Latest Article
Masa Minggu Biasa III (Minggu, 12 Juni 2016)

Masa Minggu Biasa III (Minggu, 12 Juni 2016)

Keinsafan dalam Pelukan Anugerah Allah

(2Sam. 11:26-12:10, 13-15; Mzm. 32; Gal. 2:15-21; Luk. 7:36-8:3)

Pada Masa Minggu III bacaan Alkitab yang tersedia menampilkan seorang tokoh, yaitu seorang wanita yang dianggap “perempuan yang berdosa.” Apakah makna dan penempatan tokoh dalam konteks ini telah tepat? Bukankah umumnya makna tokoh untuk menunjuk pada kedudukan seseorang yang terkemuka atau kenamaan di bidangnya. Tokoh adalah seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seorang perempuan yang berdosa tentu bukanlah seorang yang terkemuka atau kenamaan di bidangnya. Makna “perempuan yang berdosa” umumnya dipahami seorang wanita yang menjual tubuhnya sehingga seks yang dijual bukanlah suatu kenamaan yang membanggakan. Sebaliknya suatu “pekerjaan” para wanita tersebut dianggap nista dan begitu rendah. Wanita yang menjual seks dengan berbagai nama yang biasanya “diperhalus” tetaplah hina. Anehnya para pria yang membeli seks dari para wanita tersebut tidak pernah mendapat predikat yang setimpal. Masyarakat tetap menganggap tindakan para pria pembeli seks dari para wanita sebagai tindakan yang biasa saja dalam pengertian tidak terhormat namun juga bisa dipahami. Karena itu dalam hubungan sosial, wanita penjual seks senantiasa berada dalam posisi yang tersingkir. Sebab apapun yang mereka lakukan tetaplah dianggap negatif dan suara atau pemikiran mereka tidak mungkin diperhatikan oleh siapapun.

Alasan Injil Lukas mengangkat tokoh “wanita yang berdosa” bukan dimaksudkan bahwa Yesus mendukung dan menyetujui tindakan atau perbuatan yang ia lakukan. Namun alasan utama Injil Lukas mengangkat tokoh “wanita yang berdosa” adalah melihat keberadaan seorang yang bersalah atau berdosa tidak dalam perspektif “hitam-putih.” Dalam kehidupan seorang yang bersalah dan berdosa ternyata masih memiliki ruang manusiawi yang luhur. Seorang yang hina secara sosial tidak berarti dia tidak mampu menampilkan watak yang terpuji. Di Lukas 7:37 menyatakan: “Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi.” Injil Lukas tidak menyebutkan nama perempuan tersebut. Dia anonim. Predikatnya hanyalah “perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa.” Namun dia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang terhormat dan “tidak berdosa” yaitu sikapnya yang responsif dan rendah-hati. Perempuan tersebut merespons apa yang dia dengar tentang Yesus yang sedang makan di rumah orang Farisi. Dia datang menemui Yesus, tetapi dia tidak datang dengan tangan hampa. Dia datang dengan membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Minyak wangi itu dia peruntukkan khusus bagi Yesus.

Namun minyak wangi tersebut bukan alat penyuap Yesus bagi kepentingan pribadinya, tetapi dipakai untuk mengolesi kaki Yesus bersama dengan air mata penyesalan akan dosa-dosanya. Minyak wangi yang tersimpan dalam buli-buli pualam menunjuk pada kualitas minyak wangi yang sangat mahal harganya, tetapi dipakai oleh perempuan tersebut untuk mengolesi kaki Yesus. Selain itu perempuan tersebut membasahi kaki Yesus dengan air matanya seraya menyeka dengan rambutnya yang panjang. Tindakan perempuan tersebut mengekspresikan satu makna dan motivasi, yaitu ungkapan hati yang hancur dan kerinduan untuk memeroleh pengampunan dari Sang Juruselamat. Ia mengungkapkan dengan cara yang unik dan tidak biasa, yaitu memakai bahasa simbol minyak wangi yang ditumpahkan dan luapan isi hati yang tercurah dalam bentuk air mata, serta rambutnya yang diuraikan untuk menyeka kaki Yesus. Minyak wangi yang tersimpan dalam buli-buli pualam dengan harga yang mahal adalah diperoleh dari hasil kerja kerasnya sebagai seorang perempuan penjual seks. Tetapi kini seluruh pendapatannya itu dia tumpahkan ke kaki Yesus, padahal minyak wangi itu merupakan hasil kerja kerasnya. Dia tidak memaknai hasil kerja kerasnya yang dianggap haram itu sebagai sesuatu yang layak dinikmati untuk kesenangannya, tetapi dikembalikan kepada Kristus Sang Juruselamat. Air matanya tercurah bukan hasil rekayasa, tetapi lahir dari luapan hati yang begitu menyesal untuk memeroleh anugerah pengampunan Allah. Rambutnya yang terurai sebagai alat penyeka kaki Yesus menegaskan bahwa seluruh kehormatannya sebagai wanita dipersembahkan di kaki Kristus.

Melalui tindakan perempuan yang terkenal sebagai orang berdosa itu Injil Lukas menunjukkan bahwa seseorang yang dianggap sampah masyarakat ternyata masih memiliki hati yang mulia. Karena itu ia memeroleh karunia keselamatan Allah dengan kesediaannya untuk dibarui. Sikap yang kontras justru diperlihatkan oleh orang Farisi yang mengundang Yesus ke rumahnya. Orang Farisi tersebut memandang dengan sinis seraya berkata: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa” (Luk. 7:39). Bagi Yesus tindakan perempuan tersebut sangatlah luhur, tetapi dalam pandangan orang Farisi tersebut tindakan perempuan itu tidaklah pantas sebab ia seorang yang berdosa. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa orang Farisi yang bernama Simon itu berpikir secara negatif terhadap perempuan yang menyeka kaki Yesus dengan air mata dan rambutnya? Jawabannya adalah karena Simon sebagai orang Farisi tidak membutuhkan pengampunan yang begitu besar dari Allah sebab ia merasa hidupnya telah saleh dibandingkan dengan perempuan yang berdosa itu.

Namun minyak wangi tersebut bukan alat penyuap Yesus bagi kepentingan pribadinya, tetapi dipakai untuk mengolesi kaki Yesus bersama dengan air mata penyesalan akan dosa-dosanya. Minyak wangi yang tersimpan dalam buli-buli pualam menunjuk pada kualitas minyak wangi yang sangat mahal harganya, tetapi dipakai oleh perempuan tersebut untuk mengolesi kaki Yesus. Selain itu perempuan tersebut membasahi kaki Yesus dengan air matanya seraya menyeka dengan rambutnya yang panjang. Tindakan perempuan tersebut mengekspresikan satu makna dan motivasi, yaitu ungkapan hati yang hancur dan kerinduan untuk memeroleh pengampunan dari Sang Juruselamat. Ia mengungkapkan dengan cara yang unik dan tidak biasa, yaitu memakai bahasa simbol minyak wangi yang ditumpahkan dan luapan isi hati yang tercurah dalam bentuk air mata, serta rambutnya yang diuraikan untuk menyeka kaki Yesus. Minyak wangi yang tersimpan dalam buli-buli pualam dengan harga yang mahal adalah diperoleh dari hasil kerja kerasnya sebagai seorang perempuan penjual seks. Tetapi kini seluruh pendapatannya itu dia tumpahkan ke kaki Yesus, padahal minyak wangi itu merupakan hasil kerja kerasnya. Dia tidak memaknai hasil kerja kerasnya yang dianggap haram itu sebagai sesuatu yang layak dinikmati untuk kesenangannya, tetapi dikembalikan kepada Kristus Sang Juruselamat. Air matanya tercurah bukan hasil rekayasa, tetapi lahir dari luapan hati yang begitu menyesal untuk memeroleh anugerah pengampunan Allah. Rambutnya yang terurai sebagai alat penyeka kaki Yesus menegaskan bahwa seluruh kehormatannya sebagai wanita dipersembahkan di kaki Kristus.

Di Lukas 7:41-43 Yesus memberi perumpamaan tentang dua orang yang berhutang sebesar lima ratus dinar dan yang satunya berhutang sebesar lima puluh dinar. Jika kedua orang tersebut dihapus hutangnya oleh kreditor, siapakah yang paling berhutang budi? Tentunya dia yang berhutang paling besar yaitu 500 dinar. Demikian pula halnya dengan perempuan yang berdosa itu. Dia merasa dosanya begitu besar dan tidak terampuni, sehingga ketika Tuhan Yesus mengampuni kesalahannya ia memerlihatkan cinta-kasih yang begitu besar dengan menumpahkan minyak wangi yang tersimpan dalam buli-buli pualam, menyekanya dengan air mata dan rambutnya. Sebaliknya orang-orang yang merasa dirinya “saleh” dan lebih baik daripada perempuan yang berdosa itu akan memberi respons dengan sikap yang biasa saja terhadap diri Yesus. Karena itu kepada Simon orang Farisi itu Yesus berkata: “Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya” (Luk. 7:44). Simon memperlakukan Yesus selaku tamu, tetapi perempuan yang berdosa itu memperlakukan Yesus sebagai Juruselamatnya. Melalui sikapnya perempuan itu telah menerima pengampunan. Yesus berkata: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih” (Luk. 7:47).

Perlu kita perhatikan bahwa tidak secara otomatis setiap orang yang berdosa akan bersikap seperti perempuan yang bersedia menyeka kaki Yesus dengan minyak wangi dan air matanya. Banyak orang yang berdosa justru semakin sombong dan keras hati. Tetapi perempuan yang menyeka kaki Yesus tersebut melakukan tindakan yang tidak biasa itu karena ia sungguh-sungguh menyadari keberdosaannya di hadapan Allah. Berbuat dosa dapat membuat seseorang menempuh tiga sikap yaitu: 1). Mengeraskan hati dengan terus berkanjang dalam dosa, 2). Merasa bersalah tetapi penyesalannya tidak cukup memadai untuk membawa dia kepada pembaruan, 3). Menyesal dan bertobat sehingga dia membutuhkan anugerah dan kerahiman Allah untuk menempuh hidup yang baru. Dari kesaksian Injil, tokoh perempuan yang berdosa itu memilih bentuk yang ketiga yaitu dia menyesal dan bertobat. Untuk itu dia membutuhkan anugerah dan kerahiman Allah agar dimampukan untuk mengalami pembaruan hidup. Dia tidak membenarkan diri dengan sikap berkeras hati melanjutkan kehidupan berzinah dengan banyak orang. Demikian pula perempuan tersebut tidak sekadar menyesal tetapi enggan bertobat. Dalam konteks ini anugerah Allah yang menyelamatkan dikaruniakan kepada seorang perempuan yang berada dalam tingkat spiritualitas yang sedang bankrut. Anugerah Allah bekerja tanpa syarat untuk memilih dan menyelamatkan umat manusia.

Anugerah Allah yang berdaulat dan tanpa syarat itu membuka ruang untuk mengundang dan membarui orang-orang yang dahulu hidup dalam belenggu dosa. Itu sebabnya kisah di Injil Lukas kisah perempuan yang berdosa menyeka kaki Yesus kemudian dilanjutkan dengan kisah para perempuan yang melayani Yesus. Latarbelakang para perempuan itu adalah: Maria Magdalena yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain (Luk. 8:2-3). Kesaksian ini menegaskan bahwa pintu pelayanan sebagai kawan sekerja Allah disediakan bagi setiap umat yang mampu merespons dengan sikap iman walau memiliki latarbelakang yang tercela. Sebaliknya Allah tidak memilih dan memakai orang-orang yang menganggap dirinya benar dan tidak membutuhkan anugerah keselamatan-Nya. Pada sisi lain kesaksian Injil Lukas menegaskan pula bahwa anugerah Allah senantiasa mengeksplorasi sisi-sisi yang positif dalam diri manusia dan memulihkan sisi-sisi negatif sehingga terbuka harapan dan pembaruan. Sebaliknya kuasa dunia cenderung mengeksplorasi sisi-sisi yang negatif dalam diri seseorang sehingga melumpuhkan sisi-sisi positif dengan akibat orang jahat semakin menjadi jahat.

Spiritualitas yang diteladankan Daud sangatlah berbeda dengan spiritualitas perempuan berdosa yang menyeka kaki Yesus. Daud bersikap menyesal dan bertobat setelah kesalahan dia dibuka oleh Nabi Natan. Sebaliknya perempuan itu menyesal dan bertobat yang lahir dari keinsafannya. Tokoh Daud berusaha menyembunyikan dosa dan kesalahannya setelah dia berzinah dengn Betsyeba dan membunuh Uria suami Betsyeba di medan perang. Kesaksian di 1 Samuel 11:27 menyatakan: “Setelah lewat waktu berkabung, maka Daud menyuruh membawa perempuan itu ke rumahnya. Perempuan itu menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak laki-laki baginya. Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN.” Tindakan Daud tersebut dinyatakan dengan lugas: “Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN.” Nabi Natan diutus Allah untuk membongkar kesalahan Daud dengan perumpamaan dua orang yang satunya kaya dan yang satunya miskin. Tokoh orang kaya itu merebut anak domba orang yang miskin. Mendengar kisah Nabi Natan itu Daud menunjukkan reaksinya, yaitu agar orang kaya itu segera dihukum mati dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan” (1Sam. 12:5-6). Pada saat itulah Nabi Natan berkata sambil menunjuk kepada diri Daud: “Engkaulah orang itu!” (2Sam. 12:7). Hukuman Allah kepada Daud adalah: “Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan mengambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu” (2Sam. 12:10).

Sebelum Daud ditegur oleh Nabi Natan, dia berupaya memerlihatkan kepada banyak orang bahwa dia adalah raja yang baik dan bijaksana dengan bersedia menikahi Betsyeba yang baru saja kehilangan suaminya Uria. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui bagaimana Daud dengan sangat licik dan lihai mengatur agar Uria dapat mati dalam peperangan sehingga dia dapat merebut istrinya, Betsyeba. Selain itu Daud berdosa kepada Tuhan dengan tujuan untuk memuaskan hasrat nafsu birahinya dengan merebut Betsyeba dari suaminya secara licik. Namun tidaklah demikian perempuan berdosa yang menyeka kaki Yesus. Dia jatuh dalam dosa maksiat karena ketidakberdayaannya mencari nafkah. Selain itu pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan tersebut harus dilalui dengan deraian air mata, penderitaan, penghinaan, dan kekerasan. Pernyataan ini bukan dimaksudkan untuk melemahkan standar moral gereja dalam menyikapi kasus perempuan yang menjual diri. Tetapi makna spiritualitas yang dinyatakan oleh perempuan tersebut lebih luhur sebab lahir dari keinsafan yang mendalam dan situasi ketidakberdayaan yang tidak mudah diatasi oleh siapapun bila ia berada dalam posisi perempuan itu.

Simon orang Farisi dalam kisah Injil Lukas dan Daud adalah orang-orang yang dekat dengan Allah namun mereka tidak memiliki keinsafan yang otentik. Di dalam lubuk hati mereka menganggap diri telah beriman kepada Allah dan senantiasa hidup saleh, namun secara kontradiktif tidak mampu merespons dengan tepat jujur di hadapan Allah. Dari sudut penilaian publik, sikap Simon orang Farisi dan Daud tidak terdapat suatu kesalahan yang mencolok. Simon orang Farisi telah berlaku sopan dengan mengundang Yesus ke rumahnya. Tokoh Daud dengan kekuasaannya sebagai raja memang berhak menyuruh prajuritnya untuk bertempur membela negara. Bahkan dari sudut pandang politis Daud telah berhasil menjadikan Uria sebagai seorang pahlawan sebab Uria telah mempertaruhkan hidupnya membela kepentingan negara. Tetapi tindakan mereka tidak secara otomatis dilandasi oleh keinsafan batin sebagai orang-orang berdosa dan yang membutuhkan anugerah serta kerahiman Allah. Karena itu Simon orang Farisi tidak memperlakukan Yesus sebagai Juruselamat. Demikian pula Daud tidak segera insaf setelah ia berdosa tetapi berupaya menyembunyikan dengan rapi. Dia baru menyatakan penyesalan dan pertobatannya setelah kejahatan dan dosanya terbongkar.

Jika demikian makna hidup sebagai umat Allah akan terwujud apabila setiap orang dilandasi oleh keinsafan batin sehingga mereka terbuka untuk dibarui dan menyambut anugerah pengampunan Allah. Keinsafan batin mereka lahir dari kesadaran akan keberdosaan dan sikap rendah hati sehingga mereka bersandar pada anugerah Allah yang memulihkan.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono