Peristiwa Paskah diawali oleh Injil Matius dengan suatu kesaksian, yaitu: “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria lainnya, menengok kubur itu” (Mat. 28:1). Apakah yang dipikirkan oleh Maria Magdalena dan Maria lainnya saat mereka pergi untuk menengok kubur Yesus pada waktu subuh? Apakah mereka pada waktu itu berpikir akan melihat peristiwa kebangkitan Yesus? Lebih jauh lagi apakah mereka memiliki harapan untuk dapat menjumpai Yesus yang bangkit? Tentunya jelas mereka sama sekali tidak pernah berpikir untuk melihat peristiwa kebangkitan Yesus dari kuburNya.
Apalagi mereka sama sekali tidak memiliki pengharapan sedikitpun untuk berjumpa dengan Yesus Kristus yang berhasil mengalahkan maut dengan bangkit dari kematianNya. Para wanita tersebut datang ke kubur Yesus adalah untuk membawa rempah-rempah dan minyak mur. Mereka datang secara khusus untuk mengurapi jenasah Yesus dengan rempah-rempah dan minyak pengharum sebagai ungkapan kasih dan penghormatan mereka yang terakhir. Sebab pada waktu pemakaman jenasah Yesus beberapa hari sebelumnya mereka tidak sempat menaburi jenasah Yesus dengan rempah-rempah dan minyak mur karena saat itu telah mendekati senja dan bertepatan dengan persiapan untuk menyambut hari Sabat. Itu sebabnya pada hari Minggu subuh para wanita tersebut datang ke kubur Yesus. Saat itu sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa mereka akan dapat menyaksikan peristiwa kebangkitan Yesus. Mereka juga tidak memiliki harapan apapun tentang kemungkinan dapat berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Sungguh mengejutkan bagi kita berita dan peristiwa Paskah pada waktu itu diawali dengan tiadanya pengharapan dan iman bahwa Yesus akan bangkit. Walau mereka sebelumnya telah mendengar pesan dan pengajaran itu dari Tuhan Yesus waktu Dia masih bersama-sama dengan mereka tetapi mereka tidak ingat atau percaya bahwa orang mati dapat bangkit dari kematian.
Ketika kita melihat suatu batu nisan atau kubur dan tempat kremasi, bukankah yang timbul dalam pikiran kita bahwa kehidupan dari almarhum telah berakhir secara definitif? Karena itu yang dapat kita lakukan saat itu hanyalah mencoba untuk mengingat dan mengenang segala hal yang pernah terjadi dalam kehidupan almarhum. Bukankah umumnya pikiran dan perasaan kita saat menghadapi batu nisan di kubur atau krematorium hanya dapat berefleksi ke masa lalu (flash-back)? Saat itu kita tahu bahwa kehidupan almarhum telah berakhir di dunia ini. Dia telah tiada, dan dia tidak dapat hadir secara fisik di masa kini apalagi mendampingi kita di masa mendatang. Demikian pula sikap para wanita saat mereka mengunjungi kubur Yesus di hari Minggu subuh itu. Dalam hati mereka saat itu hanya dapat merasa sedih, berdukacita dan sangat kehilangan dengan kepergian Yesus yang harus wafat dengan cara yang tragis, yaitu wafat di kayu salib. Pahlawan dan Messias mereka kini telah tiada. Apalagi yang dapat mereka harapkan dari Yesus? Semua telah berakhir! Keadaan ini mengingatkan saya saat menyaksikan film yang berjudul: Brave Heart yang disutradarai oleh Mel Gibson berdasarkan novel yang ditulis oleh Randall Wallace. Film ini berhasil memenangkan 5 hadiah Oscar dan 15penghargaan lainnya. Film “Brave Heart” yang berdurasi 2 jam 35 menit ini telah dirilis pada tanggal 24 Mei 1995 di Amerika Serikat. Novel dari Randall Wallace tersebut didasarkan pada kisah historis tentang pahlawan Skolandia bernama William Wallace saat dia melawan kerajaan Inggris yang waktu itu diperintah oleh raja Edward I. Pada tahun 1280, raja Edward I berhasil menaklukkan Skolandia. Saat pendudukan itu tentara Inggris membunuh ayah William Wallace dan saudaranya. Ketika dia dewasa, William Wallace kemudian menjadi seorang komandan perang pasukan Skotlandia melawan kekuasaan kerajaan Inggris. Dalam hal ini perlawanan yang dilancarkan oleh William Wallace dapat dikatakan cukup berhasil untuk mengalahkan pasukan Inggris dalam berbagai medan peperangan. Akhirnya dengan tipu muslihat raja Edward I dapat berhasil menangkap William Wallace. Eksekusi mati di London Square terhadap William Wallace sangat mengerikan. Dia digantung, disiksa dan dikeluarkan isi perutnya hidup-hidup. Kemudian dia dipenggal kepalanya. Saat dia akan dipenggal, perkataan yang diucapkan oleh William Wallace dengan gagah berani adalah “kebebasan” (freedom). Tentunya rakyat Skotlandia sangat kehilangan pahlawan besarnya. Mereka sangat sedih dan terpukul menyaksikan kematian William Wallace yang tragis. Namun pada sisi lain mereka mewarisi semangat William Wallace untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya.
Para wanita yang datang ke kubur Yesus saat itu juga telah kehilangan harapan. Pahlawan, Messias dan Guru mereka yaitu Yesus telah tiada dengan kematian yang sangat tragis di atas kayu salib. Tetapi harapan mereka yang telah runtuh itu kemudian dipulihkan oleh Allah. Sebab Allah mengutus seorang malaikatNya untuk memberi kabar tentang peristiwa kebangkitanKristus, sambil berkata: “Janganlah takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakanNya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring” (Mat. 28:5-6). Harapan para wanita yang semula hanya ingin merempah-rempahi jenasah Yesus sebagai penghormatan mereka yang terakhir berubah menjadi harapan yang baru dan penuh sukacita. Sebab jenasah Yesus yang akan mereka rempah-rempahi kini sudah tidak ada lagi di kubur. Malaikat Tuhan berkata: “Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit sama seperti yang telah dikatakanNya.” Dengan gagasan yang sama Injil Lukas juga menyaksikan perkataan malaikat kepada para wanita, yaitu: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mata? Ia tidak ada di sini. Ia telah bangkit” (Luk. 24:5). Di depan kubur Yesus, harapan dari para wanita tersebut berubah secara drastis, yaitu berubah menjadi harapan yang menimbulkan kekuatan dan perubahan orientasi hidup, sebab Yesus yang telah wafat itu kini telah bangkit. Itu sebabnya di Matius 28:8 mempersaksikan reaksi para wanita yang semula sedih, berduka dan kehilangan serta perasaan tidak berdaya berubah menjadi suatu sukacita yang besar yaitu: “Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.” Berita malaikat Tuhan tersebut menghasilkan suatu transformasi pengharapan dan perspektif iman yang sama sekali baru. Para wanita tersebut kelak berubah menjadi para saksi kebangkitan Kristus. Itu sebabnya dalam kisah Injil gerak langkah kaki mereka berubah. Semula mereka melangkah ke kubur Yesus dengan perasaan sedih dan tertekan, tetapi kini langkah mereka berubah menjadi: “Berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus yang lain.” Peristiwa Paskah bermakna sebagai peristiwa transformasi pengalaman iman yang mengubah kesedihan menjadi sukacita, dan mampu mengubah kehidupan yang penuh dengan rasa putus-asa menjadi hidup yang berpengharapan.
Beberapa kalangan mengartikan peristiwa kebangkitan Kristus sebenarnya hanyalah sebagai suatu upaya rasionalisasi dari jemaat Kristen perdana. Mereka menyebut peristiwa kebangkitan Kristus dengan istilah cognitive dissonance. Maksud pengertian dari cognitive dissonance secara harafiah adalah: “melesetnya suatu pemahaman terhadap sesuatu.” Jadi dalam pengertian ini, berita tentang peristiwa kebangkitan Kristus dapat terjadi karena sebenarnya para murid Yesus waktu itu secara psikologis sangat terpukul karena harapan mereka sama sekali hancur dengan kematian Yesus di atas kayu salib. Padahal semula mereka sangat mengharapkan Yesus sebagai seorang Messias yang memiliki kuasa Ilahi, mampu untuk melepaskan diri dan mengalahkan semua musuhNya. Tetapi kenyataannya Yesus justru mati terbunuh. Itu sebabnya para murid dalam teori cognitive dissonance kemudian mengandaikan setelah kematianNya Yesus dapat bangkit dengan tubuh-Nya, lalu secara imaginatif Yesus dianggap menampakkan diri kepada para murid, tubuh Yesus dapat disentuh dan Dia dapat makan roti serta ikan goreng di hadapan para murid-Nya. Padahal faktanya menurut golongan ini Yesus tidak pernah bangkit dengan tubuh fisik-Nya. Para murid hanya mengalami kehadiran dari Roh Yesus saja. Karena itu agar para murid dan gereja perdana tidak mengalami beban psikologis yang sangat berat akibat perasaan kecewa dan tekanan psikologis, maka mereka kemudian memiliki dorongan yang sangat kuat untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa. Jadi para murid dan gereja perdana dapat menjadi saksi kebangkitan Kristus. Semangat memberitakan Injil karena mereka ingin melepaskan dari beban perasaan kecewa dan tekanan psikologis. Sebenarnya teori cognitive dissonance mengandung segi kebenaran dalam mengungkap motif dan dorongan psikologis suatu sekte atau kelompok bidaah yang baru muncul. Tetapi untuk mengungkap rahasia atau misteri peristiwa kebangkitan Kristus, pisau operasi cognitive dissonance bukanlah pisau operasi yang tepat dan benar secara metodologis. Sebab para saksi kebangkitan Yesus dalam perjalanan sejarah yang sangat panjang mereka telah terbukti bersedia mempertaruhkan nyawa. Mereka bersedia hidup menderita, menerima penganiayaan dan mereka juga telah membuktikan diri sebagai para pemikir yang menghasilkan pemikiran teologis yang jernih, otentik, sangat kaya dengan kekayaan spiritualitas dan sama sekali tidak dilandasi oleh perasaan takut.
Perkataan pertama dari Yesus yang bangkit kepada para muridNya adalah: “Salam bagimu” (Mat. 28:9). Ucapan salam dari Tuhan Yesus ini tentunya memiliki makna yang sangat dalam. Sebab Tuhan Yesus yang telah bangkit menyatakan realita shaloom dari Allah, yaitu realita damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Tuhan Yesus datang menjumpai para murid-Nya dalam keadaan damai sehingga mereka dibebaskan dari perasaan takut, tertekan, sedih, gelisah dan tidak berdaya. Itu sebabnya Tuhan Yesus melanjutkan perkataan-Nya, yaitu: “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu, supaya mereka pergi ke Galilea dan di sanalah mereka akan melihat Aku” (Mat. 28:10). Justru dalam peristiwa kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus datang untuk menghibur dan mengusir perasaan takut yang sempat mengelayuti hati para murid beberapa hari sebelumnya. Artinya kehadiran Kristus yang bangkit itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan takut, tetapi perasaan damai-sejahtera. Sebab kehadiran Tuhan Yesus dinyatakan dengan tubuh kebangkitan-Nya. Yesus telah menetralisir dan menyembuhkan semua perasaan sedih dan kecewa yang sempat dialami oleh para murid-Nya. Yang sangat menarik Yesus yang bangkit itu justru menyuruh mereka pergi ke Galilea untuk berjumpa lagi dengan Dia. Mengapa mereka harus pergi ke Galilea untuk bertemu dengan Yesus yang bangkit? Pada zaman itu semua orang Israel umumnya paham bahwa Galilea merupakan daerah yang dianggap terbelakang dan udik dengan tipe orang-orangnya yang dianggap kurang berpendidikan, lemah secara ekonomis dan adat kesopanan yang kurang halus. Pada awal pelayanan-Nya Tuhan Yesus telah memulai di Galilea; dan ketika Ia bangkit, Tuhan Yesus berada kembali di Galilea. Ini berarti Tuhan Yesus yang pernah hidup, wafat dan kemudian bangkit dari antara orang mati pada hakikatnya menjadi Juru-selamat bagi setiap orang yang lemah dan terbuang. Tuhan Yesus yang bangkit adalah juga Kristus yang sungguh-sungguh peduli dan mengasihi setiap orang yang tidak berdaya, papa, dan kehilangan pengharapan. Jadi Kristus yang bangkit dari kematian secara nyata memposisikan diriNya sebagai seorang pembela dan Juru-selamat bagi setiap orang yang terbuang, tersisih dan ditolak oleh dunia ini.
Di Keluaran 14 dikisahkan bagaimanakah keadaan umat Israel yang waktu itu sedang mengalami ketakutan yang sangat hebat, dan mereka tidak memiliki kekuatan sedikitpun untuk menyelamatkan diri dari pengejaran tentara Firaun. Mereka harus lari menyelamatkan diri dari pengejaran tentara Firaun, tetapi mereka juga sangat kebingungan sebab di depan mereka terbentang laut Merah yang luas. Apabila mereka mundur maka mereka akan dibunuh oleh tentara Firaun; tetapi apabila mereka melarikan diri dari tentara Firaun dengan terus maju ke depan maka mereka akan dihanyutkan oleh air laut. Dalam situasi yang sangat membingungkan itu, Allah berfirman: “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan yang akan diberikanNya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:13-14). Di tengah-tengah situasi tanpa pengharapan dan tidak memilliki daya sama sekali, pada saat itulah Allah memberi penghiburan dan kekuatan kepada umatNya, yaitu: “Jangan takut!” Firman Tuhan inilah yang juga disampaikan dalam peristiwa kebangkitan Kristus dari antara orang mati, yaitu: “Jangan takut!” Dalam peristiwa di tepi laut Merah, Allah kemudian memberikan suatu pertolongan di luar dugaan atau melampaui semua kemampuan olah pikir serta kebijaksanaan manusia, yaitu dengan cara membelah laut Merah, sehingga seluruh umat Israel dapat tiba dengan selamat di seberang. Kisah karya keselamatan Allah yang pernah terjadi bukanlah sekedar hasil rasionalisasi atau cognitive dissonance sebab realitanya umat Israel dapat mengalami secara historis sehingga mereka sampai kini tetap dapat eksis sebagai umat Allah. Demikian pula dengan peristiwa kebangkitan Kristus. Menurut pola pikir manusia, kematian Kristus di atas kayu salib merupakan akhir dari segala-galanya. Kematian Kristus juga telah menghentikan karyaNya, dan tubuh fisik-Nya mengalami kehancuran. Tetapi semua rencana dari kuasa dunia tersebut tidak pernah menjadi suatu kenyataan. Justru sebaliknya. Kematian Kristus menjadi karya Allah yang mendamaikan dengan umat manusia. Bahkan melalui kematian-Nya, Allah kemudian membangkitkan tubuh fisik Kristus dengan tubuh kebangkitan yang mulia. Kristus kini dapat hadir di setiap tempat dan ruang tanpa batas. Kehadiran Kristus yang bangkit justru menjadi kehadiran Ilahi yang makin efektif sehingga Dia kini mampu menjangkau untuk menolong setiap orang yang lemah dan tersisih.
Kehidupan kita sering seperti para wanita yang mengunjungi kubur Tuhan Yesus. Pada satu momen tertentu kita merasa hidup dalam kekelaman yang pekat, dunia terasa runtuh, dan tanpa pengharapan apapun. Saat itu kita tidak memiliki kekuatan sedikitpun untuk melanjutkan kehidupan kita di masa mendatang. Di saat-saat demikian, kita merasa terkepung oleh berbagai permasalahan dan tidak menemukan sedikit celahpun sebagai solusi. Seperti umat Israel, kita menjadi sedih dan putus-asa. Kalau kita mau mundur ke belakang, kita akan hancur; tetapi kalau kita meneruskan langkah ke depan, kita juga akan mati. Kita tidak tahu lagi apa yang harus kita perbuat. Dalam situasi demikian kita cenderung bersikap bingung, panik dan tergoda untuk melakukan jalan pintas. Namun manakala kita mau percaya dan menyerahkan segala kekuatiran, kesedihan, rasa putus-asa dan ketidakberdayaan kita; maka pada saat itulah Allah akan bertindak dan menolong kita. Dia akan mentransformasi rasa putus-asa kita menjadi pengharapan. Dia mengubah segala jalan yang tertutup menjadi jalan yang terbuka. Yang pasti, Allah akan menyediakan pertolongan dan keselamatan bagi setiap orang yang lemah, tersisih dan terbuang. Sesungguhnya berita Paskah tentang kebangkitan Kristus merupakan kabar gembira dan sukacita bagi setiap orang yang tidak berdaya. Sebab Kristus yang bangkit adalah Kristus yang senantiasa hadir untuk menolong setiap orang yang berseru kepadaNya. Kehadiran Kristus yang bangkit senantiasa menghadirkan shaloom Allah, sehingga semua ketakutan dan kegelisahan kita akan dipulihkan oleh-Nya. Karena itu maukah kita percaya dan menyerahkan kehidupan kita kepada Kristus yang bangkit? Manakala kita telah mengalami karya kebangkitan Kristus, maka kita yang semula takut dan hidup dalam kekuatiran justru akan dimampukan untuk menjadi para saksi kebangkitan Kristus. Jadi, maukah setiap kita menjadi saksi kebangkitan Kristus? Kebangkitan Kristus bukanlah suatu ilusi, tetapi faktual dan eksistensial, bahkan mendatangkan kuasa pemulihan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono