Fini. 2008. Reading of the Fifth Commandment  Contextually (Exodus 20:12): An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneutics. Vrije Univesiteit, Amsterdam: Master of Contextual and Cross-Cultural Theology Program

Tesis Welfrid Fini Ruku ini bertujuan untuk menerapkan hermeneutik kontekstual ke dalam teks Alkitab, khususnya Keluaran 20:12 (paralel: Ulangan 5:16) dalam konteks Suku Atoni-Meto di Timor, Nusa Tenggara Timur. Dengan menggunakan pemikiran Heidegger dan Gadamer, penulis menafsirkan hakikat dan fungsi dari Perintah Kelima di Keluaran 20:12 seraya memerhatikan para pembaca terpelajar dan awam.

Pola penafsiran dengan menggunakan hermeneneutik kontekstual tersebut dilengkapi dengan hasil penelitian lapangan. Lalu, penulis menganalisis pengaruh para pemikir hermeneutik biblika untuk menjadi kontribusi perkembangan hermeneutik kontekstual secara umum. Jadi, keseluruhan tesis ini pada prinsipnya membahas penerapan hermeneutik kontekstual dalam memahami Perintah Kelima secara kontekstual Suku Atoni-Meto.

Bab pertama membahas teori hermeneutik dari Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans Georg-Gadamer (1900-2002). Martin Heidegger dalam bukunya tahun 1927, yaitu Sein und Zeit (Being and Time) menjelaskan bahwa dunia dan segala isinya telah dikaruniakan sebelum keberadaan umat manusia, tetapi digunakan manusia di masa kini untuk tujuan kepentingannya di masa depan. Bagi Heidegger, pertanyaan tentang ADA (Being) sangatlah fundamental dan universal. Untuk itu, Heidegger mengajukan istilah Dasein untuk memahami ADA. Tujuan hermeneutika dari Dasein adalah menyingkapkan seluruh faktualitas dan historisitasnya. Untuk itu diperlukanlah suatu metode hermeneutik, yaitu fenomologi. Metode fenomologi akan memampukan seseorang untuk mengeksplorasi secara mendalam apa yang dimaksud dengan “pemahaman” dan “penafsiran”. Penafsiran seseorang dipengaruhi apa yang telah ia miliki sebelumnya. Seorang penafsir tidak dapat menghindar dari pra-paham (pre-understanding) yang telah dimilikinya.

Hans Georg-Gadamer dalam bukunya yang berjudul Wahrheit und Methode (Truth and Method) menjelaskan bahwa pemahaman tidak dapat dicapai melalui suatu penerapan sistem atau metode sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuwan alam. Hermeneutik dipahami oleh Gadamer sebagai suatu usaha untuk menjelaskan kondisi-kondisi saat pemahaman tersebut terjadi. Kondisi-kondisi riil yang dialami mempengaruhi prasangka (pre-judgement) seseorang. Prasangka merupakan bagian dari ide-ide positif dan negatif. Sumber “prasangka” adalah tradisi yang di dalamnya seseorang menerima nilai-nilai, norma-norma, dan pengajaran. Karena itu, pemahaman awal atau prasangka senantiasa membutuhkan koreksi dan revisi. Tujuannya adalah agar teks tersebut dapat menyatakan maksudnya dengan mengoreksi pemahaman awal atau prasangka penafsir. Untuk itu, penafsir perlu menyadari horizon yang dimilikinya sebagai konteks tempat ia berpikir dan menafsirkan suatu teks.

Memahami pemikiran Heidegger dan Gadamer dalam upaya hermeneneutika kontekstual, kini semakin disadari perlunya memperhitungkan kondisi manusia dan bukan hanya teks. Karena itu, teologi tidak dapat dilepaskan dari hermeneutika kontekstual sebagaimana penyataan Allah dalam inkarnasi Kristus. Realitas hidup umat harus dihayati sebagai suatu sakramen, yaitu sebagai sesuatu yang bernilai sakral dan patut diperlakukan secara pantas. Pengalaman umat yang merespons karya Allah sama pentingnya dengan teks Alkitab. Prinsip hermeneutika yang pertama, kontekstualisasi, senantiasa dimulai dari kenyataan dan pengalaman umat. Kedua, komitmen untuk membaca Alkitab bersama-sama sebagai komunitas. Ketiga, membaca Alkitab secara kritis. Keempat, komitmen melakukan transformasi sosial-politik melalui proses pembacaan Alkitab, Pergumulan hidup umat menjadi sumber di samping teks. Dengan pola ini umat diberdayakan untuk membaca Alkitab secara kritis, sehingga ditemukan suatu perjumpaan yang kreatif antara horizon pembaca dan horizon teks. Perjumpaan tersebut menghasilkan suatu horizon dengan pemaknaan yang baru.

Dengan pola pendekatan tersebut, Welfrid Fini Ruku dalam menerapkan hermeneutika kontekstual terlebih dahulu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada umat dengan latar belakang Suku Atoni-Meto, misalnya: bagaimana pemahaman mereka tentang Alkitab, Sepuluh Perintah, manakah yang paling penting dari Sepuluh Perintah, bagaimanakah menerapkan perintah kelima, bagaimana cara mereka menghormati orangtua yang sudah wafat, apa akibatnya jika mereka tidak menghormati orangtua dan orang-orang yang lebih tua. Tujuannya adalah agar penulis menangkap pemahaman (verstehen) seseorang melalui ekspresinya. Ekspresi tersebut bukan hanya menunjukkan perasaan seseorang, melainkan juga gagasan-gagasan, tindakan, dan pengalaman real. Upaya tersebut akan menjembatani suatu dialog antara teks Alkitab dengan konteks pada masa kini (budaya dan kepercayaan tradisional), juga dialog antara teologi dan studi-studi sosial lainnya. Studi sosial tersebut akan membantu gereja untuk mengetahui korelasi antara teologi dengan masalah kemiskinan, sebab dengan penghormatan kepara orangtua dan nenek-moyang yang telah meninggal dalam budaya demikian membutuhkan pendanaan yang sangat besar.

Menurut pendapat saya, pertemuan horizon pembaca dan horizon teks akan menjadi seimbang dan kreatif apabila ditempatkan dalam lingkaran hermeneutis. Melalui lingkaran hermeneutis, umat mengalami proses memahami baik sitz im leben (situasi hidup) Alkitab maupun konteks realnya. Proses memahami yang utuh akan terjadi karena pra-paham umat dikoreksi oleh teks, dan teks memperbarui konteks umat, lantas konteks mengoreksi pra-paham umat tentang teks, demikian selanjutnya. Tentunya lingkaran hermeneutik tersebut tidak terluput dari pra-paham berdasarkan tradisi iman Kristen. Tradisi-tradisi iman Kristen tersebut pada gilirannya diperbarui oleh teks dan konteks umat. Semakin tepat pra-paham yang dimiliki umat dari teks dan konteks, semakin terbuka dan tajam umat mengkritisi realitas. Dengan demikian dalam lingkaran hermeneutis, ada tiga unsur yang saling berinteraksi dan mengoreksi, yaitu: teks Alkitab, tradisi iman, dan pengalaman (konteks) real umat. Konteks real umat yang memahami Sepuluh Perintah, khususnya perintah kelima akan diperbarui oleh maksud teks Alkitab dan tradisi iman Kristen. Kemudian, pemahaman yang telah diperbarui oleh teks akan menciptakan suatu pemaknaan yang baru dari suatu konteks.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, M.Th.