Latest Article
<strong>Rekonsiliasi Konflik</strong>
Italian School; The Reconciliation of Jacob and Esau; Walker Art Gallery; http://www.artuk.org/artworks/the-reconciliation-of-jacob-and-esau-97058

Rekonsiliasi Konflik

Kejadian 33:1-20

“Dan ia sendiri berjalan di depan mereka dan ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga
ia sampai ke dekat kakaknya itu. Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia,
dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka” (Kej. 33:3-4).

Kisah perseteruan Esau dan Yakub diawali dalam kisah di Kejadian 27:19. Waktu itu Yakub menyamar menjadi Esau kakaknya. Tujuan penyamaran Yakub adalah agar ia memperoleh berkat kesulungan dari Ishak, ayahnya. Sebab Ishak di masa tuanya mengalami kondisi yang buruk dengan penglihatannya. Di Kejadian 28:10 karena kesalahannya Yakub terpaksa harus meninggalkan rumah ayah-ibunya di Bersyeba menuju ke Haran. Kepergian Yakub ke Haran untuk menghindari Esau kakaknya membalas dendam. Esau ingin membunuh Yakub (Kej. 27:41-42). Yakub tinggal dan bekerja selama 20 tahun di Haran, yaitu rumah Laban, pamannya.

            Tetapi rasa bersalah Yakub tidak dapat lenyap selama 20 tahun. Yakub juga dikuasai oleh perasaan takut untuk bertemu dengan Esau kakaknya. Saat Yakub hendak bertemu dengan Esau Kejadian 32:7 menyatakan: “Lalu sangat takutlah Yakub dan merasa sesak hati; maka dibaginyalah orang-orangnya yang bersama-sama dengan dia, kambing dombanya, lembu sapi dan untanya menjadi dua pasukan.” Yakub sadar bahwa kesalahannya sangat besar. Esau kakaknya telah ia tipu. Tetapi juga Yakub telah merebut hak kesulungan kakaknya dengan licik. Dalam ketakutannya Esau berdoa kepada Tuhan: “Lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya, jangan-jangan ia datang membunuh aku, juga ibu-ibu dengan anak-anaknya” (Kej. 32:11). Hukuman yang pantas diterima oleh Yakub adalah dibunuh oleh Esau kakaknya. Yakub juga sangat takut bahwa Esau tidak hanya membunuh dirinya, tetapi keempat isteri dan anak-anaknya. Itu sebabnya Yakub mencoba untuk melembutkan hati Esau.

            Sebelum mereka bertemu, Yakub menyerahkan persembahan kepada Esau berupa dua ratus kambing betina dan dua puluh kambing jantan, dua ratus domba betina dan dua puluh domba jantan, tiga puluh unta yang sedang menyusui beserta anak-anaknya, empat puluh lembu betina dan sepuluh lembu jantan, dua puluh keledai betina dan sepuluh keledai jantan (Kej. 32:14-15). Walau telah memberi persembahan, Yakub tetap tidak tenang. Ia menyadari bahwa persembahan yang diberikan kepada Esau belum sebanding dengan kesalahan yang telah ia lakukan. Karena itu Yakub mengatur agar Esau tidak secara langsung membunuh seluruh keluarganya. Di Kejadian 33:2 menyatakan: “Ia menempatkan budak-budak perempuan itu beserta anak-anak mereka di muka, Lea beserta anak-anaknya di belakang mereka, dan Rahel beserta Yusuf di belakang sekali.” Tujuan apabila Esau menyerang keluarga mereka, para budak yang mengalami serangan itu. Sebaliknya Yakub berada di depan. Ia secara gentleman berada di depan dengan bersujud 7x di depan Esau (Kej. 33:3).

            Tetapi apa yang terjadi saat Yakub dalam ketakutan yang begitu besar dengan bersujud 7x di depan Esau? Ternyata sikap Esau di luar dugaan Yakub. Disebutkan di Kejadian 33:4 menyatakan: “Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.” Esau dengan begitu ramah dan kasih-sayang memeluk Yakub adiknya. Perjumpaan Esau dan Yakub sangat mengharukan. Mereka saling memeluk dan menangis setelah 20 tahun tidak berjumpa. Pertemuan Yakub dengan Esau kakaknya menjadi peristiwa rekonsiliasi atas konflik yang selama 20 tahun pernah membara di dalam hati masing-masing. Seluruh kemarahan, kebencian dan dendam di dalam diri Esau sirna saat ia melihat Yakub adiknya bersujud di depan kakinya. Sebaliknya seluruh ketakutan dan rasa bersalah Yakub dipulihkan saat Esau memeluk dia dengan kasih-sayang.

            Menurut KBBI, arti rekonsiliasi adalah: “Perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan.” Narasi di Kejadian 33:1-20 mengisahkan pendamaian atau rekonsiliasi antara kakak dan adik setelah 20 tahun mereka tidak berjumpa dalam suasana bermusuhan. Perjumpaan Yakub dengan Esau di Pniel menandai era baru. Mereka berdamai dan pulih sesuai keadaan semula. Esau dan Yakub dapat kembali menjalin hubungan persaudaraan dan kepercayaan yang semula.

            Menurut Olga Botcharova dalam tulisannya yang berjudul Forgiveness and Reconciliation (Tutu 2002, 291) menyatakan bahwa untuk memutus siklus balas dendam (revenge), pertama-tama seseorang yang sedang mengalami konflik perlu mengembalikan identitas korban. Sebab pihak korban yang dilukai dan dikhianati telah mengalami perasaan terluka yang dalam.

Dalam kondisi itu seorang yang menjadi korban akan mengembangkan siklus membalas dendam (cycle of revenge). Siklus membalas dendam terdiri: 1). Agresi, 2). Perasaan terluka, 3). Kegelisahan dan kepanikan, 4). Menekan perasaan sedih dan kecemasan, 5). Kemarahan dengan bertanya: “mengapa-aku”, 6). Keinginan membalas dendam/menuntut keadilan, 7). Menciptakan mitos kepahlawanan.

Namun cycle of revenge (siklus membalas dendam) akan dapat berubah menjadi cycle of reconciliation (siklus rekonsiliasi) (Tutu 2002, 298). Siklus rekonsiliasi akan terjadi apabila pelaku bersedia melakukan langkah-langkah berikut, yaitu:

Langkah pertama adalah “the self-identity of the victim” (identitas diri dari sang korban). Dalam narasi konflik Yakub dengan Esau, sesungguhnya Esau telah menjadi korban penipuan dan pengkhianatan saudaranya. Rekonsiliasi antara Esau dengan Yakub tidak akan terjadi apabila Yakub saat itu lebih memilih untuk menyangkal dan menekan trauma yang dialami oleh Esau. Sebaliknya Esau selaku korban perlu mengidentifikasi rasa sakit yang dialaminya. Apabila Esau mampu memaafkan kesalahan Yakub adalah karena Esau telah terlebih mengakui dan menerima perasaannya yang terluka. Karena itu Esau dapat bertindak secara rasional, sehingga ia mampu mencegah transformasi emosional yang penuh kemarahan dan kebencian dengan melukai atau membunuh Yakub. Esau mampu mengendalikan diri dan bersikap rasional saat ia melihat adiknya merendahkan diri dengan bersujud 7x di hadapannya.

            Langkah kedua adalah “The process of re-humanization of the perpetrator” (proses memanusiawikan pelaku). Dalam proses ini dialog merupakan jalan keluarnya. Sebab melalui dialog dua belah pihak yang berkonflik memiliki landasan moral untuk membangun kembali hubungan yang retak. Dengan kesediaan diri berdialog, kedua belah pihak dapat membangun kembali hubungan yang timbal-balik. Mereka masing-masing bersedia saling mengakui dan menghargai. Melalui dialog kedua belah pihak dapat berbagi cerita pribadi dan pengalaman sehingga tercipta jembatan emosional. Dengan saling bercakap dalam keterbukaan diri kedua belah pihak akan mampu mendengar dan mengakui rasa sakit yang dirasakan. Dalam kondisi tersebut mereka secara bertahap dapat mengembangkan belas-kasih. Pelaku dapat merasakan betapa besar perasaan terluka yang dialami oleh korban. Dalam konteks ini Yakub dapat merasakan betapa besar penderitaan yang dialami oleh Esau akibat perbuatannya.

            Langkah ketiga adalah “the cycle enables victims to acknowledge trauma” (siklus yang memampukan korban untuk mengakui trauma yang dialaminya). Dalam langkah tersebut tersedia ruang yang terbuka bagi korban untuk mengakui trauma yang telah dialaminya. Pelaku memiliki jiwa terbuka untuk memahami bahwa korban membutuhkan waktu dan proses untuk pulih. Ia harus mengerti bahwa pihak si korban tidak dapat serta-merta memaafkan kesalahannya. Tetapi saat ia terbuka dan memberi ruang kepada korban secara bertahap, maka pihak si korban akan tergerak untuk memberi pengampunan. Dalam konteks konflik Esau dan Yakub, inisiatif rekonsiliasi harus dimulai dari Yakub. Ia harus berinisiatif untuk bertemu dengan Esau. Yakub harus memberi ruang kepada Esau. Ia menunjukkan kesungguhan hatinya untuk berdamai. Karena itu Yakub telah terlebih dahulu memberi persembahan kepada Esau melalui orang suruhannya. Tetapi utamanya dengan bersujud 7x di depan Esau, Yakub memberi ruang kepada Esau untuk memulihkan trauma yang telah ia alami. Hasilnya Esau memberi pengampunan. Mereka akhirnya berdamai.

Kalau kita lihat di bagan Olga Botcharova tersebut di atas (Tutu 2002, 298), maka dalam siklus rekonsiliasi akan terjadi apabila tersedia ruang bagi korban. Ruang bagi korban adalah: 1). Untuk menangis atau meratap akan perasaannya yang terluka, 2). Menerima perasaannya yang terluka, 3). Memanusiakan musuh, 4). Kesediaannya untuk memilih memberi pengampunan, 5). Pemaafan, 6). Mereview solusi dan negosiasi, 7). Mampu berdamai/rekonsiliasi.

            Dari ketujuh elemen siklus rekonsiliasi tersebut di atas, maka kita dapat merangkum menjadi 3 bagian utama agar terjadi relasi konflik dapat diperdamaikan kembali, yaitu:

  1. Kesediaan dua belah pihak mengakui khususnya pihak pelaku yang telah melukai hati pihak korban, yaitu kesediaan yang didasari oleh kerendahan-hati. Pihak yang bersalah menyadari bahwa ia telah melukai hati dan martabat si korban.
  2. Sikap tanggungjawab, yaitu pelaku tidak sekadar minta maaf, tetapi ia bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya. Sikap dia yang rendah-hati dan bertanggungjawab akan mendorong pihak korban untuk melakukan hal yang sama, yaitu membuka pintu pengampunan.
  3. Mewujudkan perdamaian, yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri perseteruan dan kembali menjalin relasi kasih yang saling menerima dan mempercayai.

Kelemahan dari siklus rekonsiliasi adalah apabila salah satu pihak tidak memiliki kerendahan hati dan membuka ruang dialog. Misalnya apabila pihak pelaku menganggap dirinya telah berlaku benar. Ia merasa tidak bersalah dengan perbuatannya yang merugikan dan melukai hati si korban. Dengan sikap merasa diri benar tersebut, maka seluruh upaya rekonsiliasi akan gagal. Dalam konteks ini apabila Yakub menganggap bahwa tindakannya “wajar” maka sepanjang hidupnya Esau akan terluka dan tidak dapat memaafkan kesalahan adiknya yang telah merebut hak kesulungannya. Sebaliknya apabila pihak korban menganggap tidak bersedia memberi ruang apa pun untuk mengampuni, maka seluruh upaya dari pelaku juga akan menghadapi jalan buntu. Dalam konteks ini apabila Esau menganggap bahwa tindakan Yakub tidak termaafkan. Sebab Esau merasa sangat terluka sehingga ia tidak akan pernah mengampuni, maka rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi.  

            Rekonsiliasi terjadi apabila masing-masing pihak memiliki: 1). Kasih yang tulus, 2). Kemauan yang baik (good-will), 3). Sikap empati adalah mampu menempatkan diri di pihak korban/pelaku, 4). Kesadaran akan kesalahan yang telah ia lakukan. Dari keempat elemen sikap tersebut ukuran yang mendasar berada di bagian 3, yaitu: “sikap empati dengan menempatkan diri di pihak korban/pelaku.” Kita akan sulit untuk memiliki kasih yang tulus dan kemauan baik serta kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan, apabila kita tidak mampu berempati kepada pihak korban.

Sikap empati adalah sikap kasih yang mampu menempatkan diri di tempat orang lain. Tuhan Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12). Sikap empati ini merupakan “belarasa” (compassion). Sikap belarasa tersebut diajarkan oleh Tuhan Yesus dengan sebutan “the Golden-rule.” Dengan empati yang berbelarasa kita dapat mencegah terjadinya konflik. Dengan mampu berbelarasa, kita senantiasa sadar bagaimana harus menempatkan diri di tempat orang lain. Apabila kita secara tidak sengaja telah melukai hati seseorang maka kita juga mampu rendah-hati dan minta maaf atas kesalahan yang terjadi. Kita dengan tulus minta maaf sebab dapat merasakan betapa pedih luka yang ditimbulkannya.

Rekonsiliasi secara horisontal terkait dengan kualitas relasi kita secara vertikal kepada Allah. Apabila kita tidak mampu berdamai dengan sesama, maka kita juga tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dengan Tuhan. Karena itu syarat agar seluruh kesalehan dan persembahan kita diterima oleh Allah, maka kita harus berdamai dahulu. Rekonsiliasi dengan sesama merupakan dasar relasi personal dengan Tuhan. Di Matius 5:23-24, Tuhan Yesus berkata: “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”

            Rekonsiliasi Yakub dengan Esau dapat terwujud dengan ending yang konstruktif karena Yakub telah mengalami rekonsiliasi berkat Allah. Sebelum Yakub mengalami rekonsiliasi dengan Esau, ia mengalami terlebih dahulu rekonsiliasi berkat Allah. Di Kejadian 32:24-30 mengisahkan Yakub diserang oleh seorang yang misterius. Kita tahu bahwa orang tersebut ternyata adalah Allah yang menampakkan diri-Nya dalam wujud seorang manusia. Dalam pergumulan tersebut, identitas Yakub diubah menjadi Israel.

Nama “Yakub” yang berarti “penipu” diubah Allah dengan identitas baru, yaitu Israel yang artinya: “Engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang” (Kej. 32:28). Apabila dahulu Yakub memperoleh berkat Allah dengan cara menipu, tetapi kini Yakub memperoleh berkat Allah setelah ia bergumul dengan Allah. Karena itu setelah rekonsiliasi dengan Esau terwujud, Yakub mendirikan mezbah bagi Allah. Kejadian 33:20 menyatakan: “Ia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: Allah Israel ialah Allah.” Di dalam pengakuan iman bahwa Allah Israel adalah Allah mencakup penyertaan, anugerah dan perlindungan YHWH kepada diri Yakub. Di dalamnya juga mengandung anugerah YHWH yang memungkinkan Yakub mengalami rekonsiliasi dengan Esau, kakaknya.

“Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi
semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah
dalam perdamaian dengan semua orang!” (Rm. 12:17-28).

Sumber gambar: Walker Art Gallery; http://www.artuk.org/artworks/the-reconciliation-of-jacob-and-esau-97058

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono