Let us Spread His Grace to the World
Lukas 2:1-3, 8-15
Makna kelahiran Kristus kita hayati sebagai manifestasi anugerah Allah kepada umat manusia. Peristiwa Natal merupakan inkarnasi Sang Firman Allah menjadi manusia dalam diri Kristus. Inkarnasi Kristus tersebut kita imani sebagai wujud rahmat Allah bagi umat manusia sehingga kita terpanggil untuk menyebarkan kepada seluruh bangsa. Namun bukankah anugerah Allah pada hakikatnya melampaui bumi dan seluruh alam semesta? Apabila anugerah Allah melampaui seluruh ciptaan dan semesta, kita tidak perlu terpanggil untuk menyebarkan anugerah Allah kepada dunia ini. Sebab seluruh ciptaan, bumi dan semesta dipenuhi oleh anugerah Allah. Di kitab 1 Raja-raja 8:27 menyatakan: “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.” Apabila langit yang mengatasi langit tidak dapat memuat Allah, maka anugerah Allah sesungguhnya telah meresapi seluruh ciptaan dan semesta.
Walau Allah dan anugerah-Nya mengatasi segala langit, bumi dan seisinya, tetapi melalui kesaksian Alkitab kita mengetahui bahwa dunia dan semesta ini telah jatuh ke dalam dosa. Seluruh ciptaan dan semesta serta seisinya berada di bawah kuasa dosa. Di tengah-tengah realitas keberdosaan manusia, Allah menganugerahkan rahmat-Nya di dalam inkarnasi Yesus. Yesus yang adalah Sang Firman Allah menjadi manusia. Karena itu kita dipanggil untuk menyebarkan anugerah keselamatan Allah di dalam Kristus kepada dunia di sekitar kita. Melalui peristiwa Natal yaitu kelahiran Kristus kita dipanggil untuk memberitakan anugerah keselamatan Allah kepada setiap orang, suku, bangsa dan dunia ini.
Tugas panggilan tersebut pada masa kini diperhadapkan dengan tantangan zaman yaitu sikap relativisme yang dipengaruhi oleh pola berpikir post-modernisme, dan sikap absolutisme yang memutlakkan ajaran/doktrin agamanya. Sikap relativisme menimbulkan sikap agnostisme dan ateisme, sedangkan sikap absolutisme menimbulkan fanatisme dan konservatisme. Kita berada di antara dua kubu yang sama-sama ekstrem, yaitu sikap relativisme yang merelatifkan terhadap semua aspek kebenaran agama, dan absolutisme yang memutlakkan ajaran agamanya dengan menistakan agama dan kepercayaan orang lain. Karena itu tugas panggilan untuk menyebarkan anugerah Allah di dalam Kristus harus mampu keluar dari belenggu relativisme dan absolutisme/fanatisme. Jika demikian bagaimana caranya kita dapat keluar dari belenggu relativisme dan absolutisme tersebut?
Kita harus mampu keluar dari belenggu ekstremitas sikap relativisme dan absolutisme dengan merenungkan kembali kekayaan identitas diri kita dalam perspektif iman Kristen, yaitu khususnya pada penyataan Allah di dalam Kristus seraya bersedia dibebaskan oleh Kristus dengan kuasa penebusan-Nya. Pertama, dalam terang penebusan Kristus, kita memahami secara teologis konteks sejarah yang membentuk kisah kelahiran Kristus. Kedua, membuka diri terhadap karya Roh Kudus untuk dibarui sehingga kehadiran kita membawa perdamaian dan kesejaheraan kepada setiap orang di manapun kita berada.
Umat percaya kepada Kristus harus mampu membebaskan diri dari sikap relativisme dan absolutisme dengan membentuk jati-diri yang inklusif. Makna sikap inklusif adalah setiap umat mampu mengenal dan memiliki jati-diri dan imannya yang otentik seraya mampu membuka ruang untuk berbagi kepada sesama yang berbeda. Sikap inklusif tidak merelatifkan dan mengabsolutkan keyakinan akan suatu kebenaran. Sebaliknya sikap inklusif berakar pada kebenaran yang dinyatakan oleh Allah seraya dengan rendah-hati membuka diri untuk diperkarya dan diterangi oleh kebenaran yang membebaskan sebagaimana dilakukan dalam karya penebusan Kristus sehingga bersedia berbagi ruang dengan sesama yang berbeda.
Berita tentang anugerah Allah dalam kelahiran Yesus diawali oleh Injil Lukas dalam Lukas 2:1 dengan kesaksian, yaitu: “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.” Berita kelahiran Yesus ditempatkan oleh Injil Lukas dalam masa pemerintahan kaisar Agustus dengan catatan pendaftaran sensus “semua orang di seluruh dunia.” Kata “semua orang di seluruh dunia” berasal dari pasan ten oikoumenen. Berbeda dengan peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis ditempatkan dalam konteks pemeritahan raja Herodes Agung. Lukas 1:5 menyatakan: “Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.”
Penulis Injil Lukas dengan sengaja membedakan konteks kelahiran Yesus dengan kelahiran Yohanes Pembaptis. Kelahiran Yohanes Pembaptis ditempatkan dalam konteks pemerintahan Herodes Agung sebagai raja wilayah di Yudea. Sedangkan kelahiran Yesus ditempatkan dalam konteks pemerintahan kaisar Agustus sebagai penguasa dunia pada waktu itu. Sebab kekuasaan kerajaan Romawi pada zaman kaisar Agustus meliputi: Italia, Dalmatia, Makedonia, Gallia, Hispania, Afrika, Asia, Syria, dan Palestina. Karena itu raja Herodes Agung adalah raja taklukkan yang dipercaya oleh kaisar Agustus untuk memerintah di wilayah Yudea. Dengan demikian melalui kesaksian Lukas 2:1 penulis Injil Lukas hendak menegaskan bahwa kelahiran Yesus memiliki pengaruh yang sifatnya universal/mendunia dibandingkan dengan kelahiran Yohanes Pembaptis yang memiliki pengaruh yang sifatnya lokal/periodik.
Menurut catatan sejarah, pemerintah kaisar Agustus adalah pemerintahan yang mampu membawa kerajaan Romawi mencapai zaman keemasan. Kaisar Agustus adalah kaisar yang mampu membawa kerajaan Romawi mengalami masa damai. Karena itu dalam pemerintahannya, kerajaan Romawi pada waktu itu mendapat sebutan sebagai “Pax Romana” yang artinya: Roma yang damai (the Roman peace). Rakyat dan dunia pada masa itu melihat kaisar Agustus sebagai seorang penguasa, sehingga dia disebut sebagai Kyrios. Selain itu karena kaisar Agustus memiliki pengaruh dan kharisma yang begitu besar, ia mendapat gelar sebagai Divi Fillus yang artinya “anak ilahi” (son of divine). Dengan demikian konteks kelahiran Yesus diperhadapkan dengan kehadiran seorang yang penguasa yang baik, penguasa yang mampu membawa damai, dan penguasa yang mendapat gelar sebagai “Kyrios” dan “Divi Fillus.” Perisiwa kelahiran Yesus bukan diperhadapkan dengan kekuasaan seorang kaisar yang jahat dan kejam seperti kaisar Nero, Tiberius dan Domitianus. Jika demikian apa maknanya kelahiran Yesus terjadi dalam masa pemerintahan kaisar Agustus?
Lukas sebagai saksi sejarah hendak menyatakan bahwa semua kebesaran kaisar Agustus, kekuasaannya yang menjangkau wilayah yang begitu luas di bumi, kharisma dan suasana damai yang terjadi di seluruh wilayah kerajaannya tetap terbatas dan fana. Dengan perkataan lain Lukas menyatakan bahwa Kyrios Yesus melampaui kyrios kaisar Agustus, jabatan Yesus sebagai Anak Allah melampaui gelar kaisar Agustus sebagai Divi Fillus, situasi damai yang dikaruniakan Allah dalam kelahiran Yesus melampaui situasi damai kerajaan Roma (Pax Romana). Mengapa? Karena bagaimanapun kaisar Agustus yang baik dan dipuja sebagai Divi Fillus adalah seorang penjajah. Sebagai seorang penjajah, kaisar Agustus tidak terlepas dengan penggunaan kekerasan, militerisme, kekuasaan politis, dan berbagai tindakan duniawi. Bagaimanapun kaisar Agustus yang baik dan berjiwa agung tersebut telah melumuri tangannya dengan banyak darah.
Melalui kelahiran Yesus di Betlehem, Allah tidak memilih penggunaan kekerasan dan penumpahan darah untuk menaklukkan hati manusia. Di dalam diri Yesus yang adalah Sang Firman Allah, Allah menaklukkan hati manusia dengan damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Di Yohanes 14:27 Tuhan Yesus berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” Injil Lukas mendasari kesaksian karya Allah yang mendatangkan damai-sejahtera melalui kesaksian para gembala. Dalam hal ini para gembala adalah kelompok masyarakat yang lemah dan termarginalisasikan. Alat ukur yang dipakai Allah bukanlah alat ukur berdasarkan status, kekuasaan, kepandaian dan kemampuan ekonomis. Tetapi Allah memakai kehidupan orang-orang sederhana namun memiliki hati yang tulus. Di Lukas 2:15 para gembala berkata satu kepada yang lain yaitu: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu di Lukas 2:20 menyatakan: “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.”
Para gembala dalam Injil Lukas 2 mengalami “pengalaman religius” yang mungkin sesuai dengan gambaran Rudolf Otto saat manusia mengalami perjumpaan dengan yang Ilahi, yaitu: mysterium tremendum et fascinans. Perjumpaan dengan Ilahi adala suatu misteri yang melampaui seluruh definisi dan pemahaman akal-budi, yang mana pengalaman berjumpa dengan yang Ilahi tersebut menakutkan dan menggentarkan manusia, dan pada saat yang sama mempesona manusia dicengkeram oleh kasih Allah yang tak terperikan.
Para gembala di padang Efrata tersebut mengalami peristiwa Teofani, yaitu penyataan Allah. Kapankah para gembala di padang Efrata tersebut mengalami peristiwa Teofani tersebut? Para ahli tafsir memperkirakan peristiwa penampakan para malaikat Tuhan kepada para gembala di padang Efrata terjadi pada bulan Tevet (Desember – Januari). Perayaan Natal dalam sejarah Liturgi dihayati di antara bulan Desember – Januari. Bagaimana cara penghitungannya?
Dasar penghitungan hari kelahiran Yesus adalah dimulai dari penentuan waktu kelahiran Yohanes Pembaptis. Penentuan waktu kelahiran Yesus dapat dihitung berdasarkan penghitungan waktu kelahiran Yohanes Pembaptis. Bagaimana menentukan waktu kelahiran Yohanes Pembaptis? Berita kelahiran Yohanes Pembaptis terjadi saat ayahnya Zakharia mempersembahkan korban di Bait Allah (Luk. 1:8-11). Menurut kalender Yudaisme, perayaan korban di Bait Allah terjadi pada bulan 14 Nissan untuk merayakan hari raya Paskah. Tetapi tampaknya Lukas 1:1-8-11 tidak menggambarkan suasana perayaan hari Paskah. Karena itu kemungkinan besar Imam Zakharia melaksanakan tugas sebagai Imam pada hari raya Tishrei (September – Oktober). Sebab pada bulan Tishrei umat Israel merayakan tiga hari raya yaitu: a). Rosh Hassanah (Tahun Baru), b). Yom Kippur (hari raya Penebusan), dan c). Sukkot (Pondok Daun). Jadi Yohanes Pembaptis lahir sekitar bulan Tishrei yaitu sekitar bulan September-Oktober.
Lalu menurut kesaksian Lukas 1:26 menyatakan bahwa Malaikat Gabriel menyampaikan kabar gembira kepada Maria pada bulan keenam, yaitu: “Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret.” Apakah arti bulan keenam, apakah menunjuk bulan keenam setelah bulan pertama yaitu bulan Nissan? Apabila kita memperhatikan pada ayat sebelumnya di Lukas 1:24 menyatakan: “Beberapa lama kemudian Elisabet, isterinya, mengandung dan selama lima bulan ia tidak menampakkan diri” adalah menunjuk pada masa kehamilan Elisabet. Karena itu makna “bulan ke enam” menunjuk pada masa kehamilan Elisabet. Perhitungan ini sesuai dengan pernyataan Malaikat Gabriel yang berkata kepada Maria: “Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu” (Luk. 1:36).
Ini berarti Maria mengandung Yesus sekitar bulan Maret/April (cara penghitungan: September-Oktober ditambah 6 bulan). Bulan Maret-April dalam kalender Yudaisme adalah bulan Nissan (perayaan hari raya Paskah). Bapa gereja Johanes Chrisostomos menyatakan Maria mengandung janin Yesus mulai pada tanggal 25 Maret. Sebuah traktat yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Seorang tokoh gereja bernama Hippolytus, dalam tafsirannya atas Daniel 4:23 yang ditulis sekitar tahun 202 menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Karena itu gereja Katolik setiap tanggal 25 Maret merayakan Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel.
Apabila dugaan awal pembuahan janin Yesus dalam rahim Maria pada tanggal 25 Maret ditambah 9 bulan maka Yesus lahir sekitar pada tanggal 25 Desember. Pada sisi lain gereja Orthodoks merayakan peristiwa Natal setiap tangal 6 Januari. Bagaimana menjawab permasalahan ini? Saya berpendapat bahwa Yesus lahir pada yaitu bulan Tevet. Pada bulan Tevet tersebut seluruh kandil Menorah dinyalakan sehingga Bait Allah menjadi terang benderang. Sebab pada bulan Tevet yaitu (Desember – Januari) umat Israel merayakan puncak perayaan Chanukah. Dengan kata lain Yesus lahir di antara periode bulan Desember – Januari (mungkin 25 Desember – 6 Januari).
Bertepatan dengan perayaan Chanukah, para gembala di padang Efrata Betlehem melihat cahaya kemuliaan para malaikat yang menampakkan diri. Cahaya kemuliaan para malaikat sorgawi tersebut adalah “cahaya Menorah” yang sesungguhnya. Inilah cahaya kemuliaan Allah yang kekal. Dengan demikian kelahiran Kristus diterangi oleh cahaya Menorah surgawi. Di Yohanes 8:12 Yesus berkata: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.”
Kesaksian ini menegaskan bahwa Kristus yang diberitakan oleh Alkitab adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Keselamatan dan damai-sejahtera yang dikaruniakan Kristus bukanlah berasal dari dunia tetapi berasal dari sorga. Karena itu setiap kita dipanggil untuk menyebarkan anugerah Allah di dalam Kristus kepada setiap bangsa di dunia ini. Wujud penyebaran anugerah Allah adalah hidup dalam kebenaran dan panggilan-Nya sesuai dengan profesi/tanggungjawab kita masing-masing.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
(dipresentasikan dalam kebaktian Natal keluarga besar Universitas Kristen Maranatha Bandung pada tanggal 16 Desember 2016)