Latest Article
Ehyeh asyer Ehyeh (Keluaran 2:23- 3:15)

Ehyeh asyer Ehyeh (Keluaran 2:23- 3:15)

Abstrak:
Penyataan Allah di Gunung Horeb (Sinai) kepada Musa melalui semak duri yang menyala tetapi tidak hangus ditempatkan dalam konteks penderitaan umat Israel yang diperbudak di Mesir, sehingga Allah mengutus Musa untuk membebaskan mereka. Allah menyatakan diri-Nya sebagai YHWH (Adonai), sebagai Tuhan Penyelamat. Dialah Tuhan yang akan memimpin umat Israel keluar dari Mesir melalui kepemimpinan Musa, sehingga umat Israel yang dahulu berstatus sebagai budak kini diubah menjadi umat pilihan Allah.

Kata kunci: Penyataan Allah, YHWH, Musa, umat pilihan

Latar-belakang
Penyataan diri Allah pada hakikatnya merupakan peristiwa penyingkapan diri Allah. Dengan penyingkapan diri Allah tersebut, keberadaan diri Allah yang semula tidak dikenal menjadi keberadaan ilahi yang dapat dipahami, disapa dan diimani oleh manusia. Penyataan diri Allah tersebut terjadi bukan karena hasil upaya manusia melalui tahap-tahap spiritualitas dan kesalehannya. Sebaliknya penyataan diri Allah tersebut terjadi karena kehendak, inisiatif dan rencana Allah sendiri.

            Peristiwa penyataan diri Allah tidak terjadi dalam ruang kosong (ahistoris). Sebaliknya terjadi dalam peristiwa hidup manusia atau seseorang, sehingga penyataan/penyingkapan diri Allah menjadi kisah yang terjadi secara eksistensial. Dalam konteks ini (Keluaran 2-3) terjadi dalam kehidupan Musa, seorang yang  pernah menjadi pangeran kerajaan Mesir.

Musa mengalami 3 tahap besar dalam kehidupannya yang mencapai umur 120 tahun. Tahap 1 adalah 40 tahun di Mesir sebagai Pangeran kerajaan Mesir. Tahap 2 adalah 40 tahun di Midian sebagai seorang penggembala. Tahap 3 adalah 40 tahun di padang gurun memimpin umat Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan.

            Keluaran 2:1-10 mengisahkan latar-belakang keluarga Musa dan perintah Firaun untuk membunuh semua anak laki-laki yang lahir ke dalam sungai Nil (Kel. 1:22), sehingga orang-tua Musa meletakkan dia dalam peti pandan di tepi sungai Nil. Lalu Keluaran 2:11-12 mengisahkan Musa saat ia dewasa dan menolong orang Israel dengan membunuh orang Mesir yang menganiaya. Musa berpihak kepada sesama yang lemah dan ingin menolong. Namun ternyata orang Israel yang bertengkar dengan sesamanya tidak mengapresiasi pertolongan yang telah dilakukan oleh Musa. Sebaliknya peristiwa pembunuhan yang dilakukan Musa terhadap orang Mesir akhirnya didengar oleh Firaun. Keluaran 2:15 mengisahkan Musa melarikan diri ke Midian. Musa membela para perempuan Midian yang diserang oleh para gembala. Musa memiliki karakter dasar untuk membela orang-orang yang lemah. Selanjutnya Keluaran 2:16-22 Musa menikah dengan Rehuellah Zipora, anak imam orang Midian dan memiliki seorang anak bernama Gersom. Dengan demikian Keluaran 2:1-22 merupakan ringkasan perjalanan hidup Musa sampai usia 80 tahun.

            Dalam tahap ke-2 selama 40 tahun Musa sebenarnya telah mengalami masa nyaman dengan kondisinya. Ia telah berhasil melewati masa yang sulit dan krusial dari tahap seorang pangeran kerajaan Mesir yang terbiasa hidup dalam kemapanan dan kemewahan berubah menjadi seorang pengembara yang tidak terkenal. Sebab selama 40 tahun di Midian, Musa tidak pernah berpikir untuk berjumpa dengan Firaun dan kembali ke Mesir. Musa sudah berhasil menikmati kehidupannya yang tenang, tanpa hiruk pikuk politik dan persoalan negara selama ia menjadi pengembara di tanah Midian. Pada zaman itu kedudukan sebagai penggembala tidaklah sama dengan situasi pada masa kini. Penggembala pada zaman itu menunjuk pada kedudukan seseorang yang terhormat dan kaya. Sebab kambing-domba pada zaman itu merupakan harta kekayaan yang begitu berharga (bdk. Kej. 30:30).

            Kitab Keluaran mengontraskan situasi Musa di Midian yang relatif tenang sebagai seorang penggembala dengan situasi umat Israel di Mesir. Sebab di Mesir umat Israel justru mengalami penderitaan dan penindasan dari Firaun. Walau pun kekuasaan Firaun berganti, tetap penderitaan dan penindasan kepada umat Israel terus berlanjut. Bahkan penderitaan umat Israel semakin berat. Keluaran 2:23 menyatakan: “Lama sesudah itu matilah raja Mesir. Tetapi orang Israel masih mengeluh karena perbudakan, dan mereka berseru-seru, sehingga teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah.” Penderitaan dan penindasan yang dialami oleh umat Israel tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan politis Firaun sebelumnya yang ingin memperlambat pertumbuhan umat Israel (Kel. 1:10). Sejak saat itu umat Israel diperintahkan untuk melakukan kerja paksa (Kel. 1:11). Lalu di Keluaran 2:23 umat Israel dijadikan budak dengan penindasan yang begitu berat, sehingga mereka berseru kepada YHWH.

Mendengar dan Mengingat
Di Keluaran 2:23 umat Israel berseru kepada YHWH. Kata “berseru” berasal dari kata yizaqu yang menunjuk pada makna menjerit sehingga teriakan (saw-atam) sampai kepada Allah.  Seruan (yizaqu) dan teriakan (saw-atam) dilakukan umat Israel secara komunal, sehingga YHWH peduli. Respons Allah adalah Ia mendengar dan mengingat. Allah mendengar (yisma) dan mengingat (yizkor) kepada perjanjian-Nya (baritow, berit) Abraham, Ishak dan Yakub. Makna Allah “mendengar” (yisma) menunjuk pada sikap Allah yang bersedia mendengarkan seluruh pergumulan dan penderitaan umat Israrel, sehingga Ia “mengingat” (yizkor) dengan hubungan perjanjian-Nya (berit) yang telah diikrarkan dengan para bapa leluhur Israel, yaitu perjanjian kasih-karunia.

            Karya penyelamatan Allah yang mendengar dan mengingat pada hakikatnya didasarkan pada perjanjian kasih-karunia. YHWH adalah Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih-setia terhadap umat yang menderita. Tetapi utamanya tindakan penyelamatan YHWH didasarkan pada hubungan perjanjian (berit) sebelumnya. Tanpa hubungan perjanjian (berit) yang didasarkan pada kasih-karunia-Nya, maka pertolongan yang Allah lakukan hanya bersifat insidental dan temporal. Namun tidaklah demikian dengan karya penyelamatan Allah yang merespons seruan dan jeritan umat Israel agar dilepaskan dari belenggu perbudakan. Karya penyelamatan Allah untuk membebaskan umat Israel tersebut ditempatkan dalam agenda besar ilahi, yaitu peristiwa exodus untuk menjadikan mereka bangsa yang pilihan yang merdeka.

            Makna “perjanjian” (berit) kasih-karunia Allah menyatakan bahwa YHWH sejak semula menghendaki relasi dengan umat-Nya dalam bentuk ikatan. Melalui hubungan ikatan perjanjian tersebut umat mengalami relasi yang personal dan intim. Umat dijadikan Allah sebagai milik-Nya sehingga dipanggil untuk hidup secara khusus dalam kekudusan dan sesuai dengan karakter ilahi. Bukankah setiap orang akan lebih peduli kepada sahabat atau anggota keluarganya yang memiliki kedekatan secara personal? Kita akan lebih peka untuk mendengar dan mengingat kepada orang-orang yang memiliki ikatan khusus. Walau sebagai Allah, YHWH tentu akan peduli dan mendengarkan setiap umat manusia yang sedang menderita. Tetapi YHWH menghendaki relasi khusus dan personal dan bukan relasi yang umum dan impersonal.

            Dari tindakan YHWH yang mendengar dan mengingat, maka kita dapat melihat karakter YHWH yang utama adalah kasih personal yang diikat oleh hubungan perjanjian. Melalui perjanjian dengan umat Israel, YHWH hendak membangun relasi yang khusus dan personal kepada bangsa-bangsa lain. Tujuannya agar dalam kehidupan ini tercipta realitas “umat Tuhan” (Kahal YHWH) yang senantiasa hidup dalam relasi perjanjian kasih-karunia.

            Karya penyelamatan Allah dalam perjanjian kasih-karunia tersebut ditempatkan dalam peristiwa sejarah. Sebagai Allah, YHWH adalah Tuhan yang Mahakuasa sehingga Ia dapat dengan mudah membinasakan Firaun dan melumpuhkan kekuatan Mesir yang menganiaya umat Israel. Tetapi YHWH tidak bertindak demikian! YHWH tidak menggunakan kemahakuasaan-Nya untuk melakukan jalan pintas dan instan. Ia memilih proses sejarah. Untuk itu YHWH memanggil dan memakai Musa yang tinggal di Midian sebagai media karya penyelamatan-Nya.

Teofani dalam Semak yang Menyala
Saat Musa sampai di Gunung Horeb (Sinai), ia melihat penampakan yang tidak biasa. Di Keluaran 3:2 menyatakan: “Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api.” Peristiwa teofani (penyataan atau manifestasi Allah) dinyatakan melalui semak duri yang menyala tetapi tidak terbakar sebagai media pemanggilan dan pengutusan Musa. Penyataan Allah melalui “api” bukanlah sesuatu yang asing dalam tradisi iman umat Israel. Di Kejadian 15:17, Allah menampakkan diri kepada Abram dalam bentuk “perapian yang berasap beserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan daging itu.” Keluaran 19:18 menyatakan: “Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena TUHAN turun ke atasnya dalam api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat.” Di Ulangan 4:24, YHWH disebut sebagai: “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu.”

            Dalam peristiwa teofani tersebut, manifestasi Allah tidak senantiasa dalam bentuk manusia. Tetapi dalam bentuk “api” untuk menyatakan kekudusan-Nya. Bagi umat yang cemar, kekudusan Allah akan membinasakan. Karena itulah di Keluaran 19:14 umat Israel terlebih dahulu diperintahkan Musa untuk menguduskan dirinya dan mencuci pakaiannya sebelum YHWH hadir di tengah-tengah mereka. Sebaliknya bagi umat yang hidup benar dan berkenan di hadapan-Nya, api Tuhan tidak akan menghanguskan atau membinasakan. Secara simbolis, YHWH yang menyatakan diri-Nya melalui “api” hendak menyatakan bahwa Ia mengutus Musa agar membawa umat Israel sebagai umat yang kudus bagi-Nya. Karya penyelamatan Allah dengan melepaskan umat Israel dari kekuasaan Mesir adalah hendak menjadikan mereka sebagai bangsa yang hidup benar dan suci. Makna “dibawa keluar dari Mesir” sesungguhnya umat Israel bukan hanya dibebaskan dari status dan belenggu perbudakan, tetapi utamanya dari pola hidup dan karakter budak. Bahkan mereka dibebaskan Tuhan dari perbudakan kuasa dunia, yaitu dosa. Karena itu peristiwa keluaran (exodus) bukan sekadar peristiwa migrasi dari suatu tempat yang kurang layak menuju tempat yang lebih baik.  

            Kekudusan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui “api” ditegaskan dalam Keluaran 3:5 dalam sapaan Allah kepada Musa, yaitu: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” Musa disadarkan bahwa ia sedang berdiri di hadapan YHWH. Karena itu tempat di mana ia berdiri adalah tanah yang kudus. Di mana pun Allah hadir dalam teofani, tempat itu menjadi kudus. Karena itu makna “tempat kudus” bukan hanya berada di Kemah Suci/Bait Allah, tetapi di mana pun YHWH menyatakan diri-Nya. Jikalau demikian, apabila YHWH hadir dalam realitas kehidupan sehari-hari, maka tempat di mana kita berada dan bekerja adalah kudus.

            Dalam konteks ini kita dapat melihat hubungan yang erat antara perjanjian kasih-karunia dengan karakter kekudusan ilahi. Perjanjian kasih-karunia Allah pada hakikatnya didasarkan pada kekudusan, yaitu pola kehidupan yang tidak cemar. Namun pada pihak lain kekudusan hanya dapat diwujudkan dalam kasih-karunia Allah. Kekudusan bukanlah hasil dari hasil upaya dan prestasi manusia. Musa dan umat Israel dapat hidup di hadapan Allah, apabila mereka menerapkan perjanjian kasih-karunia Allah dengan hidup yang jauh dari kecemaran, kenajisan dan bertentangan dengan karakter YHWH. Simbol melepaskan “kasut” adalah kesediaan untuk melepaskan kebiasaan dan pola hidup sehari-hari yang dikuasai oleh pola pikir dunia. Saat manusia berjumpa dengan yang Ilahi sesungguhnya sedang berada dalam kondisi yang  berbahaya dan mematikan, karena itu setiap umat harus terlebih dahulu melepaskan keterikatan dan kemelekatannya dengan keinginan atau hawa nafsu dunia. Sekaligus “melepaskan kasut” dalam konteks ini bermakna sikap hormat, takzim, dan siap menyembah YHWH. Tradisi ini kemudian diterapkan dalam ritual/ibadah umat Israel ketika memasuki kawasan Bait Allah dan sinagoge. Kelak umat Muslim meniru tradisi umat Israel tersebut, sehingga mereka melepaskan kasutnya saat memasuki area Mesjid.

Allah Sejarah
Dalam Keluaran 3:6-8 terdapat 3 aspek makna Allah yang bertindak dalam sejarah umat-Nya, yaitu:

a). Keluaran 3:6Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub” untuk menunjuk kesinambungan antara relasi perjanjian dan karya-Nya dengan para bapa leluhur. Dalam konteks ini YHWH adalah Allah yang sejarah yang karya-Nya berkesinambungan dalam momen-momen sejarah.  
b). Keluaran 3:7YHWH menyatakan: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir…..” Makna kata “memperhatikan” (raiti) menunjukkan sikap kepedulian, kecermatan, sikap tanggap yang dalam. Karena itu Allah tidak akan berdiam diri. Ia akan bersegera menolong dan menyelamatkan mereka.  
c). Keluaran 3:8YHWH menyatakan: “Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu …….” Makna kata “turun” (êrêḏ) berasal dari kata yarad untuk menunjuk tindakan penyelamatan seperti air hujan yang turun membasahi bumi (bdk. Mzm. 72:6).

Di bagian a (Kel. 3:6) YHWH menyebut diri-Nya dengan kata “Akulah…..” untuk menunjuk bahwa Ia adalah Subjek atau Pribadi. Ia bukan Allah yang impersonal. Dalam kepercayaan agama-agama pada umumnya, sosok Allah sering digambarkan sekadar suatu kekuatan yang impersonal. Bahkan tidak jarang sosok “Allah” dikaburkan dengan karakter nabi sehingga kita tidak dapat mengetahui apakah karakter tersebut karakter Allah ataukah karakter nabi sebagai manusia. Sebagai sosok yang memiliki Pribadi, YHWH telah menjalin relasi personal dengan para bapa leluhur umat Israel, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub. Penyebutan nama-nama para bapa leluhur tersebut hendak menegaskan bahwa YHWH adalah Allah yang hidup. Para bapa leluhur umat Israel dikaruniai kehidupan abadi bersama-Nya.

Di bagian b (Kel. 3:7), YHWH sebagai Pribadi Ilahi mampu peduli, memperhatikan dan melakukan sikap tanggap yang akan bersegera menolong atau menyelamatkan umat Israel dari penindasan. Hakikat yang utama dari YHWH adalah kasih. Dengan kasih-Nya YHWH bertindak melakukan keadilan. Penindasan dan perbudakan adalah melawan karakter-Nya yang adil. Karena itu sikap YHWH yang memperhatikan (raiti) didasarkan pada keadilan-Nya, bukan sekadar dorongan perasaan yang tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh umat Israel.

Di bagian c (Kel. 3:8), YHWH bertindak dengan “turun” (êrêḏ) menyelamatkan umat Israrel. Makna kata “turun” menegaskan bahwa YHWH adalah Allah yang Mahatinggi. Dia adalah Allah yang  transenden, yang melampaui segala keberadaan dan pemikiran. Namun keberadaan YHWH yang transenden tidak menghalangi Dia untuk terlibat dalam peristiwa sejarah. Bahkan dengan kata “turun” (wāêrêḏ) menyatakan bahwa YHWH adalah Allah yang mengatur jalannya sejarah. Berbagai kuasa dunia berupaya untuk membelokkan arah perjalanan sejarah untuk menjauh dari diri YHWH, tetapi semua kuasa dunia tersebut pada akhirnya mencapai tujuan kepada pemberlakuan kehendak-Nya atas seluruh ciptaan.

Makna kata Ehyeh asyer Ehyeh
Di Keluaran 3:14, Allah menyatakan diri-Nya: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” Frasa yang diucapkan Allah: “Aku adalah Aku” adalah terjemahan dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh. Kata “Ehyeh” berasal dari akar kata hyh yang memiliki beberapa arti: hidup (hayah  hayat), Yang Ada, Berada. Dari akar kata hyh tersebut Allah menyebut diri-Nya sebagai YHWH (yod-heh-vav-heh) yang pengucapan-Nya menghindari pelafalan, misalnya: Yahweh, Jehovah sebab nama itu adalah kudus. Karena itu walau ditulis YHWH namun umumnya dibaca dengan sebutan “Adonai.”

            Makna kata Ehyeh asyer Ehyeh dari akar kata “hyh” (hayah) pada hakikatnya mengandung 3 dimensi: To Be (Berada), to become (menjadi), to work (berkarya). Jadi makna kata YHWH dari frasa Ehyeh asyer Ehyeh menunjuk bahwa Dia adalah berada dalam kekekalan, yang berkenan menjadi Allah bagi umat-Nya dan berkarya untuk menyelamatkan atau membebaskan mereka. Makna frasa Ehyeh asyer Ehyeh menunjuk pada YHWH adalah Subjek Ilahi yang Mahakuasa dan kekal. Walau pun Ia Mahatinggi, namun Ia mengasihi seluruh umat dan mahluk-Nya sehingga Ia berkenan menjadi Juru-selamat dengan berkarya melakukan tindakan. Kita dapat membandingkan hakikat dan karakter YHWH tersebut di Keluaran 20:1-2, yaitu: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Dalam konteks ini Allah menyebut diri-Nya “Akulah” (anoki) sebagai Subjek Ilahi yang berdaulat sehngga dengan inisiatif-Nya Ia yang membawa umat Israel keluar dari tanah perbudakan. YHWH adalah Allah yang aktif dan berkarya. Ia bukan Allah yang pasif.

            Inkarnasi Kristus adalah peristiwa puncak teofani Allah. Karena itu di Yohanes 14:7, Yesus berkata: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” YHWH yang menyatakan diri sebagai Ehyeh asyer Ehyeh hadir dalam hidup dan karya Kristus. Tepatnya Sang Firman Allah (Dabar Adonai) berinkarnasi menjadi manusia untuk melakukan karya penyelamatan YHWH, yaitu penebusan dan pendamaian dosa. Dalam konteks ini kita dapat melihat karya Allah, yaitu karya YHWH (Adonai) dan karya Dabar Adonai (Firman Tuhan) yang selalu bersama. Di Yohanes 5:17 Yesus berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.”

Relevansi
YHWH (Adonai) sebagai Dabar Adonai (Firman Tuhan) di dalam diri Yesus Kristus adalah Allah yang bertindak dalam sejarah umat-Nya, bahkan sejarah seluruh umat manusia. Karena itu Allah di dalam Kristus senantiasa peduli dengan realitas penderitaan umat-Nya. Allah berpihak kepada setiap orang yang tertindas, lemah dan tidak berdaya. Dia mendengarkan setiap jeritan dan doa yang dinaikkan umat-Nya. Karena itu Allah akan bertindak berdasarkan kedaulatan-Nya dan waktu yang ditetapkan.

            Dalam melaksanakan karya keselamatan-Nya, utamanya Allah memperhatikan relasi perjanjian dengan umat-Nya. Perjanjian Allah yang paripurna adalah melalui karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Karena itu melalui karya penebusan Kristus, Allah mengingat perjanjian dengan umat-Nya dan menggerakkan seluruh perjalanan sejarah umat manusia ke dalam karya Kristus. Untuk itu dengan Roh Kudus-Nya Allah terus berkarya sampai saat ini menggerakkan dan mengarahkan perjalanan sejarah kepada rencana keselamatan-Nya di Zaman Akhir.

            Karya Roh Kudus memanggil dan mengutus setiap orang untuk menjadi pemimpin yang membawa perubahan dan pembaruan. Sebagaimana Allah pernah memanggil dan mengutus Musa, demikian pula dalam setiap periode zaman Allah memanggil dan mengutus setiap orang untuk menjadi alat di tangan-Nya. Pemilihan didasarkan pada kedaulatan Allah. Namun pada saat yang sama kedaulatan Allah tersebut menguatkan karakter dasar umat yang dibutuhkan untuk melaksanakan misi Allah tersebut. Musa memiliki karakter dasar untuk membela sesama yang lemah. Musa membela umat Israel saat ia ditindas. Ia juga membela para perempuan Midian saat mereka diserang oleh gembala-gembala. Intinya Musa memiliki karakter dasar untuk membela orang yang lemah dan diperlakukan tidak adil. Karena itulah Allah menguduskan dan memilih Musa menjadi alat di tangan-Nya sebagai pemimpin yang membawa umat Israel keluar dari tanah Mesir.

            Pemanggilan dan pengutusan Musa menjadi efektif karena terlebih dahulu Allah menyatakan diri melalui semak duri yang menyala tetapi tidak terbakar. Dalam peristiwa teofani tersebut Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Ehyeh asyer Ehyeh yaitu YHWH (Allah Penyelamat). Di masa kini peristiwa teofani Allah tersebut telah dinyatakan dalam inkarnasi Kristus. Karena itu dengan inkarnasi Kristus menjadi manusia, kita dapat melihat dan menemukan penyataan Allah dalam realitas hidup sehari-hari. Di dalam setiap penyataan Kristus di tengah-tengah realitas sehari-hari menjadi realitas yang kudus. Setiap aspek kehidupan adalah kudus. Setiap karya dan profesi adalah kudus, sehingga setiap orang bertanggungjawab untuk melakukan tugasnya dengan hati yang suci.  

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono