Renungan Minggu Prapaskah V
Berita di Yahoo News tanggal 6 Maret 2013 mengisahkan seorang ayah membeku hingga meninggal karena melindungi putrinya yang berusia sembilan tahun dari badai salju yang melanda Jepang utara. Ayah tersebut bernama Mikio Okada mati membeku karena pakaiannya ia kenakan kepada putrinya bernama Natsune, dan tubuhnya dijadikan pelindung agar Natsune tetap hangat dan mampu bertahan hidup. Pengorbanan diri seorang ayah dengan nyawanya tersebut mengungkapkan pemberian cinta yang paling berharga kepada putrinya. Kasih yang lahir dari hati senantiasa melampaui batas-batas rasional, dan berbagai kepentingan diri. Sebab kasih yang demikian bersedia untuk berkurban bagi yang dikasihinya.
Di Yohanes 12:1-8 mempersaksikan Maria, saudara dari Marta dan Lazarus mengambil setengah kati minyak narwastu murni. Minyak narwastu yang harganya satu tahun orang bekerja segera ditumpahkan Maria ke kaki Yesus. Lalu Maria menyeka kaki Yesus tersebut dengan rambutnya. Tindakan yang dilakukan Maria mencerminkan persepsi, keyakinan, dan nilai keutamaannya. Maria tidak memandang materi, uang, dan kehormatan sebagai yang paling utama. Bagi Maria, yang utama adalah Kristus. Karena itu walau minyak narwastu itu begitu mahal, ia tidak segan mencurahkan ke kaki Tuhan Yesus. Maria juga tidak malu dan enggan untuk menggunakan rambutnya untuk menyeka kaki Yesus. Padahal rambut bagi seorang wanita dihayati sebagai mahkota kecantikan, dan ia tidak memperbolehkan orang lain menyentuhnya. Secara simbolis tindakan Maria telah menjungkirbalikkan konsep “atas” dan “bawah”. Yang sehari-hari terletak “di bawah” ditempatkan Maria “di atas” dan apa yang sehari-hari terletak di “atas” justru ditaruh “di bawah”. Artinya di hadapan Kristus, seharusnya semua kebanggaan dan tujuan hidup kita seharusnya diletakkan di bawah kaki-Nya.
Bercermin terhadap sikap Maria tersebut, bacaan Injil menantang kita, yaitu apakah kita telah menempatkan Kristus di atas segala-galanya? Kalau kita mau jujur, sebenarnya yang utama dan menjadi kebanggaan kita bukanlah Kristus. Kebanggaan dan keutamaan kita seringkali adalah kekayaan, status sosial, dan kehormatan diri sendiri. Dengan “spiritualitas” demikian, kita merasa memiliki hak mengatur dan mengendalikan orang lain di sekitar kita. Kita juga merasa berhak untuk memaksakan semua kehendak dan keinginan kita. Namun kita juga dapat menjumpai umat Tuhan yang hidupnya seperti Maria. Mereka menempatkan semua milik, kekayaan, dan kehormatan pribadinya di bawah kaki Yesus. Dengan hati yang remuk, mereka menganggap diri tidak layak berdiri di hadapan Tuhan. Mereka hanya ingin melayani Tuhan dengan segenap hati dan jiwanya.
Tokoh lain yang dipersaksikan oleh Injil adalah tokoh Yudas Iskariot. Ia menampilkan dirinya selaku seorang pahlawan bagi orang miskin dengan cara menegur tindakan Maria: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yoh. 12:5). Mungkin Yudas Iskariot memiliki kepedulian kepada orang miskin, tetapi paradigma yang mulia tersebut dilakukan Yudas dengan cara menyudutkan Maria yang tulus menyatakan cinta-kasihnya kepada Yesus. Jika kita peduli dengan sesama yang menderita, kita tidak perlu menyalahkan orang lain yang menyatakan cinta-kasihnya dalam bentuk yang berbeda. Lebih baik kita menyisihkan sebagian harta milik kita sendiri daripada kita mengatur agar orang lain melakukan apa yang kita pikirkan dan inginkan. Sikap Yudas Iskariot tersebut sekilas tampak mulia, tetapi belum dilandasi oleh pembaruan hidup dalam perjumpaannya dengan Kristus.
Berbeda apabila seseorang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus. Di Filipi 3:3:7 mempersaksikan efek pengalaman perjumpaan dengan Kristus demikian: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.” Rasul Paulus melepaskan semua motif dan kebanggaannya. Karena baginya, Kristus adalah yang termulia sehingga ia ingin memberikan seluruh hidupnya. Karena itu ia berkata: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Fil. 3:10). Jika demikian, bagaimanakah posisi teologis kita? Apakah spiritualitas kita seperti Maria dan rasul Paulus, ataukah seperti Yudas Iskariot?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono