Ibadah Rabu Abu dilaksanakan gereja setelah Minggu Transfigurasi Yesus, yaitu peristiwa penyataan Kristus sebagai Anak Allah dengan tubuh kemuliaan-Nya. Karena itu Minggu Transfigurasi mengakhiri masa sesudah Minggu-minggu Epifani, dan umat akan memasuki awal masa Prapaskah, yaitu Rabu Abu. Jadi Ibadah Rabu Abu merupakan awal Prapaskah yang terentang selama empat puluh hari lamanya sampai Kamis Putih siang. Selama empat puluh hari itu, umat dipanggil untuk berpuasa dan bertarak terhadap keinginan-keinginan dan nafsu agar siap merayakan peristiwa Paskah (kebangkitan Kristus). Peristiwa Paskah dirangkum oleh gereja menjadi tiga hari suci, yaitu: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Tiga hari suci itu disebut dengan Triduum. Jadi Ibadah Rabu Abu mempersiapkan umat secara rohani agar layak merayakan Triduum, sehingga mampu menghayati karya keselamatan Allah dalam ibadah.
Ibadah hari Minggu dan hari raya gerejawi dalam teologia gereja-gereja Calvinis sering berfokus pada pemberitaan firman. Karena itu ibadah sering dipahami sebagai media pengajaran iman. Namun kini pemahaman teologis tersebut telah direvisi, sebab ibadah bukanlah sekedar media pengajaran iman. Gereja-gereja Reformatoris kini telah melakukan pembaruan liturgis. Sebab dalam setiap ibadah, umat juga merayakan dan mengalami karya keselamatan Allah. Contoh makna ibadah sebagai media karya keselamatan Allah yang terlihat dalam ibadah hari Minggu atau hari raya gerejawi, yaitu umat memeroleh Berita Anugerah setelah umat melakukan Pengakuan Dosa. Berita Anugerah tersebut bukan sekedar pengutipan ayat-ayat Alkitab tentang pengampunan Allah, namun sesungguhnya umat diberi jaminan pengampunan dosa oleh Allah yang didasarkan oleh firman Tuhan. Demikian pula Pelayanan Persembahan bukan sekedar pengumpulan uang (kolektan), namun juga ekspresi umat mengucap syukur di hadapan Allah. Dalam teks Liturgi GKI, sakramen Perjamuan Kudus dihayati sebagai “peristiwa karya kasih Allah yang menyelamatkan dunia” (BPMS GKI 2006, 58). Sakramen Perjamuan Kudus disebut dengan peristiwa karya kasih Allah yang menyelamatkan dunia, bukan sekedar peringatan kematian Kristus. Karena itu setiap elemen liturgi sama pentingnya, bukan hanya elemen khotbah (pemberitaan firman).
Setiap penggunaan simbol dalam elemen-elemen liturgi bukan sekedar pelengkap. Misal elemen liturgi dalam Prosesi Masuk yang membawa Alkitab oleh Penatua adalah penting sebab gereja mau menyatakan umat percaya hidup oleh kuasa firman Tuhan. Penggunaan simbol abu dalam Ibadah Rabu Abu juga penting dan bermakna. Penggunaan simbol abu memiliki makna iman yang berakar pada kesaksian Alkitab dan tradisi gereja selama berabad-abad. Simbol dibutuhkan karena manusia adalah mahluk simbolis. Manusia membutuhkan lambang-lambang untuk mengekspresikan kediriannya, yaitu isi batin/imannya yang tidak dapat diungkapkan secara penuh oleh bahasa tulisan dan ungkapan lisan.
Tulisan singkat dalam booklet ini bertujuan membantu umat untuk memahami makna Ibadah Rabu Abu, sehingga umat bersedia ambil bagian dan mengalami karya keselamatan Allah. Pengalaman iman akan karya keselamatan Allah tersebut diharapkan memampukan umat untuk mengalami proses pembaruan diri sebab melalui Ibadah Rabu Abu umat disadarkan akan kefanaan, kelemahan, kegagalan, dan keberdosaannya di hadapan Allah. Ayub dalam pengakuan dosanya di hadapan Allah berseru: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb. 42:5-6).
Pendahuluan
Kekhasan ibadah Rabu Abu adalah umat mendapat abu di dahinya (atau sesama saling mengoleskan abu di dahi). Saat Pendeta mengoleskan abu di dahi umat, dia berkata dengan mengutip Kejadian 3:19 dengan berkata: “Ingatlah, engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu.”
Konteks Kejadian 3:19 adalah kejatuhan manusia dalam dosa. Karena itu Allah menghukum manusia dan tanah menjadi terkutuk, sehingga manusia harus bersusah-payah sepanjang hidupnya. Dengan demikian pernyataan Allah dalam Kejadian 3:19, yaitu: “sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” merupakan klimaks dari hukuman Allah. Walter Brueggemann dalam Remember, You are Dust menyatakan: “In quoting this passage, the church calls to mind the entire narrative of the garden, and specifically, God’s decree concerning the serpent (Gen. 3:14-15), the woman (v. 16), and the man (w. 17-19). Our verse is the culmination and climax of that awesome decree of judgment.” Brueggemann menyatakan bahwa gereja memaknai Kejadian 3:19 dalam konteks peristiwa taman Eden, khususnya hukuman Allah kepada ular, perempuan dan manusia. Karena itu Kejadian 3:19 merupakan kulminasi dan klimaks dari hukuman Allah. Dengan pemahaman tersebut, Brueggemann memaknai pengolesan (pengenaan) abu dalam ibadah Rabu Abu sebagai tindakan yang bersifat sakramental, yaitu: “I will use the words priestly, priest rather than ‘ministerial, minister’ because I wish to underscore the sacramental character of the act of imposition of ashes. In this act Reformed ministers are engaging in their proper priestly act which mediates new life through the generative power.”
Perlu dipahami bahwa Walter Brueggemann adalah seorang pendeta dari gereja Protestan dan evanglikal yang berada di bawah Evangelical Synod of North America (http://en.wikipedia.org/wiki/Walter_Brueggemann). Karena itu pernyataan Walter Brueggemann tersebut layak kita dengarkan, selain dia sebagai seorang guru besar teologia dan ahli tafsir ternama di Columbia Theological Seminary di Decatur, Georgia. Apabila Brueggemann menyatakan bahwa simbol abu dalam ibadah Rabu Abu bersifat sakramental, tentunya bukan dimaksudkan bahwa simbol abu tersebut adalah sakramen. Kita perlu membedakan antara “sakramen” dengan “sakramental.”
Dalam bukunya yang berjudul Institutio, Johannes Calvin menyatakan bahwa sakramen adalah tanda lahiriah yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji akan kerelaan-Nya terhadap kita supaya iman kita diteguhkan. Dengan perkataan lain, Calvin memaknai sakramen sebagai kesaksian tentang rahmat Allah yang dinyatakan dengan tanda lahiriah dan yang direspons dari pihak manusia dengan menyatakan kasih dan kesetiaan umat kepada-Nya (Calvin 1980, 224). Sedangkan sesuatu yang dianggap “sakramental” memiliki cakupan yang lebih luas. Sesuatu dianggap bersifat sakramental sebab memiliki sesuatu yang bersifat khusus, rohaniah, dan berkaitan dengan tanda-tanda rahmat Allah, misalnya: Alkitab sebagai buku yang dibawa dalam Prosesi Masuk dan Prosesi Keluar, gambar/ikon Allah Trinitas, simbol abu dalam ibadah Rabu Abu, penyalaan lilin pada hari raya gerejawi, pengenaan cincin dalam ibadah pernikahan, dan pujian jemaat dalam kebaktian. Semua tanda-tanda lahiriah yang bersifat sakramental senantiasa diperlakukan khusus dan sikap khidmat. Demikian pula halnya dengan pengolesan (pengenaan) abu dalam kebaktian Rabu Abu. Simbol abu digunakan dalam suatu liturgi Rabu Abu, sehingga melalui simbol tersebut umat menyadari akan kefanaan, kerapuhan, dan keberdosaannya – yang pada pihak lain umat dipanggil terbuka untuk menerima anugerah keselamatan Allah dalam pengampunan-Nya.
Makna Ibadah Rabu Abu
Perayaan Paskah merupakan jantung dari kehidupan iman umat percaya dan Tahun Liturgi. Paskah disebut sebagai “jantung” karena Paskah merupakan pusat yang menghidupi seluruh kehidupan iman umat percaya sepanjang hayat sebagaimana terangkum dalam rangkaian Tahun Liturgi (Adam 1990, 19). Tanpa Paskah tidak akan ada perayaan liturgi apapun, tetapi juga tidak ada janji keselamatan. Paskah di sini bukan hanya kebangkitan Kristus, tetapi juga penderitaan dan kematian-Nya. Karena itu Adolf Adam dalam The Liturgical Year menyatakan “the passion-resurrection is the central wellspring of salvation” (Adam 1990, 20). Melalui misteri wafat dan kebangkitan Kristus, umat percaya memeroleh karunia pintu masuk yang baru kepada Allah.
Dengan demikian melalui peristiwa Paskah, yaitu penderitaan-kematian-kebangkitan Kristus, kita yang semula bukan umat Allah dijadikan umat-Nya. Lebih daripada itu, umat percaya diperkenankan untuk menjadi anak-anak Allah, pewaris Kerajaan Allah. Karena itu umat percaya dipanggil mempersiapkan peristiwa Paskah secara khusus selama empat puluh hari (40) yang dimulai pada Rabu Abu. Dengan demikian Rabu Abu merupakan awal dari masa Prapaskah yang ditandai dengan instrospeksi diri, pertobatan, perkabungan, dan kesediaan menerima pembaruan diri.
Makna instrospeksi diri, pertobatan, dan kesediaan pembaruan diri yang dimulai pada Rabu Abu bukan berarti di luar masa Prapaskah umat boleh hidup dalam sikap yang tidak mawas diri dan tanpa pertobatan. Sikap mawas diri dan pertobatan merupakan panggilan hidup umat percaya sepanjang hidupnya. Namun secara khusus selama masa Prapaskah yang dimulai pada Rabu Abu sampai Kamis Putih memiliki tempat yang khusus. Karena itu umat dipersiapkan untuk menyambut Triduum (Tri hari Suci), yaitu: Kamis Putih (Yesus mencuci kaki para murid-Nya dan Perjamuan Malam Terakhir), Jumat Agung (jalan penderitaan dan wafat di bukit Golgota), Sabtu Sunyi (Jenasah Yesus di dalam makam), dan Paskah (Yesus bangkit dari kematian-Nya). Menjelang Paskah umat dipanggil untuk mempersiapkan diri dengan sikap mawas diri, bertarak, dan bertobat selama empat puluh hari. Persiapan yang cukup panjang selama masa Prapaskah merupakan media disiplin rohani yang diatur oleh gereja agar umat mampu menghayati karya keselamatan Allah di dalam kematian dan kebangkitan Kristus dengan pembaruan hidup.
Angka empat puluh selama masa Prapaskah memiliki makna yang khusus dengan mengingat air bah selama 40 hari, Musa di gunung Sinai selama 40 hari, Elia di gunung Sinai selama 40 hari, Israel mengembara di padang gurun selama 40 tahun, dan Yesus berpuasa selama 40 hari (Puthiadam 2002, 93). Masa Prapaskah selama empat puluh hari tersebut juga disebut dengan Lenten. Kata Lenten (dari bahasa Inggris) berasal dari kata Latin yaitu Lent. Sedang kata Lent dalam bahasa Inggris berasal dari kata Lencten dari Anglo-Saxon atau Lenz (Jerman) yang artinya: musim semi. Istilah-istilah tersebut sebenarnya berasal dari akar kata lang atau long, yang artinya panjang atau lama. Sebab di musim semi, siang menjadi lebih panjang atau lebih lama.
Penggunaan masa semi yang panjang tersebut bukan sekedar makna yang harafiah belaka tetapi memiliki makna rohani dan mengandungn pengajaran. Di Roma 13:12 Rasul Paulus berkata: “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” Selama masa Lent (Prapaskah), umat percaya dipanggil untuk tidak hidup seperti kegelapan malam namun seperti pada siang hari. Lalu di Roma 13:13 Rasul Paulus mempertegas maksudnya, yaitu: “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.” Dengan melatih diri secara khusus pada masa Prapaskah selama empat puluh hari, kita dimampukan untuk hidup dengan pembaruan diri setelah masa Paskah. Dengan demikian proses pembaruan dan pertobatan diharapkan menjadi gaya hidup umat percaya dalam kehidupannya sehari-hari. Pembaruan hidup atau pertobatan bukan hanya terjadi pada masa hari raya gerejawi, namun menjadi identitas diri dan pola hidup umat di tengah-tengah dunia.
Simbol Abu dalam Alkitab
Di Matius 11:21, Tuhan Yesus berkata: “Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung.” Tuhan Yesus menegur dengan keras penduduk kota Khorazim dan Betsaida karena mereka tidak mau bertobat sekalipun di kota-kota itu Dia paling banyak melakukan mukjizat-mukjizat-Nya. Mereka memilih untuk menegarkan hati dan tidak percaya Yesus sebagai Mesias Allah. Untuk itu Tuhan Yesus membuat perbandingan dengan kota Tirus dan Sidon yang dinubuatkan oleh Nabi Yesaya (Yes. 23:1-8), yaitu mereka akan segera bertobat dan berkabung bila melihat karya keselamatan Allah. Timbul pertanyaan dari pembaca, apa hubungan ucapan Tuhan Yesus di Matius 11:21 dengan simbol abu? Kata “berkabung” di Matius 11:21 berasal dari: σποδός (spodos), yang artinya: abu. LAI menerjemahkan kata spodos dengan “berkabung.” Teks Matius 11:21b yang menyatakan: σάκκῳ καὶ σποδῷ μετενόησαν (sakkoo kai spodooi metenoesan) seharusnya diterjemahkan: “berkabung dan abu pertobatan.” Dengan demikian di Matius 11:21 Tuhan Yesus menyatakan bahwa mereka yang bertobat dan menyesal akan dosa-dosanya dipanggil untuk berkabung dengan mengenakan abu.
Ucapan Tuhan Yesus adalah agar umat berkabung dengan mengenakan abu. Tindakan menaburi kepala dengan abu berlatar-belakang pada tradisi umat Israel. Penggunaan abu sebagai tanda perkabungan dan penyesalan dosa dapat dilihat dalam beberapa bagian Alkitab Perjanjian Lama. Di Ayub 42:6, Ayub berkata kepada Allah: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Ucapan Ayub tersebut merupakan akhir pergumulan imannya setelah merenungkan realita penderitaannya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Tuhan. Di akhir pergumulannya Ayub kemudian dapat menyadari kesalahan dan keberdosaannya kepada Allah. Ia berkata: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb. 42:5). Selama ini Ayub menganggap dirinya telah berlaku benar dan memiliki iman, padahal kebenaran dan iman yang dimiliki Ayub tersebut berasal dari perkataan orang lain dan belum merupakan pengalaman perjumpaannya dengan Allah secara pribadi. Karena itulah Ayub mengaku di hadapan Allah akan dosa-dosanya dengan hati yang hancur dan mengekspresikan pertobatannya secara simbolis, yaitu “duduk dalam debu dan abu.”
Penggunaan abu sebagai ungkapan penyesalan dan pertobatan juga dapat kita lihat dalam Daniel 9:3, yaitu: “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” Daniel berpuasa dengan mengenakan kain kabung dan abu dalam rangka memohon pengampunan Allah atas dosa-dosa bangsanya. Daniel menyadari bahwa bangsanya, yaitu Israel telah memberontak dan berlaku jahat di hadapan Allah sehingga Allah menghukum mereka dengan pembuangan di Babel selama tujuh puluh tahun (Dan. 9:2). Dengan berpuasa mengenakan kain kabung dan abu, Daniel berharap akan kemurahan Allah sehingga Ia berkenan memulihkan umat-Nya. Sikap yang sama diperlihatkan oleh penduduk Niniwe setelah mereka mendengar rencana hukuman Allah. Di Yunus 3:5-6 mempersaksikan: “Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung. Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu.” Sangat menarik bahwa orang Niniwe yang digolongkan oleh umat Israel sebagai bangsa kafir, namun ternyata mereka mengenal ungkapan pertobatan melalui puasa dengan mengenakan kain kabung dan abu. Tampaknya ungkapan pertobatan melalui puasa dengan mengenakan kain kabung dan abu telah memiliki akar yang universal dalam tradisi masyarakat Timur Tengah.
Fr. Saunders dalam What Do The Ashes Mean menyatakan: “These Old Testament examples evidence both a recognized practice of using ashes and a common understanding of their symbolism” (http://www.ewtn.com/library/ANSWERS/ASHES.HTM).
Penggunaan Simbol sebagai Media Pengajaran
Kehidupan gereja sejak awal tidak pernah lepas dari simbol. Sebab simbol merupakan ekspresi dan bahasa yang mengungkap isi batin manusia. Gereja mengadopsi simbol-simbol iman yang terlihat dalam: 1). Sakramen gereja yaitu Baptis dan Perjamuan Kudus (air, roti, dan anggur), 2). Pusat iman kepada Kristus yang dilambangkan pada salib, 3). Ungkapan liturgis dengan posisi umat yang duduk atau berdiri, bel/lonceng, 4). Warna-warna liturgi (hijau, merah, ungu, putih, dan hitam). Beberapa simbol tersebut tidak ada dalam Alkitab namun digunakan oleh gereja, misal: bel/lonceng, lilin, dan warna-warna liturgi.
Selain itu dalam setiap Kebaktian Penguhan dan Pemberkatan Pernikahan, gereja dalam liturginya menggunakan pengenaan cincin mempelai. Padahal ritual pemasangan cincin dalam pernikahan tidak terdapat atau disebut oleh Alkitab. Tuhan Yesus tidak pernah memerintahkan agar dalam kebaktian pernikahan tersebut mempelai pria mengenakan cincin kepada mempelai wanita dan sebaliknya. Demikian pula Tuhan Yesus tidak pernah memerintahkan gereja-Nya untuk menggunakan bel, penyerahan Alkitab, lilin, ikon salib, dan sebagainya. Namun kita tahu bahwa simbol-simbol tersebut mendukung dan mengespresikan makna iman, sehingga melalui simbol-simbol tersebut umat dapat menghayati iman dan pengajaran gereja. Simbol-simbol tersebut berkaitan dengan sesuatu yang sakral dan di dalamnya mengandung keyakinan iman.
Susane K. Langer dalam Philosophy in a New Key: a Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art, menyatakan: “Simbol sebagai kunci baru untuk memahami bagaimana pikiran manusia berubah dari kebutuhan dasar kepada ekspresi diri. Segala bentuk aktivitas manusia termasuk bicara dan gerak-gerik, pujian dan pengorbanan diri bersifat ekspresi batiniah (http://www.anthonyflood.com/langerroutledge.htm). Dengan perkataan lain, simbol merupakan kegiatan mental manusia. Dalam filsafatnya Susane K. Langer telah membuktikan bahwa bahasa lisan dan tulisan bukanlah supremasi dalam mengekspresikan kedirian manusia, karena dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering mengekspresikan isi hati dan perasaannya melalui simbol.
Barber dalam bukunya yang berjudul The Story of Language membuat pembedaan antara tanda (sign) dengan simbol (symbol). Barber memberi contoh dengan gambar pertama tentang tanda lalu-lintas yang menunjuk pada dua orang anak-anak yang sedang berlari ke jalan, dan gambar kedua tentang obor yang menyala. Gambar pertama tentang dua orang anak-anak yang sedang berlari-lari merupakan tanda (sign) yang sifatnya jelas dan aktual yaitu agar kendaraan berhati-hati dan mengurangi kecepatan sebab kemungkinan ada anak-anak yang sedang berjalan atau berlari. Makna gambar pertama tersebut tidak perlu dijelaskan. Sedang gambar kedua tentang obor yang menyala mewakili semangat hidup yang menyala-nyala. Gambar kedua itulah simbol (symbol). Sebab gambar obor yang menyala bukan sekedar alat penerang di masa zaman belum mengenal listrik, namun dimaksud sebagai ekspresi batin yang berkobar-kobar. Jadi tanda (sign) bersifat mengisyaratkan suatu kenyataan yang jelas dan tak perlu ditafsirkan. Memaknai tanda (sign) tidak diperlukan perasaan subyektif, atau penjelasan ilmiah.
Sebaliknya simbol (symbol) bersifat abstrak, konotatif, kontemplatif, dan penuh arti. Simbol berasal dari kata Yunani, yaitu sumballoo, artinya: bertemu, berjumpa, benda ingat-ingatan. Kata sumballoo berasal dari kata kerja sumbalein yang artinya: mempersatukan, melemparkan yang satu kepada yang lain sehingga menjadi satu (sym = satu, balloo = melempar). Latar-belakangnya adalah orang-orang Yunani memiliki simbol persekutuan. Simbol persekutuan tersebut adalah berupa potongan papan kecil yang merupakan bagian dari suatu papan utuh. Potongan papan kecil tersebut diberikan kepada seseorang yang dikasihinya. Apabila mereka suatu saat berjumpa setelah lama berpisah, maka mereka akan mencocokkan potongan papan tersebut. Bila kedua potongan papan kecil tersebut dapat menyambung dengan utuh, maka peristiwa itu disebut sumboulion (bergabung, penyatuan) (Rachman 2009, 156). Karena itu kata “simbol” (symbol) dalam kehidupan gereja senantiasa melibatkan pertemuan dua pihak, yaitu Allah dan manusia yang terjadi dalam liturgi.
Liturgi merupakan media perjumpaan Allah dengan manusia. Allah menyatakan diri-Nya (dimensi katabatis, kata katabatis = turun) kepada manusia. Manusia memberi respons terhadap Allah (dimensi anabatis, kata anabatis = naik). Selain menjadi simbol perjumpaan secara personal antara Allah dan manusia, simbol juga mempertemukan dimensi waktu masa lalu dengan masa kini (Rachman 2009, 157). Tindakan-tindakan Allah di masa lalu yang dipersaksikan Alkitab dan tradisi gereja dipertemukan dengan tindakan-tindakan Allah di masa kini, yaitu pergumulan dan realitas konkret yang dialami oleh umat.
Dari ulasan di atas, kita dapat melihat bahwa fungsi penggunaan abu dalam Ibadah Rabu Abu bukanlah tanda (sign), tetapi bersifat simbolis (symbol). Sebab pengolesan abu menunjuk suatu dimensi kedalaman hidup manusia yang bersifat fana, rapuh, dan berdosa. Dimensi kefanaan, kerapuhan dan keberdosaan manusia tersebut dipertemukan dengan dimensi anugerah pengampunan Allah.
Dalam terang kekekalan dan kerahiman Allah, manusia disadarkan keberadaan dirinya sebagai ciptaan (mahluk) yang lemah dan berdosa. Melalui karya penebusan Kristus, umat dipanggil untuk bertobat dan mengalami pembaruan hidup. Dengan demikian simbol abu dalam ibadah Rabu Abu mengandung pengajaran iman, yaitu: melalui firman yang diberitakan dan simbol abu untuk mengekspresikan keberdosaan manusia dan rahmat Allah yang memulihkan serta mengampuni.
Rabu Abu sebagai Tradisi Gereja Roma Katolik?
Masa Prapaskah yang dimulai pada hari Rabu telah dimulai pada abad VI (waktu itu belum bernama “Rabu Abu”). Gereja memilih hari Rabu sebagai awal masa Prapaskah karena menurut tradisi, Yudas Iskariot mengkhianati Yesus pada hari Rabu, lalu pada hari Jumat, Yesus wafat disalibkan. Karena itu umat Kristen perdana melaksanakan puasa pada hari Rabu dan Jumat, berbeda dengan umat Israel yang merayakan puasa pada hari Senin dan Kamis.
Pada abad X, penggunaan abu dilakukan gereja pada hari Rabu sebagai awal Prapaskah, sehingga muncul istilah Rabu Abu. Tepatnya ibadah Rabu Abu telah dilaksanakan oleh gereja sejak 960 sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Talley di situs http://www.americancatholic.org/newsletters/cu/ac0204.asp yaitu: “Thomas Talley, an expert on the history of the liturgical year, says that the first clearly datable liturgy for Ash Wednesday that provides for sprinkling ashes is in the Romano-Germanic pontifical of 960.” Namun secara resmi ibadah Rabu Abu dengan pengolesan abu menjelang masa Prapaskah telah terjadi pada akhir abad XI – XIII yaitu melalui penetapan sidang Sinode di Benevento pada 1091 oleh Paus Urbanus II (Adolf Adam 1990, 98). Jika demikian, penetapan sidang Sinode di Benevento pada 1091 menjadi bagian dalam kehidupan gereja Reformatoris. Ibadah Rabu Abu bukan monopoli tradisi gereja Roma Katolik, namun juga gereja-gereja yang terikat dengan keputusan sidang Sinode di Benevento pada 1091. Itu sebabnya ibadah Rabu Abu selain gereja Roma Katolik juga dilakukan oleh gereja Anglikan, Lutheran, dan Methodist (http://en.wikipedia.org/wiki/Ash_Wednesday).
Gereja-gereja Protestan (reformatoris) yang bercorak Calvinis baru muncul setelah peristiwa reformasi gereja yang diawali dari protes Martin Luther pada 31 Oktober 1517, yaitu saat dia menempelkan 95 dalil di gereja Wittenberg Jerman. Sejak itu gereja yang semula satu, yaitu gereja Katolik (arti “katolik” adalah: Am) terpecah sehingga muncul gereja Reformatoris. Dengan memahami catatan sejarah ini berarti tanggal 31 Oktober 1517 merupakan tonggak waktu pemisah antara gereja Katolik dengan gereja Reformatoris. Tepatnya segala hal yang berkaitan dengan keputusan gereja Roma Katolik setelah 31 Oktober 1517 bukanlah keputusan gereja-gereja Reformatoris (Calvinis dan Lutheran). Jika demikian, segala hal yang berkaitan dengan keputusan gereja sebelum 31 Oktober 1517 adalah keputusan bersama. Itu sebabnya GKI dalam Tata Laksana pasal 13 menetapkan kebaktian Rabu Abu sebagai awal masa Prapaskah. Tidak mengherankan juga jikalau gereja-gereja Reformed dan Evangelical (Injili) di berbagai belahan dunia kini melaksanakan ibadah Rabu Abu dengan mengoleskan abu di dahi jemaat. Mereka melakukan dengan suatu kesadaran teologis tentang ikatan dalam tradisi gereja dan pentingnya mewujudkan keesaan gereja sebagai Tubuh Kristus.
Koyakkan Hatimu dan Jangan Pakaianmu
Di Yoel 2:13, Allah berfirman: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” Ayat ini sering dipakai untuk menolak penggunaan simbol termasuk simbol abu dalam Ibadah Rabu Abu. Dasar penolakannya sebab yang utama dalam kehidupan umat adalah pertobatan hati, dan bukan penggunaan simbol-simbol yang lahiriah. Karena itu agar kita dapat memeroleh pemahaman yang utuh, kita akan mengulas latar-belakang dan pemikiran Yoel 2:13.
Latar-belakang Yoel 2:13 adalah umat yang mengutamakan sikap ritualistik, sehingga mereka mengabaikan pertobatan hati. Sikap ritualistik adalah pola kerohanian yang dibangun di atas keampuhan (khasiat) ibadah, namun dalam kehidupan sehari-hari umat mempraktikkan ketidakadilan, keserakahan, kesewenang-wenangan, dan kejahatan. Umat Israel pada waktu itu keliru memahami makna ibadah kepada Allah sebagai ritualisme, dan mengabaikan spiritualitas. Namun pengabaian umat terhadap spiritualitas yang diekspresikan dalam ritual/ibadah bukan berarti Yoel 2:13 bermaksud untuk meniadakan ibadah.
Douglas Stuart dalam Word Biblical Commentary Hosea – Jonah menyatakan: “In each of these intances, the fuller context shows no prophetic disdain for the sacrificial system per-se” (Stuart 1987, 252). Stuart menggarisbawahi bahwa makna Yoel 2:13 bukan dimaksudkan untuk meremehkan atau menghina pelaksanaan ibadah sebagaimana diatur oleh Hukum Taurat. Teguran Nabi Yoel adalah karena ibadah dipahami umat sebagai media untuk “menyenangkan hati” Allah melalui jumlah persembahan yang dikorbankan. Di Yesaya 1:13 Allah berfirman: “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.” Persembahan dalam ibadah tersebut tidak lahir dari hati yang remuk dengan menyadari dosa-dosanya, tetapi umat berupaya untuk “menyuap” Allah agar Dia tidak murka. Karena itu di Yoel 2:12 dengan sikap senada yang menjadi konteks Yoel 2:13 menyatakan: “Tetapi sekarang juga, demikianlah firman TUHAN, berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Allah menghendaki penyesalan dosa, pertobatan, dan puasa yang lahir dari hati yang mengasihi, bukan ritualisme. Sebab dalam ritualisme menyuburkan sikap munafik, pura-pura rohani, merasa diri hidup suci padahal praktiknya umat hidup dengan berbagai kejahatan. Namun penolakan Allah terhadap ritualisme tidak berarti Kitab Suci bertujuan menyingkirkan umat untuk beribadah dengan ritus-ritus (liturgi). Sebab yang ditolak oleh Allah dan Kitab Suci adalah ibadah yang dimanipulasi oleh kepentingan diri/duniawi, tetapi ibadah yang benar harus senantiasa dijaga dan dipelihara.
Di Yesaya 58:6, Allah berfirman: “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk.”
Makna puasa yang dikehendaki Allah adalah umat dapat menjadi agen-agen yang membela keadilan, pembebas bagi sesama yang tertindas, penyelamat kehidupan, dan menciptakan damai-sejahtera. Karena itu yang ditolak Allah adalah ibadah puasa yang ritualistik dan tidak dilandasi oleh sikap iman. Sikap ritualisme yang penuh dengan kemunafikan dan kerohanian yang dangkal tersebut terlihat dari Yesaya 58:5, yaitu: “Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN?” Umat melakukan ibadah puasa mengenakan kain kabung dan menaburkan abu sebagai lapik tidurnya dengan sikap yang manipulatif. Simbol kain kabung dan menaburkan abu tidak dihayati sebagai manifestasi dari pertobatan hati namun sebagai perisai kemunafikan.
Berita Yesaya 58:5 mempersaksikan bahwa yang ditolak Allah adalah penyelewengan makna ibadah, dan bukan ibadah pada dirinya sendiri. Karena ibadah pada dirinya sendiri merupakan suatu ritus yang dianugerahkan Allah untuk menjadi media perjumpaan Allah dengan umat-Nya. Dengan demikian kesadaran tentang pertobatan yang lahir dari hati yang hancur bukan berarti meniadakan ritus penggunaan abu. Karena penggunaan simbol abu dalam kebaktian Rabu Abu bukan dimaksudkan untuk memanipulasi pertobatan umat. Penggunaan simbol abu dalam kebaktian Rabu Abu bertujuan untuk mengekspresikan kesadaran iman umat akan keberadaannya yang fana dan berdosa, dan bukan untuk menyembunyikan kemunafikan umat atau kesalehan yang palsu. Penggunaan simbol abu dalam kebaktian Rabu Abu justru mengingatkan umat agar tidak memanipulasi makna pertobatannya di hadapan Allah. Tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam praktik ibadah, umat dapat memanipulasi penggunaan abu dalam kebaktian Rabu Abu. Tetapi bukankah semua hal yang suci dapat dimanipulasi oleh umat? Sakramen-sakramen gereja, yaitu sakramen baptisan dan sakramen Perjamuan Kudus juga dapat dipakai untuk menutupi kebobrokan dan kejahatan seseorang. Umat juga dapat memanipulasi dengan memberi persembahan yang fantastis padahal uang persembahan tersebut berasal dari hasil memeras, menipu dan korupsi dengan tujuan mencari pujian atau sanjungan dari banyak orang. Namun praktik manipulasi dalam kehidupan beriman tidak berarti gereja meniadakan ritus persembahan dan sakramen. Manipulasi dalam berbagai bentuk harus diperangi agar ibadah kepada Tuhan menjadi ibadah yang murni dan berkenan di hadapan-Nya.
Menguatkan Tradisi Iman dan Keesaan Gereja
Makna perayaan hari raya gerejawi adalah memeringati dan mempersaksikan karya keselamatan Allah dalam kehidupan Kristus. Untuk itu gereja menggali kekayaan firman Tuhan yang dipersaksikan Alkitab dan dihidupi dalam tradisi gereja. Kata “tradisi” berasal dari kata Latin, yaitu traditio, dan kata kerjanya adalah tradere atau traderer yang artinya: mengirimkan, menyerahkan, memberi untuk dipelihara. Dalam kata traditio menunjuk pada suatu kekayaan nilai-nilai dan spiritual yang layak diwariskan sebab di dalamnya mengandung ciri, identitas, hikmat, dan prinsip-prinsip iman yang abadi. Karena itu Tuhan Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Kata “menggenapi” berarti: memulihkan kembali atau memulihkan ke maksud-tujuannya yang semula” (Olst 1998, 19). Dengan demikian, Tuhan Yesus menghormati tradisi yang diterima umat Israel sebagaimana tertuang dalam Hukum Taurat dan kitab para nabi. Melalui kehidupan dan karya-Nya, Tuhan Yesus memulihkan kembali tradisi yang asali sehingga tradisi tersebut bermakna dan menghidupi iman umat. Selain itu kita perlu mengingat bahwa proses penulisan Alkitab juga tidak terlepas dari tradisi umat percaya yang mengingat, menghafal, dan mengajarkan firman Tuhan yang diwahyukan melalui tradisi lisan (oral-tradition). Alkitab tertulis yang kita miliki, semula merupakan kumpulan dari tradisi lisan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu kita tidak perlu menyingkirkan tradisi lisan dan tertulis yang telah dimiliki oleh gereja secara universal sebagai warisan iman seperti: tradisi pengolesan abu pada Ibadah Rabu Abu, dan tradisi membasuh kaki pada Ibadah Kamis Putih.
Kekuatiran yang muncul dalam kehidupan umat adalah tradisi-tradisi gerejawi tersebut akan menyingkirkan tradisi lokal suatu jemaat. Sebab bukankah di samping tradisi dalam kehidupan gereja perdana dan sebelum Reformasi, jemaat-jemaat setempat juga memiliki tradisi lokalnya? Misalnya jemaat GKI Perniagaan Jakarta memiliki tradisi iman yang terus dihidupi, yaitu “menjadi jemaat yang misioner.” Apakah tradisi menjadi jemaat yang misioner tersebut akan sirna dengan mempraktikkan ritus pengolesan abu dalam Kebaktian Rabu Abu? Jawabannya adalah: “Tidak.” Dalam buku Visi-Misi dan Strategi Pencapaian Program Pelayanan 2014-2018 (Empat Pilar Hidup Bergereja), arti “misioner” dirumuskan, yaitu: “Sifat misioner jemaat GKI Perniagaan adalah pada misi Allah sendiri. Karena itu sifat misioner jemaat GKI Perniagaan bertumpu secara hakiki pada misi Allah, sehingga setiap umat adalah pelaksana misi Allah di dalam dan bagi dunia. Setiap umat adalah pelaku Pembangunan Jemaat” (hal. 14). Hakikat dan makna jemaat yang misioner adalah misi Allah, yaitu melaksanakan karya keselamatan Allah di dalam Kristus. Karena itu umat dipanggil agar hidup menyerupai Kristus (imitatio Christi). Kristus dalam seluruh hidup-Nya memulihkan kembali tradisi iman agar menjadi tradisi yang hidup dan membangun iman umat dalam persekutuan dengan Allah melalui diri-Nya. Kristus juga melaksanakan misi Allah dengan menyadarkan umat akan kefanaannya (Luk. 12:13-21), keberdosaannya sehingga umat dipanggil untuk bertobat (Mark. 1:15), dan penyesalan dengan berpuasa dan mengenakan abu (Mat. 11:21). Jadi menghidupkan kembali tradisi Rabu Abu justru membangkitkan jiwa misioner umat secara alkitabiah sehingga makna misioner bukan dipahami sebagai tindakan mengalahkan, menaklukkan, dan “memenangkan” jiwa. Pola “misioner” seperti ini justru jauh dari sifat dan karakter Kristus yang mengosongkan diri-Nya. Makna misioner yang alkitabiah adalah memberlakukan misi Allah yang menyelamatkan umat dengan kerendahan hati dan pertobatan, sehingga orang yang menerima Injil diperbarui karena sentuhan kasih Allah yang tanpa syarat. Istilah “memenangkan jiwa” di sini boleh dipakai bila makna “memenangkan jiwa” tersebut ditempuh dengan cinta-kasih dan pengampunan, bukan dengan superioritas rohani. Spiritualitas inilah yang diteladankan oleh Rasul Paulus. Dia memenangkan banyak orang dengan cara merendahkan diri dan berempati dengan setiap orang yang dilayaninya (1Kor. 9:19-22).
Di tengah-tengah realita perpecahan gereja, umat mendengar doa Tuhan Yesus, yaitu: “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Gereja yang percaya dan mengasihi Kristus adalah gereja yang memiliki komitmen iman untuk mewujudkan doa Tuhan Yesus, yaitu agar gereja yang beranekaragam dapat menjadi gereja yang esa, sehingga keanekaragaman denominasi tersebut tidak menciptakan dinding-dinding pemisah. Tanpa keesaan gereja, maka dunia tidak akan percaya bahwa Allah yang mengutus Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Keesaan gereja akan terjadi jikalau gereja-gereja Tuhan tidak menonjolkan tradisi lokalnya sedemikian rupa sampai menenggelamkan tradisi bersama yang pernah dihidupi dan dihayati oleh umat percaya. Pada sisi lain tradisi bersama tersebut juga tidak dimaksudkan untuk menenggelamkan tradisi lokal setiap jemaat.
Tradisi bersama tersebut justru membangun jembatan antar jemaat yang berbeda-beda, menjadi satu tubuh, yaitu TUBUH KRISTUS yang esa. Dengan demikian tradisi bersama yang kini diwujudkan dalam hari raya gerejawi menjadi tradisi iman yang menyatukan gereja-gereja Tuhan. Hari raya gerejawi yang dimaksudkan adalah: masa Adven (4 minggu), masa Natal, Epifani (6 Januari), Yesus dibaptis (Minggu pertama setelah Epifani), Minggu biasa setelah Epifani, Transfigurasi, Rabu Abu, Prapaska (6 minggu), Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, Paskah (Kebangkitan Kristus), Minggu sesudah Paskah (6 minggu), Kenaikan Tuhan Yesus, Minggu ketujuh sesudah Paskah, Pentakosta, Trinitas, Minggu-Minggu Biasa (selama 6 bulan), dan akhirnya Kristus Raja (1 minggu sebelum Adven I). Semua hari raya gerejawi tersebut pada hakikatnya berpusat pada kehidupan dan karya Kristus. Karena itu teologi hari raya gerejawi pada hakikatnya bersifat Kristosentris (Kristus sebagai pusat hidup umat percaya). Jadi pusat ibadah Rabu Abu adalah Kristus, yang mana melalui simbol abu kita diingatkan dan disadarkan bahwa umat membutuhkan penebusan Kristus sebab umat tidak dapat menyelamatkan diri karena kefanaan dan keberdosaannya. Setiap umat membutuhkan belas-kasihan dan kerahiman Allah, karena kita ini adalah debu, dan akan kembali menjadi debu.
Daftar Acuan
Adam, Adolf. 1990. The Liturgical Year: Its History and Its Meaning after the Reform of the Liturgy. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press.
Calvin, Johanes. 1980. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Barber, C.L. 1972. The Story of Language. London: The Chaucer Press
GKI Perniagaan, Majelis Jemaat. 2013. Visi-Misi dan Strategi Pencapaian Progrram Pelayanan 2014-2018 (Empat Pilar Hidup Bergereja). Jakarta: GKI Perniagaan
Langer, Susane K. 1942. Philosophy in a New Key: a Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
Olst, van E.H. 1998. Alkitab dan Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Puthiadam, Ignatius. 2003. Christian liturgy: the re-presentation of the greatest God-human story. Bandra, Mumbai: St. Paul.
Rachman, Rasid. 2009. Hari Raya Liturgi (Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja). Jakarta: BPK Gunung Mulia
Stuart, Douglas. 1987. Word Biblical Commentary Hosea – Jonah. Waco, Texas: Word Books Publisher.
Situs
http://www.anthonyflood.com/langerroutledge.htm
(http://www.ewtn.com/library/ANSWERS/ASHES.HTM).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono