Kalau kita menyaksikan perilaku kehidupan spiritualitas jemaat pada umumnya, kita menjumpai bahwa kebanyakan anggota jemaat atau orang Kristen belum memiliki “gairah” untuk memberitakan Injil atas kesadarannya sendiri. Kenyataan tersebut sangat mengherankan jika kita ingat bahwa arti kata “jemaat” secara etimologis diambil dari pengertian kata ekklesia. Kata ini berarti “orang-orang yang dipanggil keluar dari dunia untuk diutus ke dalam dunia.” Jadi secara etimologisnya, setiap jemaat adalah orang-orang yang telah ditebus dan diasingkan dari kuasa duniawi, agar mereka, selaku umat Allah, bersedia untuk diutus untuk memberitakan Injil Tuhan Yesus ke dalam dunia ini. Karena itu dalam ajaran iman Kristen, sangat jelas ditekankan bahwa gereja menurut hakikatnya itu bersifat apostolis (rasuli). Gereja bukan sekadar didirikan di atas dasar para nabi dan para rasul; tetapi, dalam realitas yang sebenarnya, sifat hakiki gereja adalah bahwa gereja itu diutus ke dalam dunia. Dengan perkataan lain, pemberitaan firman dan juga pemberitaan Injil merupakan inti dari hidup dan pelayanan gereja. Tetapi anehnya, ajaran gereja yang jelas dan tegas tentang hakikatnya untuk memberitakan firman ke dalam dunia ini ternyata tidak pernah menjadi pola hidup dan panggilan anggota jemaat yang paling hakiki.
Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya telah terjadi polarisasi atau sikap yang saling berlawanan antara “ajaran gereja” dengan “realita kehidupan jemaat” tentang makna pemberitaan Injil dalam jemaat. Pemberitaan Injil dalam pemikiran anggota jemaat secara umum hanya dihayati sebagai suatu yang sifatnya teoritis dan pengajaran yang bagus. Tetapi dalam realita kehidupan jemaat, pemberitaan Injil belum merupakan bagian yang integral di dalamnya. Bahkan harus diakui bahwa pemberitaan Injil masih merupakan sesuatu yang serba “asing” dan tidak familiar dengan kehidupan jemaat. Yang justru “familiar” dan begitu akrab dengan kehidupan kebanyakan jemaat adalah “doa memohon berkat.” Di sinilah letak perbedaannya. Jikalau doa memohon berkat itu bersifat pribadi untuk kepentingan diri sendiri dan anggota keluarga, tugas pemberitaan Injil adalah suatu panggilan dan pelayanan untuk kepentingan orang lain, bahkan suatu kepedulian terhadap keselamatan umat manusia di dunia ini. Tetapi, pertanyaan yang belum terjawab adalah “Mengapa terjadi polarisasi antara pengajaran gereja dengan realita kehidupan jemaat tentang pemberitaan Injil?” Atau dengan perkataan lain, “Mengapa anggota jemaat cenderung bersifat ambivalen (mendua), yang pada satu pihak mereka mengakui pengajaran iman Kristen tentang pemberitaan Injil sebagai yang benar dan suci, tetapi pada pihak lain dalam realita hidup, ternyata mereka justru mengabaikan dan tidak mau ambil bagian dalam tugas pemberitaan Injil?”
Pertanyaan tersebut di atas sebenarnya telah mengandung jawabannya. Ketika segala sesuatu termasuk pengajaran tentang pemberitaan Injil hanya dihayati sebagai suatu doktrin atau dogma saja, maka pemberitaan Injil tidak pernah menjadi bagian integral dan utuh dalam kehidupan jemaat. Padahal, tugas pemberitaan Injil bukanlah sekadar ajaran, doktrin, atau dogma gereja. Seharusnya, tugas pemberitaan Injil merupakan suatu shechinah. Makna shechinah dari kata Ibrani pada prinsipnya menunjuk pada diri Allah yang hadir dan bertindak sebagai seorang “ibu” karena sifat kata ini adalah feminin. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, YAHWEH juga sering digambarkan dengan ungkapan feminin, misalnya: “Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem” (Yes. 66:13). Ketika Tuhan Yesus pada saat-saat akhir dalam hidup-Nya sebagai manusia masuk kota Yerusalem, Dia berkata, “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Mat. 23:37b). Dalam hal ini pun Tuhan Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai “induk ayam” (peran seorang “ibu”) yang selalu berusaha untuk mengumpulkan “anak-anak-Nya” yaitu umat Israel, meskipun mereka selalu menolak uluran tangan kasih-Nya.
Lebih jauh lagi, kata shechinah juga menunjuk pada kehadiran Allah yang hadir di “kedalaman” hidup manusia. Ketika kita mengalami shechinah berarti kita telah mengalami kehadiran Allah yang boleh kita rasakan dan alami di pusat “kedalaman” pribadi kita. Dengan kehadiran Allah itu, kepribadian kita ditopang oleh kekuatan kasih-Nya. Kekuatan shechinah memberikan kepada kita gairah dari sikap penyayang-Nya, melembutkan hati kita dengan kerahiman-Nya, dan memampukan kita laksana seorang ibu yang menyayangi dan begitu peduli akan keselamatan anak-anaknya. Dengan demikian, “Pekabaran Injil yang shechinah” adalah tugas pemberitaan Injil yang dilakukan dalam roh dan semangat seorang ibu yang mengajar, mengasuh, membimbing, membina, dan mendidik, serta menyelamatkan anak-anaknya. Konsepsi pemberitaan Injil gereja selama ini kurang menekankan unsur “feminisme” atau roh “keibuan” dari diri Allah. Keadaan ini dapat dimengerti, karena kita selaku gereja lebih banyak dipengaruhi oleh konsep Yunani tentang eros yang bersifat maskulin. Dalam pemahaman Plato, eros dipahami sebagai suatu daya kehidupan yang esensial, yang menggerakkan benda-benda langit bahkan semua kehidupan, tetapi pada sisi lain kekuatan eros ini juga berbahaya karena juga bersifat destruktif. Karena itu, menurut Plato, sebaiknya manusia menghindari atau menjauhi eros.
Namun, tidaklah demikian konsepsi eros dalam alam pemikiran Ibrani. Karena eros yaitu shechinah dalam konsep Ibrani senantiasa dipakai untuk menunjuk sesuatu secara feminin. Allah pun disebut sebagai “Yang Maharahim” karena Dia digambarkan sebagai seorang “ibu” yang memiliki rahim, dan Dia sangat mencintai buah rahim-Nya dengan kesetiaan yang tidak pernah berubah.
Pemberitaan Injil saat ini, tanpa kita sadari, dihayati dalam semangat maskulin. Karenanya, praktik pemberitaan Injil sering tampil dalam show of force. Bahkan, pemberitaan Injil sering ditempatkan dalam situasi yang konfrontatif. Akibatnya sangat fatal. Pemberitaan Injil dianggap oleh masyarakat luas sebagai suatu ancaman. Reaksi yang muncul dari masyarakat luas adalah kecurigaan, kecemasan, keresahan, dan akhirnya penolakan terhadap segala bentuk dan upaya pemberitaan Injil. Resistensi itu ditampilkan dalam bentuk penolakan secara halus atau kasar. Adanya pertumbuhan gedung-gedung gereja mereka mula-mula ditolak secara halus dan persuasif. Lalu, penolakan itu berubah menjadi ancaman; dan bila tidak berhasil, mereka tidak segan-segan melakukan penutupan paksa. Kalau perlu, mereka akan melakukan penutupan gedung gereja dengan kekerasan fisik. Keadaan menjadi sangat berbeda, apabila pemberitaan Injil di negara ini sejak semula dilakukan dengan semangat “keibuan”, khususnya dengan kuasa kasih Allah. Jika itu dilakukan, pemberitaan Injil akan selalu dilakukan dengan berusaha merangkul, mengasuh, melindungi, menyayangi tanpa syarat, sabar, telaten, dan tetap setia sampai akhir hidupnya.
Pemberitaan Injil yang shechinah berarti bahwa pemberitaan Injil tersebut lahir dari pusat hati dan kesadaran umat percaya. Pemberitaan Injil harus lahir dari pusat kedalaman hidup kita. Dengan demikian, pemberitaan Injil yang shechinah bukan lagi menjadi suatu ajaran gereja, tetapi merupakan “pola hidup” yang faktual dari setiap anggota jemaat. Karena itu dengan kekuatan kasih shechinah dari Allah, setiap anggota jemaat terdorong untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil dengan penuh gairah. Bahkan, mereka bangga dan merasa mendapat kehormatan ketika mereka harus menderita demi pemberitaan Injil. Dalam konteks ini, kita dapat memahami ungkapan rasul Paulus yang telah digerakkan oleh shechinah (kasih) Kristus, yaitu: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rm. 8:35). Ketika kita dikuasai oleh shechinah (kasih) Kristus, segala bentuk rintangan berupa penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, dan kematian tidak pernah dapat menyurutkan semangat kita untuk memberitakan Injil Kristus kepada setiap orang.
Tetapi, juga muncul suatu pertanyaan berikutnya, yaitu: “Mengapa kebanyakan dari anggota jemaat sangat jarang memberlakukan shechinah (kasih) dari Allah tersebut, sehingga mereka jarang mempratikkan pemberitaan Injil dalam kehidupan kekristenan mereka?” Eksistensi dari kasih itu hanya dapat dialami. Kasih tidak pernah lahir dari teori atau ajaran. Umat Israel dapat mengalami shechinah Allah karena pengalaman iman mereka yang nyata dalam peristiwa eksodus dari Mesir, pemeliharaan Allah yang ajaib di padang gurun, dan penyertaan Allah yang begitu panjang dalam perjalanan sejarah mereka.
Shechinah Allah hanya terjadi melalui pengalaman berupa perjumpaan secara pribadi umat Allah dengan Allah yang hidup. Ini berarti harus kita akui bahwa tidak semua di antara kita telah mengalami perjumpaan dengan Allah yang hidup. Kepercayaan atau iman kita kepada Tuhan sering terjadi karena pengaruh “perkataan orang lain”, tetapi bukan merupakan pengalaman pribadi. Ayub dalam pergumulannya, akhirnya mengakui: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb. 42:5). Semula Ayub mengenal Allah melalui ajaran dan tradisi yang diwariskan kepadanya, tetapi kemudian ia dapat mengenal Allah secara pribadi setelah melewati berbagai pergumulan hidup yang sangat berat.
Apabila kita telah berjumpa secara pribadi dengan Allah yang hidup, dalam melaksanakan tugas pemberitaan Injil, kita akan dimampukan untuk menghadirkan kasih Allah yang telah dinyatakan dalam pengurbanan Kristus di atas kayu salib. Kita juga terdorong untuk memberitakan Injil sehingga mereka secara pribadi juga dapat berjumpa dengan Kristus. Prinsip tersebut berbeda dengan upaya “penginjilan” tertentu agar sesama kita yang belum percaya dapat segera menjadi Kristen. Dengan pola pendekatan tersebut, orang Kristen dipanggil memberitakan Injil hanya sebagai upaya untuk “memperbanyak” orang Kristen atau anggota jemaat. Secara kuantitatif, jika berhasil, memang orang Kristen akan menjadi lebih “besar” dan lebih “banyak” jumlahnya. Tetapi di sisi lain, yang dapat dipertanyakan lebih jauh lagi adalah: “Apa gunanya banyak orang Kristen di Indonesia ini, apabila mereka secara faktual tidak dikuasai oleh shechinah (kasih) dari Allah?” Ketika umat manusia tidak dikuasai oleh kasih Kristus, mereka hanya akan menjadi para pelaku kejahatan. Apabila mereka kemudian menjadi “orang Kristen” atau anggota jemaat, merekalah yang kelak akan mempermalukan wajah kekristenan dan mencoreng citra gereja Tuhan, atau mempermalukan nama Tuhan Yesus. Dalam hal ini, makna “pertobatan” bukanlah sekadar suatu perpindahan dari suatu “agama” tertentu ke agama yang lain. Pertobatan yang benar adalah perubahan total dari kehidupan lama yang jahat ke arah kehidupan baru yang kini dialiri dan dikuasai oleh shechinah (kasih) Allah sebagaimana yang telah dilakukan di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Jika demikian, apakah konsep pemberitaan Injil di jemaat-jemaat Kristen itu hanya kualitatif saja, dan mengabaikan unsur kuantitatif? Sebagaimana diuraikan di atas, jika pemberitaan Injil bernafaskan shechinah Allah, seharusnya penginjilan tersebut selalu menghasilkan sesuatu yang serba produktif. Pemberitaan Injil dalam roh shechinah akan terus berkembang biak seperti seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya. Kemudian, “anak-anak” tersebut akan melahirkan keturunan-keturunannya. Perkembangan dan pertumbuhan satu keturunan ke keturunan berikutnya senantiasa akan disambut dengan penuh suka cita dan penerimaan yang tulus. Hal tiu terjadi karena dalam pemahaman makna shechinah, kehadiran Allah dipahami dalam kelembutan dan kasih sayang seorang ibu terhadap “buah rahim-Nya.” Jadi, penginjilan yang shechinah senantiasa merupakan penginjilan yang membuahkan “buah rahim” dari kasih Allah yang selalu terus menyebar, membagi-bagi, mencari orang yang hilang, dan mengumpulkan yang tersesat. Energi dari kasih Allah yang suci tidak pernah terbuang sia-sia. Sebaliknya, energi kasih itu senantiasa menuju “kesaling-terhubungan” dengan sesama tanpa mengenal batas etnis, ras, agama, kepercayaan, dan ideologi. Karenanya, penginjilan yang shechinah merupakan penginjilan yang kaya dalam komunikasi, kaya dalam membangun hidup bersama, dan kaya memberdayakan kualitas sesamanya. Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika berkata, “Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi” (1Tes. 2:7-8).
Sebaliknya suatu “penginjilan” yang cenderung mengisolasi, mengasingkan, memiskinkan, menundukkan, dan mengalahkan sesama yang berbeda keyakinan atau kepercayaan bukanlah penginjilan yang shechinah. Saya kuatir bentuk penginjilan yang demikian justru hanya merupakan manifestasi dari kekuatan eros yang lahir dari kehidupan daging. Bentuk-bentuk penginjilan yang tidak dilandasi oleh kasih Kristus (shechinah) dan hikmat Allah pastilah hanya menonjolkan egoisme dan superioritas diri, sehingga pada prinsipnya belum dilandasi oleh sikap pengosongan diri. Apabila kelak kita semua berada di hadapan penghakiman Allah, ternyata Kristus menyatakan bahwa Dia tidak mengenal diri kita. Di Matius 7:22-23, Tuhan Yesus berkata, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mukjizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Jika demikian, kita selaku jemaat Tuhan dan para hamba-Nya perlu membangkitkan roh shechinah dari Allah dalam melaksanakan tugas pemberitaan Injil dan juga dalam seluruh aspek hidup kita. Dengan roh shechinah, kehidupan kita sungguh-sungguh dipenuhi oleh kelembutan kasih Allah, yang mana kita selaku “anak-anak Allah” akan dimampukan untuk membagi-bagikan dan mengomunikasikan kasih Allah yang telah dinyatakan di dalam Tuhan Yesus kepada setiap sesama kita yang masih hidup dalam kuasa kegelapan dan kuasa dosa.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono