Dasar Pemikiran
Pernyataan iman “Allah orang yang hidup” memiliki berbagai makna. Makna tersebut tergantung siapa yang mengucapkan. Bagi Ayub, pernyataan “Allah orang yang hidup” merupakan suatu lompatan iman, sebab di saat keterpurukannya ia semula menemukan Allah sebagai lawan yang menghancurkan kehidupannya. Namun akhirnya Ayub dapat mengimani Allah sebagai Penebusnya yang hidup. Bagi rasul Paulus, pada akhir zaman Allah akan menyatakan diri-Nya dalam kedatangan Kristus untuk menghukum “manusia durhaka” dan membawa umat percaya dalam kemuliaan-Nya. Karena itu umat dipanggil untuk merespons dengan hidup kudus. Bagi orang-orang Saduki, Allah orang yang hidup dipahami hanya terjadi dalam kehidupan di dunia ini saja. Setelah manusia mati, ia tidak akan menemukan kehidupan sorgawi. Sedang bagi Tuhan Yesus, Allah orang yang hidup dinyatakan dalam kehidupan di masa kini maupun dalam kehidupan setelah kematian. Di dalam persekutuan Allah yang hidup, umat memperoleh anugerah kehidupan.
Sikap percaya kepada Allah yang hidup, seharusnya membawa konsekuensi etis yaitu menghadirkan anugerah kehidupan Allah tersebut dalam realita kehidupan. Realita kehidupan di masa kini begitu bernilai sama halnya dengan keselamatan di masa mendatang. Karena itulah Allah orang yang hidup memperkenalkan nama-Nya kepada Musa sebagai: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Walaupun para bapa leluhur Israel tersebut telah wafat, mereka diperkenankan hidup abadi dalam persekutuan dengan Allah. Sebab selama kehidupan mereka di dunia, mereka menghadirkan tanda-tanda keselamatan dan berkat Allah. Karena itu umat Israel dipanggil untuk percaya kepada Allah melalui kehidupan dan jalan hidup para bapa leluhurnya. Namun, apakah di masa kini kita masih menjumpai Allah orang yang hidup? Saya tidak membangun argumentasi berdasarkan dogma, tetapi melalui fenomena yang terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari, yaitu kehadiran para pemeluk agama yang agresif mematikan sesamanya. Ungkapan “agama sebagai rahmat” menjadi sekedar suatu pernyataan klise belaka. Bagaimana kita menyatakan “Allah orang hidup” di tengah-tengah realita umat beragama yang menghadirkan kematian bagi sesamanya?
Dalam bukunya yang ditulis tahun 2004 berjudul “The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason”, Sam Harris menyatakan bahwa agama-agama dalam perjalanan sejarah umat manusia hadir membawa kekerasan, kekejaman, dan kematian. Karena itu agama dipandang oleh Sam Harris sebagai akar seluruh kejahatan (the root of evil). Kenyataan tersebut bertolak-belakang dengan berita yang disampaikan oleh agama-agama, yaitu datang membawa kehidupan dan keselamatan. Karena itu ungkapan Allah orang yang hidup hanya bermakna, jikalau para penganut agama terbukti mampu menghadirkan kehidupan di tengah-tengah kematian, harapan di tengah-tengah keputusasaan. Namun ketika agama-agama memosisikan dirinya sebagai pelaku eksekutor yang mematikan sesama, maka saat itulah Allah dalam agamanya menjadi “Allah orang mati”. Tepatnya, Allah yang diimani itu sesungguhnya bukanlah Allah yang hidup dan menghadirkan kehidupan.
Tafsiran
Tafsir Ayub 19:23-27
Arti “perkataanku” di Ayub 19:23 menunjuk kepada keseluruhan ucapan yang dikatakan Ayub pada ayat-ayat sebelumnya. Di ayat 1-5 Ayub mengungkapkan keluhan tentang sikap para sahabat yang menyakiti dan menghina dirinya. Ayat 6-13 mempersaksikan tindakan Allah yang berlaku tidak adil dengan menanggalkan kemuliaan dan merampas mahkota hidupnya. Allah menyatakan murka-Nya dan menganggap Ayub sebagai musuh-Nya, sehingga saudara dan kenalan dijauh Allah dari hidupnya. Di ayat 14-22 mempersaksikan bagaimana kaum kerabat dan kawan-kawannya melupakan dia. Bahkan anak semang dan budak tidak lagi menghormati Ayub. Istri, saudara-saudara sekandung Ayub, anak-anak di daerahnya, dan teman-teman karibnya menghina dia. Intinya seluruh perkataan Ayub mengungkapkan kepedihan hati yang begitu dalam sebagai seorang yang runtuh berkeping-keping, tanpa harapan, tanpa kehormatan, dan belas-kasihan. Dia ditolak oleh Allah, dan setiap orang tanpa terkecuali. Karena itu permohonan Ayub agar seluruh perkataannya itu ditulis, dicatat dalam kitab, terpahat dengan besi pengukir, dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya merupakan ungkapan dari seorang yang telah kehilangan harapan. Keinginan Ayub agar seluruh riwayat dicatat dalam kitab yang terpahat dengan besi dan termeterai pada gunung batu hendak mempersaksikan agar keturunan atau manusia pada masa kemudian mengingat seluruh penderitaan dan kesedihannya. Namun apa manfaatnya keturunan atau manusia pada masa kemudian mengingat seluruh penderitaan dan kesedihan Ayub?
Kemarahan Ayub kepada Allah bukanlah suatu kemarahan yang sifatnya menetap. Di Ayub 19:25 dimulai dengan kata “tetapi” (waw) yang begitu kontras dengan ayat 23-24. Kata “tetapi” tersebut disambung dengan kata “aku tahu” (yada`). Dalam pengertian yada` di sini hendak menyatakan “I firmly believe” atau “I am convinced” (Clines 1989, 458). Jadi di antara ayat 23-24 dengan ayat 25 hendak mempersaksikan suatu lompatan iman! Jika di Ayub 19:23-24 semula hendak mengekalkan seluruh kepahitan dan penderitaan Ayub dalam catatan di kitab dan terpahat dalam besi, maka di ayat 25 Ayub mengalami suatu lompatan iman, sehingga ia mampu mengaku bahwa Allah sebagai penebusnya hidup. Iman Ayub lahir di tengah-tengah situasi ketiadaan iman dan harapan, di tengah-tengah situasi penolakan dan perasaan putus-asa yang total. Pengakuan iman Ayub tidak ditempatkan pada generasi mendatang atau keturunannya kelak, tetapi kepada Allah yang menjadi saksinya. Kata “penebus” (go’el) dalam tradisi kehidupan umat Israel dipakai untuk menunjuk kepada saudara, paman, saudara sepupu, atau kerabat dekat yang menolong dengan cara menebus, sehingga harta miliknya yang tergadai dapat kembali lagi (Im. 25:25-34; Yer. 32:6-15). Selain itu makna “penebus” juga berarti: seseorang yang mampu membebaskan dari perbudakan (Im. 25:47-54), menikahi seorang janda untuk meneruskan keturunan dari almarhum saudaranya (Rut 3:12; 4:1-6), dan penuntut balas bagi orang yang membunuh saudaranya (Bil. 35:12, 19-27). Namun perlu diingat bahwa arti “penebus” juga terkait dengan diri Allah. Di Yeremia 50:34 mempersaksikan: “Tetapi Penebus mereka adalah kuat; TUHAN semesta alam nama-Nya. Tentulah Ia akan memperjuangkan perkara mereka, supaya Ia memberi ketenteraman kepada bumi, tetapi kegemparan kepada penduduk Babel” (bdk. Ams. 23:11, Rat. 3:58, Mzm. 119:154). Dalam konteks ini jelas Ayub memaksudkan kata “penebus” kepada Allah, dan bukan kepada keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabatnya. Mereka semua telah meninggalkan dan mengabaikan dia. Sebaliknya Allah sebagai penebusnya akan membangkitkan dia di atas debu. Lebih daripada itu Ayub percaya bahwa ia kelak akan melihat Allah walau seluruh daging dan kulit tubuhnya hancur.
Tafsir Mazmur 17:1-9
Pemazmur mengalami dirinya dipersalahkan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia tidak berusaha membela dirinya. Tetapi ia meminta agar Allah yang bertindak dengan berkenan mendengar seruan dan doa-doanya. Allah yang berkenan mendengar juga diimani sebagai Hakim untuk mengadili. Pemazmur bersedia untuk diuji Allah, sebab selama ini ia telah berusaha menjaga diri terhadap jalan orang yang melakukan kekerasan. Ia berusaha untuk mengikuti jalan yang ditetapkan Allah dengan tidak menyimpang ke kiri atau kanan. Pemazmur di tengah-tengah penderitaan karena ketidakadilan dan kesewenang-wenangan manusia, memilih menyandarkan sepenuhnya kepada kerahiman Allah. Dalam konteks ini, pemazmur memaknai kasih-setia Allah sebagai sesuatu yang “ajaib” (palah). Kata “palah” di sini digunakan untuk menunjuk karya Allah yang begitu dahsyat dan tak tertandingi. Ini juga dapat dilihat padanannya dari Mazmur 139:14, yaitu: “Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kauperbuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” Demikian pula kasih-setia Allah dipahami sebagai sesuatu yang dahsyat dan ajaib sebab Allah menyelamatkan dia dari orang-orang yang berbuat jahat (Mzm. 17:7). Di hadapan kasih setia Allah yang ajaib itu, pemazmur memohon untuk dipelihara seperti biji mata Allah, dan diperkenankan untuk bersembunyi dalam naungan kepak sayap Allah. Ini berarti pemazmur menempatkan dirinya sebagai seekor anak burung rajawali yang berlindung dalam kepak sayap induknya (bdk. Yer. 31:5; Ul. 32:11; Mat. 23:37).
Tafsir 2 Tesalonika 2:1-5, 13-17
Rasul Paulus memberi penjelasan terhadap kesalahpahaman umat di Tesalonika perihal kemungkinan surat yang pernah ia kirim sebelumnya. Jemaat di Tesalonika telah salah paham tentang suatu surat yang seakan-akan mengajarkan perihal kedatangan Tuhan Yesus dalam kemuliaan-Nya. Karena itu mereka memiliki persepsi bahwa Tuhan Yesus akan segera datang, sehingga mereka menjadi bingung dan gelisah (Bruce 1982, 175). Karena itu di 2 Tesalonika 2:1-2, rasul Paulus menasihati: “Tentang kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus dan terhimpunnya kita dengan Dia kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu jangan lekas bingung dan gelisah , baik oleh ilham roh, maupun oleh pemberitaan atau surat yang dikatakan dari kami, seolah-olah hari Tuhan telah tiba.” Kedatangan Tuhan Yesus dalam kemuliaan-Nya adalah hal yang pasti, tetapi perihal waktu kedatangan-Nya tidaklah diketahui oleh siapapun. Sebab sebelum kedatangan hari Tuhan tersebut masih akan diawali dengan beberapa peristiwa. Salah satu peristiwa tersebut adalah akan dinyatakan lebih dahulu “manusia durhaka”. Identitas “manusia durhaka” itu adalah seorang lawan Allah yang meninggikan diri dan disembah sebagai Allah. Ia duduk di Bait Allah dan menyatakan dirinya sebagai Allah (2 Tes. 2:4-5). Dengan demikian “manusia durhaka” tersebut mencoba merebut kehormatan Kristus sebagai Anak Allah. Itu sebabnya ia disebut sebagai “anti Kristus”.
Fokus utama umat percaya bukanlah kepada sosok “manusia durhaka” tersebut, tetapi Kristus. Karena itu di 2 Tesalonika 2:13 rasul Paulus mengajak umat mengucap syukur kepada Allah. Sebab Allah telah memilih mereka untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan dan di dalam kebenaran iman. Kata kunci yang penting di sini adalah Allah telah “memilih” (αἱρέω) mereka, sehingga mereka akan menerima kemuliaan Kristus. Kata Allah “memilih” di sini dapat dibandingkan dengan Ulangan 7:6, yaitu: “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.” Jadi pemilihan Allah tersebut bukan didasarkan kepada kesalehan dan perbuatan baik manusia, tetapi karena kasih-karunia Allah. Karena itu respons umat adalah mengucap syukur atas kasih-karunia Allah dengan cara hidup kudus dan berpegang teguh pada kebenaran iman. Hidup kudus berdasarkan kasih-karunia Allah akan memampukan umat untuk menghadapi “manusia durhaka” yang akan datang mendahului kedatangan Kristus.
Tafsir Lukas 20:27-38
Umat Israel telah mengenal rumusan iman tentang Allah yang dikaitkan dengan para bapa leluhurnya, yaitu: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Rumusan iman ini diucapkan Yakub saat dia bertengkar dengan Laban. Laban mengejar Yakub karena menduga Yakub mencuri terafimnya. Di saat itulah Yakub mengungkapkan seluruh pergumulan perasaannya kepada Laban dan diakhiri dengan kesaksian: “Seandainya Allah ayahku, Allah Abraham dan Yang Disegani oleh Ishak tidak menyertai aku, tentulah engkau sekarang membiarkan aku pergi dengan tangan hampa” (Kej. 31:42). Yakub menyatakan Allah sebagai Allah Abraham dan Allah Ishak dalam konteks Allah yang selama ini telah menolong dia dalam seluruh pergumulan dan kesulitan. Walaupun Laban telah menindas dan memeras dia, terbukti Allah menyertai dan memberkati Yakub. Pada pihak lain umat Israel juga menemukan rumusan iman ini dinyatakan Allah kepada Musa. Di Keluaran 3:1-5 mempersaksikan Musa menjumpai semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api. Kemudian di Keluaran 3:6, Allah berfirman kepada Musa: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub”. Konteks Keluaran 3:6 adalah peristiwa penyataan Allah kepada Musa, bahwa Dia adalah Allah para bapa leluhur Israel. Dengan penyataan Allah tersebut, Yahweh bukanlah Allah yang baru pertama kali menyatakan diri-Nya kepada Musa, tetapi Allah yang sejak awal telah berkarya dalam sejarah umat Israel. Dengan demikian penyataan Allah tersebut menjadi titik sambung yang mempertemukan karya keselamatan-Nya di masa lampau dengan karya keselamatan-Nya di masa kini, yaitu untuk menyelamatkan umat Israel dari belenggu perbudakan bangsa Mesir. Karena itu Musa dapat menyampaikan kepada umat Israel tentang Allah yang menyatakan diri kepada dirinya adalah sama dengan Allah yang telah menyatakan diri kepada para bapa leluhur mereka.
Namun dalam Lukas 20:27-38 rumusan tentang Allah tersebut diucapkan oleh Tuhan Yesus dengan latar-belakang yang berbeda. Penyebutan “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” diucapkan oleh Tuhan Yesus dalam konteks orang-orang Saduki yang tidak percaya akan peristiwa kebangkitan pada akhir zaman. Menurut John Nolland dalam Word Biblical Commentary Luke 18:35-24:53 menyatakan bahwa sebutan Saduki berasal dari kata “Zadok”. Nama “Zadok” berkaitan dengan keturunan Imam Besar Zadok dalam periode pasca Pembuangan. Menurut Yehezkiel 40:46, keturunan Imam Besar Zadok berasal dari suku Lewi yang boleh mendekat kepada Tuhan untuk menyelenggarakan kebaktian (bdk. Yeh. 43:19). Pada abad pertama keturunan Imam Besar Zadok ini menempati posisi sebagai kelompok bangsawan dan mendukung keluarga Imam Besar. Selain itu orang-orang Saduki lebih mengutamakan kitab-kitab Musa (Pentateukh), dan menolak kepercayaan tentang kebangkitan orang mati (Nolland 1993, 964). Karena itulah saat orang-orang Saduki mengajukan pertanyaan kepada Tuhan Yesus mengawali dengan ucapan: “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita….” (Luk. 20:28). Secara bersengaja orang-orang Saduki menggunakan otoritas Musa untuk menguatkan pertanyaan dan keyakinan mereka.
Sebenarnya otoritas Musa yang dikutip oleh orang-orang Saduki tersebut berkaitan dengan masalah perkawinan “levirat”. Hukum perkawinan levirat menyatakan: “Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar” (Ul. 25:5). Tujuan ditetapkan hukum perkawinan levirat adalah mempertahankan nama almarhum melalui keturunan, sehingga anak sulung yang dilahirkan dari perkawinan ipar tersebut harus dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu (Ul. 25:6). Ketetapan hukum perkawinan levirat tersebut tampaknya berasal dari kisah anak Yehuda bernama Er yang mati tanpa meninggalkan anak, sehingga kemudian Yehuda memerintahkan Onan, adik Er untuk mengawini istri kakaknya, yaitu Tamar (Kej. 38:6-8). Kasus hukum perkawinan levirat tersebut digunakan oleh orang-orang Saduki untuk meruntuhkan argumentasi teologis tentang kebangkitan orang mati. Sebab setelah tujuh orang pria yang telah mengawini seorang wanita, bagaimana status hubungan mereka di sorga setelah mereka semuanya mati. Tuhan Yesus menjawab bahwa saat mereka dianggap layak untuk hidup dalam kebangkitan orang mati, mereka tidak kawin dan dikawinkan. Mereka tidak dapat mati lagi, sebab mereka sama seperti para malaikat dan mereka hidup sebagai “anak-anak Allah” sebab mereka telah dibangkitkan (Luk. 20:35-36).
Jawaban Tuhan Yesus tersebut merupakan suatu penegasan bahwa setelah kehidupan di dunia ini, kehidupan umat manusia khususnya umat yang dianggap layak oleh Allah tidak akan berakhir. Sebaliknya kehidupan yang dibangkitkan merupakan kehidupan yang dipenuhi oleh kemuliaan Allah dan tidak lagi dipengaruhi oleh hawa-nafsu sebagaimana mereka hidup di dunia. Kemuliaan mereka setelah dibangkitkan akan seperti kemuliaan para malaikat Allah, dan mereka diperkenankan untuk berjumpa dengan Allah yang hidup, yaitu Allah yang pernah menyatakan diri-Nya kepada para leluhur umat Israel. Di Lukas 20:38, Injil Lukas memberikan kesimpulan melalui ucapan Tuhan Yesus: “Tuhan bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup”. Namun bukankah kesimpulan Lukas 20:38 tersebut tidak mencerminkan argumentasi teologis yang hendak dinyatakan?
Rumusan iman bahwa Allah adalah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub justru dapat menimbulkan kesan bukan sebagai Allah orang hidup. Saat rumusan iman tersebut dinyatakan baik dalam konteks Musa maupun dalam konteks Tuhan Yesus, para bapa leluhur Israel tersebut secara faktual telah mati. Bentuk tense dari rumusan Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub saat diucapkan kepada Musa dan oleh Tuhan Yesus seharusnya dalam bentuk “past-tense” (Allah almarhum Abraham, Allah almarhum Ishak, dan Allah almarhum Yakub). Namun tampaknya ucapan Tuhan Yesus tersebut tidak dimaksudkan dalam pengertian faktual historis. Secara historis para bapa leluhur saat itu telah wafat, tetapi keberadaan mereka dalam persekutuan dengan Allah tetap berlanjut. Jadi makna ucapan Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menyampaikan gagasan tentang kehidupan yang dibangkitkan. Pernyataan Tuhan Yesus tersebut bertujuan untuk membantah pendapat orang-orang Saduki yang menolak kebangkitan orang mati. Dengan demikian rumusan iman Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub yang diucapkan oleh Tuhan Yesus merupakan penegasan bahwa kematian mereka tidak meniadakan keberadaan mereka, sebab Allah telah membangkitkan mereka. Di dalam persekutuan Allah yang hidup, setiap orang yang hidup dan mati mengalami kehidupan yang mulia sebagai anak-anak Allah.
Refleksi
Perlu dipikirkan secara kritis, apa makna dari pernyataan teologis Allah orang yang hidup dalam situasi masa kini saat agama terus-menerus menghadirkan kekerasan dan kematian. Benarkah “Allah” yang demikian layak disebut sebagai Allah orang hidup? Ataukah sesungguhnya, “Allah” yang dikenal dan diimani oleh agama-agama telah menjadi Allah orang yang mati? Allah yang hidup di tengah-tengah penganutnya justru menghadirkan kematian, kekerasan, kekejaman, dan penindasan kepada orang-orang yang dianggap berbeda. Perhatikan dengan seksama kritik Sam Harris dalam bukunya “The End of faith.” Kritik Sam Harris tersebut mengandung kebenaran yang tidak bisa disembunyikan dan ditutupi oleh ayat-ayat yang saleh dalam berbagai Kitab Suci. Jika agama terus menghadirkan kematian, maka benarlah yang dikatakan Sam Harris, yaitu tiba saatnya bagi kita untuk mengakhiri “iman” tersebut. Kita tidak mungkin menaruh iman kepada Allah melalui media agama yang akarnya adalah kejahatan bagi kemanusiaan.
Namun sikap umat yang pesimistis dan tidak percaya bukanlah jalan keluar. Umat perlu menimba kekayaan hikmat dalam pengalaman iman Ayub yang saat itu berada dalam keterpurukan dan dilukai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di tengah situasi yang terpuruk itu Ayub justru menemukan Allah yang hidup. Lompatan iman tersebut memampukan Ayub untuk menata kehidupannya dengan perspektif yang baru. Ayub tidak lagi menyimpan kebencian, kemarahan, dan penderitaannya dalam buku catatan yang dimeterai dengan besi. Allah sebagai Penebus yang hidup telah menggantikan seluruh gumpalan kemarahan dan kesedihannya dalam suatu pengharapan iman yang konstruktif. Setelah itu umat diajak untuk menemukan fokus yang baru, yaitu memaknai kehidupan di masa kini dengan sikap iman, bukan fokus kepada pengaruh “manusia durhaka”. Dengan fokus kepada Kristus, umat dipanggil untuk hidup kudus di tengah-tengah dunia yang cemar mengikuti “manusia durhaka”.
Di bagian ulasan refleksi, pengkotbah sebaiknya masuk ke dalam pendalaman, yaitu menafsirkan Lukas 20:27-38. Sebagaimana diketahui bahwa dalam menafsirkan leksionari secara komplementer, bacaan Injil memiliki hubungan teologis dengan bacaan dari Perjanjian Lama. Karena itu temukanlah melalui penafsiran yang cermat, bagaimana hubungan teologis antara Lukas 20:27-38 dengan Ayub 19:23-27. Kata kunci yang perlu diperhatikan di sini adalah: Allah orang yang hidup, Allah Abraham-Allah Ishak-Allah Yakub, tidak kawin-mengawinkan, hidup sebagai anak-anak Allah, dan Penebusku yang hidup, bangkit di atas debu, tanpa dagingku aku akan melihat Allah, mataku sendiri yang menyaksikan Allah.
Perhatikan pula motif orang Saduki yang membawa kasus hukum levirat untuk membenarkan pandangan mereka yang sempit tentang Allah orang yang hidup terbatas pada dunia masa kini. Motif yang tidak baik (untuk menjebak Tuhan Yesus) namun terampil menggunakan ayat-ayat Alkitab atau Kitab Suci untuk mencari pembenaran diri, justru menyebabkan umat manusia tidak lagi menemukan Allah orang yang hidup. Selain itu pemahaman teologis tentang Allah yang hidup dalam konteks ini bertujuan pula untuk mempersaksikan bahwa walaupun para bapa leluhur telah mati, mereka diperkenankan menikmati kehidupan dalam persekutuan yang abadi dengan Allah. Persekutuan dengan Allah yang hidup akan menghadirkan kehidupan yang abadi walaupun secara fisik kita telah mati. Dalam kehidupan sehari-hari persekutuan dengan Allah yang hidup seharusnya juga menghadirkan kehidupan walau orang-orang di sekeliling kita berupaya menghadirkan kematian. Dengan demikian, agama yang tidak memiliki persekutuan dengan Allah yang hidup akan menghasilkan agama yang mematikan setiap umatnya.
Daftar Acuan
Bruce, F.F. 1982. Word Biblical Commentary: 1 and 2 Thessalonians. Dallas, Texas:
Word Books Publisher.
Clines, David J.A. Word Biblical Commentary: Job 1 – 20. Dallas, Texas: Word
Books Publisher.
Harris, Sam. 2004. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New
York: W.W. Norton and Company, Inc.
Nolland, John. Word Biblical Commentary: Luke 18:35 – 24:53. Dallas, Texas: Word Books Publisher
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono