Perlunya Spiritualitas Asketis
Judul atau tema “Spiritualitas kerja ….” sebenarnya relatif masih baru digunakan dalam dunia bisnis. Karena sebelumnya makna spiritualitas atau kerohanian iman lebih dikaitkan dengan masalah kehidupan ibadah atau hal-hal yang dianggap rohaniah. Menurut penelitian Max Weber (1864 – 1920) yang dipublikasikan dalam bukunya yang berjudul Die protestantische Ethik und der ‘Geist’ des Kapitalismus (Etika Protestan dan Roh Kapitalisme) menyatakan bahwa Protestanisme yang diusung oleh Martin Luther dan Johanes Calvin sesungguhnya telah berhasil mengubah wajah Eropa dengan etika Kristen.
Kehidupan gereja menurut penelitian Max Weber sebelum peristiwa Reformasi abad XVI sebenarnya telah mengembangkan sikap “asketisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism), yaitu kehidupan yang mengarah “ke sorga.” Orang-orang yang bekerja secara sekuler dianggap belum memiliki tingkat “rohani” yang mulia. Tentu saja para anggota biara sejak dahulu bekerja dengan rajin, tetapi doa dan hal-hal yang berbau rohani dianggap lebih tinggi dan mulia dari pada pekerjaan “sekuler.” Dengan sikap asketisme tersebut gereja hanya berhasil membangun sikap positif terhadap makna kerja dan materi yang sangat terbatas di lingkungan biara saja, tetapi tidak berhasil menanamkan pengaruh kepada masyarakat luas.
Menurut Max Weber, keadaan berubah drastis setelah Reformasi tahun 1517. Sebab setelah peristiwa Reformasi abad XVI Protestanisme kemudian memperkenalkan pola asketisme yang lain, yaitu “asketisme yang terarah ke dalam dunia” (inner worldly-asceticism). Sikap dasarnya tetap sama, yaitu asketisme dalam pengertian: tekun, disiplin diri, menolak godaan kenikmatan. Tetapi orientasi asketisme berubah, yaitu: dari “asketisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism) menjadi “asketisme yang terarah ke dalam dunia” (inner worldly-asceticism). Sikap bertarak dari Protestanisme tidak lagi diarahkan kepada kehidupan “sorga” di atas; tetapi terarah kepada kehidupan masa kini di dunia. Karena itu orang disebut beriman kepada Allah apabila kehidupannya di masa kini senantiasa ditandai oleh tanggungjawab yang optimal terhadap seluruh pekerjaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Etos kerja inilah yang menurut Max Weber kemudian mampu mengubah wajah dan peradaban Eropa, bahkan kemudian mengubah seluruh dunia. Makna kerja bukan lagi dianggap sebagai hal yang duniawi, tetapi dihayati sebagai hal yang kudus. Karena nilai pekerjaan adalah kudus, maka setiap orang beriman harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan benar secara moral. Kerja menjadi manifestasi dari ibadah. Hasilnya adalah penanganan pekerjaan yang makin profesional dan didasari oleh moralitas yang tinggi.
Sekarang di era modern telah terjadi suatu transformasi yang signifikan di mana berbagai organisasi perusahaan atau pebisnis menunjukkan minat yang sangat besar terhadap dimensi spiritualitas. Para pimpinan seperti direktur, manager dan general-manager atau Chief Executive Officer (Pejabat Eksekutif Tertinggi) secara serius belajar nilai-nilai spiritualitas agar dapat diintegrasikan dengan managemen. Mereka yang beragama Kristen makin menekuni Alkitab dan buku-buku rohani agar wawasan iman atau spiritualitas mereka makin diperdalam. Selain itu mereka secara serius ingin menginternalisasikan nilai-nilai iman Kristen untuk diterapkan dalam kehidupan bisnis dan sikap kerja. Dalam konteks ini spiritualitas iman dihayati sebagai bagian yang esensial dan fundamental dalam melaksanakan kerja. Dengan demikian makin terlihat bahwa wilayah spiritualitas pada masa kini tidak hanya terbatas dalam kehidupan “rohani” dalam suatu ritual ibadah, tetapi juga secara konkret dan luas dinyatakan dalam kehidupan dunia kerja.
Walau juga perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks tertentu, makna atau pengertian “spiritualitas” pada masa kini tidak senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai teologis suatu agama. Bahkan kadang-kadang terdapat kecenderungan melepaskan makna “spiritualitas” dari suatu pengajaran agama/iman tertentu. Makna “spiritualitas” kemudian diabstrasikan sebagai pola hidup yang berkaitan dengan: “integritas, menegakkan kebenaran dalam diri sendiri, dan memberitahukan kebenaran kepada orang lain.” Spiritualitas di tempat kerja hanya dipahami sebagai usaha individu untuk menghidupi nilai-nilainya secara penuh di tempat kerja. Ron Cacioppe dalam The Leadership & Organization Development Journal menegaskan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang formal, terstruktur, dan terorganisasi serta tidak terkait dengan suatu keyakinan agama. Kemudian Cash, Gray, & Rood memperjelas dengan menyatakan bahwa pengertian “spiritualitas” lebih melihat ke dalam batin menuju kesadaran akan nilai-nilai universal, sedangkan agama formal dianggap hanya cenderung melihat keluar menggunakan ritus (ibadah). Jelas dalam konteks pemikiran ini, makna spiritualitas telah dilepaskan dari relasi dengan diri Allah sebagai sumber keselamatan dan berkat.
Asketisme dan Kegembiraan dalam Spiritualitas Kerja
Sebagaimana dipahami bahwa prinsip dasar spiritualitas iman Kristen sejak awal dinyatakan melalui sikap asketisme. Secara umum sikap asketisme dalam iman Kristen menunjuk kepada suatu keyakinan dan pola hidup yang harus diejawantahkan dengan cara: penyangkalan diri, pengabdian, dan pengorbanan sebagai tanda kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia. Dengan penekanan kepada sikap penyangkalan diri, maka makna kerja sering hanya dihayati sebagai sesuatu yang serba serius, tekun, ulet, jujur dan rajin. Tetapi bukankah pola sikap dan kerja yang demikian tidak menampakkan suatu kegembiraan hidup? Padahal kini makin disadari bahwa suatu spiritualitas kerja yang makin mendalam dan bermanfaat justru ditandai oleh kegembiraan hati. Kita tidak dapat melaksanakan tanggungjawab pekerjaan dengan optimal. ketika hati kita dipenuhi oleh kebosanan dan tertekan. Sangat menarik, justru dunia sekuler pada masa kini mempraktekkan spiritualitas kerja sebagaimana yang diungkapkan oleh Ashmos & Duchon dalam Journal of Management Inquiry menyatakan: “Suatu tempat kerja, di mana orang mengalami kegembiraan dan makna dalam pekerjaannya, merupakan tempat di mana spiritualitas lebih menonjol. Tempat kerja di mana orang melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas yang dapat dipercaya, di mana mereka mengalami perkembangan pribadi sebagai bagian dari komunitas, di mana mereka merasa dihargai dan didukung, merupakan sebuah tempat kerja di mana spiritualitas berkembang.” Para pelaku kerja yang menerapkan spiritualitas “tanpa agama” tersebut ternyata telah mampu menghayati kegembiraan sebagai ekspresi terdalam dari spiritualitas, sehingga mereka dapat menemukan makna dan manfaat dalam pekerjaannya. di tengah-tengah komunitas kerja. Pemaknaan tersebut juga mendorong mereka untuk melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas yang dapat dipercaya sehingga mereka mampu mengalami proses perkembangan pribadi yang positif dan berharga.
Filosofi spiritualitas yang ditawarkan oleh dunia sekuler tersebut pada satu segi mengandung kebenaran yaitu perasaan rohani yang makin sadar untuk terkoneksi (terhubung) dengan sesama dan komunitasnya. Sebab spiritualitas yang sehat harus diwujudkan dalam relasi dengan diri sendiri, sesama dan komunitas kerja. Aspek hubungan horisontal dengan orang lain dan diri sendiri sungguh-sungguh mendapat tekanan yang sangat kuat. Tetapi di manakah aspek hubungan secara vertikal dengan Allah? Spiritualitas kerja dalam dunia sekuler secara sadar atau tidak sadar telah memutuskan hubungan yang sangat mendasar yaitu relasi personal dengan Allah sang Pencipta. Kalau mereka merasa tetap berkaitan dengan nama “Allah” maka “Allah” yang dimaksud adalah “ilahi yang anonim.” Itu sebabnya para peminat spiritualitas yang melepaskan diri dari hubungan dengan Allah, menyatakan bahwa pemberlakuan spiritualitas di tempat kerja tidak ada kena-mengena dengan agama atau sistem kepercayaan tertentu.
Makna spiritualitas dipahami sekedar suatu ekspresi terhadap sesuatu yang ada di dalam diri manusia, karena itu harus kita respons dengan emosi, perasaan, akal-budi, dan kekuatan yang datang dari dalam batin manusia. Saat manusia dapat masuk ke dalam batinnya yang terdalam, maka manusia dapat mengetahui hal-hal yang “suci” yang disebut oleh Matthew Fox sebagai heart-knowlegde (hati yang berpengetahuan). Jelas pemahaman spiritualitas tersebut sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Hinduisme, yang menghayati bahwa di dalam diri manusia yang terdalam hadirlah sang Brahman. Hinduisme mengajarkan: “Brahman itu Atman” (Aham Brahman Ashmi). Karena itu “asketisme” yang dihayati dalam spiritualitas demikian sebenarnya hanya berupaya menggali “hal-hal suci” yang berada di dalam diri manusia. Dalam ajaran iman Kristen anggapan dan keyakinan tersebut tidaklah mungkin.
Menurut iman Kristen keberadaan manusia secara total telah jatuh di bawah kuasa dosa. Itu sebabnya kita hanya mampu mengetahui dan ingin melakukan yang baik, tetapi praktiknya kita senantiasa melakukan apa yang jahat. Rasul Paulus berkata: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku”(Rm. 7:19-20). Dengan kata lain, asketisme yang dikembangkan oleh iman Kristen justru untuk menyadarkan secara eksistensial situasi keberdosaan manusia agar kita makin membuka diri terhadap anugerah keselamatan Allah sehingga kita dimampukan untuk melakukan apa yang benar di hadapanNya. Jadi asketisme iman Kristen pada hakikatnya hanya berlandaskan kepada rahmat atau anugerah keselamatan Allah, dan bukan upaya rohani dari manusia. Prinsip iman dan spiritualitas inilah yang memungkinkan kita dapat menghayati pekerjaan yang dilandasi oleh asketisme dengan kegembiraan roh. Karena itu pada satu pihak kita terdorong untuk bekerja dengan sikap tekun, ulet, jujur, disiplin diri dan menolak godaan kenikmatan; tetapi pada pihak lain semua tugas dan kewajiban asketisme tersebut kita lakukan dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Hasil dari spiritualitas demikian adalah suatu pekerjaan yang senantiasa dilandasi oleh sukacita. Sebab hakikat pekerjaan senantiasa dihayati sebagai wujud dari anugerah keselamatan Allah. Karena itu pemaknaan tentang spiritualitas kerja tidak lagi tertuju kepada diri sendiri dan komunitas kerja (sesama) tetapi secara definitif diarahkan untuk kemuliaan nama Tuhan.
Syalom Dalam Kerja
Hakikat Allah dalam iman Kristen adalah mengimani Allah yang terus bekerja. Itu sebabnya nama Allah adalah YAHWEH yang mengandung arti: sebagai “Yang Ada” (To Be), “yang menjadi” (to become) dan “yang bekerja” (to work). Arti nama “YAHWEH” adalah: Allah yang hadir dan yang menyelamatkan umatNya. Itu sebabnya dalam preambule Sepuluh Firman Allah dinyatakan: “Akulah Tuhan, Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perhambaan” (Kel. 20:2). Subjek dari pribadi Allah yang bernama “Yahweh” (Tuhan) tersebut diikuti oleh predikat: “yang membawa umat keluar dari tanah Mesir.” Dengan demikian spiritualitas kerja dalam iman Kristen pada hakikatnya berlandaskan kepada Allah yang berkarya, bertindak dan menyelamatkan umatNya. Nilai dan makna pekerjaan dihayati oleh iman Kristen sebagai bagian dan wujud dari karya Allah yang membebaskan, sehingga umat yang melakukan pekerjaan dan tugas-tugasnya itu dapat mengalami apa artinya keselamatan dan pemeliharaan dari Allah. Itu sebabnya karya penciptaan Allah juga bertujuan untuk menghadirkan keselamatan yang menyeluruh, yaitu kehidupan syalom bagi seluruh ciptaanNya. Jadi tujuan dari karya penciptaan dan pembebasan Allah adalah untuk mewujudkan suatu kehidupan yang penuh selamat dan damai-sejahtera. Implikasi etisnya adalah agar melalui pekerjaan yang dipercayakan Tuhan, kita juga dapat mewujudkan suatu kehidupan yang penuh selamat dan damai-sejahtera. Konsekuensi terhadap implikasi etis tersebut adalah: suatu pekerjaan yang tidak menghasilkan situasi syaloom, yaitu keselamatan dan damai-sejahtera secara utuh bukanlah pekerjaan yang diberkati oleh Allah walaupun secara materi dia berhasil.
Selaku umat Kristen kita sering tidak dapat mengalami syalom dalam dunia kerja atau bisnis kita. Dalam konteks ini kerja atau bisnis justru dialami hanya sebagai suatu beban, sesuatu yang melelahkan fisik dan mental, perasaan hampa dan kering, tidak sejahtera dan sangat menyiksa. Mungkin faktor motivasi kerja yang berperanan utama sehingga kita tidak dapat mengalami syalom, seperti: bekerja sekedar untuk mencari nafkah, memburu fasilitas, mendapatkan kekuasaan, upaya membangun karir yang cemerlang, upaya hidup makmur dan mempersiapkan masa tua yang nyaman. Dengan motivasi tersebut, maka nilai dan makna kerja hanya dihayati untuk memperoleh sebanyak-banyaknya materi atau fasilitas agar terwujudlah harapan dan keinginan pribadi kita.
Mereka tidak pernah puas, selalu bersikap ambisius, agresif, bersungut-sungut dan berkeluh-kesah. Tanpa disadari mereka telah mengidap chronic discontenment (ketidakpuasan kronis). Karena itu tidak mengherankan jikalau kerja atau bisnis sering dipandang sebagai medan bertempur dan bersaing. Orang-orang di sekitar sering kita anggap hanya sebagai lawan atau pesaing yang berbahaya. Karena itu strategi yang dikembangkan bukan lagi spiritualitas kasih yang menghargai dan menempatkan sesama secara setara, tetapi dia mengaplikasikan ajaran Sun Tzu dalam The Art of War. Spiritualitas kerja direduksikan menjadi semangat bertempur untuk mengalahkan pihak lain. Hasilnya adalah makin maraknya pertikaian, konflik dan persaingan dengan berbagai pihak di tempat kerja. Kalau dia cukup kuat dan lihai, maka dia akan berhasil menyingkirkan para lawan dan mengumpulkan banyak keuntungan materi dari strategi bertempurnya.
Secara materi mungkin dia terbukti sukses, tetapi miskin dalam syalom Allah. Dia menjadi kaya secara duniawi, tetapi jauh dari berkat Allah karena telah mengabaikan kasih dan keadilan. Itu sebabnya kekayaan yang telah dicapai tidak pernah membawa sukacita dan kebahagiaan. Di balik hatinya yang terdalam dia tersiksa, batinnya kering, tidak bahagia dan penuh beban. Sehingga benarlah apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat. 16:26). Dengan demikian, syalom Allah pada hakikatnya merupakan inti atau bagian yang utama dari pemaknaan kerja. Selama kita dapat mengalami syaloom, maka apapun pekerjaan yang kita lakukan sesungguhnya merupakan pekerjaan yang diberkati Allah. Sebab di dalam syalom Allah, kita dapat mengalami kebahagiaan dan sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini.
Mentransendensikan Kerja
Spiritualitas kerja dinyatakan dengan pola pandang dan pola hidup (mind-set) yang selalu terbuka untuk diperbaharui agar makin memiliki paradigma yang lebih luas, lebih tinggi dan lebih mulia. Dengan pembaharuan mind-set (pola pikir dan pola hidup) tersebut kita dimampukan untuk memiliki pemahaman akan dunia (world-view) yang lebar dan luas cakupannya. Kita tidak lagi melihat makna pekerjaan secara sempit dan dangkal seperti sekedar cari nafkah, mampu memiliki berbagai fasilitas, meraih kekuasaan dan mengumpulkan investasi. Tetapi kita melihat kerja atau bisnis sebagai sesuatu yang lebih mulia dan utuh dalam kaitannya dengan makna dan tujuan hidup. Sikap inilah yang dimaksudkan dengan kemampuan untuk mentransendensikan kerja (beyond business).
Dalam mentransendensikan kerja, kita dipanggil oleh Tuhan mempersembahkan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang terangkum secara utuh dalam pekerjaan tersebut untuk kemuliaan nama dan kerajaanNya, yaitu diwujudkan dalam memberlakukan kasih, menegakkan keadilan, membela yang tertindas dan memberdayakan yang lemah. Di Lukas 4:18-19 kita dapat melihat tujuan dari karya keselamatan Tuhan Yesus, yaitu: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Tentunya karya keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus tersebut bukan sekedar suatu dorongan “humanisme” belaka atau “gerakan sosial” sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang. Sebab tujuan akhir dari seluruh karya Kristus yang menyelamatkan dan membebaskan adalah menyatakan rahmat Allah telah datang di dalam diriNya. Di dalam diri Kristus, realitas kerajaan Allah hadir dalam sejarah manusia. Karena itu umat manusia dengan anugerah Allah dalam diri Kristus tersebut dilayakkan sebagai kawan-sekerjaNya yaitu untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Dengan demikian mentransendensikan kerja dalam iman Kristen akan menjadi suatu keniscayaan jikalau kita mau berpijak kepada kuasa anugerah Kristus.
Apabila kita dengan kuasa anugerah Kristus dimampukan untuk mentransendensikan kerja maka kita tidak akan mudah menyerah ketika kita menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan yang terjadi. Namun kita lebih suka cepat pindah kerja dengan alasan karena merasa bosan, jenuh, tidak cocok dengan teman atau pimpinan, atau beratnya suatu tugas. Kita sering berandai-andai, bahwa di tempat kerja yang lain pasti kita akan menghadapi situasi yang berbeda dan lebih baik. Kemungkinan untuk memeroleh lingkungan kerja yang lebih baik tentu tidak dapat disangkal. Tetapi juga ada kemungkinan yang lebih buruk. Kita bisa menjumpai teman kerja baru yang kurang lebih sama atau pimpinan baru dengan karakter yang tidak berbeda jauh. Karena itu yang utama perlu kita lakukan sebelum mengambil keputusan untuk pindah kerja adalah apakah kita telah sungguh-sungguh berupaya mentransendensikan realitas dan persoalan kerja tersebut? Apabila kita telah serius mentransendensikan kerja, maka keputusan kita untuk mutasi kerja tidak boleh bersifat emosional dan tanpa berpikir panjang. Mutasi kerja harus lahir dari proses mentransendensikan diri yang cukup matang dengan menyertakan Allah, sehingga kita dapat memperoleh pertimbangan yang bijaksana dan benar secara etis. Sebab dalam mentransendensikan diri, kita justru diajak untuk merenungkan kedirian kita secara utuh di hadapan Allah dan relasi kita dengan sesama di manapun kita berada.
Hasil dari mentransendensikan diri bukanlah sebuah pembenaran diri; tetapi justru pengenalan diri yang lebih jernih dan utuh. Karena itu kita dapat mengetahui secara persis dan objektif, di manakah sebenarnya akar permasalahan yang menyebabkan kita tidak bahagia dan tidak mengalami syalom Allah di tempat kita kerja sekarang ini. Bukankah bisa terjadi bahwa akar permasalahan yang terjadi bukan disebabkan oleh sesama dan pekerjaan yang dipercayakan kepada kita, tetapi justru sering disebabkan karena ulah diri kita sendiri? Karena kita sering kurang peka dengan kekurangan dan kelemahan diri kita sendiri. Sikap mentransendensikan diri dan kerja yang dilakukan secara sadar akan menghasilkan sesuatu yang konstruktif, sebab karakter kita dibangun untuk menjadi lebih bijaksana. Sebaliknya mengabaikan upaya untuk mentransendensikan diri dan kerja hanya akan menghasilkan sikap yang takabur dan meruntuhkan diri sendiri. Penyebabnya karena kita akan terjebak dalam “kelekatan” dengan kerja, sehingga kita tidak dapat memiliki ruang spiritualitas untuk menyikapi dinamika kerja secara kritis dan proporsional.
Visi Dan Daya Kreatif Kerja
Sebagaimana telah dipahami bahwa melalui sikap yang mentransendensikan kerja, kita dimampukan untuk mengambil jarak yang lebih kritis untuk merumuskan ulang makna dari seluruh tindakan kerja kita. Kita dapat melihat secara utuh dan terhindar dari kelekatan kerja yang subyektif-sempit. Di lain pihak transendensi diri juga senantiasa membutuhkan visi iman agar tindakan kerja yang kita lakukan tetap memiliki tujuan (goal). Sebab segala sesuatu yang tidak mempunyai tujuan dan visi yang jelas cenderung akan berjalan di tempat (stagnan) dan pada gilirannya akan mati. Orientasi kehidupan kita selaku umat percaya seharusnya merupakan kehidupan yang visioner, yaitu bergerak secara progresif dan dinamis. Walau harus tetap disadari bahwa esensi dari visi atau tujuan hidup kita selaku umat percaya bukan untuk mencapai hal-hal yang sifatnya sementara dan fana, tetapi untuk mencapai sesuatu yang kekal atau yang tidak binasa. Di Matius 6:33, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Pekerjaan yang kita lakukan harus ditempatkan dalam dimensi visioner untuk senantiasa mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Pekerjaan yang kita lakukan secara rohaniah sungguh-sungguh dapat mewujudkan dimensi Kerajaan Allah dan kebenarannya. Tepatnya pekerjaan yang kita lakukan sungguh-sungguh dapat menjadi berkat dan keselamatan bagi banyak orang. Untuk perbandingkan kita dapat melihat beberapa perusahaan seperti Proctor and Gamble, 3M Corporation, Motorola, Wal-Mart memberikan bantuan bagi karyawannya untuk menguji visi pribadi dan nilai-nilai hidupnya, dan peduli sumber daya manusia (SDM). Kalau dunia sekuler saja mau peduli untuk menguji visi dan nilai-nilai hidup dari para karyawannya, apalagi kehidupan kita selaku umat percaya. Jadi seharusnya kita selaku pekerja harus senantiasa mampu menguji visi dan nilai-nilai hidup kita agar orientasi hidup kita terarah secara konsisten untuk memberlakukan dimensi Kerajaan Allah dan kebenaranNya.
Karena tujuan kerja harus kita hayati sebagai orientasi hidup yang visioner ke depan, maka kita dimampukan untuk lebih kreatif dalam pengembangannya. Hasil kerja optimal yang telah kita lakukan tidak boleh membuat kita berpuas diri. Sebaliknya kita terus-menerus didorong untuk selalu menemukan bentuk-bentuk baru yang kreatif, orisinil dan bermakna. Visi yang semakin matang dan dilandasi oleh kemampuan mentransendensikan diri umumnya tidak akan pernah kering kreativitas; sebaliknya senantiasa kaya inspirasi dan ide yang lebih cemerlang namun tetap efisien. Sikap ini hanya akan menjadi suatu kenyataan apabila kita terus-menerus mau mempertanyakan dan menguji setiap langkah yang telah kita lakukan. Bandingkan dengan sikap Peter M. Senge (1947- ) dalam The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning Organization (1990) yang menyatakan bahwa hanya organisasi pembelajar (learning organizations) yang mau mempertanyakan dan menguji alasan bagi eksistensinya maupun metode operasinya yang akan mampu bertahan dan sukses pada abad XXI. Tepatnya kita selaku umat Allah akan tetap bertahan secara kualitas di tengah-tengah perubahan zaman, manakala kita bersedia terus-menerus menjadi “pribadi pembelajar” (learning persons) yang visioner sehingga kita mau dengan rendah-hati mempertanyakan dan menguji semua hal yang pernah dan akan kita lakukan.
Panggilan
Sebagaimana gerakan Reformasi pada abad XVI mampu mengubah wajah dunia dengan pemikiran yang dilandasi oleh spiritualitas iman Kristen, maka seharusnya kita juga mau berubah dan mampu mengubah dunia di sekitar kita agar kerja menjadi media pembebasan dan penyelamatan Allah. Untuk itu kita selaku umat percaya terpanggil untuk senantiasa bersikap “asketis” dalam pengertian: tidak mudah berfoya-foya mengikuti godaan dunia; tetapi senantiasa mengutamakan ketekunan, keuletan, kejujuran dan kerajinan bekerja serta kredibilitas diri. Dasar spiritualitasnya adalah, kerja adalah suatu ibadah. Karena itu makna dan hakikat kerja dihayati sebagai sesuatu yang kudus, sebagaimana Allah yang kudus itu tetap bekerja sampai sekarang (Yoh. 5:17). Dengan demikian kerja bukan sekedar suatu upaya dan perjuangan mencari nafkah, pengumpulan materi, kekuasaan dan fasilitas. Kerja seharusnya menjadi media untuk mempermuliakan Allah dan mengasihi sesama.
Melalui kerja kita dapat menghadirkan syaloom Allah. Dalam praktik hidup kita masih sering tergoda ke arah pereduksian makna dan tujuan kerja. Kita sering mengalami kelekatan dengan kerja. Itu sebabnya kita dipanggil untuk mentransendensikan kerja agar makin tersedia ruang spiritualitas yang transformatif dan kritis. Agar upaya transendensikan kerja dapat mencapai tujuannya, kita membutuhkan visi iman yang jelas dan kokoh di tengah-tengah zaman yang terus berubah; sehingga kita dapat mengarahkan kerja untuk mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah dan kebenarannya (Mat. 6:33). Jika demikian bagaimanakah sikap saudara dalam menyikapi kerja? Apakah pekerjaan saudara sungguh-sungguh dilakukan untuk mempermuliakan nama Allah dan mengasihi sesama?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono