Istilah “trinitas” berasal dari kata bahasa Latin yang secara harafiah berarti: ketiga hal yang terjadi secara serentak (the property at occuring three at once), atau secara sederhana berarti: “tiga adalah satu.” Istilah ini dikemukakan pertama kali oleh Tertullianus sekitar tahun 200, yang dipakai untuk menunjuk kepada Bapa, Anak dan Roh Kudus. Istilah “trinitas” dari bahasa Yunani dipergunakan kata “trias.” Bahasa Inggris menggunakan kata “triad” yang artinya: tiga serangkai. Bahasa Sansekerta menggunakan istilah “Trimurti” yang memiliki arti yang hampir sama. Dalam bahasa Jerman dipergunakan kata “Dreifaltigkeit.”
Kitab-kitab dalam Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani tidak mempergunakan istilah “trias” tetapi Perjanjian Baru berbicara tentang Allah yang disebutnya “Bapa”, dan Yesus Kristus yang disebutnya “Anak”, serta Roh Kudus – yang disaksikan bagaimana ketiganya berkarya. Jadi istilah “trinitas” sesungguhnya mulai diterapkan dalam ajaran gereja pada masa kemudian sebagai suatu refleksi ajaran gereja. Gereja perdana menegaskan eksistensi keesaan Allah, yang mana gereja menyatakan penolakannya kepada politheisme yang menjadi pola pikir kebudayaan pada zaman itu. Sementara gereja menegaskan secara tegas hal sikap monotheisme-nya, gereja juga mempercayai bahwa manusia Yesus Kristus pada waktu yang bersamaan sesungguhnya “lebih dari pada manusia biasa” (more than a man).
Ajaran Trinitas dinyatakan sebagai ajaran gereja atau pengakuan iman Kristen dalam konsili di Nicea tahun 325 dan 381, dan juga dinyatakan pengakuan iman Athanasius sekitar tahun 500. Dengan rumusan pengakuan iman tersebut, maka seluruh gereja-gereja memiliki ukuran dalam menetapkan rumusan ajaran-ajarannya. Istilah teologis yang dipergunakan oleh konsili di Nicea untuk merumuskan ajaran “Trinitas” adalah “homoousios” dari bahasa Yunani yang berarti Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki esensi ilahi yang sama. Makna dari “homoousious” tersebut perlu dibedakan dengan istilah “homoios” yang artinya: esensi ilahi yang mirip atau serupa. Tidak mengherankan jikalau orang-orang yang menolak ajaran “Trinitas” yang menekankan pada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus berkedudukan setara dan sama (“homoousious”), mereka lebih suka memakai istilah “homoios.” Jadi dalam pandangan “homoios” menyatakan bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus tidaklah setara dan sama. Tetapi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki wujud dan kedudukan yang tidak serupa.
Dengan demikian Pengakuan Iman Nicea dan Athanasius pada prinsipnya bertujuan untuk menyatukan pandangan atau ajaran gereja tentang Trinitas yang pada waktu itu bertentangan sangat tajam khususnya antara ajaran Arius dengan Athanasius . Ajaran dari Arius pada prinsipnya mempersoalkan keilahian Yesus dengan relasi-Nya dengan Allah. Bagi Arius, hanya ada satu Allah saja. Jadi hanya Allah saja yang tidak dilahirkan, kekal, tanpa permulaan, dan Dialah Allah yang sejati.
Sebenarnya pandangan Arius tersebut dipengaruhi oleh pandangan Adamatinus Origenes (185-255). Origenes menegaskan hanya ada satu Allah saja. Dialah Allah yang esa dan yang menjadi sebab segala sesuatu. Ia adalah Allah yang ada pada diriNya sendiri dan tidak dilahirkan. Konsekuensi logisnya, Origenes menempatkan Logos yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus memiliki pangkat yang lebih rendah dari pada Allah Bapa. Jadi dalam pandangan Origenes tentang Trinitas adalah “subordinasianisme.” Di sini Logos hanyalah sebagai perantara hubungan antara Allah dengan manusia. Logos sebagai Firman Allah menurut Origenes adalah kekal. Dia sejak kekal dilahirkan dari Allah. Logos tidak memiliki awal yang temporal. Dalam hal ini Origenes merumuskan keberadaan Logos sebagai: non est quando Filius non Filius fuit (“tidak ada saat di mana Anak itu tidak ada”).
Tetapi kemudian pandangan Arius melangkah lebih jauh dari pemikiran Origenes. Arius berani menyatakan bahwa Anak tidak dilahirkan sejak kekal. Anak memiliki awal, walaupun Dia telah hadir sebelum diciptakan. Jadi Arius menyatakan keberadaan Yesus sebagai Anak sebagai Logos yang pernah tidak ada. Arius berkata: “there was a time when the Son was not” (ada saat di mana Anak tidak ada). Dalam pemikiran Arius, sang Anak diciptakan “ex nihilo” oleh Sang Bapa dengan akal kehendakNya. Walaupun sang Anak diciptakan bagi Arius, sang Kristus adalah ciptaan sempurna. Jadi Kristus bukanlah substansi ilahi, dan substansi-Nya tidak sama dengan substansi Allah. Dengan demikian, eksistensi Kristus tidak kekal, karena ada saat di mana Ia tidak ada.
Pandangan Arius ini di Indonesia tampak mewarnai ajaran dari Saksi Yehova yang menyatakan bahwa Allah Bapa dan Putera Allah adalah dua pribadi dan Roh yang secara hakiki berbeda dan terpisah satu sama lain. Allah Bapa, Jehova, sang Pencipta lebih tinggi dari sang Putera. Dalam hal ini Yesus Kristus adalah hanyalah saksi dan pelayan utama dari Jehova. Pada suatu ketika Allah hanya sendirian, tetapi setelah memulai penciptaan, Allah mengeluarkan seorang Putera. Bagaimana GKI dapat menjelaskan ajaran Trinitas ketika anggota jemaat diperhadapkan oleh pertanyaan dan argumentasi yang harus mereka hadapi?
Dalam konteks Indonesia, juga perlu dikaji secara kritis pengaruh pandangan dari Sabellius yang hidup sekitar abad III. Ia sebenarnya seorang Lybia. Pemikiran Sabellius pada prinsipnya mempertahankan keesaan Allah dalam pengertian secara nominal (wahdat bi’l adat). Bagi Sabellius, Allah hanya memiliki satu “hypostasis” namun Dia memiliki 3 nama. Jadi Allah yang esa dalam penyataanNya itu menampakkan diri secara modalitas atau tiga bentuk penampakan diri. Di Perjanjian Lama, Allah menampakkan diri sebagai Bapa yang menciptakan dan pemberi hukum kepada umatNya. Kemudian Allah yang esa dan sama itu menyatakan diri dalam diri Kristus untuk menjadi Juru-selamat dan penebus bagi dosa manusia. Lalu Allah yang esa dan sama itu setelah kematian dan kebangkitan Kristus yaitu pada hari Pentakosta menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus. Dalam hal ini Sabellius berhasil untuk mempertahankan masalah keesaan Allah, tetapi dengan ajaran tentang modalitasnya ia telah gagal untuk menjelaskan segi “pluralitas” Allah. Pandangan dan ajaran Sabellius tidak dapat menjelaskan bagaimana mungkin Allah yang hadir dalam diri Yesus, juga Allah yang pada saat yang sama dapat bersabda ketika Yesus dibaptis? Tetapi tidak jarang pola pemikiran Sabellius yang “unitarianisme” ini digunakan oleh orang-orang Kristen di Indonesia karena latar-belakang Indonesia sebagai negara dan masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Sebab bukankah Islam menegaskan secara mutlak keesaan Allah (tauhid) dalam pengertian Allah esa secara bilangan?
Dalam konsili Nicea, gereja merumuskan ajaran tentang Trinitas dengan penggunaan kata “homoousios” untuk menyatakan hubungan/relasi antara Allah dengan diri Kristus dan Roh Kudus. Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas, bahwa istilah “homoousios” mempunyai arti satu zat atau satu hakikat. Arti utama dari “ousia” adalah “being” “essense”, “reality.” Dalam pengertian ini perlu dibedakan antara “homoousios” dengan “homoios” yang artinya: menyerupai. Istilah homoios tersebut dipakai oleh pengikut ajaran Arius untuk menyatakan bahwa Anak hanya menyerupai Bapa; tetapi Anak tidak satu hakikat dengan sang Bapa. Keputusan gereja yang kemudian menerima pemikiran Athanasius, pada prinsipnya menegaskan bahwa Allah dan Yesus adalah satu homoousios, sehingga keilahian Anak identik dan sehakikat dengan keilahian Allah. Karena itu dalam pengakuan Athanasius menyatakan: “That we worship one God in Trinity, and Trinity in unity. Neither confounding the Person, nor the dividing the substance (essense). For there is one Person of the Father, another of the Son, and another of the Holy Ghost. But Godhead of the Father, of the Son and of the Holy Ghost is all one, the glory equal, the Majesty coeternal …..” (Kita menyembah satu Allah dalam ketritunggalanNya, dan ketritunggalan dalam keesaanNya, tanpa mencampurbaurkan kepribadian, dan tidak memisahkan hakikatnya. Karena di sana ada satu pribadi dari Bapa, yang lain dari Anak, dan yang lain dengan Roh Kudus. Tetapi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah esa dengan kemuliaan yang sama dan kewibawaan yang sama kekalnya ………). Kemudian ditegaskan pula bahwa dalam pengakuan iman Athanasius, oknum Roh Kudus ditempatkan sehakikat dengan Bapa dan Anak. Jadi oknum Roh Kudus tidak diciptakan, Dia sehakikat dengan Allah dan Anak.
Untuk menggambarkan ajaran Trinitas sebagaimana yang telah dinyatakan oleh pengakuan iman Nicea Konstantinopel dan pengakuan iman Athanasius, umumnya dipakai diagram “Scutum Fidei” (perisai Trinitas). Dalam diagram tersebut dinyatakan bahwa keberadaan Allah dinyatakan dalam 3 pribadi (hypostases). Dalam kedudukannya, ketiga pribadi Allah itu sama dalam hakikat, kekekalan, tabiat, kuasa, tindakan dan kehendakNya. Namun ketiga pribadi Allah yang adalah Allah itu memiliki keberadaanNya sendiri, sehingga Allah Bapa bukanlah Anak, dan juga bukanlah Roh Kudus. Karena itu pemahaman tentang Allah yang esa, dapat dilihat dari 2 sudut, yaitu Allah itu esa secara bilangan (wahdat bi’l adat), tetapi juga Allah itu esa secara relasional (wahdat bi’l nisba). Dalam hal ini Allah orang Kristen yang “trinitarian” dapat disebut dalam pengertian “wahdat bi’l nisba”, yaitu bahwa Allah yang esa itu memiliki relasi yang sehakikat antara Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Rumusan Trinitas dalam kehidupan gereja tersebut kerapkali menjadi sulit dipahami dan dimengerti oleh para anggota jemaat apalagi oleh orang-orang yang tidak seiman. Penyebabnya adalah rumusan-rumusan Trinitas kerapkali terjebak pada istilah-istilah yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani (misalnya “homoousios,” “homoios,” “hypostases”) dan filsafat Stoa (lihat pandangan Tertullianus tentang “Una Substantia, Tres Personae”). Padahal dalam pemahaman iman umat Israel dan umat Perjanjian Baru tentang hubungan Allah-Firman-Roh dilihat dalam konteks karya Allah yang dinamis dan kreatif. Itu sebabnya umat Israel memahami YAHWEH sebagai Allah yang hadir dan berkarya, yang mana kehadiran dan karyaNya dialami secara eksistensial dalam sejarah kehidupan mereka. Di Perjanjian Baru, hubungan Allah dengan Kristus dinyatakan melalui ucapan Kristus yang berkata: “masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” (Yoh. 10:36-38). Dalam hal ini rahasia hubungan “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” ditempatkan oleh Kristus: “tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu.” Jadi Allah-Kristus-Roh Kudus dalam pola pikir Injil Yohanes dinyatakan bahwa Allah yang esa itu telah menyatakan diriNya dalam tiga pribadi yang berkarya, bertindak dan bekerja secara bersama-sama, namun masing-masing memiliki keunikan ke-Ilahi-an dan karya yang berbeda.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono