Sub-tema: Redeeming the Time
(Efesus 5:15-21)
Kata “kesempatan” umumnya dipahami sebagai saat yang baik, peluang atau kemungkinan yang tersedia. Karena itu tidak mengherankan dalam Alkitab, kata “kesempatan” diterjemahkan dengan kata kairos yang menunjuk pada arti the right time (waktu yang tepat), waktu anugerah, atau menunjuk pada makna “waktu yang kualitatif.” Berbeda dengan kata khronos yang menunjuk pada waktu yang kuantitatif, ritme waktu yang ditunjuk oleh arloji. Namun harus diingat bahwa waktu kualitatif senantiasa berada dalam waktu kuantitatif.
Waktu sebagai “kairos” berada dalam waktu sebagai “khronos.” Karena itu bagaimana setiap orang yang hidup dalam waktu “khronos” mampu memaknai, menghayati, mengisi, merespons dengan waktu “kairos.” Dengan kata lain makna kesempatan sebagai “kairos” tidak mungkin terjadi apabila kita mengabaikan ritme yang terjadi dalam waktu “khronos.” Kedua waktu “kairos” dan “khronos” saling terjalin dan integral bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Apabila salah satu hilang (tidak ada), maka mata uang tersebut tidak memiliki nilai. Jika demikian makna “hidup adalah kesempatan” pada hakikatnya sejauh mana hidup yang kita hidupi merupakan hidup yang bernilai atau hidup yang bermakna.
Makna “hidup yang bernilai” atau “hidup yang bermakna” adalah harapan, tujuan, dan cita-cita yang sedang atau akan diperjuangkan sehingga menjadi suatu kenyataan. Makna “hidup yang bernilai” atau “hidup yang bermakna” sesungguhnya masih dalam realitas “menjadi” (becoming). Karena dalam realitanya kita masih menghadapi persoalan, kesulitan, atau hambatan. Realitanya setiap orang senantiasa menghadapi krisis. Hanya orang-orang yang mampu mengatasi atau menyelesaikan krisis saja yang mampu mengalami “hidup yang bernilai” atau “hidup yang bermakna.” Dalam konteks ini kita perlu belajar makna kata “krisis” dalam bahasa Mandarin.
Kata “krisis” dalam bahasa Mandarin disebut 危 机 (Weiji) yang terdiri dari dua kata, yaitu危 (wei) atau bahaya dan 机 (Ji) yang berarti peluang atau kesempatan. Jadi krisis dalam bahasa Mandarin merupakan gabungan dari dua kata, yaitu bahaya (wei) dan peluang (ji). Hidup yang bernilai atau bermakna ditentukan sejauh mana kita mampu menjadikan setiap bahaya (wei) atau masalah sebagai peluang (ji). Pada pihak lain peluang atau kesempatan (ji) justru seringkali terjadi dalam setiap bahaya (wei). Jadi dalam setiap bahaya senantiasa mengandung peluang. Sesungguhnya dalam setiap persoalan atau bahaya mengandung blessing in disguise (berkat yang terselubung). Hanya orang yang kuat secara karakter dan spiritualitas saja yang mampu menghadapi bahaya (wei) dan menemukan peluang (ji). Sebaliknya orang yang lemah dalam kepribadian, tidak punya prinsip, dan tergantung pada kehendak orang lain akan cenderung menyalahkan keadaan. Ia akan cenderung menyerah sebelum berjuang.
Filsuf Friedrick Nietzsche menggolongkan manusia dengan 2 kategori moral, yaitu moral tuan (herren moral) dan moral budak (herden moral). Seorang yang tergantung pada kehendak orang lain, tidak memiliki prinsip, tidak gigih, mudah menyerah, dan cenderung iri terhadap keberhasilan orang lain disebut sebagai herden moral (moral budak, moral kawanan). Sebaliknya yang dimaksud dengan herren moral adalah sikap seorang yang tangguh, mandiri, kreatif, berani menantang arus apabila ia yakin berada dalam kebenaran, dan bertahan dalam prinsip walau menderita. Hidup adalah kesempatan yang menghasilkan makna atau nilai apabila seseorang tidak dikuasai oleh mental budak atau kawanan. Sebab seseorang yang hidup dengan mental budak atau kawanan hanya akan bersungut-sungut, menyalahkan keadaan/orang lain, tidak kreatif, mudah iri kepada keberhasilan orang lain dan tergantung.
Sebaliknya hidup yang bernilai atau bermakna apabila kita memiliki mental atau moral seorang tuan dalam pengertian: mandiri, otentik, kreatif, tahan banting, gigih dan ulet. Namun sayang sekali filsafat Nietzsche tersebut ditempatkan dalam kerangka “kehendak untuk berkuasa” (will to power). Seakan-akan hidup bernilai atau bermakna apabila kita mampu memiliki kuasa atau mempraktikkan nilai-nilai kemandirian, kemampuan diri sendiri dan lepas dari relasi dengan sesama.
Firman Tuhan di Efesus 5:15-17, berkata: “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.” Kehendak berkuasa akan mendorong manusia untuk berlaku tidak bijaksana. Dengan kehendak berkuasa manusia akan menjadi para pribadi yang mengandalkan kekuasaan, otoritas, kepandaian, keahlian, dan pengaruh yang dimiliki. Karena kehendak untuk berkuasa akan menyebabkan manusia berlaku sombong, arogan, mentang-mentang memiliki pengaruh, dan merendahkan orang lain. Kesempatan yang dimiliki digunakan untuk memperoleh keuntungan semata. Nilai-nilai atau makna hidup hanya dipahami sebatas finansial, ekonomi, kenikmatan, pengaruh, dan kekuasaan.
Kehendak berkuasa (will to power) dalam hidup sehari-hari agar bernilai atau bermakna secara sempit, yaitu sebatas finansial, ekonomi, kenikmatan, pengaruh, dan kekuasaan dapat diumpamakan dengan pemburu dan penjebak.
Pemburu seperti seekor harimau yang memburu mangsanya yang dianggap lemah seperti kijang, lembu atau kambing. Hidup bernilai atau bermakna apabila kita mempunyai kekuatan, kecepatan, kepandaian, dan kemampuan diri mengalahkan orang lain. Makna hidup dihayati sebagai kesempatan untuk berburu, melihat dengan jeli siapa yang dapat dimangsa dan ditaklukkan.
Penjebak dengan perangkap seperti seekor laba-laba yang terampil membuat jaring untuk menangkap mangsa yang terjebak dalam jaring tersebut. Hidup adalah kesempatan untuk menunggu di waktu yang tepat menangkap mangsa yang terperangkap dalam jaring yang kita buat. Dalam kehidupan modern jaring laba-laba tersebut dapat berupa: penguasaan teknologi, keahlian/ kompetensi, kedudukan sosial yang tinggi, dan kemampuan ekonomi.
Di sisi lain hidup juga dapat menjadi kesempatan untuk menghayati secara bermakna dan produktif di tengah-tengah komunitas. Kesempatan yang tersedia tidak dilihat sebagai peluang untuk kepentingan diri sendiri, tetapi sebagai peluang menjadi berkat bagi sesama. Dalam konteks ini kita tidak mengembangkan diri sebagai pemburu atau penjebak memperoleh mangsa, tetapi kita memilih pola hidup bahu-membahu, gotong-royong, interdependensi, saling melengkapi dan saling membantu. Efesus 5:19 berkata: “dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.” Kehadiran kita membawa sukacita, damai-sejahtera, penghiburan, dan semangat bagi persekutuan. Kehidupan yang saling menolong, membantu dan bergotong-royong seperti semut di tengah-tengah koloninya. Menurut penelitian, semut mampu mengangkat beban 10x dari berat badannya. Semut memiliki pola relasi dan komunikasi yang teroganisir.
Sangat menarik gambaran pola kerja semut disebutkan dalam Amsal 6:6-8, yaitu: “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.” Makna firman Tuhan: “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Ef. 5:15-17) dimaksudkan agar kita tidak menjadi pemburu atau penjebak bagi sesama, tetapi sebagai kontributor bagi persekutuan atau komunitas kita.
Kita menyadari bahwa tidaklah mudah dan sederhana untuk berpartisipasi secara proaktif dan berkontribusi secara kreatif dalam persekutuan atau komunitas. Sebab tidak setiap anggota persekutuan atau komunitas memiliki visi, misi, nilai-nilai budaya, cara pandang dan karakter yang sama. Semua hambatan dan perbedaan tersebut akan dapat kita atasi apabila hidup kita didasarkan pada Praxis-transformatif yang didasarkan pada kehendak Tuhan. Arti dari “praxis-transformatif” adalah:
Praxis: aksi-refleksi à Seluruh perilaku (aksi) kita didasarkan pada refleksi, dan sebaliknya setiap refleksi diwujudkan dalam perilaku (aksi). Apabila kehidupan kita didasarkan pada “praxis” yaitu aksi-refleksi, maka kita akan menuai kebijaksanaan (hikmat). Bandingkan dengan perkataan Mazmur 90:12, yaitu: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Dengan spiritualitas “praxis” kita akan hati-hati dalam berbicara dan bertindak, sebab segala sesuatu yang kita lakukan atau ucapkan telah direnungkan secara mendalam.
Transformatif: spiritualitas “praxis” (aksi-refleksi) menghasilkan pembaruan sebab kebijaksanaan (hikmat) akan menginspirasi dan memotivasi orang-orang di sekitar untuk melakukan kebajikan dan kebenaran.
Kehendak Tuhan dinyatakan dalam damai-sejahtera, kebenaran, keadilan dan kasih.
Makna “hidup adalah kesempatan” yang didasarkan pada praxis-transformatif dalam kehendak Tuhan akan menjadi spirit atau roh dalam kehidupan setiap kita apabila waktu hidup kita sinkron dengan waktu penebusan Kristus. Di Efesus 5:16 menyatakan: “pergunakanlah waktu yang ada.” Padahal dalam teks asli kata “pergunakan” dipakai kata: exagorazomenoi yang berasal dari kata dasar “exagorazo” yang arti: menebus, atau menyelamatkan. Karena itu King James Version menerjemahkan dengan “redeeming the time.”
Memaknai dan menghayati waktu sebagai penebusan, berarti setiap umat percaya dipanggil untuk mengisi setiap waktu dengan pemberian diri yang dilandasi kasih sebagaimana Kristus memberikan nyawa-Nya. Waktu khronos (waktu secara kronologis) diisi oleh kesempatan/ peluang (kairos) untuk mempersembahkan hidup bagi keselamatan dan kesejahteraan sesama. Jadi seharusnya makna “hidup adalah kesempatan” merupakan kesempatan untuk memberi, mempersembahkan, memberdayakan, meneguhkan dan menghadirkan pengharapan. Setiap orang tergerak dan termotivasi untuk memberi dan memberdayakan. Kondisi ini sangat berbeda atau bertolak-belakang dengan lingkungan atau persekutuan yang berusaha untuk memperoleh keuntungan dari sesamanya. Mereka mempraktikkan etos kerja sebagai pemburu dan penjebak dengan perangkap jaring-jaring laba-laba. Saya pernah melihat suatu persekutuan menjadi rusak karena para anggotanya saling terlibat hutang-piutang. Relasi yang semula harmonis berubah menjadi relasi yang saling membenci, mencurigai satu dengan yang lain, kehilangan kepercayaan dengan sesamanya.
Kesempatan yang tersedia dalam kehidupan kita sangatlah terbatas. Karena sangat terbatas antara 70-80 tahun (sebagaimana perkataan Mazmur 90:10), maka setiap waktu khronos harus senantiasa dipergunakan sebagai kesempatan (kairos) menyatakan karya penebusan Kristus yang memberi diri-Nya. Dalam waktu khronos dinyatakan sebagai kairos: “redeeming the time,” sehingga kehadiran kita menjadi media yang menyelamatkan banyak orang yang tersesat, penghibur bagi sedih, pemberi semangat bagi mereka yang putus-asa, pemulih bagi sesama yang sakit, dan pembebas bagi mereka yang terbelenggu.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono