Stanley Jones adalah salah seorang pekabar Injil yang pernah melayani di India. Dia mengisahkan pengalaman hidupnya dalam bukunya yang berjudul: The Christ of the Indian Road. Dalam buku tersebut Stanley Jones sebagai seorang misionaris pada awalnya ketika melayani di India sering mengalami ketegangan mental/stress yang membuat dia seringkali mengalami pingsan. Ketegangan mental tersebut terjadi berulang-ulang selama pelayanannya sebagai seorang misionaris. Walau dia sudah mengambil cuti besar pulang ke negaranya di Amerika Serikat untuk menenangkan hatinya, ternyata ketika kembali ke India dia tetap mengalami ketegangan mental. Setelah beberapa waktu lamanya, dia mengambil kesimpulan bahwa dia tidak berbakat dan tidak cocok untuk menjadi seorang misionaris. Namun ketika dia telah memutuskan untuk kembali ke negaranya, saat dia berdoa Stanley Jones seperti mendengar suara Kristus yang berkata: “Jika kamu mau berpaling kepadaKu dan mau menyerahkan tugasmu kepadaKu, serta tidak merisaukan hal itu lagi, maka Akulah yang akan menyelenggarakan tugas itu.”
Pengalaman iman tersebut memberi kekuatan mental yang luar biasa bagi Stanley Jones sehingga seluruh pelayanannnya sebagai seorang misionaris di India mengalami perubahan dan hasilnya sangat mengesankan. Dia terkenal sebagai seorang pengkhotbah yang penuh semangat dan mampu memberi inspirasi iman bagi setiap pendengarnya. Dalam bacaan pertama firman Tuhan dikisahkan bagaimana nabi Yesaya melihat kemuliaan Tuhan di Bait Allah yang dikelilingi oleh para Serafim yang memuji Allah sambil mereka berkata: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya” (Yes. 6:3). Dalam pengalaman iman tersebut, nabi Yesaya merasa dirinya sangat najis dan tidak layak di hadapan Tuhan. Dia berseru: “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam” (Yes. 6:5). Menurut istilah Rudolf Otto, pengalaman iman nabi Yesaya mengalami kehadiran Allah yang “tremendum” (menggetarkan dan menakutkan), karena dia menyadari keberdosaannya yang akan menyebabkan dia dapat mati ketika dia berhadapan dengan kekudusan Allah.
Seharusnya kekudusan Allah akan memusnahkan setiap keadaan yang najis dan berdosa. Kekudusan Allah sering digambarkan bagaikan api yang membakar semua yang jahat, kotor dan yang berdosa. Tetapi sangat menarik, dalam pengalaman nabi Yesaya yang melihat kekudusan Allah tersebut dia justru menyaksikan bagaimana rahmat Allah yang mau merangkul dan memilih dia walau dia najis dan berdosa. Seorang Serafim mendekati dan menyentuh dia, sambil berkata:“Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (Yes. 6:7). Walau Allah itu kudus, tetapi kasih dan anugerahNya tidak pernah berubah. Kasih-karunia Allah inilah yang memampukan nabi Yesaya untuk menerima pengutusan sebagai seorang hambaNya. Ketika Allah berfirman: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” (Yes. 6:8). Dengan demikian hakikat pengutusan Allah kepada umatNya sama sekali bukan ditentukan oleh kemampuan, kesalehan, kepandaian dan keahlian mereka. Tetapi yang menentukan adalah pengalaman perjumpaan iman mereka dengan Tuhan, yang telah memilih mereka kendati mereka sadar akan ketidaklayakannya, dan sikap kesediaan mereka untuk terus diproses, dibentuk dan dimampukan oleh kuasa Roh Kudus.
Di I Korintus 15:8-10, Rasul Paulus menyaksikan bagaimana kasih-karunia Allah yang begitu besar kepada dia walau dia semula seorang hina dan yang pernah menganiaya jemaat Tuhan. Di ayat 8, dia menyebut dirinya sebagai seorang anak yang lahir sebelum waktunya ketika Kristus berkenan menyatakan diriNya. Seorang bayi yang lahir prematur pada hakikatnya belum siap hadir sebagai seorang insan yang sehat di dunia ini. Seperti itulah keadaan rasul Paulus, dia tidak memiliki kesiapan dan kemampuan apa-apa tetapi ternyata kasih-karunia Kristus melampaui seluruh dosa dan kesalahannya. Manakala dia kemudian dipakai Tuhan dan dapat menjadi seorang hamba Kristus yang begitu berpengaruh dalam kehidupan gereja dan sejarah umat manusia, sama sekali bukan ditentukan oleh kemampuan manusiawinya. Dengan demikian terdapat pengalaman yang sejajar antara nabi Yesaya dan rasul Paulus. Mereka dapat menjadi seorang hamba Tuhan yang luar-biasa dan memiliki pengaruh yang abadi, oleh karena kuasa anugerah Allah yang memampukan mereka. Kekuatan mereka sebagai seorang hamba Tuhan didasarkan pada spiritualitas iman yang telah mengubah seluruh perspektif teologis yang semula bermegah karena kekuatan, kemampuan dan kepandaian diri mereka.
Perubahan perspektif teologis itulah yang memampukan mereka untuk menyerap dan belajar terus-menerus kehendak Allah. Sehingga tidak mengherankan jikalau berita dari kitab nabi Yesaya dan surat-surat rasul Paulus memiliki suatu dinamika perkembangan teologis, kesaksian dan pemikiran yang begitu bernas, bermutu dan orisinil serta mampu merelevansikan firman Allah dengan kehidupan jemaat pada waktu itu dan kehidupan jemaat masa kini. Perjumpaan nabi Yesaya dan rasul Paulus dengan Tuhan bukan hanya membuat mereka memiliki kesadaran iman akan ketidaklayakkan dan besarnya kuasa anugerah Allah yang terjadi dalam diri mereka. Tetapi pengalaman iman itu juga memberi diri mereka suatu kekuatan yang mendorong diri mereka untuk secara dinamis dan progresif membangun berita firman Allah yang berkuasa dan penuh wibawa kepada umat di zamannya.
Demikian pula dengan tanggungjawab iman kita. Agar kita dapat berperan secara lebih efektif sebagai alat di tangan Tuhan, maka tidaklah cukup jika kita hanya berdasarkan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan saja. Tetapi yang lebih utama lagi adalah apakah pengalaman perjumpaan dengan Kristus memampukan kita untuk mengalami perubahan perspektif teologis yang mendorong diri kita secara dinamis untuk terus belajar dan mengembangkan diri agar kita dapat menyampaikan berita dari firman Tuhan yang makin bermutu dan mengena dengan kehidupan yang nyata. Kesalahan yang lain adalah banyak sekali di antara kita hanya menekankan upaya belajar berbagai ilmu pengetahuan dan mengembangkan diri dalam berbagai program pembinaan, tetapi seluruh upaya belajar tersebut menutup mata dan mengabaikanpengalaman perjumpaan dengan Tuhan secara personal, sehingga berita yang kita sampaikan seringkali kering, hambar dan tidak memiliki wibawa rohani.
Kini yang dipakai oleh Tuhan sebagai alatNya, tidak lagi terbatas kepada para pejabat gerejawi. Tuhan dapat memakai siapapun! Karena itu kita semua sebagai umat Allah adalah orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus seharusnya makin membuat kita peka dengan panggilanNya yang kudus, dan kesungguhan untuk terus mengembangkan diri. Sehingga berita firman Tuhan yang kita sampaikan dalam berbagai aspek kehidupan dapat menjadi berita firman Tuhan yang makin efektif untuk menjangkau setiap orang yang ada di sekitar kita. Jika demikian, apakah kita selaku hamba Tuhan atau anggota jemaat telah dapat menjadi alat di tangan Tuhan yang efektif?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono