Pertanyaan:
Apakah dalam iman Kristen, Allah bertindak sebagai sutradara yang mengatur seluruh peristiwa yang terjadi dalam kehidupan umat manusia? Bagaimana dengan peristiwa kejahatan, perkosaan, peperangan, dan pembantaian umat manusia?
Jawab:
Apakah Allah itu Sang Sutradara dalam kehidupan ini?
Penggunaan kata “sutradara” umumnya dipakai untuk menunjuk peran seseorang yang mengatur seluruh alur cerita dan para tokoh yang akan memerankan sesuai dengan naskah film/drama. Karena itu seorang sutradara memiliki kekuasaan untuk menentukan bagaimana karakter para tokoh, dan jalan kehidupan dari para tokoh termasuk pula cara/waktu kematiannya. Seorang sutradara mampu menentukan apakah kisah film/drama berakhir dengan sedih (sad-ending), ataukah berakhir dengan bahagia (happy-ending). Para aktor harus mengikuti kemauan sutradara dan dia sama sekali tidak bisa memiliki kehendak bebas menentukan arah atau alur kisah yang berbeda dari naskah film/drama yang telah diprogramkan oleh sutradara. Tepatnya seorang sutradara adalah sosok programer yang memiliki kedaulatan penuh atas seluruh alur narasi, karakter para tokoh, dan akhir kehidupan dari para tokoh yang memerankan dirinya dalam film/drama yang sedang disutradarainya.
Lalu apakah Allah atau Tuhan Yesus sama dengan pengertian/arti dari sutradara film/drama tersebut?
Untuk itu saya mengajukan empat kemungkinan, yaitu:
- Allah yang menentukan takdir sehingga segala sesuatu terjadi karena penentuan-Nya yang mutlak. Manusia seperti robot atau wayang yang dimainkan oleh sutradara/dalang.
- Allah sebagai pencipta, namun Dia tidak lagi memelihara umat-Nya.
- Allah terus berkarya menyelamatkan dan manusia memiliki kehendak bebas untuk merespons (menerima atau menolak, hidup benar atau jahat).
- Allah berpihak kepada umat beriman yang menderita
Kemungkinan yang pertama, yaitu:
Bila Allah atau Tuhan Yesus adalah sutradara yang semacam sutradara film/drama, apakah berarti kehidupan ini benar-benar suatu panggung sandiwara belaka? Apakah kisah dalam kehidupan ini memiliki pola yang sama dengan pekerjaan seorang sutradara dan setiap kita adalah para aktornya? Apakah manusia adalah para insan yang tidak memiliki kehendak bebas dan kemampuan menentukan arah hidupnya sebab semuanya telah terprogram?
Jikalau manusia adalah para tokoh yang sudah terprogram (ditakdirkan) oleh Allah, maka setiap orang sama sekali tergantung (dependent) kepada kehendak Allah, dan manusia sama sekali tidak memiliki kehendak bebas (free-will). Sebab setiap orang dalam perilaku, sifat, dan jalan hidupnya sudah ditentukan terlebih dahulu sehingga dia kehilangan tanggungjawab pribadi. Filosofi nasib atau takdir senantiasa meniadakan tanggungjawab pribadi dan komunal dalam kehidupan ini. Semua masalah yang terjadi dikembalikan kepada Allah yang telah menakdirkan setiap peristiwa, baik peristiwa yang membawa keselamatan maupun peristiwa yang membawa bencana.
Peristiwa yang membawa keselamatan adalah peristiwa yang menunjuk pada pengalaman orang-orang yang selamat dari kematian, luput dari bahaya maut, terhindar dari segala bentuk kerugian, dan dari segala hal yang tidak menyenangkan. Lalu peristiwa yang membawa bencana adalah peristiwa yang menunjuk berbagai macam kejahatan, pembunuhan, kecelakaan, perang dalam berbagai bentuk, penyakit, bencana alam, dan berbagai peristiwa yang mematikan.
Umumnya kita dengan mudah untuk menerima peristiwa yang membawa kepada keselamatan, dan untuk itu kita merespons dengan ucapan syukur akan kebaikan Tuhan. Namun manusia akan merespons dengan perasaan kecewa dan marah saat mengalami peristiwa yang membawa bencana. Dari berbagai bencana yang dialami tersebut, kita mempertanyakan apakah Tuhan itu mahakuasa? Kalau Allah itu mahakuasa, mengapa Dia tidak menggunakan kuasa-Nya yang dahsyat untuk menolong sehingga seseorang dapat terhindar dari suatu kematian? Misalnya mengapa Allah tidak menggunakan kuasa-Nya untuk menyelamatkan para penumpang pesawat Air Asia QZ 8501? Kita juga mempertanyakan apakah Allah itu mahakasih? Kalau Allah itu mahakasih, mengapa Dia tidak menolong dan menyelamatkan seseorang atau umat-Nya dari bahaya tersebut. Padahal Allah tidak pernah mereka-reka hal yang jahat, tetapi merencanakan keselamatan (Yer. 29:11-12).
Kemungkinan yang kedua adalah setiap manusia memiliki kemandirian untuk menentukan sikap dan nasibnya. Manusia yang mengatur jalan hidupnya dan bertanggungjawab atas keputusan etis yang diambilnya. Dalam hal ini manusia tidak lagi membutuhkan Allah sebagai pemelihara dan penyelamat. Allah hanya Sang Pencipta, dan setelah Dia menciptakan, Dia tidak bertanggungjawab atas masalah dan penderitaan yang terjadi. Tindakan Allah yang mencipta tapi tidak memelihara dianalogikan seperti pembuat arloji. Setelah arloji selesai dibuat, maka pembuat arloji tidak mengurus gerak jam dalam arloji yang telah dibuatnya. Padahal Allah adalah juga Pencipta, dan Pemelihara atas kehidupan ini (Mat. 6:30, Yoh. 5:17).
Kemungkinan ketiga adalah Allah merencanakan dan memelihara setiap ciptaan-Nya dengan cinta-kasih yang berlimpah, namun manusia memiliki kehendak bebas (free-will) untuk mengambil keputusan. Misalnya setiap orang menentukan jenis makanan yang akan dimakannya, bertanggungjawab atas kesehatannya masing-masing, percaya atau menolak anugerah keselamatan di dalam Kristus, hidup benar atau hidup dalam kejahatan, mengasihi atau membenci, hati-hati agar tidak celaka atau sikap yang teledor, dan sebagainya. Untuk itu setiap orang dipanggil untuk mengatur, merencanakan, dan menjalankan pola kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Sebab setiap orang telah diperlengkapi dengan akal-budi untuk berpikir dan hati-nurani untuk membuat pertimbangan etis-moral(Yer. 4:14, Yeh. 18:31).
Kemungkinan keempat adalah di samping kemungkinan yang ketiga tersebut di atas, di tengah-tengah segala kelemahan manusiawi kita sebagai orang yang berdosa, Allah berkenan berpartisipasi dalam penderitaan dan kesusahan hidup kita. Khususnya kepada setiap orang yang telah memberi respons yang benar (hidup sehat, hati-hati dalam bertindak, memilih hidup kudus, tidak membenci, dan percaya kepada Kristus) namun mengalami celaka disebabkan faktor bencana alam atau kejahatan manusia. Karena itu kepada orang-orang yang beriman tersebut namun menderita, maka Allah berpihak kepada mereka. Penderitaan dan kematian mereka berada dalam rangkulan anugerah Allah, misalnya wafat sebagai seorang martir, mati dalam kecelakaan karena keteledoran orang lain (Why. 2:10, 3:5).
Demikian jawaban dari saya. Tuhan memberkati.
Salam sejahtera,
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono