Latest Article
Renungan Minggu II Sesudah Natal

Renungan Minggu II Sesudah Natal

Terang Menerangi Kegelapan

Yer. 31:7-14; Mzm. 147:12-20; Ef. 1:3-14; Yoh. 1:1-9

 

Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya

di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5).

Hidup dan terang adalah dua aspek yang dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup. Tanpa cahaya matahari (terang), tanaman tidak akan mengalami proses asimilasi dan disimilasi. Proses asimilasi merupakan proses fotosintesis sehingga melalui sinar matahari yang diterima, tanaman mampu menyediakan sumber energi dan cadangan makanan dalam dirinya. Proses disimilasi merupakan proses menguraikan zat-zat cadangan makanan untuk dijadikan energi panas. Setiap aspek kehidupan membutuhkan terang. Bahkan realitas terang dalam pengertian metaforis, misalnya pemikiran yang inspiratif, pencerahan jiwa, hikmat/kearifan, dan pemahaman baru merupakan ungkapan yang menunjuk pada “terang” yang menyinari hati manusia. Manusia membutuhkan terang yang sifatnya fisik dan terang yang sifatnya metaforis. Realitas kegelapan adalah situasi kekelaman, menyesakkan, tiadanya harapan, dan kematian. Sebaliknya terang mampu menembus kegelapan sehingga tersedia harapan, kelegaan, semangat hidup, sukacita, dan daya kehidupan.

Injil Yohanes menyatakan Kristus adalah Yang Hidup dan Terang. Di dalam diri Kristus terdapat daya yang menghidupkan dan terang yang menerangi setiap aspek kehidupan. Pernyataan teologis tersebut berkaitan dengan kesaksian tentang keberadaan Yesus yang telah ada sejak kekal bersama dengan Allah, sebab Dia adalah Sang Firman yang menciptakan segala sesuatu. Karena Kristus adalah Sang Firman Allah yang kekal, yang tidak terciptakan namun menciptakan, dan sehakikat dengan Allah maka Ia adalah sumber kehidupan dan Terang Ilahi. Dengan demikian Kristus sebagai Yang Hidup dan Terang adalah sehakikat dengan Allah dan kekal sehingga Ia mampu mengaruniakan kehidupan abadi dan terang yang membebaskan manusia dari kegelapan kuasa dosa. Dengan inkarnasi-Nya selaku Firman Allah yang menjadi manusia, karya Yesus menjadi kehidupan yang menerangi dan mengaruniakan kehidupan abadi sebagai anak-anak Allah.

Dalam konteks Yudaisme yang memegang teguh monoteisme yaitu keesaan Allah, pernyataan teologis Injil Yohanes tersebut merupakan sesuatu yang radikal dan lompatan iman. Sebelumnya penulis Injil Yohanes telah mewarisi tradisi monoteisme Yudaisme sehingga ia tidak mudah untuk menerima kesaksian dan pengakuan bahwa Yesus adalah Sang Firman Allah yang kekal dan menjadi manusia, Yang Hidup dan Terang Ilahi. Sebagai seorang Israel, penulis Injil Yohanes sebelumnya pasti menolak segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan keesaan Allah yang sifatnya mutlak. Allah itu esa dan tidak mungkin Ia menjadi manusia. Penulis Injil Yohanes tidak akan mudah menyamakan begitu saja pemahaman Firman Allah yang kekal dengan diri Yesus dari Nazaret. Seandainya penulis Injil Yohanes menyaksikan secara langsung kuasa mukjizat yang dilakukan oleh Yesus, tidaklah mudah ia menyamakan Yesus dengan Sang Firman Allah. Namun lompatan iman yang dialami oleh penulis Injil Yohanes terjadi karena ia mengalami kehidupan baru dan terang ilahi yang memberi dia pemahaman yang sama sekali baru terhadap diri Yesus dari Nazaret. Karya Roh Kudus yang menerangi hati dan pikirannya sehingga akhirnya penulis Injil Yohanes mampu mengaku percaya dan memberi kesaksian bahwa Yesus adalah Sang Firman Allah, Yang Kekal, Yang Hidup, dan Terang Ilahi.

Kesaksian penulis Injil Yohanes di Yohanes pasal 1 adalah hasil perjumpaan dan peristiwa pembaruan hidup yang telah dialaminya dengan Kristus, sehingga kesaksiannya bukan hasil refleksi yang filosofis, namun refleksi iman yang personal. Refleksi tentang Kristus sebagai Sang Firman, Yang Hidup dan Terang Ilahi telah dialami dalam kehidupannya bersama jemaat. Karena itu realitas dan keberadaan Kristus sebagai Sang Firman, Yang Hidup dan Terang Ilahi telah dibuktikan kebenarannya dalam pengalaman iman komunitas umat. Pengalaman iman yang personal, komunal dan eksistensial kepada diri Yesus tersebut yang mampu menjungkirbalikkan seluruh konsep, pemahaman teologis dan iman kepada keesaan Allah secara nominal. Mereka tetap percaya kepada Allah yang esa, namun makna “esa” tidak lagi dipahami secara bilangan, tetapi “esa” secara relasional. Jadi Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah esa secara relasional, sehakikat, dan kekal. Dalam hal ini Yesus Kristus diimani sehakikat dan kekal bersama dengan Allah, sebab Ia adalah Sang Firman. Yesus Kristus juga adalah Yang Hidup dan Terang Ilahi, Karena itu Yohanes 1:1 menyatakan: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”

Mengimani Yesus sebagai Firman Allah, Yang Hidup dan Terang Ilahi dalam konteks zaman Injil Yohanes sangatlah sulit. Kesulitan untuk percaya kepada Kristus adalah:

  1. Jemaat Kristen waktu itu harus berhadapan dengan agama Yudaisme orthodoks yang mengimani Allah yang esa secara bilangan. Karena itu jemaat perdana dalam Injil Yohanes menghadapi tekanan dan serangan dari kelompok garis keras Yudaisme, sehingga mereka harus keluar dari komunitas Yudaisme.
  2. Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 90-100 M dalam masa pemerintahan kaisar Domitianus dan Trayanus. Pada masa pemerintahan kaisar Domitianus dan Trayanus, umat Kristen mengalami tekanan dan aniaya yang sangat berat. Dengan demikian umat Kristen perdana pada era Injil Yohanes ditulis berada dalam tekanan dan penindasan secara sosial, keagamaan dan politik. Mereka sebenarnya akan hidup lebih aman dan tenteram apabila tidak mengimani Yesus sebagai Sang Firman, Yang Hidup dan Terang Ilahi. Tetapi demi iman kepada Kristus tersebut mereka bersedia mempertaruhkan kehidupan mereka. Dalam situasi demikian, bukankah jemaat Kristen pada masa penulisan Injil Yohanes secara faktual mengalami kekelaman dan hidup yang menderita? Tetapi di tengah-tengah realita hidup yang kelam dan penuh penderitaan tersebut, mereka menemukan Kristus yang hidup dan Terang Ilahi.
  3. Konteks pengaruh pemikiran Gnostik pada era penulisan Injil Yohanes juga tidaklah mudah untuk menerima Yesus Sang Firman Allah menjadi manusia. Sebab dalam pemikiran Gnostik, tubuh/badan manusia dianggap rendah dan berdosa. Mengimani Sang Firman Allah yang kekal dan kudus berinkarnasi menjadi manusia adalah mustahil. Roh yang masuk ke dalam tubuh akan terpenjara dan menjadi cemar. Karena itu dalam pemikiran Gnostik Kristen, Yesus tidak dianggap sebagai penyelamat (a savior) namun sebagai “penyata pengetahuan” (a revealer of knowledge). Keselamatan dicapai melalui “gnosis” (pengetahuan) yaitu melalui pengajaran Yesus, bukan melalui penderitaan dan kematian-Nya. Di tengah-tengah pengaruh pemikiran Gnostik dalam kehidupan gereja, Injil Yohanes mampu bersikap kritis dan mandiri dalam merumuskan iman kepada Kristus. Dalam Injil Yohanes, justru Yesus menegaskan makna kematian-Nya sebagai media keselamatan Allah. Misalnya di Yohanes 12:32, Yesus berkata: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” Makna “ditinggikan dari bumi” dijelaskan dalam Yohanes 12:33, yaitu: “Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.” Dengan demikian sikap iman yang dipersaksikan oleh Injil Yohanes adalah sikap iman yang lahir dari penyataan Allah dan pengalaman iman bersama Yesus, bukan pengaruh dari pemikiran Gnostik dan Yudaisme.

Jadi tiga permasalahan yang dihadapi oleh umat percaya pada era Injil Yohanes adalah:

  1. Orthodoksi Yudaisme tentang hakikat keesaan Allah secara nominal (keesaan yang bersifat mutlak), sehingga menolak keesaan Allah secara relasional sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus.
  2. Ajaran dan kepercayaan Gnostik yang menempatkan keberadaan Roh sebagai yang lebih tinggi dan suci sehingga memandang dan menempatkan tubuh sebagai yang rendah dan kotor. Dengan pengajaran ini Gnostik menolak peristiwa inkarnasi Firman Allah yang kekal dan kudus menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Karena itu Kristus bukan penyelamat, tetapi hanya penyata pengetahuan yang menyelamatkan manusia melalui pengajaran-Nya.
  3. Kultus individu dan pemujaan kepada kaisar Romawi yang menganggap diri mereka sebagai representasi dewa, sehingga memusuhi dan menganiaya umat Kristen yang menempatkan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Namun pengenalan dan iman kepada Kristus memampukan jemaat Kristen pada era Injil Yohanes bersikap kritis dan mandiri terhadap tiga permasalahan tersebut di atas. Di dalam terang Kristus, mereka menemukan kebenaran yang membebaskan dari kekakuan orthodoksi yang menekankan keesaan Allah secara mutlak. Di dalam terang Kristus mereka menemukan kebenaran bahwa Kristus adalah Sang Firman Allah yang kekal sekaligus manusia sejati tetapi tanpa dosa sehingga kemanusiaan dalam tubuh manusia dikuduskan. Dalam terang Kristus mereka menolak kultus-individu terhadap penguasa sebab Allah saja yang layak disembah dan dipermuliakan. Dengan perkataan lain, mereka menemukan terang di tengah-tengah kegelapan keyakinan akan keesaan Allah yang mutlak sebab akan melahirkan sistem otoriter. Bila Allah esa secara mutlak, maka tidak tersedia ruang kasih yang mengakui keberadaan lain secara setara. Sebaliknya dengan pemahaman Allah itu esa secara relasional akan tersedia ruang kasih untuk mengakui keberadaan yang lain secara setara. Mereka menemukan terang di tengah-tengah kegelapan yang mencengkeram kaum Gnostik sehingga mereka tidak mampu memahami bahwa di dalam Kristus, realitas tubuh manusia dikuduskan dan dihisabkan ke dalam persekutuan ilahi. Mereka juga menemukan terang di tengah-tengah kegelapan yang mencengkeram para penguasa yang picik dalam melihat keberadaan dirinya. Para Penguasa dibutakan oleh kekuasaan politik, sehingga mengabaikan kenyataan bahwa mereka hanyalah mahluk yang fana dan berdosa.

Selaku umat manusia di abad XXI, dengan terang Kristus setiap diri kita dipanggil untuk melihat secara kritis dan tajam dalam menguji setiap permasalahan. Dengan terang Kristus seharusnya kita mampu melihat akar permasalahan daripada sekadar fenomena permasalahan yang terlihat. Kekerasan atas nama Tuhan dan agama tidak sekadar kita lihat sebagai manifestasi para pelaku atau orang-orang yang terlibat, tetapi spirit yang mendasarinya. Spirit atau jiwa kekerasan tersebut perlu diperdalam lagi sampai kepada sistem nilai dan filosofi yang mendasari. Sebab sistem nilai dan filosofi yang dihayati merupakan daya yang menggerakkan dan memotivasi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan suatu tindakan. Sistem nilai dan filosofi yang jahat akan menggerakan dan memotivasi seseorang untuk melakukan kekejaman dan penindasan. Sebaliknya sistem nilai dan filosofi kasih akan menggerakkan dan memotivasi seseorang untuk mempraktikkan dalam keadilan dan pengampunan. Karena itu setiap umat percaya harus bersedia menguji setiap ideologi atau pengajaran termasuk yang diberi label nama “Allah” atau “agama.” Di Surat 1 Yohanes 4:1, Rasul Yohanes berkata: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.” Keengganan atau ketidaktahuan umat untuk menguji setiap roh akan menyebabkan kuasa kegelapan semakin menguasai kehidupan dan struktur masyarakat. Pada sisi lain setiap umat Kristen harus bersedia pula untuk menguji diri sendiri secara intensif agar tidak jatuh pada sikap pembenaran diri dan perasaan superioritas.

Dalam konteks masyarakat global, kini tidak ada lagi suatu ajaran agama-agama termasuk iman Kristen yang kebal untuk diuji. Setiap klaim kebenaran harus bersedia diuji dan diklarifikasi khususnya berkaitan dengan penghormatan dan penghargaan akan martabat kemanusiaan. Karena itu setiap klaim kebenaran yang merendahkan dan menista martabat kemanusiaan walaupun dianggap sebagai kebenaran Allah atau diturunkan dari sorga harus kita tolak. Sebab hakikat kebenaran Allah senantiasa mendatangkan damai-sejahtera dan keselamatan (syalom), kehidupan dan terang yang membebaskan umat manusia. Kebenaran Allah tidak akan mendatangkan ketakutan, kecemasan dan kegelisahan sebaliknya sukacita dan damai-sejahtera. Tuhan Yesus berkata: “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32). Gambaran kebenaran Allah yang membebaskan dan menyelamatkan itu dengan sangat hidup dilukiskan dalam Yeremia 31:7-14, khususnya pada ayat 13 yang berkata: “Pada waktu itu anak-anak dara akan bersukaria menari beramai-ramai, orang-orang muda dan orang-orang tua akan bergembira. Aku akan mengubah perkabungan mereka menjadi kegirangan, akan menghibur mereka dan menyukakan mereka sesudah kedukaan mereka.”

Jika demikian peran umat Kristen sangat jelas yaitu membawa pembaruan dalam kehidupan personal dan komunal sehingga mengubah setiap kesedihan, penderitaan dan penindasan menjadi realitas syalom. Setiap umat percaya dipanggil menghadirkan terang Kristus yang menerangi kekelaman hidup sehingga mendatangkan pengharapan dan sukacita, penghargaan akan kehidupan, dan penghormatan akan martabat manusia, serta perlindungan setiap orang untuk hidup setara dan tanpa diskriminasi. Sebab Kristus bukan hanya mengajarkan kehidupan menjadi terang, tetapi Dia sendiri adalah Terang Dunia. Yesus berkata: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono