Dasar Pemikiran
Kepemimpinan yang diberkati Allah berbeda dengan kecenderungan pemimpin yang ingin membesarkan dirinya. Pemimpin yang membesarkan dirinya cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat (kultus individu). Sebaliknya kepemimpinan yang namanya dibesarkan Allah adalah pemimpin yang bersandar penuh kepada anugerah Allah. Karena itu melalui peran dan kehidupannya, Allah berkenan hadir untuk menyatakan keselamatan dan penebusan-Nya di tengah-tengah umat. Sebab Allah yang hidup menjadi pusat kehidupan dia dan seluruh umat. Sesudah kematian Musa, Allah membesarkan nama Yosua sehingga melalui peran kepemimpinannya umat Israel tidak berpaling meninggalkan Allah. Yosua memimpin umat Israel dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Karena itu Allah meneguhkan penyertaan-Nya melalui karya mukjizat saat umat Israel harus menyeberangi Sungai Yordan. Sungai Yordan tersebut terbelah airnya saat Tabut Perjanjian melewatinya sama seperti kisah yang dialami oleh umat Israel saat mereka diselamatkan Allah dengan terbelahnya Laut Teberau. Makna simbolis terbelahnya Sungai Yordan juga pembedaan kualitatif dan spiritualitas antara umat Israel dengan bangsa-bangsa di sekitarnya. Umat Israel dipanggil hidup kudus.
Pembedaan secara kualitatif dan spiritualitas tersebut tidak berarti umat Israel dapat bersikap sewenang-wenang dan tidak adil terhadap bangsa-bangsa sekitar yang tidak mengenal dan percaya kepada Yahweh. Sebaliknya Allah yang telah menebus pada hakikatnya adalah Tuhan yang mengaruniakan keleluasaan hidup bagi para musuh dan setiap orang yang bersalah. Allah yang menebus mencerminkan karakter Allah yang utama yaitu kasih dan rahmat-Nya. Prinsip iman inilah yang menjadi landasan bagi umat untuk menaikkan syukur dan memuji nama Allah. Allah yang memberi keleluasaan hidup adalah juga Allah yang peduli dengan seruan umat. Karena itu kepemimpinan yang berkenan di hadapan Allah adalah kepemimpinan yang menjadi media kehadiran Allah di tengah umat-Nya.
Tafsiran
Tafsiran Yosua 3:7-17
Bacaan leksionari di bacaan pertama ini dimulai dari Yosua 3:7, di mana Allah berfirman kepada Yosua: “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa seperti dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau.” Pernyataan Allah tersebut merupakan pengesahan terhadap kepemimpinan Yosua, sekaligus sebagai pemenuhan janji Allah sebagaimana dinyatakan di Yosua 1:5, yaitu: “Seorangpun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Trent C. Butler dalam Word Biblical Commentary Joshua menyatakan: “The divine Word is closely related to chapter 1 God promises to validate the leadership of Joshua for the people and thus to fulfill his promises to Joshua (1:5)” (Butler 1983, 46). Keberhasilan kepemimpinan Yosua ditentukan oleh tindakan Allah yang memilih dan memberkati, sehingga namanya menjadi besar di mata orang Israel. Dalam konteks ini Yosua tidak berupaya untuk membesarkan dirinya karena ia menggantikan kedudukan Musa yang telah meninggal. Namun ia membuka ruang agar Allah bertindak dan menyatakan kehendak-Nya.
Wujud pengesahan Allah terhadap kepemimpinan Yosua dinyatakan melalui peristiwa mukjizat di Sungai Yordan. Dalam konteks ini Allah memerintahkan para imam berdiri (ayat 8), umat mendengar (ayat 9), dan Yosua yang menjelaskan (ayat 10). Tema sentralnya adalah “Allah yang hidup ada di tengah-tengah umat Israel” (Yos. 3:10). Pengesahan Allah terhadap kepemimpinan Yosua terjadi karena Allah yang hidup berkenan hadir di tengah-tengah kehidupan umat. Dengan demikian kebesaran nama Yosua dan kepemimpinannya merupakan manifestasi dari kehadiran Allah yang hidup. Namun harus dicatat bahwa kebesaran nama Yosua dan keberhasilannya sebagai pemimpin bukanlah tujuan utama. Kebesaran dan keberhasilan Yosua sebagai pemimpin merupakan media untuk menyatakan kehadiran Yahweh di tengah-tengah kehidupan umat. Karena Allah hadir, maka saat para imam berdiri dengan membawa Tabut Perjanjian dan berhenti di dalam air sungai Yordan, maka air sungai Yordan itu terputus; air yang turun dari hulu akan berhenti mengalir menjadi bendungan” (Yos. 3:13). Tindakan Allah di sungai Yordan tersebut mengingatkan kita pada kisah penciptaan pada hari ketiga, yaitu: “Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut” (Kej. 1:10). Kehadiran Allah mendatangkan tempat untuk kelangsungan kehidupan bagi umat, sebab Allah memisahkan daratan dan lautan sehingga daratan itu dapat didiami oleh manusia. Bandingkan kisah mukjizat di Sungai Yordan ini dengan kisah Keluaran 14 yaitu Allah yang bertindak melalui Musa membelah laut Teberau, sehingga umat Israel dapat berjalan dan selamat (Kel. 14:21-22). Jika demikian makna tafsiran Yosua 3:10 yang mengaitkan “Allah yang hidup ada di tengah-tengah umat Israel” dengan pernyataan “sungguh-sungguh akan dihalau-Nya orang Kanaan, orang Het, orang Hewi, orang Feris, orang Girgasi, orang Amori dan orang Yebus itu dari depan kamu” sejajar dengan tindakan Allah yang memisahkan daratan dan lautan. Bangsa-bangsa yang dihalau itu dimaknai sebagai simbol kekuatan yang membahayakan kelangsungan kehidupan iman umat manusia seperti lautan yang mengalami badai atau tsunami akan menghancurkan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bilamana keberadaan bangsa-bangsa yang dihalau itu sejajar dengan pemisahan daratan dan lautan, maka makna menghalau di sini bukanlah pemusnahan bangsa-bangsa di luar umat Israel (genocide), tetapi lebih tepat merupakan pembagian tempat seperti pembagian wilayah daratan dengan lautan. Bangsa-bangsa yang dihalau itu masih memiliki tempat di suatu “wilayah tertentu.” Kehadiran Allah yang hidup sebagaimana dinyatakan dalam kepemimpinan Yosua tetap memberi tempat bagi bangsa-bangsa yang dihalau itu. Pembagian wilayah itu untuk menjaga agar budaya dan kepercayaan bangsa-bangsa yang dihalau itu tidak mengaburkan iman umat Israel kepada Yahweh, Allah yang hidup. Dengan demikian, bangsa-bangsa yang dihalau itu tetap memiliki kelangsungan hidupnya namun diwaspadai sebagai kekuatan potensial yang dapat merusak relasi mereka kepada Yahweh. Karena itu mereka selalu bersikap waspada dan kritis terhadap pengaruh yang dikomunikasikan melalui relasi personal dengan bangsa-bangsa yang dihalau itu. Dalam konteks ini Yosua memerankan tugas utamanya sebagai seorang pemimpin yang taat kepada kehendak Allah. Jadi kebesaran nama Yosua dan keberhasilannya sebagai pemimpin adalah menjaga identitas umat Israel agar mereka hidup dalam ketaatan yang murni kepada Yahweh.
Kata kunci: kepemimpinan Yosua, Allah yang meneguhkan dan memberkati Yosua, Allah yang hidup ada di tengah-tengah umat Israel, Allah hadir menyediakan tempat tinggal yang aman, kelangsungan hidup seluruh umat, waspada dengan pengaruh dunia yang mengaburkan iman kepada Allah.
Tafsiran Mazmur 107:1-7, 33-37
Mazmur 107 diawali dengan doksologi, yaitu: “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Dalam bentuk hiphil, kata yadah berarti: to give thank, laud, praise, to confess, confess the name of God. Kata yadah tersebut dipakai sebanyak 111 kali mulai dari Kejadian 29:35 – 2Tawarikh 30:22. Jumlah penggunaan kata yadah itu menunjukkan betapa penting makna bersyukur kepada Allah yang didasarkan pada pengakuan iman yaitu “Ia baik. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Kebaikan dan kasih-setia Allah tersebut secara spesifik berkaitan dengan karya Allah yang menyelamatkan, yaitu tindakan-Nya yang menebus (ga’al). Itu sebabnya Mazmur 107:1 berkaitan dengan ayat 2, yang berkata: “Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebus-Nya dari kuasa yang menyesakkan.” Marie Claire Barth dan B.A. Pareira dalam Kitab Mazmur 73-150 mengartikan tindakan Allah yang menebus itu seperti dalam kasus Rut, yaitu Boas sebagai salah seorang keluarga dari Naomi bertanggungjawab untuk menebus (Rut 3:12), dan peraturan hukum Taurat di Imamat 25:25-34 (Barth dan B.A. Pareira 1997, 289). Dengan tindakan Allah yang menebus itu, maka Allah mengaruniakan keluasan hidup, yaitu keleluasan hidup kepada musuh (Kel. 6:6; 15:18; Mzm. 77:16), atau terhadap kesalahan sendiri (Yes. 44:22). Gelar Allah sebagai Penebus secara khusus dipakai oleh kitab Nabi Yesaya (Yes. 41:14; 43:14; 44:6; 47:4; 49:7; 48:17; 54:5). Tindakan Allah yang menebus itu nyata dalam peristiwa pembebasan dari Mesir (Yes. 51:10), dan dari Babel (Yes. 48:20).
Tindakan Allah yang menebus dinyatakan kepada orang-orang yang lemah. Di Mazmur 107:4, orang-orang yang lemah itu seperti para pengembara di padang gurun yang mengalami kehausan dan kelaparan. Di saat kritis, mereka berseru kepada Allah agar menolong. Seruan mereka didengar oleh Allah, sehingga mereka diselamatkan. Sejarah iman umat Israel senantiasa ditandai oleh sikap Allah yang peduli mendengarkan seruan mereka, sehingga mereka diluputkan dari bahaya. Pengalaman iman itulah yang menjadi dasar mengapa umat Israel bersyukur memuji Allah karena Ia baik dan untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Karena itu Mazmur 107:6 mempersaksikan: “Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dilepaskan-Nya mereka dari kecemasan mereka.” Karya keselamatan Allah yang dinyatakan dalam penebusan-Nya terjadi karena umat tidak mampu menolong diri mereka sendiri di saat bahaya sedang menerpa. Umat berseru, Allah mendengar dan Ia bertindak. Karena itu berulang-ulang kata “berseru-seru” (tsa`aq) digunakan oleh Mazmur 107, dan senantiasa terkait erat dengan tindakan Allah yang “menyelamatkan” (yasha`).
Bagian Mazmur 107:33-37 mempersaksikan karya Allah yang menebus menciptakan suatu daya kreatif baik yang sifatnya “destruktif” yaitu: “Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang” (Mzm. 107:33) maupun yang sifatnya yang “konstruktif” yaitu: “Dibuat-Nya padang gurun menjadi kolam air, dan tanah kering menjadi pancaran-pancaran air” (Mzm. 107:35). Tindakan Allah yang “destruktif” menyebabkan situasi yang subur menjadi tanah yang tandus sehingga tidak dapat didiami. Sebaliknya tindakan Allah yang “konstruktif” mengubah tempat yang tidak mungkin dapat didiami manusia menjadi tempat yang subur dan makmur, sehingga “ditempatkan-Nya di sana orang-orang lapar, dan mereka mendirikan kota tempat kediaman” (Mzm. 107:36). Daya kreatif Allah yang menebus itu bersumber pada rahmat, yaitu kasih setia-Nya yang melampaui nilai-nilai kebaikan manusia. Karena itu makna pernyataan Allah itu “baik” (towb) bersumber pada kasih setia-Nya (checed).
Mazmur 107:1-7, 33-37 dalam konteks ini berfungsi sebagai Mazmur responsorial terhadap bacaan pertama, yaitu Yosua 3:7-17. Karena itu doksologi yang mempersaksikan Allah itu baik dalam kasih setia-Nya merupakan pengalaman iman umat Israel. Umat Israel mengalami bagaimana Allah telah menebus mereka dengan menyelamatkan mereka saat terjepit dan berada di jalan yang buntu, yaitu saat mereka diserang oleh tentara Mesir dan laut di depan mereka. Namun Allah menyelamatkan mereka dengan membelah laut Teberau, sehingga mereka dapat melewati jalan yang kering dan selamat. Demikian pula saat mereka memasuki tanah Kanaan dan terhalang oleh Sungai Yordan. Yosua 3:13 mempersaksikan: “Segera sesudah kaki para imam pengangkat tabut TUHAN, Tuhan semesta bumi, berhenti di dalam air sungai Yordan, maka air sungai Yordan itu akan terputus; air yang turun dari hulu akan berhenti mengalir menjadi bendungan.” Allah juga menyediakan tempat bagi umat Israel sehingga dihalaunya bangsa-bangsa yang mendiami tanah Kanaan (Yos. 3:10). Jika demikian makna Allah itu baik dalam kasih-setia-Nya adalah Ia menyediakan jalan yang aman sehingga umat dapat mencapai tanah terjanji, dan mengaruniakan kepada umat Israel suatu wilayah dan tempat sehingga mereka dapat hidup sebagai umat pilihan Allah. Tindakan Allah yang menghalau bukanlah memusnahkan, tetapi mengembalikan mereka pada wilayah yang sesungguhnya seperti air yang mengisi lautan. Status umat Israel sebagai umat pilihan Allah adalah berperan untuk mempersaksikan dan mengkomunikasikan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya bahwa Allah yakni Yahweh adalah baik dan penuh kasih setia. Kesaksian iman mereka akan efektif bilamana dilandasi oleh rahmat Allah, yaitu bertindak adil dan penuh kemurahan kepada bangsa-bangsa di sekitar mereka. Pernyataan iman dan doksologi umat Israel bahwa Allah itu baik dan penuh dengan kasih setia-Nya akan sia-sia manakala mereka bertindak sewenang-wenang, kejam, dan tidak adil kepada bangsa-bangsa di sekitarnya. Jadi sebagaimana Allah memberi keluasan hidup dan ruang untuk menikmati berkat Allah, maka mereka juga dipanggil memberi keluasan hidup dan ruang bagi sesamanya.
Kata kunci: bersyukur kepada Allah yang didasarkan pada pengakuan iman, tindakan Allah yang menebus, Allah yang mengaruniakan keluasan hidup bagi setiap umat, Allah yang peduli dengan seruan umat, umat mempersaksikan Yahweh adalah Allah yang baik dan setia.
Tafsiran 1Tesalonika 2:9-13
Di Surat 1 Tesalonika 2:9 Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika akan usaha dan jerih lelah pelayanan dia. Kata kopos menunjuk kondisi seseorang yang lelah karena bekerja, dan kata mochthos menunjuk kepada kesukaran dan penderitaan yang dialami seseorang. Dengan penggunaan kata kopos dan mochthos, kita dapat melihat situasi yang dialami oleh Rasul Paulus dalam memberitakan Injil yaitu dia tetap bekerja dan menghadapi penderitaan. Menurut Kisah Para Rasul 18:3, Rasul Paulus bekerja sebagai seorang pembuat kemah. Pekerjaan mencari nafkah tersebut membutuhkan enersi dan waktu yang cukup lama agar dapat menghasilkan suatu rajutan kemah yang baik. Sebagai pemberita Injil Rasul Paulus juga harus mencurahkan seluruh tenaga dan waktu agar firman Allah dapat sampai kepada jemaat yang ia layani. Jadi kerelaan Rasul Paulus untuk bekerja mencari nafkah adalah agar pemberitaan Injil dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Leon Morris dalam 1 and 2 Thessalonians menyatakan: “The conviction that the gospel is of God is an important factor in fervent and effectual preaching, whether in the apostolic age of any other” (Morris 1991, 59).
Pemberitaan Injil yang dilakukan Rasul Paulus dapat efektif karena keteladanan dia dalam bekerja, namun juga spiritualitas iman yang dipersaksikan dalam hidupnya, yaitu: “betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu” (1Tes. 2:10). Kata “saleh” berasal dari kata hosios yang menunjuk pada suatu karakter yang dikhususkan bagi Allah. Kata “adil” dari kata dikaios menunjuk pada kesesuaian dengan suatu norma yaitu hukum Allah. Kata “tak bercacat” dari kata amemptos menunjuk pada keadaan diri seseorang yang menimbulkan celaan (Morris 1991, 59). Gabungan ketiga spiritualitas tersebut menghasilkan suatu keteladanan. Keteladanan hidup Rasul Paulus begitu mengesankan jemaat Tesalonika. Karena itu tidak mengherankan gabungan ketiga spiritualitas tersebut memampukan Rasul Paulus untuk berperan sebagai seorang bapa yang peduli dan menyayangi anak-anaknya (1Tes. 2:11).
Nasihat Rasul Paulus di 1Tesalonika 2:12 yang diawali dengan pernyataan “meminta dengan sangat” adalah agar jemaat hidup sesuai dengan kehendak Allah. Hidup yang sesuai dengan kehendak Allah wajib dilakukan karena kedudukan dan peran sebagai orang Kristen di zaman itu tidaklah mudah. Mereka harus berani tampil beda dengan keadaan dan perilaku orang-orang di sekitarnya. Kondisi ini sulit karena jemaat Tesalonika adalah kelompok minoritas. Namun umat dipanggil untuk hidup menurut pola-pola Kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya (1Tes. 2:12). Menurut Morris, kata “kerajaan” tersebut menunjuk pada prinsip pengajaran Yesus tentang kehadiran Kerajaan Allah yang sedang terjadi, yaitu Allah dalam diri Yesus sedang melakukan tindakan keselamatan (Morris 1991, 61). Jadi bilamana umat hidup sesuai dengan panggilannya, maka mereka akan menghadirkan kehidupan Kristus di tengah-tengah masyarakat. Karena itu melalui peran umat tersebut karya keselamatan Kerajaan Allah dalam diri Yesus akan memengaruhi dan membarui kehidupan masyakarat.
Tafsiran Matius 23:1-12
Inti dari berita Matius 23:1-12 adalah teguran Tuhan Yesus terhadap kehidupan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang tidak dapat diteladani. Mereka hanya memiliki otoritas dalam jabatannya, tetapi tidak memiliki kredibilitas. Dalam jabatannya mereka pemegang otoritas Musa (Μωϋσέως καθέδρας). Kata “mouseos kathedras” menunjuk pada pemegang dan penerus wibawa Musa, sehingga Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi memiliki hak untuk menjelaskan dan menafsirkan kitab-kitab Musa (Pentateukh). Dalam hal ini Tuhan Yesus memberi nasihat agar umat Israel taat dan menerima semua yang mereka ajarkan. Namun pengajaran yang baik dan benar tidak berarti merupakan pengajaran yang lahir dari keteladanan hidup. Itu sebabnya kehidupan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam praktik tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Di Matius 23:2, Tuhan Yesus berkata: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” Dengan perkataan lain, Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam pengajarannya yang benar tidak didasarkan pada integritas diri. Sebab motif mereka bukan kebenaran yang dinyatakan dalam perbuatan yang benar, tetapi agar mereka mendapat pujian (Mat. 23:5). Mereka mengutamakan penghormatan dari umat, tetapi mengabaikan hidup benar yang berkenan di hadapan Allah. Itu sebabnya mereka suka memamerkan simbol-simbol agama, duduk di tempat yang terhormat di sinagoge, mencari pujian di tempat-tempat umum, dan keinginan untuk disebut sebagai seorang Rabi (Mat. 23:5-7).
Bagi Tuhan Yesus, pengajaran yang benar dan berkenan di hadapan Allah apabila kehidupan seseorang dilandasi oleh spiritualitas kerendahan hati. Itu sebabnya di Matius 23:11, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” Pengajaran yang benar akan efektif memancarkan isi hati Allah bila dilandasi oleh sikap yang tidak sombong, melainkan sikap yang rendah-hati. Sikap yang sombong merupakan sikap rohani yang menganggap kebenaran berasal dari dirinya sendiri, sehingga dia menempatkan diri di atas sesamanya. Sebaliknya sikap rendah-hati merupakan sikap rohani yang menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah saja yang menjadi sumber kebenaran, sehingga ia menempatkan diri sebagai sesama yang melayani. Dengan sikap rohani yang demikian, ia bersedia melayani sesama sebagai pelayan karena Allah menganugerahkan tugas untuk menjadi tangan, kaki, dan mulut bagi Allah. Itu sebabnya dia mempersembahkan hidupnya secara utuh, sehingga semua yang dikatakan itulah pula yang dilakukan.
Jalinan Antarteks
Dalam pola semisinambung tidak ada jalinan antarteks sebagaimana terjadi dalam pola komplementer. Sebab dalam pola komplementer, Injil menjadi fokus sehingga bacaan pertama dari Perjanjian Lama disesuaikan dengan berita Injil. Demikian pula dengan bacaan kedua dari Surat Rasuli. Lebih tepat dalam pola semisinambung, ketiga bacaan dan Mazmur responsorial memiliki hubungan yang bersifat longgar. Kata “longgar” di sini menunjuk bahwa ketiga bacaan dan Mazmur responsorial tidak senantiasa memiliki jalinan antarteks. Kadang-kadang sama sekali tidak ada hubungan teologis, namun dalam beberapa kasus kita dapat menemukan jalinan antarteks.
Namun dalam pola semisinambung pasti memiliki hubungan atau jalinan teks dengan Minggu-minggu sebelum dan sesudahnya. Jadi setelah Minggu Pentakosta ini, the Revised Common of Lectionary menggunakan pola semisinambung setiap Minggu sampai Minggu Kristus Raja, atau satu minggu sebelum Adven. Dalam pola semisinambung ini, terdapat hubungan atau benang merah yang vertikal, yaitu hubungan antara suatu bacaan di suatu hari Minggu dengan bacaan di hari Minggu selanjutnya. Dengan demikian, pertama, makna bacaan pertama dari Perjanjian Lama yang kita pilih pada hari Minggu ini memiliki hubungan teologis dengan hari Minggu berikutnya. Kedua, bacaan dari Perjanjian Lama tersebut juga memiliki hubungan teologis dengan Mazmur responsorial. Karena itu tafsiran Yosua 3:7-17 memiliki hubungan teologis dengan tafsiran Mazmur 107:1-7, 33-37. Dengan demikian pengkhotbah memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi secara mendalam teks Yosua 3:7-17 dan Mazmur 107:1-7, 33-37.
Refleksi
Di tengah-tengah dunia global ini umat manusia justru memiliki kecenderungan untuk memisahkan sesama dalam berbagai kategori, sehingga hubungan antar umat dipisahkan oleh dinding-dinding pemisah. Umat semakin mengembangkan sikap eksklusif. Kondisi ini yang disebut dengan “kompartementalisme”. Spiritualitas kompartementalisme menghasilkan kekerasan dalam hidup bersama. Sebab kelompok yang merasa dirinya kuat (mayoritas) menindas umat yang dianggap lemah (minoritas). Mereka tidak memberi keleluasaan hidup. Dalam kehidupan umat percaya, spiritualitas kompartementalisme mendorong mereka untuk mengagung-agungkan denominasi gereja atau doktrinnya. Karena itu mereka tidak memberi keleluasaan hidup bagi sesama yang memiliki perbedaan teologis. Namun makna kompartementalisme dapat berarti suatu sikap yang tidak kredibel sebab tidak memiliki integritas diri, sehingga secara formal mengimani Kristus namun di arena publik mereka mengingkarinya: “Compartmentalism often is the modus operandi for many Christians, being totally committed to Jesus inwardly but not so much so in public” (http://sallycp-inthebeginninggod.blogspot.com/2012/11/what-is-compartmentalism-and-how-does.html).
Penolakan terhadap kompartementalisme bukan berarti kita membiarkan diri dipengaruhi oleh budaya dan pola pikir oleh dunia di sekitar kita. Hidup bersama yang inklusif tidak berarti kita kehilangan filter dan jati-diri. Sebaliknya kita tetap harus waspada agar keleluasaan hidup yang dianugerahkan Allah tidak menjadi malapetaka. Kita harus senantiasa waspada dengan pengaruh dunia yang seringkali mengaburkan sikap iman kepada Allah. Dalam konteks ini Yosua memerankan tugas kepemimpinannya secara bijaksana. Pada satu pihak Yosua menjaga iman umat Israel agar taat kepada Allah, dan pada pihak lain Yosua menyatakan rahmat Allah bagi bangsa-bangsa di sekitar sesuai dengan habitat mereka masing-masing. Rahmat dan keadilan Allah inilah yang menjadi dasar bagi umat untuk bersyukur dan menyatakan pengakuan imannya.
Selaku umat di Indonesia, kita hidup dalam pluralitas agama, suku, dan budaya. Kita bersyukur bahwa keanekaragaman tersebut merupakan kekayaan yang memampukan kita untuk memaknai realitas dari perspektif yang lebih luas. Namun kita juga harus waspada agar sikap iman kepada Allah di dalam Kristus tidak menjadi kabur karena keanekaragaman tersebut. Keselamatan di dalam Kristus tidak boleh direlatifkan hanya karena toleransi agama. Pengakuan Yesus sebagai Tuhan tidak disangkal hanya karena kita menghormati sesama yang berbeda agama. Dengan demikian bagaimana kita tetap percaya dan mengasihi Kristus tanpa harus meremehkan kekayaan iman sesama yang berbeda. Jadi seharusnya sikap percaya dan kasih kepada Kristus memampukan kita untuk menghormati dan mengasihi sesama yang tidak seiman. Sikap kasih adalah kemampuan spiritualitas yang dianugerahkan Allah sehingga kita mengkomunikasikan rahmat dan keadilan Allah.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono