Latest Article
Predestinasi Allah? (Allah Mengeraskan hati Firaun dan orang Mesir)

Predestinasi Allah? (Allah Mengeraskan hati Firaun dan orang Mesir)

Keluaran 14:15-31

Tetapi sungguh Aku akan mengeraskan hati orang Mesir, sehingga mereka menyusul orang Israel, dan terhadap Firaun dan seluruh pasukannya, keretanya dan orangnya yang berkuda, Aku akan menyatakan kemuliaan-Ku (Kel. 14:17).

Di Keluaran 14:17 menyatakan: wa·’ă·nî hin·nî mə·ḥaz·zêq ’eṯ- lêḇ miṣ·ra·yim, (dan aku sungguh mengeraskan hati orang Mesir). Kata mə·ḥaz·zêq diterjemahkan oleh LAI dengan kata “mengeraskan.” Dalam konteks ini dimaksudkan Allah mengeraskan hati orang Mesir. Kata mə·ḥaz·zêq (מְחַזֵּק֙) berasal dari akar kata chazaq yang artinya: to be or grow firm or strong, strengthen (menjadi atau tumbuh kokoh atau kuat, memperkuat). Pertanyaannya adalah apakah akar kata chazaq yang dinyatakan dengan kata mə·ḥaz·zêq ’eṯ- lêḇ miṣ·ra·yim,(mengeraskan hati orang Mesir) merupakan penentuan, takdir atau predestinasi Allah sehingga orang-orang Mesir binasa? Sebab bukankah apabila Allah mengeraskan hati orang-orang Mesir, mereka akan mengambil keputuan etis dan bertindak tidak benar?

            Makna kata “predestinasi Allah” dalam pemikiran Johannes Calvin menunjuk pada kedaulatan Allah (the sovereignty of God). Predestinasi merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa Allah dalam kedaulatan-Nya (the sovereignty of God) memilih umat yang diselamatkan dan sebagian tidak diselamatkan. Pemilihan atau penolakan atas umat tersebut sama sekali tidak ditentukan oleh kualitas rohani dan perbuatan baik (amal-ibadah, kesalehan, dan kebajikan) yang telah dilakukannya, melainkan didasarkan pada kerelaan dan anugerah-Nya. Dengan kata lain Allah memiliki kedaulatan untuk memilih atau menolak. Untuk itu umat yang dipilih tidak dapat menganggap diri lebih baik dan benar di hadapan Allah, sebab pemilihan Allah berdasarkan kebebasan-Nya yang mutlak. Dengan keputusan yang kekal dari Allah, Ia menentukan apa yang ingin dilakukan-Nya terhadap setiap individu.

            Calvin memahami bahwa Allah tidak menciptakan semua orang dengan kondisi yang sama. Sebaliknya Allah telah menentukan atau menakdirkan kehidupan kekal bagi beberapa orang, dan hukuman kekal bagi orang-orang yang lain. Keputusan Allah yang menakdirkan kehidupan kekal bagi beberapa orang didasari oleh kemahamurahan-Nya dengan cara menebus para individu tersebut terlepas dari jasa-jasa mereka.

Pengajaran predestinasi merupakan suatu konsepsi teologis yang memiliki cakupan yang luas tentang kemahamuliaan Allah sebab Allah berdaulat penuh, berkuasa mutlak, mahatahu, dan mengatur seluruh kehidupan dengan kekuasaan-Nya yang absolut. Di dalam Kristus, pemilihan dalam perjanjian kekal tersebut telah dilakukan sebelum dunia dijadikan. Perjanjian kekal Allah tersebut sama sekali ditentukan oleh kedaulatan dan kebebasan-Nya selaku Sang Pencipta kepada Sang Firman, yaitu kasih Allah kepada Kristus.

Pertanyaannya adalah dalam konteks Keluaran 14, apakah Allah menempatkan Firaun dan orang-orang Mesir sebagai orang-orang yang ditakdirkan untuk dihukum dan dibinasakan? Sebab di Keluaran 14 digunakan 15 kali kata chazaq (mengeraskan) hati Firaun atau orang Mesir. Karena Allah telah mengeraskan hati Firaun dan orang-orang Mesir, maka mereka dituntun untuk mengambil keputusan etis dan tindakan yang membawa kepada kebinasaan. Karena Allah mengeraskan hati orang-orang Mesir, maka mereka mengejar orang-orang Israel yang telah menyeberangi Laut Teberau. Akibat tindakan orang-orang Mesir itu fatal. Di Keluaran 14:28 menyatakan: “Berbaliklah segala air itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka.” Sebaliknya umat Israel ditentukan (ditakdirkan) selamat dari serangan tentara Firaun. Mereka tidak terkena bencana ditenggelamkan oleh air laut. Keluaran 14:29-30 menyatakan: “Tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut, sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka. Demikianlah pada hari itu TUHAN menyelamatkan orang Israel dari tangan orang Mesir. Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut.”

Apabila benar premis yang menyatakan bahwa Allah yang menentukan atau menakdirkan Firaun dan orang-orang Mesir binasa, maka YHWH adalah Allah yang berlaku sewenang-wenang. Sikap Firaun dan orang-orang Mesir yang tidak mau mendengar nasihat, saran dan teguran Musa merupakan tanggungjawab YHWH. Sebab YHWH telah menentukan mereka untuk binasa. Di pihak lain karena Allah telah menentukan (menakdirkan) umat Israel selamat, maka selalu tersedia jalan keluar. Sebab saat itu umat Israel berada dalam poisisi terjepit. Apabila mereka berbalik mundur akan menghadapi tentara Mesir. Sebaliknya apabila mereka maju terus ke depan, mereka akan menghadapi laut Teberau dan tenggelam. Tetapi karena YHWH telah menentukan umat Israel selamat, maka Ia membuat mukjizat. Air laut Teberau dibelah menjadi 2 bagian yang membentuk tembok di kiri dan kanan sehingga umat Israel dapat berjalan dengan aman dan selamat. Keluaran 14:22 menyatakan: “Demikianlah orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.”

Pemahaman teologis bahwa YHWH adalah Allah yang memiliki kedaulatan untuk  menyelamatkan atau menghukum atau mengasihi atau menolak sebagian umat mengandaikan bahwa Ia seharusnya bertanggungjawab dengan berbagai peristiwa kejahatan. Sebab apabila Allah telah menolak dan menentukan sebagian orang untuk dibinasakan, maka mereka akan tetap mengeraskan hati sehingga tidak mungkin bertobat. Sebaliknya apabila Allah telah menentukan sebagian orang selamat, apa pun kondisinya mereka akan menemukan cara untuk bertobat sehingga selamat.

Pertanyaan yang mendasar adalah di manakah letak respons manusia? Apakah manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk memilih dan menentukan sikap? Kejadian 2:16 menyatakan: “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas.” Jadi Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Manusia mampu membuat pilihan.

Pada pihak lain di Efesus 1:5 firman Tuhan menyatakan: “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Kata “menentukan” berasal dari kata proorisas yang artinya: predestinate, determine before, predetermine. Jadi Alkitab mengakui di satu pihak Allah menentukan (menakdirkan), dan di pihak lain Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Jika demikian, bagaimana makna kata mə·ḥaz·zêq ’eṯ- lêḇ (mengeraskan hati) Firaun dan orang-orang Mesir? Apakah kata “mengeraskan hati” tersebut dalam pengertian predestinasi ataukah kehendak bebas?   

Apabila kita bandingkan penggunaan kata kata chazaq di bagian lain, misalnya Kejadian 19:16 dalam kisah Lot bersama keluarganya yang diselamatkan. Kejadian 19:16 menyatakan: “Ketika ia berlambat-lambat, maka tangannya, tangan isteri dan tangan kedua anaknya dipegang oleh kedua orang itu, sebab TUHAN hendak mengasihani dia; lalu kedua orang itu menuntunnya ke luar kota dan melepaskannya di sana.” Kata “dipegang” menggunakan istilah wayyahaziqu dari akar kata chazaq. Dalam konteks ini kata chazaq yang artinya memperkuat pegangan justru untuk menunjukkan belas-kasihan Allah agar Lot dan anggota keluarnya selamat dari bencana yang menimpa kota Sodom dan Gomora. Jadi pegangan yang begitu erat dari para malaikat kepada tangan Lot dan keluarganya adalah agar mereka dapat segera menjauh dari tempat yang akan dibinasakan.

Contoh lain di Kejadian 48:2 yang menyatakan: “Ketika diberitahukan kepada Yakub: Telah datang anakmu Yusuf kepadamu, maka Israel mengumpulkan segenap kekuatannya dan duduklah ia di tempat tidurnya.” Kata “segenap kekuatannya” menggunakan kata wayyithazzeq dengan akar kata chazaq.  Yakub (Israel) mengumpulkan segenap chazaq (kekuatannya) untuk duduk di tempat tidur saat ditemui oleh Yusuf. Kata “chazaq” dalam konteks ini digunakan untuk menunjuk pada tindakan Yakub yang sedang berupaya “memperkuat” diri agar bisa duduk.

Dari kedua contoh tersebut di atas, sangat jelas bahwa kata chazaq tidak senantiasa dalam arti negatif. Kata chazaq tidak dipahami sebagai penentuan nasib (takdir). Sebaliknya arti chazaq bersifat netral, sehingga bisa berarti positif atau negatif. Sikap mengeraskan hati dalam kitab Keluaran tidak senantiasa disebabkan karena keputusan Allah. Perhatikan kesaksian Keluaran 7:13 yaitu: “Tetapi hati Firaun berkeras, sehingga tidak mau mendengarkan mereka keduanya–seperti yang telah difirmankan TUHAN.” Frasa “hati Firaun berkeras” (wayyehezaq leb paroh) jelas menunjuk bahwa Firaun sendiri yang memilih sikap mengeraskan hatinya. Firaun menegarkan hatinya sehingga ia tidak membuka hati untuk mendengarkan perkataan Musa dan Harun yang menyampaikan firman Allah.

Namun bagaimana dengan kesaksian Keluaran 14:17 yang menyatakan: “Tetapi sungguh Aku akan mengeraskan hati orang Mesir, sehingga mereka menyusul orang Israel, dan terhadap Firaun dan seluruh pasukannya, keretanya dan orangnya yang berkuda, Aku akan menyatakan kemuliaan-Ku.” Dalam konteks ini jelas bahwa YHWH bertindak mengeraskan hati orang Mesir (wa·’ă·nî hin·nî mə·ḥaz·zêq ’eṯ- lêḇ miṣ·ra·yim,). YHWH sebagai Subjek yang mengeraskan hati orang Mesir sehingga mereka mengejar orang Israel yang sedang berjalan di tengah dinding Laut Teberau. Tetapi sesungguhnya sikap mengeraskan hati justru dimulai dari Firaun dan orang Mesir. Mereka ingin membinasakan umat Israel.

Keputusan Firaun dan orang Mesir untuk membunuh atau membinasakan telah mereka tetapkan dengan penuh kesadaran. Respons Allah adalah memperkuat apa yang sudah mereka tetapkan. Firaun dan orang Mesir telah menggunakan kehendak bebasnya untuk larut dalam kebencian dan rasisme sehingga berniat membinasakan umat Israel. Mereka telah menetapkan jalan bagi hidup mereka yang diisi dengan kebencian dan niat membunuh. Tindakan mereka bukan sebagai dorongan individu belaka, tetapi sebagai keputusan etis suatu komunitas dan struktur kekuatan militer bangsa Mesir. Dalam realitas hidup sehari-hari ketika “massa” bersikap beringas, maka tidak ada kekuatan yang bisa mengendalikan perilaku mereka yang liar dan anarkhis. Nasihat, himbauan, bahkan teriakan mohon belas-kasihan akan diabaikan.

 Ulasan di atas menunjukkan bahwa makna “Allah mengeraskan hati orang Mesir” sama sekali tidak menunjuk pada pemahaman atau konsep predestinasi (penetapan ilahi) terhadap bangsa Mesir. YHWH adalah Allah yang berdaulat. Ia memiliki wewenang untuk menyelamatkan atau menghukum. Ia berhak memilih atau menolak. Tetapi YHWH bukan Allah yang berlaku sewenang-wenang. Pemilihan dan penentuan-Nya berdasarkan kasih. Perhatikan dengan cermat apa yang dikatakan oleh rasul Paulus di Efesus 1:5, yaitu: “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kata “dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula” (en agape proorisas hemas eis huiothesian) menunjuk bahwa penentuan Allah didasarkan oleh kasih-Nya. Predestinasi Allah ditempatkan dalam kuasa kasih-Nya yang tanpa syarat. Penentuan takdir Allah tidak pernah dilakukan di luar kasih-Nya.

Berdasarkan prinsip kasih Allah dalam menentukan kehendak-Nya, maka dapat dikatakan bahwa ajaran predestinasi Calvin kurang memadai. Kelemahan Ajaran predestinasi Calvin, yaitu:

  1. Jika Allah telah menentukan umat yang dipilih, gereja tidak perlu melakukan tugas penginjilan sebab dengan penentuan Allah, apa pun keadaannya mereka kelak akan dipilih di dalam Kristus.
  2. Jika Allah telah menetapkan segala sesuatu, maka umat tidak perlu berdoa sebab tidak ada upaya atau tindakan manusia yang dapat menggugah atau mengubah hati Allah.
  3. Jika Allah telah menentukan segala sesuatu, maka tidak terelakkan Allah juga menciptakan dosa.
  4. Jika Allah telah menentukan segala hal, maka tidak mungkin ada celah bagi realitas dosa. Sebab Allah telah menentukan segala hal baik adanya, sehingga tidak terbuka ruang bagi manusia melakukan tindakan yang melanggar kehendak-Nya.
  5. Jika Allah telah menentukan segala sesuatu seharusnya tidak ada hukuman kekal kepada yang tidak terpilih. Sebab mereka tidak dapat selamat bukan karena kesalahan atau keputusan mereka sendiri, tetapi ditetapkan oleh Allah sejak kekal.

Pertanyaan yang mendasar adalah apakah Alkitab mengajarkan penentuan ilahi (predestinasi)? Jelas, jawabannya adalah “ya.” Allah memiliki kuasa dan wewenang yang berdaulat. Tetapi kedaulatan-Nya bukan kedaulatan seperti seorang penguasa yang memanipulasi kekuasaannya agar memperoleh hormat dan pujian dari orang-orang yang dipimpinnya. Jadi makna predestinasi Allah dalam pemahaman Alkitab adalah:

  1. Kedaulatan Allah adalah kedaulatan mengasihi dan menyelamatkan, sehingga kedaulatan Allah tidak pernah sewenang-wenang
  2. Allah tidak menentukan segala sesuatu yang terjadi, sebab ditentukan juga oleh respons dan tanggungjawab manusia
  3. Allah membebaskan, bukan mengendalikan secara mekanis, sebab Allah senantiasa merencanakan keselamatan dan damai-sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.

Dalam konteks inilah Allah menyelamatkan umat Israel atau umat yang sedang tertindas. YHWH adalah Allah yang berpihak kepada orang-orang yang lemah dan tidak berdaya.  Mazmur 34:7-8 berkata: “Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya. Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.” Karena itu Ia memerangi orang-orang yang berlaku jahat. Keluaran 14:14 menyatakan: “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.”

Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong, wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi (Mzm. 34:16-17)

Sumber gambar: https://www.wsj.com/articles/how-did-moses-part-the-red-sea-1417790250

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono