Latest Article
Makna Pengurapan Yesus (Yoh. 12:1-8)

Makna Pengurapan Yesus (Yoh. 12:1-8)

Minggu Prapaskah V Tahun C

Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu (Yoh. 12:3).

Yesus telah diurapi dan ditahbiskan sebagai Mesias dalam peristiwa baptisan di Sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Pengurapan-Nya sebagai Mesias terjadi bersamaan dalam peristiwa baptisan. Lalu di Minggu Prapaskah V dengan bacaan dari Yohanes 12:1-8 khususnya di ayat 3 menyatakan bahwa Maria meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu. Apakah ini berarti Yesus mengalami 2x pengurapan? Pertama, saat Yesus dibaptis di Sungai Yordan. Kedua, saat Yesus diundang di rumah Lazarus yang telah dibangkitkan dari kematian. Apabila kita tidak cermat, maka kesan Yesus telah diurapi sebanyak 2x akan menjadi persepsi yang keliru. Minimal judul tersebut menyiratkan bahwa seakan-akan Yesus telah diurapi 2x, pertama oleh Allah, dan kedua oleh seorang manusia bernama Maria. Pengurapan Yesus yang pertama oleh Allah di sungai Yordan bisa ada kesan dianggap kurang lengkap sehingga dilakukan pengurapan kedua oleh Maria.

            Di Yohanes 12:3 menyatakan: “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.” Kata “meminyaki” berasal dari kata eleipsen yang artinya “menuangkan dengan minyak” biasanya minyak parfum yang harum. Bandingkan kata “eleipsen” tersebut dengan “chrisma” yang terdapat di surat 1 Yohanes 2:20, yaitu: “Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya.”

Kata “pengurapan” dalam konteks ini (1Yoh. 2:20) menggunakan kata chrisma, bukan: eleipsen. Penggunaan kata chrisma kemudian diulang 2x lagi dalam surat 1 Yohanes 2:27, yaitu: “Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari pada-Nya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya mengajar kamu tentang segala sesuatu–dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta–dan sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di dalam Dia.”

            Penggunaan kata “pengurapan” di surat 1 Yohanes 2:20, 27 dengan kata chrisma menunjukkan pada pengurapan dari Tuhan yaitu Roh Kudus. Melalui pengurapan Roh Kudus umat yang menerimanya akan memperoleh peneguhan dan karunia iman. Dalam gereja Roma Katolik, pemberian sakramen khrisma diberikan dengan cara meletakkan tangan imam di atas dahi umat seraya membubuhkan minyak dan doa pencurahan Roh Kudus. Sebenarnya dalam gereja-gereja Protestan juga mempraktikkan sakramen Khrisma, yang dinyatakan melalui peneguhan/sidi. Makna dari sidi adalah suatu konfirmasi bahwa seorang yang telah dibaptis dengan penuh kesadaran menyatakan sikap imannya kepada Allah di dalam Kristus dan persekutuan Roh Kudus.

            Sangat jelas bahwa makna “pengurapan” yang dilakukan oleh Maria kepada diri Yesus bukan dalam pengertian chrisma, yaitu pengurapan karena Yesus dianggap seperti “anggota jemaat” yang mengaku iman dan menerima Roh Kudus. Sama sekali bukan dalam pengertian ini! Sebaliknya Yesus selaku Tuhan adalah sumber iman dan di dalam diri-Nya dipenuhi oleh seluruh ke-Allah-an. Kolose 1:19 menyatakan: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (lihat juga Kol. 2:9). Tindakan Maria lebih tepat bukan “mengurapi” Yesus tetapi “meminyaki” dalam pengertian menuangkan atau membubuhkan minyak ke kaki Yesus. Maknanya sebagai penghormatan yang begitu dalam (takzim). Minyak yang dituangkan oleh Maria adalah minyak narwastu. Harga minyak narwastu yang dituangkan ke kaki Yesus pada zaman itu senilai upah orang bekerja selama 1 tahun. Jadi minyak narwastu yang dituangkan oleh Maria sangat mahal dan begitu berharga.

            Alasan Maria menuangkan minyak narwastu ke kaki Yesus didasarkan pada ucapan syukur dan kasih yang mendalam. Menurut Injil Lukas, Maria yang meminyaki kaki Yesus tersebut disebabkan karena ia telah dibebaskan dari “tujuh roh jahat” (Luk. 7:38, 8:2). Namun Injil Yohanes hanya menyebutkan tindakan Maria yang meminyaki kaki Yesus tersebut dalam konteks ucapan syukur karena Lazarus saudaranya telah dibangkitkan dari kematian oleh Yesus. Alasan utama yang dilakukan oleh Maria adalah dia begitu mengasihi Lazarus. Ia sangat berbahagia dan mengucap syukur saat Lazarus dapat hidup kembali karena dibangkitkan oleh Yesus.

Kita dapat melihat makna terdalam dari tindakan Maria yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu. Kasih yang tulus kepada saudaranya yang telah diizinkan Tuhan dapat hidup kembali sehingga ia mengucap syukur. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kontras dalam relasi antar saudara. Hubungan antara saudara sebagai kakak-adik yang diwarnai oleh permusuhan, konflik dan pertikaian. Di antara mereka ada yang menghendaki agar salah satu dari saudaranya itu dapat segera mati. Dari beberapa berita kita menjumpai bagaimana kakak membunuh adiknya dengan cara yang begitu kejam.

            Banyak orang-tua yang berhasil mendidik anak-anaknya sampai mereka berhasil mencapai tingkat pendidikan tinggi dan sukses secara materi. Tetapi sayangnya para orang-tua itu gagal mewariskan nilai-nilai persaudaraan kepada anak-anaknya. Bahkan tanpa disadari orang-tua sering mendidik anak-anak dalam hubungan sebagai saudara dalam relasi kompetisi atau bersaing. Kakak dibandingkan dengan adiknya, dan sebaliknya. Karena itu tidak mengherankan jikalau mereka bertumbuh menjadi pribadi yang saling iri-hati, ingin menjadi terkemuka dan mengalahkan. Kita perlu memeriksa apakah kita telah mewariskan (legacy) cinta-kasih di antara anak-anak yang tulus sehingga mereka saling menguatkan dan meneguhkan saat menghadapi kesusahan dan kesulitan? Apakah mereka saling bersyukur apabila salah seorang dapat selamat dari bencana sebagaimana yang telah dilakukan oleh Maria kepada Lazarus saudaranya?

            Apabila motivasi utama Maria adalah mengucap syukur atas karunia Kristus yang telah membangkitkan Lazarus saudaranya, ternyata Yesus memberi makna yang lebih dalam. Di Yohanes 12:7 Tuhan Yesus berkata: “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku.” Yesus memaknai tindakan Maria meminyaki kaki-Nya sebagai peristiwa yang menunjuk kepada kematian dan penguburan-Nya. Peristiwa Yesus membangkitkan Lazarus membawa pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan umat Israel waktu itu. Banyak orang Yahudi percaya kepada Yesus (Yoh. 12:19). Tetapi di pihak lain menyebabkan orang-orang Farisi dan imam kepala semakin membenci Yesus. Di Yohanes 12:10 menyatakan bagaimana para imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus yang telah dibangkitkan oleh Yesus. Setelah itu mereka merencanakan untuk membunuh Yesus. Karena itu peristiwa kebangkitan Lazarus menjadi bingkai teologis untuk memahami kebangkitan Yesus yang wafat di atas kayu salib. Dalam pandangan Yesus, Maria telah meminyaki kaki-Nya sebelum Ia wafat. Maria telah menunjukkan tindakan kasih yang konkret menjelang kematian-Nya.  

            Ucapan Yesus yang menyatakan: “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku” (Yoh 12:7) juga dapat dimaknai betapa penting kita menyatakan kasih dan penghormatan kepada orang-tua dan anggota keluarga selama mereka masih hidup. Dalam hidup sehari-hari kita menjumpai kasus anggota keluarga yang menelantarkan orang-tua yang sudah renta. Tetapi saat orang-tua meninggal mereka menunjukkan upacara yang spektakuler. Mereka abaikan dan telantarkan orang-tua saat mereka hidup, tetapi kontrasnya mereka memperlihatkan penghormatan saat mereka wafat. Tujuannya adalah agar banyak orang melihat bahwa mereka mengasihi orang-tua tersebut. Bukankah seharusnya cinta-kasih, kepedulian dan hormat kepada orang-tua diutamakan saat mereka masih hidup. Perilaku kasih yang dipamerkan saat orang-tua meninggal tentu bukan lahir dari hati yang tulus, sebaliknya sikap kepalsuan atau kemunafikan.

            Apabila Yesus menghargai tindakan Maria meminyaki kaki-Nya dengan minyak narwastu yang begitu mahal, tidaklah demikian dengan tanggapan Yudas Iskariot. Di Yohanes 12:5 Yudas Iskariot menegur Maria, yaitu: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Kesan yang kita tangkap dari ungkapan Yudas Iskariot adalah ia seorang yang peduli dengan penderitaan orang-orang miskin. Sekilas apa yang dikatakan oleh Yudas Iskariot mengandung kebenaran. Sebab minyak narwastu yang harganya sampai 300 dinar tersebut akan terbuang sia-sia saat ditumpahkan di kaki Yesus. Bukankah lebih berharga dan bermanfaat apabila minyak narwastu itu dijual, dan dari hasil penjualan itu uang senilai 300 dinar diberikan dan dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin?

Namun ungkapan Yudas Iskariot yang saleh itu dikoreksi oleh Yohanes 12:6, yaitu: “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.” Motif tersembunyi dari Yudas Iskariot adalah ia ingin menikmati hasil penjualan minyak narwastu. Sebab selama ini dalam kedudukannya sebagai seorang bendahara, Yudas Iskariot menyalahgunakan uang yang dipegangnya untuk kepentingan pribadi.

            Karakter dan mentalitas Yudas Iskariot dapat terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang sering meneriakkan kepentingan jemaat ternyata melakukan manipulasi. Tidak jarang dalam kehidupan jemaat kita menjumpai orang-orang yang menyalahgunakan uang persembahan jemaat untuk kepentingan pribadinya. Para pejabat yang bersuara vokal membela kesejahteraan rakyat ternyata juga adalah para koruptor. Suara vokal yang kritis memang diperlukan untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang lebih tertib, jujur, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi suara vokal yang kritis juga dapat menjadi media manipulatif untuk menyembunyikan kepalsuan dan kejahatan seseorang.

Bagaimana kita dapat membedakan vokal yang kritis untuk kebaikan sesama dan kemuliaan Tuhan dengan vokal yang kritis sebagai media kepalsuan seseorang? Untuk membedakan suara vokal yang kritis adalah apabila kehidupan dia menyatakan secara konkret kasih yang total sebagaimana yang telah dilakukan oleh Maria. Apakah dia dalam melayani Tuhan bebas dari motif ekonomis? Apakah ia bersedia memberikan persembahan diri secara total? Apakah ia bersedia merendahkan diri sebagaimana Maria bersedia menyeka kaki Yesus dengan rambut atau kehormatannya?

Merefleksikan tindakan Maria yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu dan menyeka dengan rambutnya, maka motif-motif dalam hidup menggereja dan melayani Tuhan dalam kehidupan kita ternyata masih jauh dari ideal. Kita masih dikuasai oleh “tujuh roh jahat” sebagaimana yang dikisahkan oleh Injil Lukas tentang Maria sebelum ia mengenal Kristus (Luk. 7:38, 8:2). Sesungguhnya setiap kita juga membutuhkan pemulihan dan pembebasan dari kuasa-kuasa jahat apabila ingin mengikut Kristus dengan total. Realitas roh-roh jahat dalam kehidupan kita berwujud, yaitu: nilai-nilai duniawi, kebiasaan buruk, motif dan keinginan daging, serta karakter yang tidak terpuji.

Apabila kita memiliki salah satu atau beberapa dari roh-roh jahat itu, maka apa pun yang kita lakukan walau tampaknya telah sesuai standar “kesalehan” sesungguhnya kita sedang memanipulasinya. Kesalehan yang tampak dari luar harus lahir dari hati yang murni. Tanpa kemurnian hati, kita akan berperilaku sebagai pengejahwantahan dari roh Yudas Iskariot, bukan sebagai Maria yang dipuji dan berkenan di hadapan Kristus. Karakteristik roh Yudas Iskariot senantiasa ditandai oleh ketamakan dan kemunafikan. Sebaliknya karakteristik roh Maria mengungkapkan persembahan diri yang harum dan hidup yang penuh ucapan syukur.

Sumber gambar: https://sangsabda.wordpress.com/tag/kaki-yesus-diurapi-oleh-perempuan-berdosa/

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono