Latest Article
Sikap Etis terhadap Euthanasia

Sikap Etis terhadap Euthanasia

Euthanasia untuk Menyikapi Ketergantungan

Pasien pada Mesin Medis

(Dalam Perspektif Etika Situasi Joseph Fletcher)

Pengantar

Hazel Biggs, dalam bukunya yang berjudul Euthanasia: Dead with Dignity and the Law merumuskan pengertian euthanasia dengan: “understanding of the term imply the bringing about of a painless and gentle death, particularly in respect of those suffering from painful and incurable disease” (Biggs 2001, 12). Menurut Biggs ada tiga jenis euthanasia, yaitu:

  • Voluntary adalah euthanasia yang dilakukan sesuai persetujuan atau mengikuti keinginan pasien karena menyadari bahwa upaya medis yang optimal telah gagal, dan meyakini tidak ada kemungkinan untuk sembuh.
  • Non-voluntary adalah tindakan euthanasia oleh seseorang peduli dengan penderitaan yang sangat berat namun tak dapat menyatakan pikirannya misal pasien dalam keadaan tidak sadar (coma) namun meyakini bahwa si pasien menghendaki kehidupannya diakhiri. Misalnya sewaktu masih sadar pasien pernah menyatakan pendiriannya yang menolak ketergantungan pada alat-alat medis untuk mempertahankan hidupnya.
  • Involuntary adalah bila pasien menolak untuk diakhiri hidupnya namun dipaksa sebagaimana terjadi dalam peristiwa genosida kepada orang Yahudi oleh Nazisme/Hitler.

Masalah keputusan etis ini timbul karena bioteknologi yang merupakan anugerah Allah untuk meningkatkan martabat kemanusiaan sering berubah menjadi bencana, yaitu ketika alat medis tersebut berubah fungsi menjadi alat penunjang kehidupan (life-sustaining technology) yang sebenarnya secara medis tidak tersembuhkan lagi. Alat medis tersebut digunakan untuk mengganti fungsi organ tubuh yang telah rusak. Atau sebaliknya fungsi bioteknologi disalahgunakan untuk memperpendek kesempatan hidup secara tidak adil kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki harapan hidup (Vaux and Vaux 1996, 21). Tulisan ini akan mengkhususkan pada masalah dilema yang dihadapi oleh keluarga pasien gagal paru. Keputusan etis yang bagaimana harus ditempuh keluarga jikalau mereka menghadapi anggota keluarga yang harus tergantung menggunakan ventilator medis? Tulisan ini akan terbagi dalam deskrispi kasus, ulasan teori etika situasi yang dikemukakan oleh Joseph Fletcher. Setelah itu saya akan membuat analisa deskripsi kasus dengan menggunakan teori etika situasi Fletcher, kemudian dilanjutkan membuat ulasan yang menginterpretasikan deskripsi kasus secara teologis. Dan pada bagian akhir, akan diajukan saran aksi etis, yaitu sikap konkret mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawab secara etis-iman.

Deskripsi Kasus

Seorang wanita Tionghoa usia 72 tahun menderita sakit asma akut, dengan akibat kedua paru-paru tidak berfungsi lagi. Untuk mempertahankan kehidupan, dokter spesialis paru menyarankan untuk menggunakan ventilator medis. Fungsi ventilator medis adalah sebagai pengganti fungsi peran untuk menarik udara dan oksigen, lalu mengeluarkannya secara ritmis tak terputus, sehingga pasien dapat mempertahankan kehidupannya. Ventilator medis dilengkapi dengan sistem komputer dan monitor, sehingga tenaga medis dan keluarga dapat mengetahui jumlah oksigen yang masuk dan keluar. Namun biaya sewa ventilator di rumah sakit sangat mahal, dan anggota keluarga harus standy-by setiap hari selama 24 jam. Akhirnya keluarga memutuskan membeli mesin ventilator medis yang harganya mencapai satu milyar rupiah. Di samping masalah biaya penggunaan mesin, juga harus diawasi oleh dokter setiap hari yang datang ke rumah, dan suster yang mengawasi pasien untuk membantu pasien minum obat, membersihkan badan, makan, dan sebagainya. Karena itu biaya operasional yang dibutuhkan sekitar dua juta rupiah setiap hari. Pergumulan yang dihadapi keluarga adalah sampai berapa lama mereka mampu membiayai mamanya mempertahankan kehidupan dengan ventilator medis tersebut. Apabila ventilator tersebut dilepas, mamanya akan segera meninggal. Namun apabila mereka terus mempertahankan mesin ventilator, maka dana yang dibutuhkan untuk kebutuhan lima anggota keluarga termasuk biaya studi para cucunya akan habis. Mereka dapat terlibat hutang dalam jumlah yang besar. Apalagi mereka melihat bahwa mamanya yang tergantung penuh pada mesin ventilator tersebut sangat menderita dan putus-asa karena harus terus-menerus terbaring di tempat tidur. Karena itu dalam situasi yang sulit dan dilematis tersebut keluarga pasien bergumul: apakah rencana keputusan mencabut mesin ventilator merupakan tindakan etis-iman ataukah sebagai pembunuhan? Di tengah-tengah kebingungannya mereka cenderung untuk mencabut penggunaan mesin ventilator medis tersebut, walau dengan berat hati.

Dasar Teori Etika Situasi

            Dalam bukunya yang berjudul Situation Ethics, The New Morality, Joseph Fletcher menyatakan bahwa kualitas moral sebuah tindakan tergantung dari situasi. Suatu tindakan itu wajib dilakukan atau tidak, tidak dapat dipastikan kecuali dengan memerhatikan situasi konkret. Sebab setiap situasi bersifat unik dan individual. Setiap situasi bersifat unik, sebab tidak ada situasi yang sama walaupun kasus dan bentuk peristiwa sama misalnya kasus pasien yang gagal paru sehingga harus menggunakan ventilator medis. Setiap pasien pengguna ventilator medis yang satu berbeda situasi, dan juga berbeda responsnya.

Fletcher membangun etika situasi berdasarkan empat prinsip kerja, yaitu: pragmatisme, relatisme, positivisme, dan personalisme. Menurut pragmatisme, yang baik adalah apa yang berguna dan yang memuaskan. Pragmatisme menekankan kepada hasil nyata positif yang tercapai. Menurut relativisme, semua hukum dan aturan moral dianggap hanya berlaku sejauh mendukung cinta-kasih. Hukum moral tidak pernah boleh menjadi tujuan pada dirinya sendiri, sebab hukum bernilai apabila melayani cinta-kasih. Menurut positivisme, penilaian moral merupakan keputusan, dan bukan kesimpulan. Sebab tidak ada hukum kodrat yang dapat diterapkan pada situasi konkret begitu saja. Setiap orang harus memutuskan dengan bebas, dan berdasarkan cinta-kasih sebagai hukum satu-satunya. Sedang arti personalisme berarti ia menolak adanya nilai-nilai intrinsik maupun perbuatan-perbuatan yang pada dirinya sendiri baik atau buruk. Sebab yang bernilai pada dirinya sendiri adalah manusia, yaitu eksistensinya. Mencintai berarti mendukung sesama dalam eksistensinya dan perkembangannya, serta mendukung agar ia berada dalam keadaaan baik. Karena itu etika situasi tidak bertanya, apa yang baik, melainkan bagaimana berbuat baik kepada siapa.

Enam prinsip dalam memerlakukan etika situasi Fletcher, yaitu:

Prinsip pertama: “Hanya ada satu hal yang baik pada dirinya sendiri, yaitu cinta-kasih, tak ada yang lain sama sekali (Fletcher 1966, 57). Cinta kasih merupakan hal yang baik pada dirinya sendiri, karena itu etika situasi meyakini bahwa perbuatan yang paling mengungkapkan cinta-kasih dalam situasi yang bersangkutan itulah perbuatan yang benar dan baik (Fletcher 1966, 65).

Prinsip kedua: “Norma tertinggi keputusan-keputusan ….. adalah cinta kasih: tak ada yang lain” (Fletcher 1966, 69). Norma mengikuti nilai. Karena itu di luar cinta kasih tidak ada larangan maupun moral yang bersifat mutlak.

Prinsip ketiga: “Cinta kasih dan keadilan adalah sama, karena keadilan adalah cinta-kasih yang dibagi, tak ada lainnya” (Fletcher 1966, 87). Karena cinta-kasih dan keadilan adalah sama, maka yang adil adalah apabila suatu perbuatan menghasilkan “keuntungan terbesar dari jumlah yang terbesar” (Fletcher 1966, 95).

Prinsip keempat: “Cinta berkehendak baik terhadap sesamanya entah kita menyukainya atau tidak” (Fletcher 1966, 102). Fletcher menyebut dengan agapeic calculus (perhitungan dengan sikap cinta-kasih). Sebab cinta-kasih sebagai suatu sikap yang rasional, sehingga memperhitungkan apakah cocok secara optimal untuk mendukung orang yang menjadi alamat cinta-kasih tersebut.

Prinsip kelima: “Hanya tujuan membenarkan sarana, tak ada lainnya” (Fletcher 1966, 121). Etika situasi berdasarkan kondisi riil, sehingga tujuan perbuatan menentukan nilai moralnya.

Prinsip keenam: “Keputusan cinta-kasih dibuat sesuai dengan situasi, bukan menurut sebuah sistem peraturan” (Fletcher 1966, 134). Karena bukan dibuat berdasarkan sebuah sistem peraturan, maka kebebasan individu yang menentukan. Jadi selama kita meyakini melakukan sesuatu dengan bebas dan berani, walau tidak sesuai dengan pandangan moral umum, kita telah bersikap benar.

Analisa Kasus Berdasarkan Prinsip Etika Situasi

Keluarga pasien menghadapi situasi yang dilematis. Pada satu pihak sebagai keluarga yang berlatar-belakang Tionghoa, mereka diajarkan prinsip “Hau”. Arti harafiah dari Hao (Hsiao) adalah bakti anak kepada orangtua. Makna Hao (Hsiao) bukan semata-mata memberi perhatian lahiriah terhadap orangtua seseorang, melainkan juga melengkapi mereka dengan kekayaan spiritual, etis, dan emosional. Karena itu, seorang anak yang tidak taat, bersikap tidak pantas, dan memalukan nama orangtua disebut put-hao, artinya anak yang durhaka. Dengan prinsip Hao (Hsiao), seorang anak akan selalu berupaya mendengar dan menaati nilai-nilai yang diajarkan orangtua mereka (Su Si 1970, 20). Dengan prinsip “Hau” tersebut, seorang anak dituntut untuk mengutamakan kepentingan orang-tua daripada kepentingan dan keselamatan dirinya. Namun pada pihak lain, dalam kasus ini sang anak bersama keluarganya sedang menghadapi suatu masalah ekonomis yang sangat berat. Mereka harus mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk penggunaan mesin ventilator dan perawatan medis kepada mamanya yang gagal paru. Mereka juga tidak mengetahui sampai kapan mamanya mampu bertahan dengan alat ventilator medis tersebut. Mamanya bisa bertahan hidup dalam jangka pendek (beberapa bulan lagi), tetapi juga bisa jangka panjang (beberapa tahun lagi). Saat itu mereka mulai panik karena mereka harus berhutang kepada pihak lain, sehingga mengeluarkan biaya ekstra yaitu suku bunga pinjaman. Anak bersama keluarganya diperhadapkan dengan suatu situasi yang dilematis: “Apakah mereka harus meneruskan perawatan medis untuk mamanya menggunakan mesin ventilator dengan akibat seluruh anggota keluarga akan collapse, ataukah terpaksa mencabut penggunaan mesin ventilator dengan akibat kematian mamanya namun seluruh anggota keluarga selamat”.

Bila keluarga menerapkan prinsip “Hau”, maka mereka tidak akan pernah mencabut mesin ventilator dengan tujuan mempertahankan kehidupan mamanya sampai akhir, walau dengan risiko mereka kehilangan semua yang properti utama seperti rumah dan kendaraan. Mereka juga harus siap menanggung risiko, anak-anak mereka tidak dapat bersekolah lagi karena tidak memiliki dana yang dibutuhkan. Namun dengan memerlakukan sikap “Hau” tersebut apakah mereka telah bertindak sesuai hukum cinta kasih dan keadilan? Apakah mereka harus mengungkapkan kasih sayang kepada mamanya dengan pengorbanan yang menghancurkan masa depan anak-menantu, dan ketiga cucunya. Pertanyaan yang timbul adalah bukankah mereka selaku anak menantu, dan ketiga cucu juga berhak memiliki masa depan? Karena itu mereka mencoba memahami prinsip “Hau” secara lebih realistis dengan memerhatikan kemungkinan dari sudut lain, yaitu tindakan euthanasia melalui etika situasi yang dikemukakan oleh Fletcher.

Inti dari keenam prinsip etika situasi dari Fletcher adalah memerlakukan cinta-kasih (prinsip pertama dan kedua). Cinta-kasih tersebut diwujudkan dalam perbuatan menghasilkan “keuntungan terbesar dari jumlah yang terbesar”. Sebab “cinta kasih dan keadilan adalah sama, karena keadilan adalah cinta-kasih yang dibagi, tak ada lainnya”. Dengan prinsip pemikiran tersebut, keluarga dalam situasi dilematis tersebut dapat memilih untuk menghentikan penggunaan ventilator medis terhadap mamanya. Alasannya adalah faktor ekonomis, yaitu anggota keluarga sehat memerlukan dana untuk kebutuhan hidup seperti biaya rutin rumah-tangga, kesehatan, dan dana studi yang lebih banyak secara kuantitatif. Dengan menghentikan penggunaan ventilator medis, maka terpenuhi prinsip etika situasi Fletcher, yaitu “keuntungan terbesar dari jumlah terbesar”. Anggota keluarga dapat melanjutkan kehidupan lebih normal, dan tidak terjebak pada hutang karena biaya operasional mesin ventilator dan perawatan medis yang mahal untuk mamanya. Apalagi saat itu mamanya sudah berusia 72 tahun. Fletcher menyatakan pelaksanaan etika situasi berdasarkan kondisi riil, sehingga tujuan perbuatan menentukan nilai moralnya. Ini berarti tujuan untuk menyelamatkan 5 orang anggota keluarga menjadi sasaran utama. Karena itu dipandang dari sudut etika situasi, tindakan menghentikan mesin ventilator didasarkan pada tujuan yang baik, yaitu terjaminnya masa depan dan kehidupan untuk 5 orang anggota keluarga. Keputusan etis tersebut bernilai benar, karena sesuai dengan prinsip etika Fletcher yang keenam menyatakan: “Hanya tujuan membenarkan sarana, tak ada lainnya”. Dengan demikian menurut etika situasi Fletcher, tujuan membenarkan sarana, sehingga dimungkinkan keluarga pasien melakukan euthanasia kepada mamanya apabila keselamatan dan kepentingan orang banyak terancam. Karena itu mereka merencanakan memutuskan untuk mencabut ventilator sebagai mesin penopang kehidupan kepada mamanya walau dengan risiko dianggap sebagai anak yang put-hao (durhaka).

Interpretasi Keputusan Etis untuk Euthanasia

Hazel Biggs, dalam bukunya yang berjudul Euthanasia: Dead with Dignity and the Law menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan akhir hidupnya setelah upaya medis tidak mungkin dapat menyembuhkan, apalagi bilamana ia tidak memiliki harapan hidup disebabkan organ-organ tubuhnya telah mengalami kerusakan. Untuk itu seseorang berhak memilih kematiannya secara bermartabat apabila ia terlebih dahulu telah mengajukan kepada pengadilan untuk mengesahkan keputusannya tersebut (Biggs 2001, 33). Namun apakah dengan pengesahan peradilan tersebut berarti masalah euthanasia yang sifatnya voluntary secara etis-moral selesai? Maksud euthanasia secara voluntary adalah bilamana seseorang secara sadar tidak lagi memiliki harapan hidup setelah dilakukan upaya medis yang optimal, sebab salah satu dari organ tubuhnya telah mengalami kerusakan, sehingga ia dengan sukarela memutuskan untuk diakhiri hidupnya. Namun pertanyaannya adalah apakah pengadilan negara memiliki wewenang untuk mengesahkan tindakan eutahanasia yang voluntary tersebut? Dalam deskripsi kasus terlihat bahwa bukan pasien yang menghendaki kematian, tetapi anggota keluarganya. Jika demikian, maka tindakan mereka dapat digolongkan pada euthanasia yang involuntary, yaitu sebenarnya pasien tidak menghendaki kematiannya, tetapi orang-orang di sekelilingnya yang ingin mencabut ventilator medis dengan pertimbangan tertentu. Padahal tindakan euthanasia yang involuntary secara hukum tergolong sebagai pembunuhan (homicide), walau menurut etika situasi Fletcher dibenarkan sebab menyelamatkan jumlah yang terbesar dari anggota keluarga.

Inti dari seluruh persoalan etis ini terjadi karena keluarga tidak pernah melibatkan mamanya dengan memberi informasi dari satu proses ke proses lainnya, dan menjalin suatu relasi personal yang penuh pengertian. Dari deskripsi kasus, kita tidak menjumpai upaya dari keluarga secara bersengaja dan empatik melibatkan mamanya dalam mengambil keputusan etis. Apakah faktor ini disebabkan karena mereka tidak tega menyampaikan kepada mamanya situasi dan beban ekonomis yang sebenarnya? Karena itu di saat yang kritis, keluarga bersikap panik dengan mempertimbangkan kemungkinan untuk mencabut ventilator medis terhadap mamanya secara sepihak. Padahal keadaan mamanya saat itu masih memungkinkan untuk dilakukan suatu dialog, yaitu mendengar dan menanyakan seluruh pergumulan, harapan, dan keinginan-keinginannya. Dalam bukunya yang berjudul Dying Well, Kenneth L. Vaux dan Sara A. Vaux menegaskan bahwa seorang pasien yang menghadapi kemungkinan terburuk wajib dilibatkan dalam suatu percakapan yang kondusif. Pasien pada akhirnya berhak mengetahui kondisi penyakit yang sebenarnya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, dan menentukan yang terbaik bagi akhir hidupnya (Vaux dan Vaux 1996, 26).

Keputusan etis untuk mencabut ventilator medis berdasarkan etika situasi dalam kasus ini membuktikan bahwa teori Fletcher yang mengutamakan cinta-kasih (prinsip pertama dan kedua) tidak cukup memadai. Fletcher menyamakan cinta kasih dengan keadilan dengan konsekuensi: “keuntungan terbesar dari jumlah yang terbesar” (prinsip ketiga). Dengan demikian cinta kasih berlaku untuk jumlah orang yang terbanyak. Akibatnya keluarga mengabaikan sikap cinta kasih kepada mamanya. Mamanya tidak mendapat kesempatan untuk mendengar dan mengutarakan isi hatinya. Cinta kasih yang dikemukakan oleh Fletcher tidak mencukupi untuk memberi penilaian moral yang memadai, sebab perlu norma-norma yang lebih terinci. Seharusnya cinta kasih dan keadilan tidak disamakan, namun keduanya mendapat tempat dan fungsinya masing-masing, sehingga cinta kasih diukur oleh keadilan di antara dua pihak. Bila keadilan dialami oleh semua pihak, maka cinta kasih tidak lagi menjadi pernyataan dan tindakan yang sepihak. Keluarga dan mamanya akan menggumuli masalah tersebut dengan pengertian yang lebih mendalam tentang makna kehidupan dan kematian sebagai suatu realitas yang perlu disambut dengan ucapan syukur. Dengan demikian antara keluarga dan mamanya akan memasuki suatu pendalaman makna dan tujuan hidup secara teologis.

Kenneth L. Vaux dan Sara A. Vaux dalam bukunya Dying Well, memperkenalkan tiga pemahaman teologis dalam menyikapi kematian, yaitu: “kematian sebagai teman”, “kematian sebagai musuh”, dan “menjalani kehidupan dan kematian dengan kemurahan hati”. Makna “kematian sebagai teman” dipahami sebagai orang yang tidak segan untuk memilih jalan kematian karena suatu keyakinan atau ideologi tertentu seperti seorang yang melakukan bom bunuh diri. Mereka tidak menghargai kehidupan diri sendiri dan orang-orang di sekitar mereka, sehingga dapat melakukan tindakan membunuh orang lain (Vaux dan Vaux 1996, 35-37). Makna “kematian sebagai musuh” adalah realitas kematian dipahami sebagai suatu kekuatan penghancur bagi kehidupan, sebab meniadakan martabat dan kesempatan bagi umat manusia. Karena itulah Vaux dan Sarah Vaux mengutip Roma 6:23: “Sebab upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Krsitus Yesus, Tuhan kita.” Artinya Alkitab menganggap kehidupan bernilai tinggi, sehingga Kristus datang untuk mengalahkan kuasa maut (Vaux dan Vaux 1996, 42). Lalu makna “menjalani kehidupan dan kematian dengan kemurahan hati” merupakan spiritualitas yang mampu menggabungkan dimensi kehidupan dan kematian melalui anugerah Allah yang tertuju kepada kuasa penyelamatan-Nya (Vaux dan Vaux 1996, 48). Karena itu mereka menjalani kehidupan dengan bermakna, dan menghadapi kematian dengan sukacita seperti seseorang menyambut pesta perkawinannya. Dengan spiritualitas demikian, maka mamanya sedikit banyak tidak akan putus-asa menghadapi kondisinya. Ia diteguhkan untuk menghadapi kematian karena kasih Kristus sebagaimana rasul Paulus berkata: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rom. 8:35).

Dengan menghayati kasih Kristus, setiap umat dipanggil untuk menghadapi kematian dengan penuh martabat dan kesadaran akan makna kematian Kristus serta kemuliaan kebangkitan-Nya. Untuk itu keputusan untuk melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan di luar iman, yaitu suatu keputusan etis yang dilandasi oleh perasaan putus-asa dan mengabaikan nilai harkat eksistensi pasien. Dalam konteks ini terlihat bahwa prinsip teori etika situasi Fletcher hanya memperhatikan nilai eksistensi dari “jumlah terbanyak”, sehingga mengabaikan eksistensi pasien yang juga berhak mengambil keputusan terbaik untuk akhir hidupnya. Bahaya dari filsafat eksistensialisme yang mewarnai teori etika situasi Fletcher adalah sering melihat makna eksistensi hanya dari sudut subyektif seseorang, dan mengabaikan eksistensi sesama. Dalam hal ini makna individu dalam perspektif etika situasi Fletcher tidak melihat hakikat keberadaan manusia dalam jaringan struktur yang sifatnya sosial, tetapi individualistik. Iman Kristen memaknai eksistensi dan harkat manusia bukan hanya dilihat dari ikatan sosial dan komunitasnya saja, namun juga ditempatkan dalam relasi kasih Kristus. Relasi kasih Kristus itulah yang membuka kesadaran bagi komunitas (keluarga) dan pasien (mamanya) untuk bersama-sama memaknai akhir kehidupan dengan sikap iman. Selain itu penghayatan nilai “Hau” sebagai orang Tionghoa kepada orang-tua perlu diwujudkan dengan perspektif cinta-kasih Kristus. Dengan demikian mereka bersikap “Hau” kepada mamanya bukan sekedar sebagai suatu kewajiban moral belaka, tetapi karena kasih Kristus meresapi dan memampukan mereka untuk mengasihi dia tanpa syarat.

Saran Aksi Etis

            Dengan pemahaman teologis terhadap makna kehidupan dan kematian tersebut, keluarga dan mamanya akan dimampukan untuk berpikir lebih jernih dalam merespons permasalahan tersebut. Keluarga tidak akan melakukan “euthanasia yang involuntary”, tetapi juga tidak akan mendorong mamanya yang sakit untuk melakukan “euthanasia yang voluntary”. Tetapi yang akan mereka lakukan adalah:

  1. Keluarga dan mamanya yang sakit sepakat untuk tidak menambah upaya medis ekstra, seperti penambahan obat-obatan yang sangat mahal. Demikian pula bila terjadi suatu situasi krisis tidak akan melakukan upaya medis untuk dirawat di ICU.
  2. Keluarga membuka kemungkinan untuk memperoleh dukungan dana dari beberapa lembaga sosial agar meringankan biaya medis untuk menggunakan alat ventilator medis terhadap mamanya.
  3. Keluarga lebih intensif mendampingi mamanya yang akan mengalami kematian, karena fungsi ventilator medis tidak akan selamanya mampu menopang kehidupan. Gail Tulloch dalam bukunya yang berjudul Euthanasia – Choice and Death menyatakan bahwa pasien akan memasuki empat tahap, yaitu: tahap penyangkalan sebab merasa terpukul dengan keadaannya, tahap kemarahan sehingga ia marah kepada setiap tenaga medis, keluarga, dan Allah. Tahap berikutnya adalah tahap menawar (bargaining) kesempatan hidup yang semakin terbatas. Tahap terakhir adalah tahap penerimaan, yaitu pasien dengan ikhlas untuk mati dalam damai dan bermartabat (Gail 2005, 7). Kondisi fisik pasien akan perlahan-lahan menurun, namun diharapkan kondisi rohani dan iman makin diperbarui dari sehari ke sehari (2 Kor. 4:16). Karena itu keluarga akan banyak mendengar secara empatis, sehingga mamanya dapat menghadapi kematian dalam suasana cinta-kasih yang tulus di tengah-tengah keluarga.

Penutup

Dilema keputusan etis terhadap euthanasia terjadi karena peralatan medis pada masa kini bukan sekedar untuk membantu pemulihan kesehatan, namun juga menjadi teknologi penopang kehidupan manusia. Karena itu apabila salah satu organ atau beberapa organ tubuh kita telah mengalami kerusakan dan tak tersembuhkan (incurable) perlu dipertimbangkan untuk tidak memasang life-sustaining technology. Karena saat kita memutuskan untuk memasang peralatan tersebut, maka untuk mencabutnya akan menjadi suatu masalah etis-moral yang kompleks. Prinsip ini saya maksudkan tidak ditujukan kepada orang lain, tetapi kepada diri kita sendiri. Misalnya sejak awal kita telah menyampaikan kepada keluarga pendirian dan keputusan etis kita tersebut. Karena pemasangan alat penopang kehidupan tersebut hanya akan memperpanjang suatu kehidupan yang tidak lagi berkualitas, sebaliknya akan menimbulkan beban ekonomis kepada anggota keluarga, dan beban psikologis serta rohani kepada orang-orang di sekitar kita. Saya pribadi lebih memilih mati secara alamiah namun dalam sikap iman, sebab anugerah kehidupan dari Tuhan adalah untuk menghasilkan buah, bukan untuk dipertahankan melampaui kodrat.

“Barangsiapa mempertahankan nyawanya,
ia akan kehilangan nyawanya,
dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku,
ia akan memperolehnya” (Mat. 10:39).

*******

Daftar Acuan

Biggs, Hazel. 2001. Euthanasia: Dead with dignity and the law. Portland, Oregon: Hart Publishing Ltd.

Fletcher, Joseph 1966. Situation ethic: the new morality. Philadelphia: The Westminster Press.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. 1970. Su-Si (Kitab yang Empat).

Tullock, Gail. 2005. Euthanasia – choice and death. Edinburg: Edinburg University Press Ltd.

Vaux, Kenneth and Sara A. Vaux. 1996. Dying well. Nashville: Abingdon Press.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono