Latest Article
Ulasan Kritis Penafsiran Minggu Adven Pertama

Ulasan Kritis Penafsiran Minggu Adven Pertama

Buku               : Texts for Preaching (A Lectionary Commentary Based on the NRSV – Year A)
Penulis           : Walter Brueggemann, Charles B. Cousar, Beverly R. Gaventa, James D. Newsome
Penerbit         : Louisville – Kentucky, Westminster John Knox Press
Tahun             : 1995

 

Minggu Adven Pertama

Buku “Texts for Preaching” menyatakan Adven sebagai masa yang baru dari tahun gereja. Dalam kalender tahun gerejawi, Adven merupakan tahun baru (new year), waktu yang baru (new time), dan kehidupan yang baru (new life). Adven mengundang umat untuk bangun dari berbagai pergumulan dan harapan-harapan semu, sehingga dapat disegarkan dalam anugerah yang baru dari Allah. Umat perjanjian baru merupakan kelanjutan dari umat perjanjian lama. Umat Kristen dan Israel memiliki pengharapan yag sama, yaitu dunia yang sejahtera karena dipulihkan, diberkati, dan dipedulikan Allah. Di dalam diri Kristus, setiap umat ditawarkan suatu keberadaan hidup yang baru. Teks-teks Alkitab di masa Adven menjadi janji dan pengharapan, sebab janji Allah bergerak kepada pembaruan hidup.

Yesaya 2:1-5 (Tafsir Walter Brueggemann)

            Yerusalem, kota kebanggaan nasional, sekaligus menjadi kota yang melambangkan perasaan puas diri dan tempat agama yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam konteks inilah nabi Yesaya menyampaikan teguran kepada penduduk kota Yerusalem. Sikap rohani penduduk Yerusalem tersebut menjadi suatu penghalang bagi karya keselamatan Allah. Di ayat 1 menyatakan: Firman yang dinyatakan kepada Yesaya bin Amos tentang Yehuda dan Yerusalem. Kata “Firman” memiliki hubungan dengan pengalaman nabi Yesaya yang “melihat”. Nabi Yesaya memiliki visi yang melihat melalui mata Allah, sehingga pandangannya melampaui suatu kenyataan yang belum dilihat oleh umat. Melalui janji Allah, iman akan memampukan umat untuk melihat apa yang belum terjadi. Karena itu pada ayat 2, menyatakan: “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana”. Janji Allah tersebut mengandung 2 hal, yaitu janji tersebut pasti digenapi sesuai dengan maksud Allah, dan yang kedua janji tersebut belum diketahui secara persis waktunya.

Kota Yerusalem sendiri pada waktu itu berada dalam situasi kritis secara politis. Sebab negara-negara seperti Asyria dan Mesir bersiap-siap untuk mengepungnya. Namun di tengah-tengah situasi yang gawat itu, nabi Yesaya menggugah iman umat Israel agar mereka bersandar kepada janji dan pertolongan Allah. Fokus kepada janji Allah bukan hanya menegur umat dari suatu antisipasi yang mengandalkan kemampuan diri sendiri, tetapi juga mengkritisi janji-janji palsu yang ditawarkan oleh nabi-nabi palsu. Perlu diingat bahwa janji Allah bukan dimaksudkan untuk memberi jaminan kemenangan secara politis kepada kota Yerusalem. Janji Allah yang utama adalah bahwa Dia akan hadir dalam “rumah-Nya”. Allah akan memanggil setiap umat datang ke rumah-Nya untuk membaca dan mendengarkan Taurat. Dengan hukum-hukumNya, Allah akan mengadili perselisihan bangsa-bangsa. Allah menjadi wasit atau penengah yang adil. Saat itulah seluruh perbuatan manusia yang sewenang-wenang, kejam dan brutal akan berakhir. Sebab seluruh persenjataan perang akan dilucuti. Kehadiran Allah akan mendatangkan perdamaian dan keselamatan. Kehidupan ekonomi umat dipulihkan, dan bumi juga diperbarui.

Tanggapan kritis

Nubuat nabi Yesaya berbicara tiga kali tentang gunung tempat rumah Tuhan. Memang kota Yerusalem terletak di atas gunung Sion. Tetapi dalam ulasan tafsirnya Walter Brueggemann lebih menekankan kepada kehidupan kota Yerusalem. Padahal konsep gunung dalam agama-agama di sekitar Israel memiliki bagian yang penting. Bagi agama-agama di sekitar Israel, gunung merupakan tempat pertemuan antara langit dan bumi. Karena itu di atas gunung didirikan altar atau mezbah bagi para dewa (Webb, Barry 1997, 45). Saat nabi Yesaya menyebut “gunung tempat rumah Tuhan” maka ia mengkonfrontasikan dengan gunung-gunung yang dikeramatkan oleh agama-agama sekitar umat Israel. Sebab “gunung tempat rumah Tuhan” tersebut akan menjulang tinggi dan berdiri tegak di hulu gunung-gunung tempat pemujaan kepada para dewa. Konsep teologis ini secara simbolis menyatakan bahwa hanya Yahweh, satu-satunya Allah yang hidup. Konsekuensinya kelak pada hari-hari terakhir, seluruh suku dan bangsa akan datang ke gunung rumah Tuhan, yaitu Yerusalem untuk menerima pengajaran tentang kebenaran. Tentunya gunung rumah Tuhan secara harafiah tidak dapat memberi pengajaran tentang kebenaran Allah. Gunung rumah Tuhan menunjuk kepada firman Yahweh. Konteks Yesaya 2 berhubungan erat dengan Yesaya 1:10, yang mana dinyatakan: “Dengarlah firman TUHAN….” Di sini peran “firman Tuhan” (dabar Yahweh) bertindak dan memanifestasikan diri-Nya. Karena isi keseluruhan dari Yesaya 1:10 justru mengkritisi pelaksanaan kurban menurut hukum Taurat. Dalan konteks ini John Goldingay kurang tepat menghubungkan makna “firman Tuhan” dengan Torah (Goldingay, John 2001, 43). Dengan demikian gunung sebagai tempat pertemuan antara langit dan bumi tersebut menunjuk kepada Kristus. Karena yang dapat mengajar tentang kebenaran Allah haruslah sosok pribadi ilahi sekaligus insani.

Mazmur 122 (Tafsir James Newsome)

Mazmur 122 didoakan dan dinyanyikan oleh seseorang yang hendak mengimplementasikan makna Yes. 2:3 yang berkata: “dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: “Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem”. Umat pergi berziarah dengan naik ke rumah Allah. Para pria dan wanita dalam jumlah yang tak terbilang dari seluruh suku Israel menyanyikan pujian dan merayakan ibadah. Sukacita memenuhi hati umat yang berduyun-duyun datang ke rumah Allah. Bagi umat Israel kuno, makna “datang ke rumah Tuhan” menyatakan suatu perjumpaan yang sangat intim antara manusia dengan Allah. Di Ulangan 12:5, rumah Allah dihayati sebagai: “Tetapi tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, dari segala sukumu sebagai kediaman-Nya untuk menegakkan nama-Nya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah harus kamu pergi”.

Bagian kedua dari Mazmur 122 adalah ayat 2-5 yang menguraikan tema-tema utama Yerusalem sebagai bagian yang sentral dalam kehidupan umat Israel. Yerusalem bukan hanya sebagai kota yang kuat secara fisik, tetapi juga tempat di mana suku-suku Israel dihimpun untuk bersyukur sesuai dengan ketentuan Allah. Dalam hal ini Yerusalem berfungsi sebagai tempat ibadah kepada Allah, tetapi juga dihayati sebagai tempat Allah menegakkan takhta keadilan-Nya. Itu sebabnya di ayat 5, pemazmur berkata: “Sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga raja Daud”. Dalam keseluruhan berita Yesaya 2:1-5, keadilan ditempatkan berpasangan dengan damai-sejahtera. Sebab dalam pemerintahan Allah yang adil, semua persenjataan perang diubah menjadi alat-alat produksi yang menghasilkan kesejahteraan. Yesaya 2:4 menyatakan: “mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang”. Harapan ini sesuai dengan makna Adven, yaitu menantikan dengan penuh harapan realitas damai-sejahtera dari Allah. Namun makna damai-sejahtera dalam pengertian Alkitab bukanlah suatu abstraksi teologis belaka. Karena damai-sejahtera akan terwujud apabila umat memberlakukan keadilan, yaitu komitmen untuk mendatangkan kesejahteraan dalam persekutuan. Keadilan yang dimaksud adalah hilangnya permusuhan, dan terwujudnya kemakmuran secara material. Untuk itu Allah memanggil umat untuk secara serius saling peduli dan bertanggungjawab terhadap sesama, yaitu memberi makan kepada yang lapar, memberi pakaian kepada yang telanjang, dan saling memberi pertolongan serta memberdayakan.

Tanggapan kritis

James Newsome dengan jitu menafsirkan kitab Mazmur 122 tentang Yerusalem sebagai satu-satunya tempat ibadah sesuai dengan ketentuan kitab Ulangan dan juga sebagai tempat Allah menegakkan takhta keadilan-Nya. Umat berarak-arak dalam suatu ziarah ke Yerusalem untuk beribadah, karena di sanalah rumah Allah Yakub. Tetapi James Newsome tidak menjelaskan mengapa Yerusalem menjadi tempat di mana Allah menegakkan takhta keadilan-Nya. Di 1 Raja-raja 7:7 menyatakan: “Dibuatnya juga Balai Singgasana, tempat ia memutuskan hukum, balai pengadilan, yang ditutupi dengan kayu aras dari lantai sampai ke balok langit-langit”. Yang membuat balai singgasana untuk memutuskan hukum tersebut adalah Salomo. Informasi ini menyatakan bahwa raja-raja keturunan Daud memiliki wewenang untuk mengadili umat khususnya menyangkut “hukum Tuhan”. Sedang perkara-perkara biasa dalam kehidupan sehari-hari ditangani oleh tua-tua Israel di pintu gerbang kota dan desa (Marie Claire Barth dan Pareira 1997, 381). Dari Yerusalem akan keluar pengajaran tentang kebenaran, dan juga keluar ketetapan Allah yang adil. Ini hanya mungkin terjadi melalui Mesias yang kelak akan lahir dari keturunan Daud. Ia akan menjadi raja yang adil dan menghadirkan damai-sejahtera. Sebab keadilan yang Ia tegakkan bukan menggunakan alat-alat perang dan kekerasan, tetapi kebenaran dan damai-sejahtera Allah.

Roma 13:11-14 (Tafsir Beverly Gaventa)

Dalam Roma 13:11-14 terdapat kombinasi pengharapan yang eskatologis dengan sikap etis. Mulai Roma 13:1, rasul Paulus memberikan serangkaian nasihat yang bersifat etis untuk memperlakukan sesama dengan sikap saling menghormati (mutual respect). Roma 13:11-14 merupakan bagian transisi penting antara rangkaian nasihat etis dari Roma 14:1 – 15:13. Kata pertama dalam teks Rom. 13:11 berkenaan dengan waktu, yaitu waktu sekarang untuk bangun dari tidur karena “sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya”. Ungkapan rasul Paulus tersebut menempatkan makna keselamatan secara dinamis. Makna keselamatan dalam surat Roma ini bukan sesuatu yang dimiliki secara mekanis. Sebaliknya rasul Paulus menjelaskan keselamatan yang dipersonanifikasi, yaitu seperti sesuatu yang dapat datang lebih dekat. Keselamatan datang bertambah dekat bukan diukur menurut hitungan jam pasir atau jam digital, tetapi sesuatu yang tak terduga di mana tak seorangpun mengetahui. Karena itu umat harus segera bangun dari “tidurnya” dengan mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang. Umat disadarkan bahwa hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Jadi umat harus hidup seperti pada siang hari yaitu dengan sopan, bukan dalam pesta-pora, kemabukan, percabulan, hawa-nafsu, perselisihan, dan iri-hati.

Rasul Paulus menempatkan Roma 13:11-14 dalam 2 segi, yaitu dimensi eskatologis dan sikap etis (yang tidak eksplisit) untuk menunjukkan hubungan makna dari keduanya. Pernyatan eskatologis digunakan rasul Paulus tampaknya untuk mengingatkan umat agar hidup secara etis. Sebab siapapun yang tidak hidup dalam terang akan dihakimi oleh murka Allah. Namun pada sisi lain perlu diingat bahwa pemahaman yang eskatologis tersebut bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti umat, sehingga mereka hidup dalam terang. Realitas eskatologis juga bukan suatu iming-iming hadiah bagi mereka yang hidup dalam terang. Kemendesakan eskatologi bukan sekedar kemendesakan waktu, tetapi juga kemendesakan kehidupan sebagai umat percaya (the urgency of the Christian life). Realitas eskatologis perlu disikapi umat sebagai persembahan hidup yang total kepada Allah.

Tanggapan kritis

Makna ucapan rasul Paulus yaitu “Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya” merupakan landasan bagi umat percaya untuk berlaku etis sebagaimana dinyatakan di Roma 13:10. Nasihat etis rasul Paulus di Roma 13:10 adalah: “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat”. Namun perlu dipahami bahwa kata “percaya” (pisteuein) dalam bentuk aorist untuk menunjukkan suatu tindakan komitmen yang telah dimulai sejak umat percaya dan mengalami keselamatan (Dunn, James D.G., Word Biblical Commentary, Romas 9-16). Makna tindakan percaya dalam bentuk aorist bukan dimaksudkan untuk mengabaikan sikap iman umat pada masa kini. Tetapi tindakan iman pada masa kini yang bergerak kedepan berakar pada anugerah keselamatan Allah yang telah dinyatakan pada masa lampau. Dalam konteks ini Beverly Gaventa kurang cermat. Dia lebih memfokuskan makna iman dalam hubungannya dengan keselamatan pada hari ini (present tense), tanpa mengaitkan dengan keselamatan yang telah dikerjakan Allah di dalam Kristus di masa lampau. Padahal akar iman umat untuk mampu menyambut keselamatan yang eskatologis berpijak pada pengalaman anugerah keselamatan Allah yang telah terjadi.

Matius 24:36-44 (Tafsir Charles Cousar)

Bentuk Injil Matius 24:36-44 menggunakan pemahaman apokaliptis. Untuk itu kita perlu mendengar dengan seksama dan membiarkan simbol-simbol yang digunakan untuk membangkitkan makna kemendesakan dan pengharapan dari peristiwa kedatangan Kristus pada akhir zaman. Inti berita dari Matius 24:36-44 adalah bahwa kedatangan Kristus pada akhir zaman tidak diketahui oleh siapapun. Bahkan yang sangat menarik adalah Yesus sendiri selaku Anak Allah dan para malaikat tidak mengetahui secara persis peristiwa itu akan terjadi. Kesaksian bahwa Yesus selaku Mesias dan Anak Allah dinyatakan tidak mengetahui adalah bertujuan untuk menutup berbagai kemungkinan yang diprediksi oleh manusia dalam menentukan kedatangan Kristus di akhir zaman. Teks ayat tersebut bukan untuk menekankan keterbatasan atau ketidaktahuan Yesus. Sebab upaya-upaya spekulatif tentang akhir zaman hanya akan melahirkan sikap yang sombong dan dugaan-dugaan palsu. Keadaan akhir zaman yang tidak diketahui, justru positif. Manusia tidak perlu membuat spekulasi-spekulasi atau tebakan-tebakan yang sebenarnya mustahil. Sebaliknya manusia dapat melakukan segala pekerjaan dan makna hidupnya tanpa dihantui oleh perasaan takut. Yang penting adalah hidup dengan sikap yang senantiasa waspada.

Untuk menjelaskan perlunya sikap waspada itu, Matius 24:36-44 menggunakan ilustrasi orang-orang yang hidup pada zaman Nuh. Mereka makan, minum, kawin, memperanakkan anak-anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan. Sementara itu Nuh sibuk membuat bahtera di atas daratan. Orang-orang di sekitar Nuh sepertinya tidak melakukan sesuatu yang salah. Mereka beranggapan bahwa kehidupan berjalan seperti biasanya (business-as-usual) sampai selama-lamanya. Itu sebabnya mereka melakukan aktivitas rutin yang berulang-ulang. Akibatnya mereka tidak hidup dalam kewaspadaan. Mereka tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengintai, dan maut semakin dekat. Karena itu ketika air bah datang, hanya Nuh dan keluarga yang selamat. Di Matius 24:42, Tuhan Yesus berkata: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang”. Sikap tidak peduli dan tidak berjaga-jaga akan masa depan akan mendatangkan krisis dan situasi yang fatal. Masa Adven merupakan masa yang tepat bagi umat untuk kembali menyadari makna kewaspadaan. Mereka perlu belajar makna menanti dan berjaga-jaga.

Tanggapan Kritis

Tafsiran Charles Cousar dalam Matius 24:36-44 mampu menjawab pertanyaan tentang persoalan dari kata-kata Yesus: “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat. 24:36). Ayat ini sering dipakai untuk menunjuk bahwa Yesus tidak setara atau meng-esa dengan Allah. Inti ide dari ketidaktahuan Yesus justru untuk mencegah para murid, dan umat Kristen untuk masuk dalam demam “apokaluptik”. Orang-orang yang demam “apokaluptik” akan senantiasa membuat perhitungan waktu, dan ramalan. Karena itu perspektif hidup mereka terarah kepada apa yang akan terjadi, tetapi mengabaikan apa yang sedang terjadi di masa kini. Selain itu mereka tidak mampu berjaga-jaga dengan sikap peduli kepada sesama yang menderita. Mereka akan cenderung memikirkan kepentingan dan keselamatannya sendiri. Pernyataan Tuhan Yesus dalam konteks ini diperlukan untuk menentang kecenderungan umat yang mengalami demam apokaluptik. Sebab isi konteks dari Matius 24:36-44 adalah Matius 24:1-35 berlatar-belakang pemikiran apokaluptik. Tuhan Yesus mengingatkan bahwa umat manusia akan mengalami situasi ketidakterdugaan kedatangan-Nya pada akhir zaman.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Catatan:

Ulasan tafsir leksionaris RCL tentang hari raya gerejawi dapat dilihat dalam tulisan: Yohanes Bambang Mulyono, Sejarah dan Penafsiran Leksionari Versi RCL, diterbitkan oleh Grafika KreasIndo, Jakarta 2014

Leave a Reply