Latest Article
Perkawinan Beda Agama

Perkawinan Beda Agama

(Sikap Iman Kristen di tengah Keberagaman dan Relasi Cinta Beda Agama)

Pertanyaan:

Bagaimana sikap gereja dengan permintaan anggota jemaat untuk dapat menikah beda agama? Apakah gereja dapat memberkati pernikahan beda agama, misalnya: calon mempelai pria adalah anggota jemaat dan calon mempelai perempuan beragama Islam?

Jawaban:

Di dalam gereja, berkat dalam pernikahan tidak berdiri sendiri. Tetapi berkat terintegrasi dengan peneguhan. Lebih tepat dalam pelaksanaan kebaktian pernikahan, peneguhan dilaksanakan lebih dahulu barulah berkat diberikan. Berkat tidak boleh dipisahkan atau dilepaskan dari peneguhan gerejawi. Karena itu makna “berkat” di dalam kebaktian pernikahan tidak bersifat umum. Berkat di dalam kebaktian pernikahan dilaksanakan secara khusus. Jadi berkat dalam kebaktian pernikahan bukan bersifat umum, sehingga tidak dapat diberikan kepada setiap orang yang meminta.

            Beberapa gereja menganggap berkat dapat diberikan dalam pernikahan beda agama karena Allah sebagai sumber berkat adalah Allah yang penuh pengasih dan penyayang serta murah-hati.

Dalam teologi dan pengajaran gereja, berkat (barakah) ditempatkan di dalam kedaulatan dan kasih-karunia Allah. Manusia tidak dapat mengejar berkat walau dengan upayanya. Berkat juga bukan ditentukan oleh kesalehan dan status seseorang. Kita dapat belajar dalam kasus 2 anak Yusuf, yaitu Manasye (anak sulung) dan Efraim (anak bungsu). Ternyata Yakub (Israel) tidak meletakkan tangan kanannya untuk memberkati Manasye walau ia anak sulung. Sebaliknya karena Manasye berada di sebelah kanan, Yakub meletakkan tangan kirinya kepada Manasye dan tangan kanannya kepada Efraim. Karena kedua tangan Yakub bersilang (Kej. 48:13-19).

Dasar pondasi peneguhan dan pemberkatan perkawinan adalah perjanjian Allah dengan umat-Nya. Perjanjian Allah (berit Elohim) terjadi karena kedaulatan dan kasih-karunia-Nya. Karena itu perkawinan secara iman Kristen ditempatkan dalam hukum perjanjian. Perkawinan iman Kristen bukan kontrak.

PerjanjianKontrak
Setara, equalitasSubordinasi, hirarkhi
AbadiTemporal
Kasih dan keadilanProfit, keuntungan
KesetiaanKetaatan pada hukum
Anugerah, rahmat AllahHukum formal, institusional
AntusiasmePerasaan datar

Perkawinan Kristen yang dilandasi oleh perjanjian kasih-karunia Allah bersifat monogamis. Sebaliknya konsepsi perkawinan dalam agama Islam mengizinkan poligami. Kedua nilai tersebut riskan membawa keluarga yang diberkati oleh gereja mengalami konflik dan perceraian.

Hakikat peneguhan dan pemberkatan pernikahan dapat kita bandingkan dengan peristiwa peneguhan seorang penatua dan pendeta. Berkat diberikan setelah peneguhan dilaksanakan. Dalam kebaktian peneguhan penatua dan pendeta tidak pernah diberikan berkat saja atau peneguhan saja. Kedua aspek tersebut terintegrasi dalam respons iman. Karena itu dimensi yang fundamental dalam kebaktian peneguhan dan pemberkatan adalah sikap dan pengakuan iman.

Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana gereja dapat meneguhkan dan memberkati pernikahan apabila salah satu pihak menolak dan tidak percaya pada pengakuan iman kepada Allah Trinitaris?

Dalam rumusan peneguhan dan pemberkatan pernikahan seorang pendeta yang bertugas menyatakan: “Aku meneguhkan pernikahanmu dalam nama Bapa-Anak-Roh Kudus.” Masalah teologisnya adalah bukan gereja tidak mau melakukan peneguhan dan pemberkatan pernikahan kepada pasangan beda agama. Tetapi bagaimana mungkin pasangan beda agama yang salah satu pihak menolak pengakuan iman yang menjadi dasar bagi pengukuhan dalam pernikahan mereka?

Gereja-gereja yang mengadakan peneguhan dan pemberkatan perkawinan dengan pemahaman bahwa berkat Tuhan bersifat universal adalah tidak tepat. Peneguhan dan pemberkatan perkawinan bukan berkat yang umum. Berkat secara umum dilaksanakan dalam kebaktian hari Minggu di Minggu Biasa dan pada hari raya gerejawi. Di dalam berkat yang terjadi dalam kebaktian-kebaktian tersebut dinyatakan secara umum kepada setiap umat yang menghadiri kebaktian tersebut.

Untuk memahami makna berkat dan peneguhan gerejawi kita perlu memahami hakikat dari Teologi Ordinasi (ordination theology).

Prinsip Teologi Ordinasi adalah:

  1. Inisiatif peneguhan adalah Allah, bukan manusia. Karena itu peneguhan dan berkat dalam pernikahan merupakan inisiatif Allah.
  2. Gereja melaksanakan peneguhan dan pemberkatan pernikahan karena mempelai telah memenuhi persyaratan baik Tata Gereja dan peraturan pemerintah atau UU Pernikahan yang berlaku.
  3. Walau peneguhan dan pemberkatan pernikahan tidak dipahami oleh gereja reformatoris sebagai sakramen, namun tidak berarti peneguhan dan pemberkatan pernikahan bersifat biasa. Sebaliknya hakikat peneguhan dan pemberkatan dalam pernikahan bersifat sakramental. Makna sakramental bersifat sakral, suci, mulia sehingga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai kaidah iman serta ketentuan gereja termasuk pemerintah yang berlaku.

Problem pelaksanakan pernikahan beda agama sampai saat ini karena peraturan pemerintah berupa Undang-undang Perkawinan yang hanya sah dilakukan menurut peraturan agama yang bersangkutan. Menyikapi peraturan pemerintah tersebut adalah:

  1. Sikap dan keputusan gereja tidak boleh berdiri sendiri. Di Indonesia berlaku UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang mana di pasal 2 butir 1 menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
  2. Gereja sebagai hamba Tuhan wajib tunduk dan menghormati perundangan-undangan Perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu gereja tidak seyogyanya melakukan peneguhan dan pemberkatan yang tidak mungkin disahkan oleh Catatan Sipil.  
  3. Jikalau negara tidak dapat mengesahkan, mengapa gereja mengesahkan? Bukankah tindakan gereja menjadi ilegal? Sebab apabila gereja tetap meneguhkan dan memberkati pernikahan mereka, pihak Catatan Sipil berhak menolak berdasarkan peraturan pemerintah tersebut.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Apakah gereja dapat memberi jalan keluar terhadap kebuntuan bagi pasangan beda agama yang ingin menikah?

Saya berpendapat bahwa gereja dapat melakukan peneguhan dan pemberkatan pernikahan kepada pasangan yang beda agama dengan catatan sebagai berikut, yaitu:

  1. Pasangan tersebut telah menempuh jalur hukum di pengadilan, bukan di Catatan Sipil atau KUA.
  2. Untuk itu gereja dapat mengeluarkan Surat Keterangan yang menjelaskan bahwa keduanya beda agama namun ingin perkawinannya disahkan oleh gereja.
  3. Berdasarkan Surat Keterangan tersebut, pengadilan dapat mengeluarkan penetapan dan keputusan bahwa keduanya disetujui untuk menikah menurut iman Kristen walau salah seorang tetap mempertahankan agamanya.
  4. Berdasarkan penetapan dan keputusan pengadilan tersebut, gereja dapat memproses pasangan beda agama untuk diteguhkan dan diberkati dengan pengertian sesuai ketentuan Tata Gereja GKI, yaitu di Tata Laksana pasal 31 ayat 2 butir C yang menyatakan:
    • Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/istrinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristen.
    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani.

Dengan ketentuan itu gereja dapat melakukan kebaktian peneguhan dan pemberkatan secara legal seraya menghormati keputusan pemerintah yang tertuang dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Tetapi sikap gereja yang menempatkan hasil dan penetapan dan keputusan Pengadilan tersebut, pasangan beda agama telah terbukti tangguh untuk memperjuangkan hak asasinya secara legal.

Prinsipnya gereja dan negara menghormati hak asasi setiap warganya, tetapi hak asasi tersebut tidak serta merta diberlakukan secara informal. Hak asasi tersebut harus diperjuangkan dalam media dan forum formal yang diakui oleh negara, masyarakat dan gereja, yaitu Pengadilan Negeri.

Di lain pihak gereja dapat membela hak asasi umat dengan cara melalui lembaga gerejawi yang lebih tinggi misalnya Sinode atau Persekutuan Gereja-gereja Indonesia mengajukan judicial-review terhadap UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Tentunya gereja memberikan solusi yang lebih baik dan tepat. Dalam konteks ini gereja dan pemerintah akan lebih saling bekerja sama, saling mendukung dan memberi jalan keluar secara bijaksana.

Perlu dipahami dalam praktik sehari-hari perpindahan agama dari Kristen ke agama lain khususnya Islam karena gereja tidak memiliki bargaining-power. Para pemuka agama Islam dengan tegas menolak perkawinan beda agama dengan syarat apabila mereka tetap mempertahankan imannya yang semula. Pasangan yang non-Islam dapat dikukuhkan menikah apabila mereka terlebih dahulu mengucapkan kalimat syahadat dan otomatis menjadi mualaf. Sebaliknya gereja cenderung bersifat pragmatis dan permisif dengan menganggap bahwa cara yang aman adalah memberkati perkawinan beda agama di gereja. Penghiburan beberapa pemuka agama Kristen tersebut adalah asalkan salah satu yang non-Kristen sudah bersedia tanda-tangan bahwa tidak menghalangi pasangannya beribadah secara iman Kristen.

Ulasan tersebut bagi pembaca mungkin masih menimbulkan ganjalan di hati. Bukankah dengan panjang-lebar saya telah mengulas tentang makna berkat Allah dalam kebaktian peneguhan dan pemberkatan perkawinan, teologi ordinasi, eklesiologi, dan Tata Gereja? Tetapi solusi ternyata diselesaikan melalui pengajuan calon mempelai ke Pengadilan Negeri. Lalu di mana di mana tempat landasan teologisnya?

Saya memang tidak lengkap menjelaskan dan memberi penyelesaian yang utuh. Penyebabnya karena kita mengetahui bahwa 2 orang yang bertekad menikah walau beda agama akan sulit dicegah. Bahkan mereka sulit diberitahu atau mendapat penjelasan karena dipengaruhi oleh perasaan mencinta. Jadi minimal melalui proses pengadilan yang agak sulit dan panjang tersedia waktu mereka memikirkan dan mendapat bimbingan agar pasangan yang tidak seiman dapat memahami kekayaan kasih Kristus. Sebab bagi saya perkawinan sedikit ideal apabila seiman. Seiman di dalam Kristus dalam arti yang sesungguhnya akan menghadirkan perkawinan yang bermakna, tak terceraikan kecuali oleh kematian dan bertumbuh dalam kasih karunia Allah.

Sumber ilustrasi gambar:
http://yuridis.id/perkawinan beda agama rechtsvacuum

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono