Minggu Prapaskah I
Kisah pencobaan Yesus di atas gunung terjadi setelah Ia dilantik Allah sebagai Mesias, Anak Allah melalui baptisan Yohanes di Sungai Yordan. Yesus harus mampu membuktikan bahwa Ia adalah Anak Allah melalui pencobaan yang dilakukan oleh Iblis di padang gurun. Iblis mencobai Yesus dengan tiga hal, yaitu: 1). Penggunaan kuasa mukjizat untuk mengenyangkan perut yang lapar, 2). Kuasa ilahi-Nya untuk tidak terluka bila Dia menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah, 3). Kemuliaan dan kekayaan dunia akan dimiliki Yesus bila Dia mau menyembah Iblis. Namun Yesus mampu mematahkan setiap pencobaan Iblis dengan sikap ketaatan-Nya kepada Allah, sehingga Yesus: 1). Tidak menggunakan kuasa-Nya untuk mengenyangkan perut-Nya yang sedang lapar, 2). Tidak mau menjatuhkan diri walau akan selamat, 3). Tidak tergoda atau terpesona dengan kerajaan dunia dan kemegahannya. Yesus mampu membuktikan ke-Mesias-an-Nya melalui ketaatan kepada Allah kendati Dia saat itu sedang mengalami perasaan lapar, cuaca yang panas/terik, dan perasaan sunyi/sepi.
Namun bukankah para teroris juga bersedia mati karena dilandasi oleh ketaatan kepada keyakinan agamanya? Anggota mafia juga taat kepada pimpinannya untuk melakukan berbagai kekerasan dan kekejaman? Jenis ketaatan para teroris dan anggota mafia dilakukan tanpa nurani dan kasih. Ketaatan mereka membabi-buta. Namun tidaklah demikian ketaatan Yesus kepada Allah. Ketaatan-Nya dilandasi oleh kasih yang murni dan suci kepada Allah. Ia memahami dengan tepat, manakah kehendak Allah yang sesungguhnya, ataukah kehendak Allah yang telah dipalsukan. Ia dapat membaca dengan tajam jebakan Iblis yang terampil menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk mendukung kelicikan dan kejahatan. Pengutipan ayat-ayat Alkitab juga dapat dipakai untuk menyembunyikan maksud yang buruk. Karena itu Yesus mampu berkata, “Tidak” untuk mempertegas hal yang seharusnya, yaitu kehendak Allah.
Kita hidup di tengah-tengah realita yang sering memanipulasi ayat-ayat Kitab Suci untuk membenarkan kepentingan duniawi. Bahkan hal-hal yang suci atau kudus dimanipulasi untuk mengeruk “keuntungan” tertentu. Ungkapan saleh/rohani seperti “pelayanan,” “kemuliaan Allah,” “persembahan,” “jemaat,” “perkembangan gereja,” “perluasan Kerajaan Allah,” dan sebagainya dipakai untuk menyembunyikan motif duniawi dan kepentingan diri. Padahal realitanya spiritualitas kita sama sekali jauh dari semua ungkapan dan makna yang sesungguhnya. Hidup kita tidak dilandasi oleh ketaatan yang murni dan suci kepada Allah. Jika demikian, saat ini kita dipanggil untuk bertobat agar mampu berkata, “Tidak” dalam ketaatan kepada kehendak Allah.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono