Sukacita Menyambut Penghakiman-Nya
(Zef. 3:14-20; Yes. 12:2-6; Flp. 4:4-7; Luk. 3:7-18)
Saat ini gereja memasuki Minggu Adven III dengan simbol khusus yaitu warna pink (merah muda) setelah sebelumnya memakai warna Ungu. Kekhususan warna pink hendak menyampaikan pesan bahwa di Minggu Adven III gereja dengan sukacita siap menyambut Minggu Adven IV sebagai persiapan Natal. Bagaikan sekuntum bunga yang siap mekar untuk menampilkan seluruh keindahannya, demikian pula di Minggu Adven III gereja siap menyambut kedatangan Sang Firman Allah yang menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. Karena itu suasana liturgi Minggu yang dirancang dalam Adven III seharusnya menampilkan secara khusus suasana sukacita, dan bukan dukacita. Tepatnya pada masa Adven yang ditandai dengan panggilan kepada umat untuk berjaga-jaga menantikan kedatangan Kristus yang kedua direspons oleh umat dengan sikap iman yang penuh sukacita.
Makna panggilan kepada umat untuk berjaga-jaga pada masa Adven dalam konteks ini tidak harus dipahami sebagai sikap yang tegang dan penuh kecemasan. Sebaliknya bagaimana umat menghayati sikap berjaga-jaga dan waspada terhadap godaan dan tekanan dari kuasa dunia direspons dengan sikap iman yang bersukacita. Sumber sukacita tersebut terjadi bukan karena kita terbebas dari persoalan dan beban kehidupan ini, juga bukan karena kita merasa kuat mengatasi permasalahan yang sedang terjadi. Kita bersukacita karena “TUHAN Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (Zef. 3:17). Sumber sukacita umat percaya adalah karena Tuhan Allah hadir di antara kita sebagai pahlawan yang memberi kemenangan dan menciptakan pembaruan dengan cinta-kasih-Nya.
Kata “pahlawan” di Zefanya 3:17 berasal dari kata gibbowr yang artinya: pahlawan, seorang yang berkuasa, pemenang, dan sangat kuat. Semua arti tersebut menunjuk kepada pribadi seseorang yang berani menghadapi bahaya dengan melawan semua musuh dan bersedia mengorbankan nyawanya demi yang dibelanya. Makna “Adonai Gibbowr” (Tuhan Sang Pahlawan) menghadirkan sosok Allah yang membela umat-Nya dengan kuasa-Nya, sehingga umat terlindung dengan aman dari bahaya yang mengancam. Pengalaman umat yang terlindung dari ancaman dan bahaya sebagai landasan mereka bersukacita. Mereka harus berjaga-jaga menghadapi bahaya dan godaan kuasa dunia namun mereka ditopang oleh perlindungan dan penyertaan Allah yang lebih dahulu menjaga dan melindungi mereka. Kegagalan umat untuk mampu berjaga-jaga menantikan kedatangan Kristus yang kedua adalah karena mereka mengandalkan kepada kekuatan dan kemampuan diri sendiri. Sikap iman yang tepat adalah umat berjaga-jaga menantikan kedatangan Kristus yang kedua dengan mengandalkan kepada kekuatan dan penyertaan Allah yang senantiasa menjaga dan melindungi mereka. Bahaya dan ancaman dalam konteks ini dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari kuasa dunia. Sejauh mana umat menempatkan Allah sebagai Pahlawan dalam kehidupan mereka saat menghadapi serangan dari kuasa dunia ini? Sejauh mana umat bersikap setia kepada Kristus di tengah-tengah ancaman dan bahaya maut? Realita yang kini dihadapi oleh umat Kristen di wilayah Timur Tengah dan beberapa wilayah di Afrika adalah mereka berada dalam bayang-bayang maut karena sikap imannya kepada Kristus. Kuasa dunia membenci dan menganiaya umat yang percaya kepada Kristus walau mereka tidak melakukan tindakan kejahatan. Namun apakah di tengah tekanan, ancaman dan penganiayaan kuasa dunia tersebut umat percaya tetap mampu bersukacita dan setia kepada Kristus?
Di samping umat dipanggil untuk bersukacita dan setia kepada Allah di tengah-tengah himpitan dan penindasan dari kuasa dunia, Allah sebagai Tuhan Sang Pahlawan juga tampil melindungi umat di tengah-tengah struktur masyarakat yang rusak. Strukur masyarakat yang rusak menurut Kitab Zefanya adalah: para pemuka seperti singa yang mengaum, para hakim seperti serigala, para nabi adalah orang-orang ceroboh dan pengkhianat, para imam menajiskan apa yang kudus dan memperkosa hukum Taurat (Zef. 3:3-4). Struktur masyarakat tersebut berisi orang-orang yang seharusnya melindungi dan menjadi teladan justru berperan sebagai para pemangsa dan penindas umat. Dalam kondisi yang demikian, umat tidak berdaya sebab berhadapan dengan kekuasaan politis, hukum, dan keagamaan yang tirani. Penindas yang kejam tidak senantiasa berasal dari lingkungan luar, namun dari lingkungan dalam (internal). Bilamana kita menghadapi penjajah bangsa asing, maka kita akan lebih mudah memosisikan diri untuk bersama-sama melawan. Namun bilamana kita menghadapi penjajah dari lingkungan internal kita, sesungguhnya kita lebih sulit untuk melakukan perlawanan bersama-sama. Karena para penjajah dari lingkungan internal memiliki orang-orang di sekitar kita untuk menjadi para pembela dan pendukung mereka. Orang-orang yang menjadi pembela dan pendukung itu mungkin teman, anggota keluarga, atau tetangga, dan sesama anggota jemaat.
Peran Allah sebagai pahlawan terlihat dari firman-Nya yang menghardik para pemimpin umat tersebut. Suara rakyat dan umat tidak akan didengar oleh mereka. Karena itu Allah sendiri yang berfirman dengan teguran-Nya yang keras: “Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yag penuh penindasan!” (Zef. 3:1). Firman Allah tersebut menyingkapkan situasi riil yang terjadi dalam kehidupan umat, yaitu kota yang penuh penindasan dan dikuasai oleh para penindas. Situasi kota yang penuh penindasan dan dikuasai oleh para penindas tentunya merupakan keadaan yang mengerikan karena praktik kekerasan, kekejaman, diskriminasi dan kejahatan menjadi menu sehari-hari. Sebab sistem hukum masyarakat, tatanan sosial-politik dan keagamaan tidak berfungsi alias mandul. Semua hal yang buruk dihayati oleh sebagian besar masyarakat sehingga dianggap benar, dan sebaliknya hal yang benar dianggap sebagai kesalahan. Kebenaran dan keadilan dijungkirbalikkan, sehingga umat hidup dalam relativisme dan nihilisme. Kondisi masyarakat yang penuh penindasan dan dikuasai oleh para penindas mengingatkan kita akan situasi kota Sodom dan Gomora, sehingga tidak ada jalan keluar selain dibinasakan. Firman Allah yang menegur para pemimpin umat tersebut diikuti oleh rencana Allah untuk menghukum dengan melenyapkan mereka. Di Zefanya 3:6, Allah berfirman: “Aku telah melenyapkan bangsa-bangsa; menara-menara penjuru mereka telah musnah. Aku telah merusakkan jalan-jalannya, sehingga tidak ada orang yang lewat. Kota-kota mereka telah ditanduskan, sehingga tidak ada orang dan tidak ada penduduk.” Tindakan Allah yang membinasakan dalam konteks ini bukan sekadar suatu dekonstruksi (bersifat merusak), namun sesungguhnya merupakan awal dari rekonstruksi (pemulihan kembali) atas realitas yang telah rusak. Bagi para penindas dan pelaku kejahatan, tindakan Allah dianggap sebagai pembinasaan (dekonstruksi), tetapi bagi umat yang tertindas dan para korban tindakan Allah tersebut merupakan suatu penataan dan penciptaan yang baru (rekonstruksi).
Dimensi dekonstruksi terlihat dari kesaksian Zefanya 3:8 yang menyatakan Allah akan bangkit sebagai saksi, lalu Dia akan mengumpulkan bangsa-bangsa dan menghimpun kerajaan-kerajaan untuk menumpahkan ke atas mereka geram dan murka-Nya yang menyala-nyala. Namun di pihak lain Allah melakukan rekonstruksi sebagaimana disaksikan di Zefanya 3:9 yaitu: “Tetapi sesudah itu Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama TUHAN, beribadah kepada-Nya dengan bahu-membahu.” Dalam konteks rekonstruksi tersebut umat percaya bersukacita menyambut penghakiman Allah.
Namun saat Allah menyatakan geram dan murka-Nya yang menyala-nyala sebagai wujud penghakiman-Nya bukankah umat percaya juga terkena imbasnya? Umat percaya terkena imbasnya sebab hukuman Allah tersebut terjadi dalam realitas dan struktur masyarakat. Misalnya bencana alam akan mengenai siapapun apakah dia hidup jahat maupun hidup benar. Kehancuran kosmis bersifat menyeluruh sehingga tidak ada seorangpun yang selamat. Di tengah-tengah murka dan kegeraman Allah yang demikian, bagaimanakah umat percaya dapat bersukacita? Bukankah penghakiman Allah bersifat menyeluruh?
Umat percaya bersukacita bukan karena mereka selamat dari bahaya dan kematian secara fisik, tetapi mereka bersukacita sebab penghakiman Allah dinyatakan, dan penghakiman Allah pastilah adil. Semua orang pasti mengalami kematian, namun tidak semua orang mati dengan sikap iman dan hidup kudus. Dengan demikian makna sukacita dalam konteks ini adalah sukacita iman yang sifatnya eskatologis. Makna sukacita iman yang sifatnya eskatologis adalah sukacita yang tidak menilai dari semua hal yang ia miliki dari dalam dunia ini, tetapi memaknai sebagai sukacita yang dianugerahkan Allah sehingga ia mampu menolak apa yang jahat dan tidak berkenan di hadapan-Nya. Sukacita iman yang sifatnya eskatologis lahir dari pertobatan, yaitu pembaruan hidup. Karena itu bacaan pertama dari Kitab Nabi Zefanya pasal 3 berkaitan erat dengan bacaan ketiga dari Injil Lukas 3 tentang berita pertobatan yang dikumandangkan oleh Yohanes Pembaptis. Hardikan Allah di Zefanya 3:1, yaitu: “Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan!” sejajar dengan Lukas 3:7, yaitu: “Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu melarikan diri dari murka yang akan datang?” Para pelaku kejahatan dan penindasan oleh Yohanes Pembaptis disimbolisasi dengan keturunan ular beludak. Mereka tidak akan luput dari murka Allah yang akan datang, jika mereka tidak bertobat. Jadi mereka masih memiliki kesempatan untuk menerima rahmat Allah yang membarui kehidupan mereka.
Berita Minggu Adven III adalah berita sukacita sebab umat masih memiliki kesempatan untuk segera bertobat. Melalui liturgi Minggu Adven III setiap umat percaya tersedia pengharapan untuk memeroleh pengampunan Allah dan pembaruan hidup. Sebagai suatu kesempatan yaitu kairos, maka kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang disediakan Allah. Respons iman yang tepat menyikapi kesempatan sebagai rahmat Tuhan adalah umat bersedia menghasilkan buah pertobatan, yaitu pola pikir dan perilaku yang telah didekonstruksi sehingga terwujud dalam tindakan yang rekonstruktif. Buah pertobatan tersebut merupakan pembaruan diri yang holistik yaitu pembaruan dalam pola pikir (paradigma), gaya hidup (life-style), managemen-diri (self-management), komitmen, disipilin, dedikasi, dan tujuan kehidupan. Semua aspek tersebut telah mengalami proses pembaruan, sehingga menghasilkan pola kehidupan yang sama sekali baru. Namun agar semua aspek tersebut mengalami proses pembaruan kita perlu berjuang dengan sekuat tenaga dengan mengandalkan rahmat Tuhan. Tanpa rahmat Tuhan kita pasti akan gagal. Sukacita kita sebagai umat beriman adalah realitas pembaruan hidup atau pertobatan kita ditentukan oleh sejauh mana kita bersedia dikendalikan oleh anugerah Allah, dan bukan karena hasil kekuatan dan kebajikan kita sendiri.
Namun kenyataannya kita tergoda untuk mengandalkan kepada kekuatan dan kebajikan kita sendiri, bahkan warisan sebagai keturunan orang beriman. Di Lukas 3:8, Yohanes Pembaptis menegur orang banyak, yaitu: “Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” Umat Israel pada waktu itu berpikir bahwa mereka akan selamat dari murka Allah sebab mereka keturunan Abraham walau hidup mereka dipenuhi dengan berbagai macam kejahatan dan kekerasan. Dengan pola pemikiran “keturunan Abraham” mereka beranggapan bahwa keselamatan Allah bersifat mekanis yang terus diwariskan melalui status etnis mereka. Anggapan umat Israel akan keunggulan etnisitas ditolak dengan tegas oleh Yohanes Pembaptis. Keselamatan Allah tidak ditentukan oleh warisan darah keturunan walau nenek moyang mereka dahulu sangat berkenan di hadapan Allah. Walaupun demikian masih banyak umat Kristen yang memiliki anggapan tersebut. Mereka merasa yakin diselamatkan karena pernah dibaptis pada waktu masih bayi dan berasal dari orang-tua yang beriman kepada Kristus. Dengan penghayatan spiritualitas yang demikian, orang-orang Kristen “keturunan” gagal untuk menghasilkan buah pertobatan dalam kehidupan mereka.
Wujud buah pertobatan agar tidak ditampi dalam penghakiman Allah adalah kesediaan untuk berbagi dengan sesama. Dalam konteks ini Yohanes Pembaptis mengajukan tiga bentuk buah pertobatan. Pertama, di Lukas 3:11 Yohanes Pembaptis berkata: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” Pertobatan di sini berarti sikap hati yang tidak lagi melekat dengan apa yang ia miliki. Sikap melekat dengan apa yang dimiliki menghasilkan sikap kikir sehingga ia kehilangan kemampuan untuk melakukan kemurahan hati dan berbela-rasa dengan sesama yang menderita. Kedua, di Lukas 3: 13, yaitu: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” Pertobatan di sini berarti sikap hati yang tidak serakah dengan mengambil lebih apa yang sebenarnya bukan haknya. Sikap ini menyebabkan perilaku korup (corrupt) yaitu sikap tidak jujur dan mencuri untuk kepentingan dirinya. Ketiga, di Lukas 3:14, yaitu: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” Pertobatan di sini berarti sikap hati yang menolak menggunakan segala bentuk kekerasan dengan merampas dan memeras, sebaliknya mampu mengucap syukur dengan berkat yang diterimanya. Dalam konteks ini sikap yang mengeksploitasi sesama termasuk dalam kategori memeras dan merampas hak orang lain. Dari ketiga bentuk buah pertobatan yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis, makna pertobatan (pembaruan hidup) utamanya berkaitan dengan sejauh mana kita mampu memperlakukan sesama secara manusiawi dan bermatabat sehingga mereka tidak dijadikan objek bagi pemuasan kepentingan diri sendiri atau kelompok.
Sukacita ilahi akan dialami oleh setiap umat apabila mereka sungguh-sungguh memperlakukan setiap sesama dengan sikap kasih dan penghargaan yang tinggi pada harkat serta martabat sebagai gambar dan rupa Allah. Karena itu apabila tiba hari penghakiman Allah, umat percaya akan menikmati anugerah keselamatan Allah sebaliknya bagi umat yang duniawi akan memeroleh penghukuman. Melalui Minggu Adven III setiap umat diberi waktu dan kesempatan yang berharga untuk merespons dengan sikap iman sehingga mereka mengalami pembaruan diri, dan tidak menempatkan diri di bawah penghukuman Allah. Jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberi respons, mengapa kita berusaha menangguhkan? Surat Ibrani berkata: “Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu “hari ini”, ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” (Ibr. 4:7).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono