“Akulah pintu, barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh. 10:9).
Setiap pintu memiliki lubang kunci dan kunci itu sendiri. Dengan kunci yang tepat pintu akan terkunci dengan aman atau bisa terbuka sesuai kebutuhan. Setiap rumah modern tidak ada yang tidak memiliki pintu sekaligus kuncinya. Simbol pintu dan kunci dalam sebuah rumah atau tempat kediaman dapat menjadi simbol media komunikasi dan relasi dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa media “pintu” dan “kunci” realitas kehidupan tidak dapat berlangsung dan bermakna. Sebab makna media “pintu” dan “kunci” menunjuk pada simbol bagaimana kita menjalin relasi dengan publik atau menikmati kehidupan dalam ruang privat.
Dalam dunia modern, media pintu disebut sebagai “akses” dan kunci disebut “password.” Setiap insan dalam dunia modern membutuhkan “akses” dan “password” yang tepat untuk membuka berbagai media yang dibutuhkan. Tanpa akses dan password yang tepat kita akan kehilangan kesempatan untuk mengirim atau menerima berbagai data, informasi dan transaksi keuangan. Karena itu akses dan password di dunia virtual sangat dibutuhkan sehingga kita dapat membuka wifi, email, e-banking, website (situs), dan media sosial. Dengan akses dan password yang tepat kita dapat menjelajah dunia virtual yang tidak terhingga. Karena itu dengan akses dan password yang tepat kita dapat mengembangkan berbagai kemampuan dan talenta yang telah dianugerahkan Tuhan. Sebaliknya dengan akses dan password tertentu kita juga dapat merusak atau menghancurkan diri sendiri misalnya kita menjadi terpengaruh dengan pornografi, kecenderungan dan praktik kekerasan, perjudian, narkoba, fanatisme, dan sebagainya.
Fungsi pintu sebagai akses, dan kunci sebagai password begitu penting dalam memaknai kehidupan ini. Karena itu dapat disimpulkan bahwa berbagai problem besar dalam kehidupan ini sering disebabkan karena kita tidak menemukan “pintu” dan “kunci” yang tepat dalam menyikapi suatu persoalan. Saat kita tidak dapat menemukan “pintu” sebagai jalan keluar dan “kunci” untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka seseorang akan mengalami kebingungan dan situasi putus-asa. Saat seseorang mengalami kebingungan dan putus-asa dia akan tergoda untuk menempuh “jalan pintas” (by pass). Akibat seseorang mengambil “jalan pintas” tentu menimbulkan risiko dan problem yang lebih kompleks. Dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Bisa juga dia akan mengambil tindakan-tindakan yang liar, brutal dan tidak berpikir panjang sehingga menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Kondisi ini seperti magma dalam perut gunung berapi yang tidak menemukan jalan keluar sehingga mencapai kulminasi berupa letusan yang sangat dahsyat dan merusak setiap habitat di sekitarnya.
Salah satu inti dari iman adalah kebutuhan manusia menemukan “pintu” dan “kunci” dalam relasinya dengan Allah. Iman terjadi karena Allah mengaruniakan “pintu” kepada manusia sehingga terjalin relasi dan komunikasi melalui doa. Karya keselamatan Allah dapat dialami oleh manusia karena Allah mengaruniakan “pintu dan kunci” dalam kuasa anugerah-Nya. Dengan karunia Allah berupa “pintu dan kunci” keselamatan, maka manusia memperoleh kekuatan di tengah-tengah keterbatasannya, perasaan damai-sejahtera di tengah-tengah kegelisahan, harapan di tengah-tengah perasaan putus-asa dan janji keselamatan di tengah-tengah keberdosaannya. Media “pintu dan kunci” keselamatan Allah di Kitab Keluaran dialami oleh umat Israel saat mereka baru saja keluar meninggalkan tanah perbudakan di Mesir. Sebab dalam perjalanannya menuju tanah Kanaan mereka dikejar oleh tentara Mesir. Mereka juga tidak dapat berjalan maju ke depan sebab terbentang laut Teberau. Umat Israel berada dalam kondisi tertutupnya “pintu” (jalan keluar). Saat itu mereka panik, ketakutan dan tidak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri dari kejaran tentara Mesir tetapi juga tidak tahu bagaimana harus melintasi Laut Teberau. Mereka benar-benar tidak menemukan “pintu” sebagai jalan keluarnya. Namun di tengah-tengah kondisi tanpa tersedia “pintu” sebagai media jalan keluar, Allah menyediakan “pintu” keselamatan yang lain. Dengan kuasa-Nya Allah membuka “pintu” yaitu terbelahnya Laut Teberau. Allah memerintahkan Musa agar mengacungkan tongkatnya ke Laut Teberau dan Laut Teberau tersebut dapat terbelah membentuk jalan sehingga umat Israel dapat berjalan di tengah-tengahnya dengan selamat.
Karya keselamatan Allah tidak hanya terjadi dalam kehidupan dan sejarah umat Israel. Sebab karya keselamatan Allah tidak pernah berhenti. Karya keselamatan Allah senantiasa progresif dan akhirnya mencapai puncak dalam karya penebusan Kristus. Dalam konteks Injil Yohanes 10:1-10 menyatakan Allah menghadirkan diri-Nya di dalam diri Yesus sebagai “Pintu.” Di Yohanes 10:9 Yesus berkata: “Akulah pintu, barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.” Makna Yesus sebagai “Pintu” bukan hanya menunjuk pada Yesus yang telah hidup dan berkarya 2000 tahun yang lalu, tetapi juga Yesus yang tetap berkarya sebagai “pintu” di abad XXI ini. Kita tahu bahwa ciri abad XXI ditandai oleh kecenderungan merelatifkan segala sesuatu. Abad XXI disebut sebagai “post modernisme” karena dianggap telah melewati era modernisme yang serba rasional dengan kebenaran yang absolut. Karena itu di abad XXI ditandai oleh perlawanan terhadap segala bentuk yang mengklaim dirinya “absolut.” Kebenaran yang ada kini dipahami secara subjektif dan relatif belaka. Di abad XXI ini kita juga hidup di tengah-tengah era fanatisme, fundamentalisme dan radikalisme agama sehingga muncullah berbagai kekerasan dan terorisme yang semakin meluas. Walau abad XXI ditandai dengan komunikasi yang semakin intens, tetapi batin manusia modern sering mengalami kekosongan. Ritualisme agama tetap dijalankan dengan meriah dan antusias tetapi umat mengalami kemiskinan rohani. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah Yesus sebagai “pintu” hadir dan berkarya di tengah-tengah situasi kontemporer yang demikian? Apakah pada era abad XXI Kristus berkuasa memberikan jalan keluar atau solusi di tengah-tengah realitas era post-modernisme dan semua kompleksitias permasalahannya?
Sejujurnya tidak setiap umat Kristen mengalami kehadiran dan karya Kristus sebagai “pintu” dalam kehidupannya. Kehadiran dan karya keselamatan Kristus sering tersembunyi dalam suasana hingar-bingar, keramaian, tekanan-tekanan, dan rumitnya persoalan hidup. Karena itu kita sering terseret oleh kecenderungan di era post-modernisme dengan merelatifkan semua kebenaran. Eksistensi Allah juga dianggap relatif dan subjektif. Kita tergoda untuk menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan karena dunia di sekitar kita mempraktikkan kekerasan. Kita membangun relasi di zona nyaman dengan sikap eksklusif karena kita tidak mampu menghadapi keanekaragaman. Cara pandang kita kepada agama-agama dan kepercayaan lain kita sikapi dengan sikap fanatik karena kita menghayati iman dengan superioritas atau triumfalisme (paham keagamaan untuk selalu menang). Pola pikir kita dalam memahami realitas iman cenderung fundamentalistik-radikal karena kita memahami kebenaran secara sempit dan dangkal. Kecenderungan dan sikap duniawi tersebut kita tempuh karena kita tidak menemukan “pintu” keselamatan yang disediakan Allah di dalam Kristus. Karena itu kita lebih memilih mencari “pintu-pintu lain” untuk mengatasi berbagai persoalan, pergumulan, kegagalan dan kesedihan atau tekanan yang kita hadapi.
Keraguan orang Kristen modern adalah apakah benar Yesus adalah “pintu?” Apa buktinya Yesus adalah “pintu?” Bukankah setiap agama menyediakan “pintu” sehingga umat mampu berelasi dengan Sang Khalik? Apakah Yesus memiliki tempat khusus dan unik dibandingkan dengan keberadaan agama-agama yang ada? Bukankah setiap agama dan kepercayaan juga memiliki fungsi sebagai “pintu?” Iman Kristen menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya “pintu” karena Dia adalah Sang Firman yang menjadi manusia. Sang Firman Allah adalah kekal bersama dengan Allah. Itulah sebabnya dalam Yohanes 10:9 Yesus berkata: “Aku adalah pintu” (Egoo Thura). Makna kata “Akulah” (egoo eimi) hanya dipakai oleh Allah untuk menyebut diri-Nya. Yesus tidak berkata: “Allah adalah pintu.” Namun walaupun Yesus adalah Sang Firman Allah yang kekal dan sehakikat dengan Allah, Dia berkenan mengenakan kodrat insani sebagai manusia dalam inkarnasi-Nya. Karena itu Yesus memiliki dua kodrat, yaitu kodrat ilahi dan kodrat insani. Dengan dua kodrat ilahi dan insani tersebut Yesus berperan sebagai “pintu” dalam dimensi vertikal dengan Allah dan dimensi horisontal dengan manusia. Yesus menjadi “Pengantara” dengan Allah dan manusia. Di Surat 1 Timotius 2:5 menyatakan: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”
Melalui inisiasi sakramen baptis-sidi Allah mengaruniakan “pintu” keselamatan di dalam karya penebusan Kristus. Kita dihisapkan ke dalam persekutuan umat percaya yang telah ditebus dengan darah-Nya. Tetapi inisiasi sakramen baptis-sidi tersebut perlu senantiasa dihidupi dengan sikap iman. Sebab iman merupakan kunci masuk (password) kepada relasi personal dengan Allah di dalam Kristus. Surat Roma 5:2 menyatakan: “Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” Kehadiran dan karya Kristus sebagai “pintu” dapat kita alami apabila kita hidup dalam sikap iman kepada-Nya. Tanpa sikap iman maka “pintu” keselamatan yang disediakan Allah di dalam Kristus akan tertutup rapat. Kita tidak dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus, tetapi juga tidak bisa keluar menemukan padang-rumput yang segar. Untuk itu iman kepada Kristus perlu senantiasa dihidupi menjadi spiritualitas yang berdaya-cipta menggerakkan seluruh aspek kepribadian kita. Spiritualitas yang berdaya-cipta tersebut yang memampukan kita masuk ke dalam “pintu” persekutuan dengan Kristus dan menjadikan kehidupan kita juga sebagai “pintu” bagi orang-orang di sekitar kita.
Kristus adalah “pintu” bagi kehidupan dan keselamatan kita. Tetapi di dalam Kristus, kita dipanggil menjadi “pintu” bagi sesama. Karena itu kehadiran kita seharusnya menjadi ruang anugerah Allah yang memungkinkan setiap orang mengalami perasaan diterima, dihargai dan dikasihi. Mereka merasa teduh dan damai dengan kehadiran kita. Sebab kehadiran kita dipakai oleh Allah sebagai “pintu” yang memungkinkan orang-orang di sekitar kita berjumpa dengan Kristus. Untuk itu kita perlu mengembangkan spiritualitas empati yang lahir dari kasih agar kita mampu menjadi “pintu” yang bisa menerima keberadaan sesama apa adanya.
Media “pintu” dalam konteks ini adalah spiritualitas empati atau belarasa yang didasari oleh kasih Allah di dalam penebusan Kristus. Tanpa spiritualitas empati atau belarasa Allah, kita akan menjadi tukang pukul kepada setiap orang yang akan memasuki “pintu” rumah kehidupan kita. Bukankah cukup banyak di antara kita yang lebih memilih menjadi media “pintu” yang tampaknya terbuka tetapi penuh dengan cacian dan penghakiman kepada orang-orang yang ingin menjalin relasi melalui “pintu” rumah kita. Realitas ini terjadi karena kita memahami makna kehidupan dengan perspektif yang serba subjektif, perasaan unggul/superior dan keakuan yang harus selalu menang (triumfalisme). Tetapi dalam perjumpaan dengan Kristus yang adalah “pintu” keselamatan Allah, seharusnya seluruh kebanggaan dan kesombongan kita menjadi hancur. Karena itu kita sekarang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam karya keselamatan-Nya melalui “pintu” penebusan salib dan kebangkitan Kristus dengan hati yang remuk. Manusia lama kita mati dalam salib Kristus dan manusia baru kita hidup dalam kuasa kebangkitan-Nya. Jika demikian, maukah kita berperan sebagai media “pintu” bagi setiap orang agar mereka berjumpa dengan Kristus yang adalah satu-satunya Pintu Keselamatan?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono