Latest Article
Menjadi Manusia-Maranatha  (Mewujudkan Pendidikan Tinggi dengan Dimensi Homo-Deus  di Universitas Kristen Maranatha)

Menjadi Manusia-Maranatha (Mewujudkan Pendidikan Tinggi dengan Dimensi Homo-Deus di Universitas Kristen Maranatha)

Siapakah Aku?

Pertanyaan fundamental dalam merefleksikan realitas keberadaan kita yang perlu diajukan adalah Siapakah aku? Sifat pertanyaan tersebut bukan sekadar pengajuan pertanyaan untuk menemukan data-data historis dan informasi tentang kedirian kita, tetapi mengandung refleksi mendalam tentang makna dan tujuan hidup kita. Apa makna dan tujuan hidupku dalam realitas yang sedang aku jalani ini? Bagaimanakah hidupku terjalin dalam relasi dengan orang lain? Sejauh mana kualitas keterjalinan relasiku dengan sesama? Apakah aku adalah pribadi yang bermakna bagi orang lain, dan orang lain bermakna bagi hidupku? Karena itu pertanyaan, siapakah aku tidak bisa lepas dengan pertanyaan siapakah kita? Subjek aku-kita adalah realitas keberadaan yang personal, relasional dan eksistensial. Dalam subjek aku-kita mengandung relasi yang saling memberi makna, memperkaya, memperluas, dan memperdalam sehingga kita mampu bereksistensi menjadi mahluk yang luhur, yaitu keberadaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Konteks realitas subjek aku-kita sebagai civitas-akademika adalah Universitas Kristen Maranatha. Di kampus ini kita berproses dan menjadi para insan untuk melaksanakan tugas panggilan ilahi. Rektor Prof. Ir. Armein Z R Langi., M.Sc., Ph.D menyatakan: “tujuan Universitas Kristen Maranatha adalah memperkaya kehidupan dengan nilai Maranatha melalui manusia Maranatha yang menghasilkan inovasi Maranatha dan menerapkannya sebagai solusi Maranatha.” Manifestasi keberadaan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dalam konteks sebagai civitas-akademika Universitas Kristen Maranatha adalah menjadi manusia-Maranatha. Ungkapan “Maranatha” di tataran formal adalah penamaan institusi Perguruan Tinggi yang bernama Universitas Kristen Maranatha. Tetapi sangat menarik karena kita juga dapat menggunakan istilah “Maranatha” sebagai ungkapan teologis untuk menunjuk pada sosok atau insan yang telah ditebus oleh darah Kristus dan mengalami pembaruan Roh Kudus. Makna nama “Maranatha” berasal dari Surat 1 Korintus 16:22, yaitu: “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia. Maranata!”

Makna Kata Maranatha

Kata “Maranatha” berasal dari bahasa Aram yang terdiri dari dua kata yang potongan katanya akan mengandung arti yang berbeda. Apabila kita memilih potongan kata maranâ thâ maka mengandung kata kerja imperatif dan panggilan sehingga artinya: “Mari Tuhan, datanglah.” Namun jika kita memilih potongan kata

maran ‘athâ maka mengandung bentuk posesif dan kata kerja yang bersifat perfect- tense, sehingga artinya: “Tuhan kita telah datang.” Umumnya gereja memilih arti yang kedua, memaknai kata “Maranatha” sebagai “Tuhan kita telah datang.” Pemilihan arti ini didasarkan pada Roma 10:9 dan 1 Korintus 12:3 yang merupakan aklamasi kredo iman Kristen yang menyatakan “Yesus adalah Tuhan.” Sebagai catatan NRSV menerjemahkan ayat 1 Krointus 16:22 dengan: “Ya Tuhan kami, datanglah!” Terjemahan ini sama dengan pernyataan “Tuhan kita telah datang.” Sedang NIV menterjemahkan dengan: “Datanglah, ya Tuhan.”

Surat 1 Korintus 16:22, menyatakan: “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia. Maranata!” Ini berarti dalam makna kata Maranatha sebenarnya juga mengandung kutukan, yaitu barangsiapa di antara kita tidak mengasihi Tuhan yang telah datang dan akan datang dalam kemuliaan-Nya, maka ia akan terkutuk. Makna kata Maranatha menunjuk pada perintah Allah untuk mengasihi Dia sampai Kristus datang kembali dalam kemuliaan-Nya. Karena itu hakikat “manusia Maranatha” adalah mengasihi Allah sampai Ia datang kembali. Di dalam makna kata Maranatha mengandung ketaatan, kesetiaan, ketulusan, kepedulian dan totalitas diri yang berkualitas sejak seseorang diselamatkan dalam penebusan Kristus sampai Dia datang kembali.

Karakter Manusia Maranatha

Pertanyaan reflektif-eksistensial, yaitu Siapakah aku-kita menunjuk pada hakikat manusia Maranatha yang mengasihi Allah dan sesamanya yang didasarkan pada pemulihan hidup yang baru, melayani dengan keseluruhan diri dan melakukan segala sesuatu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Karena itu sangatlah tepat core-value Universitas Kristen Maranatha merumuskan ciri kehidupan civitas-akademika dengan tiga nilai, yaitu integrity, care, excellence. Karakter manusia Maranatha dinyatakan dalam kehidupan yang berintegritas, peduli dan melakukan keunggulan.

Dengan nilai-nilai hidup Kristen yang diwujudkan dalam sikap berintegritas, peduli dan prima diharapkan setiap civitas-akademika menjadi para pribadi yang unggul secara holistik. Karena itu makna core-value dalam integrity-care-excellence bukan dimaknai secara sekuler atau didasarkan pada nilai-nilai keagamaan di luar kekristenan. Hakikat integritas-peduli-keprimaan berakar kuat pada Nilai-nilai Hidup Kristen yang bersumber pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Menjadi manusia Maranatha menjadi suatu kemungkinan apabila setiap civitas-akademika bersedia membuka diri berjumpa dan menerima anugerah keselamatan serta penebusan Kristus.

Bagaimana Mencapainya?

Nilai-nilai Hidup Kristen (NHK) yang diwujudkan dalam core-value, yaitu: integrity-care-excellence (ICE) sebenarnya tidak mungkin mencapai realitas “Manusia Maranatha.” Pola pemahaman dan spiritualitas yang menganggap NHK-ICE sebagai cara pencapaian merupakan bentuk Tauratisme. Arti dari Tauratisme adalah upaya manusia memperoleh keselamatan yang dicapai melalui kesalehan, kebajikan dan kehidupan yang sesuai dengan norma-norma Hukum Taurat. Sebagai manusia dewasa dan akademik, kita mengetahui Nilai-nilai Hidup Kristen (NHK) yang dinyatakan dalam integrity-care-excellence (ICE) adalah bernilai benar secara etis-moral. NHK-ICE adalah nilai-nilai rohani. Tetapi pada pihak lain kita menyadari bahwa keberadaan kita sebagai manusia yang telah terbelenggu oleh kuasa dosa. Di Surat Roma 7:14-15 Rasul Paulus menggemakan pergulatan eksistensial antara nilai-nilai yang rohaniah dengan kediriannya yang berdosa, ia berkata: “Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.”

Kita juga mengetahui NHK-ICE sebagai nilai-nilai rohaniah yang bernilai benar dan tidak dapat diragukan kadar keagungannya. Tetapi apa yang kita ketahui, terima dan akui tidak otomatis membuat kehidupan kita dipastikan mampu mempraktikkannya. Dalam pengalaman hidup sehari-hari kita mengetahui kebenaran eksistensial, tetapi tidak dijamin mampu melakukannya sebagaimana dinyatakan oleh Rasul Paulus yaitu “Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Rm. 7:15). Kita semua membenci ketidakjujuran, plagiarisme, dan kecurangan. Tidak ada seorangpun di antara kita dengan hati-nuraninya yang tidak menolak pemujaan terhadap materi/kekuasaan, keserakahan dan kemalasan. Kita semua menolak semua hal yang duniawi. Tetapi justru yang kita benci dan tolak itulah yang kita lakukan. Sebaliknya nilai integritas diri dalam konsistensi, tanggungjawab dan jujur; nilai kepedulian dalam sikap respek, kerelaan berkorban, dan pemberdayaan gagal kita praktikkan. Nilai keprimaan dalam sikap kreatif, rajin dan peningkatan berkelanjutan sekadar hanya menjadi pengetahuan atau wawasan. Semua aspek etis-moril yang kita ketahui tersebut tidak mengubah kita menjadi Manusia Maranatha. Kita kesulitan menjadikan NHK-ICE sebagai nilai diri dan karakter, sehingga sering menjadi slogan belaka.

Hidup yang Berbuah

Nilai-nilai Hidup Kristen (NHK) yang dinyatakan dalam integrity-care-excellence (ICE) akan menjadi kekuatan transformatif apabila bersumber pada Sang Pemilik Keselamatan, yaitu Kristus. Upaya pencapaian menjadi Manusia Maranatha akan gagal total apabila bersumber pada kekuatan diri sendiri, kesalehan insani, peraturan institusi, dan ketetapan yang yuridis-formal. Di Yohanes 15:4 Yesus berkata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” Nilai-nilai Hidup Kristen (NHK) yang terlepas dari Kristus akan menjadi seperangkap doktrin belaka. Itu sebabnya Nilai-nilai Hidup Kristen (NHK) terkait erat dengan Visi Universitas Kristen Maranatha, yaitu: Universitas Kristen Maranatha menjadi perguruan tinggi yang mandiri dan berdaya cipta, serta mampu mengisi dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni abad ke-21 berdasarkan kasih dan keteladanan Yesus Kristus. NHK-ICE dihidupi dan bersumber pada kasih dan keteladanan Yesus Kristus.

Di dalam Kristus, NHK-ICE menjadi media yang dikuduskan sehingga NHK-ICE didasari oleh anugerah/rahmat Allah. Hidup yang berbuah di dalam Kristus memberdayakan setiap insan untuk menghasilkan benih-benih kebenaran yang senantiasa menginspirasi orang-orang di sekitar. Hidup di dalam Kristus akan menghasilkan buah Roh dan karunia Roh. Hidup yang berbuah di dalam Kristus menghasilkan karakter (Buah-Roh) dan kompetensi (karunia-karunia Roh).

Buah Roh sebagai karakter umat percaya adalah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Sedangkan karunia-karunia Roh sebagai kompetensi adalah: berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, iman, karunia menyembuhkan, kuasa mengadakan mukjizat, karunia bernubuat, karunia membedakan berbagai macam roh, berkata-kata dengan bahasa roh, dan menafsirkan bahasa roh (1Kor. 12:8-10). Wujud nyata Buah-Roh adalah karakter yang telah diperbarui sehingga setiap umat percaya memiliki sembilan Buah-Roh tersebut dalam kehidupannya. Sedangkan Karunia-karunia Roh sebagai kompetensi bersifat personal, sehingga tidak mungkin setiap orang memiliki sembilan karunia tersebut. Dalam dunia akademis, karunia-karunia roh dinyatakan dalam kompetensi, yaitu: berkata-kata dengan hikmat (wisdom), berkata-kata dengan pengetahuan (knowledge), karunia bernubuat (prophecy), karunia membedakan berbagai macam roh (discernment).

Wujud nyata dari Manusia Maranatha adalah insan yang memiliki karakter dengan Sembilan Buah-Roh, dan kompetensi dengan salah-satu atau beberapa dari Sembilan Karunia Roh. Integrasi karakter dan kompetensi sebagai Manusia-Maranatha ditandai dengan kehidupan yang didasari nilai-nilai iman Kristen dengan tiga core-values, yaitu: integrity-care-excellence (ICE).

Homo-Deus

Allah di dalam Kristus hadir melalui energi ilahi-Nya. Karena itu melalui karya penebusan Kristus umat manusia dipanggil menjadi bagian dalam energi Allah. Di dalam dan melalui Kristus, umat “berenang” dalam Energi Allah. Saat Energi Allah berada di dalam diri kita, maka kita akan mengalami rahmat Allah yang mengubahkan. Rahmat Allah memampukan kita untuk mengalami pembaruan (transformasi). Makna “energi Allah” tersebut sering kita sebut dengan “Kuasa Allah.” Melalui Kuasa Allah kita menerima anugerah-Nya. Karena itu tujuan akhir dari tindakan percaya kepada Kristus adalah “pengilahian” (deifikasi). Yang mana arti “pengilahian” bukan dimaksudkan umat percaya menjadi Allah, tetapi umat percaya memperoleh bagian dalam keilahian Allah sebagai anak-anak Allah.

Di Surat 1 Timotius 6:11 Rasul Paulus menyapa Timotius, yaitu: “Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan.” Sebutan “manusia Allah” dalam konteks ini berasal dari terjemahan bahasa Yunani, yaitu: anthrope tou Theou. Dalam kitab Vulgata, kata anthrope tou Theou diterjemahkan menjadi homo-Dei. Kita dapat melihat bahwa di dalam karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh, rahmat Allah dicurahkan sehingga memampukan umat percaya menjadi homo-deus (manusia-Allah). Dengan demikian tingkatan homo-deus bukanlah usaha pencapaian berdasarkan kebajikan dan kesalehan insani. Tingkatan homo-deus semata-mata merupakan anugerah Allah melalui pengorbanan Kristus di kayu salib, sehingga umat mengalami pencurahan Roh Kudus.

Penyelenggaraan pendidikan Kristen di setiap jenjang seharusnya diresapi oleh karya penebusan dan pembaruan Roh Kudus. Karena itu setiap pendidikan Kristen seharusnya merupakan media pembinaan, pelatihan, pembelajaran, dan pencerahan untuk mengalami proses pembaruan dalam dimensi homo-deus. Hakikat pendidikan Kristen merupakan media perjumpaan dan kehadiran Allah, sehingga setiap siswa mengalami kuasa Allah yang mengubahkan dan membarui. Esensi NHK-ICE seharusnya juga merupakan media edukatif dan inspiratif yang memampukan setiap civitas-akademika mengalami pembaruan dalam dimensi homo-deus.

Pendidikan dengan Dimensi Homo-Deus

Inti pendidikan dengan dimensi homo-deus adalah pendidikan manusia seutuhnya (whole-person education). Makna keutuhan diri manusia meliputi dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Nilai keutuhan diri manusia tersebut dihayati sebagai eksistensi-diri yang dipanggil menurut gambar dan rupa Kristus. Keberadaan diri manusia telah jatuh di dalam dosa sehingga kehilangan hakikatnya yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Tetapi di dalam penebusan Kristus gambar dan rupa Allah yang rusak itu dipulihkan kembali. Karena itu pendidikan dengan dimensi homo-deus adalah hidup menurut dan serupa Kristus (imitatio-Christi). Surat Roma 8:29 menyatakan: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Namun bagaimanakah pola pendidikan dengan dimensi homo-deus agar setiap civitas-akademika dimampukan semakin serupa dengan Kristus? Dalam tradisi umat Israel dikembangkan dua model pendidikan, yaitu sistem halakhah dan haggadah.

Pola pengajaran “halakhah” berasal dari kata halakh yang artinya: “berjalan atau pergi.” Makna “halakhah” adalah jalan yang harus dilalui. Model “halakhah” diwujudkan dengan ketaatan kepada 613 hukum yang tertulis dalam Taurat Musa. 613 hukum tersebut terdiri dari 365 hukum yang bersifat negatif (mitzvot lo taaseh), dan 248 hukum yang bersifat positif (mitzvot aseh). Karena itu model halakhah bersifat mengingat, menghafal, taat dan melakukan secara objektif 613 hukum Taurat. Setiap kesalahan dalam melaksanakan model halakhah diberi sanksi agar setiap orang dapat waspada, cermat dan taat melakukan perintah Allah tersebut.

Pola haggadah berasal dari kata “nagad” (menarik keluar, menceritakan, mengisahkan). Dalam pola “haggadah” tidak berisi tentang hal-hal yang dilarang atau diizinkan, tetapi pengajaran yang inspiratif. Melalui “haggadah” guru mengisahkan sejarah, kisah, puisi, nyanyian, perumpamaan, amsal, alegori, metafor, analogi, dan sebagainya. Pola “haggadah” mengandung nilai-nilai spiritual, kebijaksanaan, pencerahan, pemahaman yang mendalam, cara berpikir yang holistik dan humanistik.

Halakhah

formal, rigid, objektif, tegas, sanksi

Haggadah

informal, inspiratif, menggugah, keteladanan,

memberi motivasi, kreatif, dan kontekstual

Spiritualitas Pengajaran Kristus yang mengasihi dan melayani bertujuan mengubah hati manusia dengan kelembutan dan keramahtamahan dalam karya penebusan-Nya. Karena itu kedua pola pendidikan melalui halakhah dan haggadah disinergikan Yesus dalam kerahiman dan kasih Allah. Pola pengajaran Yesus menaklukkan hati manusia dengan kuasa penebusan-Nya, yaitu kasih yang berkurban (bdk. Khotbah Yesus di Atas Bukit). Pengajaran Kristus senantiasa memperhatikan konteks pendengar. Markus 4:33 menyatakan: “Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka.” Kedua model halakhah dan haggadah tersebut ditempatkan dalam pengosongan diri-Nya sebagai Anak Allah. Karena itu model pengajaran Yesus menjadi manifestasi hikmat dan penebusan ilahi di tengah-tengah sejarah kehidupan umat manusia.

Model pengajaran Yesus tidak hanya memberi pencerahan, kesadaran baru dan pertobatan tetapi juga pemulihan eksistensial yang total atas kehidupan manusia. Yesus berkata: “tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4:14). Saat rahmat penebusan Kristus bekerja, maka setiap insan tidak hanya sekadar mengalami kelegaan dan hidup yang penuh tetapi juga akan menjadi sumber mata-air yang terus-menerus memancar untuk memberkati orang-orang di sekitarnya. Mereka akan menjadi para pribadi dengan kuasa roh homo-deus yang inspiratif dan tranformatif serta mengasihi sesamanya dengan kasih Kristus.

Implementasi NHK-ICE dalam Dimensi Homo-Deus

Impelementasi NHK-ICE dimulai dari peran pendidik, yaitu para dosen. Dosen-dosen adalah para guru yang memiliki panggilan untuk mendedikasikan hidupnya membentuk karakter dan transfer ilmu-pengetahuan. Implementasi NHK-ICE dalam dimensi homo-deus dihayati dalam perjumpaan dengan Kristus. Karena itu seharusnya kriteria menjadi dosen dalam konteks Perguruan Tinggi Kristen semakin diperketat dan selektif. Mereka bukan hanya para dosen yang memiliki iman kepada Kristus, tetapi utamanya adalah apakah hidupnya mampu menjadi teladan yang mencerminkan imitatio-Christi. Dalam konteks teladan imitatio-Christi, para dosen-tetap di Perguruan Tinggi Kristen memiliki karakter 9 Buah-Roh yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-23) di samping kompetensinya sebagai bagian dari karunia-karunia Roh (bdk. 1Kor. 12:8-10). Karena itu kecenderungan orang-orang yang melakukan kekerasan secara verbal, mem-bully rekan kerja, mahasiswa, dan karyawan akan difollow-up sesuai peraturan institusi.

Sistem sanksi kepada para dosen, pejabat struktural, mahasiswa dan karyawan sebaiknya dilakukan lembaga yang otonom. Misal kesalahan para mahasiswa sebaiknya tidak ditangani dan dihukum oleh dosen yang bersangkutan. Sanksi seharusnya mengedepankan nilai edukatif dan kasih, bukan sekadar aspek hukuman (punishment). Sebagaimana dalam prinsip triaspolitika yang membagi kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif demikian pula setiap institusi pendidikan Kristen memperhatikan pembagian wewenang untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. NHK-ICE menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, objektivitas dan pemberdayaan manusia.

Di tahun pertama di Perguruan Tinggi Kristen diletakkan dasar-dasar yang kokoh tentang NHK-ICE melalalui Pendidikan Agama Kristen, Fenomenologi Agama-agama dan Etika Kristen. Selain pola pendidikan formal perlu juga dilakukan pendidikan informal seperti pembinaan, pelatihan, lokakarya, pengabdian masyarakat, dan live-in di tengah masyarakat. Para mahasiswa di tahun pertama juga mendapat pemahaman dan pelatihan tentang kepemimpinan dan character-building serta enterprenership (kewiraswastaan). Dengan demikian para mahasiswa sejak di tahun pertama telah dipersiapkan sebagai pribadi yang mandiri dan matang untuk mengembangkan studi serta menghadapi persoalan dalam kehidupan ini.

Core-value NHK-ICE dengan dimensi homo-deus diberlakukan dalam setiap kuliah sesuai Fakultas dan Program Studi. Setiap dosen dipersiapkan dan dilatih untuk membuat korelasi disiplin ilmu dengan NHK-ICE sehingga para siswa mengalami proses pendidikan dengan dimensi homo-deus. Misalnya 10 menit sebelum perkuliahan selesai, para dosen membuat refleksi korelasi ilmu pengetahuan yang diampu dengan salah satu bagian dari Nilai Hidup Kristen. Dengan refleksi tersebut para dosen tidak hanya mampu mengajar dengan pola halakhah tetapi juga pola haggadah. Mereka mengajar, menginspirasi dan memberi pencerahan kepada para siswanya tentang kebijaksanaan, iman, spiritualitas dan paradigma yang kreatif. Karena itu yang paling berkesan dari sosok seorang dosen adalah keteladanan dan kecerdasan edukatifnya yang mampu mengubah siswa yang semula dengan “nilai-nilai di bawah rata-rata” menjadi siswa yang berprestasi dan membanggakan.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Bandung, 22 Juli 2018