Latest Article
Yesus sekadar Utusan Allah? (Ulasan Yoh. 17)

Yesus sekadar Utusan Allah? (Ulasan Yoh. 17)

Sebelum peristiwa penderitaan dan kematian-Nya datang, Yesus mengangkat mata-Nya ke langit dan berdoa kepada Bapa-Nya. Isi Yohanes 17 merupakan “Doa Imam Besar,” yaitu sebuah percakapan yang begitu intim antara Sang Bapa dan Sang Anak yang telah berlangsung sejak sebelum waktu ada.

Dalam dialog Kristen-Islam, ayat ketiga dari pasal 17 ini sering menjadi bahan perdebatan. Para apologet Muslim mengutip Yoh. 17:3 untuk berargumen bahwa Yesus hanyalah utusan, bukan Allah, sebab menyatakan, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar (ton monon alēthinon theon), dan mengenal Yesus Kristus yang Engkau utus (hon apesteilas Iēsoun Christon).”

Saya memahami mengapa mereka sampai pada kesimpulan itu jikalau kita hanya membaca ayat ini secara terpisah dari konteksnya. Tetapi pendekatan semacam ini seperti mendengar satu nada dari simfoni Beethoven lalu kita mengklaim sudah memahami seluruh komposisinya. Konteks dibutuhkan untuk memahami suatu ayat dalam Alkitab. Kita harus membaca ayat dalam konteks suatu perikop, lalu bagaimana suatu perikop dalam konteks kitab, dan suatu kitab dalam konteks kanon keseluruhan.

Yesus membuka doa-Nya dengan kata-kata, “Bapa, telah tiba saatnya. Muliakanlah Anak-Mu.” Dalam tradisi Yahudi, kemuliaan (doxa dalam Yunani), atau kabod dalam Ibrani adalah atribut yang paling eksklusif milik Allah. Ketika Musa meminta melihat kemuliaan Allah, ia diberi tahu bahwa tidak ada manusia yang mampu melihat wajah Allah dan tetap hidup. Nabi Yesaya mencatat dengan jelas, bahwa “Aku ini YHWH, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain.” Kemuliaan Allah adalah sesuatu yang begitu kudus, begitu transenden, sehingga bahkan para malaikat serafim yang berdiri di hadapan-Nya harus menutupi wajah mereka.

Namun Yesus tidak hanya meminta kemuliaan itu. Perhatikan struktur permohonan-Nya, yaitu “Muliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu memuliakan Engkau.” Ungkapan ini bukan sekadar hubungan vertikal antara Pencipta dan ciptaan, melainkan hubungan timbal-balik yang setara. Bapa memuliakan Anak, Anak memuliakan Bapa untuk menunjuk sebuah pertukaran yang hanya mungkin terjadi antara pribadi-pribadi yang memiliki natur (kodrat) yang sama. Mustahil jikalau Musa atau Daud berani berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku supaya aku dapat memuliakan Engkau.” Mereka pasti akan dihukum mati karena penghujatan! Tetapi Yesus mengatakannya dengan kesadaran penuh akan identitas ilahi-Nya.

Yesus melanjutkan bahwa Bapa telah memberikan kepada-Nya kuasa atas semua yang hidup, supaya Ia sendiri memberikan hidup yang kekal. Pernyataan ini menegaskan bahwa Yesus bukan sekadar perantara atau guru yang menunjukkan jalan, tetapi Ia adalah pemberi hidup kekal itu sendiri. Dalam pemahaman Yahudi, hanya Allah yang menjadi sumber kehidupan. Mazmur menyatakan, “Sebab pada-Mu ada sumber hayat” (Mzm. 36:10). Karena itu, ketika Yesus mengklaim bahwa Ia memberi hidup yang kekal, Ia sedang menyatakan sesuatu yang hanya dapat disandang oleh Allah. Dengan demikian secara implisit Yesus menegaskan keilahian-Nya.

Ayat Yohanes 17:3 sering dianggap kontroversial, tetapi pemahaman yang tepat terhadap istilah dan struktur kalimatnya justru menegaskan kedalaman teologi Injil Yohanes. Kata “mengenal” (ginōskōsin) dalam bahasa Yunani tidak menunjuk pada pengetahuan intelektual seperti mengetahui fakta-fakta matematis. Sebaliknya, kata ini menggambarkan pengetahuan yang intim, personal, dan relasional. Istilah yang sama tampak dalam penggunaan kata Ibrani yādaʿ, yang berarti “mengenal” dalam arti relasi yang intim dan mendalam. Dalam Kejadian 4:1 dikatakan bahwa “Adam mengenal Hawa,” sebuah ungkapan dari yada yang tidak sekadar menunjuk pada pengetahuan kognitif, melainkan pada kedekatan relasional yang paling dalam. Dengan demikian, konsep “mengenal” dalam Alkitab selalu melampaui ranah intelektual dan melibatkan relasi pribadi yang erat. Karena itu, hidup kekal bukan sekadar kepercayaan kepada monoteisme abstrak, melainkan masuk ke dalam relasi personal dengan Sang Bapa dan Sang Anak.

Lalu makna kata “dan” (kai) dalam kalimat “mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus” bersifat koordinatif, bukan subordinatif. Artinya, sikap umat yang mengenal Bapa dan mengenal Anak merupakan satu pengalaman iman yang tidak dapat dipisahkan. Saat kita mengenal Kristus, di saat itulah kita mengenal Sang Bapa (bdk. Yoh. 14:7, 9).

Rasul Yohanes kemudian memperjelas teologinya sendiri ketika ia menyatakan tentang Kristus: “Dia adalah Allah yang benar dan hidup yang kekal” (1Yoh. 5:20). Ini menunjukkan bahwa frasa “Allah yang benar” (alēthinos theos) dalam teologi Yohanes tidak dibatasi hanya kepada Sang Bapa, tetapi juga berlaku bagi Sang Anak. Dengan demikian, Yohanes 17:3 bukanlah pernyataan inferioritas Kristus, melainkan bagian dari kesaksian konsisten Injil Yohanes tentang keilahian-Nya dan relasi perichoretik antara Bapa dan Anak.

Jika demikian, mengapa Yesus disebut “yang Engkau utus” (apesteilas)? Apakah ini berarti Yesus bukan Allah? Dalam Injil Yohanes, pengutusan berbicara tentang misi, bukan “natur esensial.” Yohanes 14:26 mencatat bahwa Bapa mengutus Roh Kudus, tetapi tidak dimaksudkan bahwa Roh Kudus bukan Allah karena Ia diutus. Yesus sendiri membuat paralelisme, yaitu “Sama seperti Engkau mengutus Aku ke dalam dunia, demikian juga Aku mengutus mereka ke dalam dunia.” Jika “diutus” berarti dimaknai sebagai posisi yang inferior atau bukan ilahi, maka para murid akan memiliki status yang sama dengan Kristus. Jelas bukan itu maksudnya. Pengutusan adalah tentang misi dan tujuan, bukan sebagai hakikat keberadaan.

Argumen untuk mematahkan interpretasi bahwa “Yesus hanya utusan” apabila kita memperhatikan Yoh. 17:5 yang menyatakan, “Dan sekarang, Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Aku miliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (tē doxē hē eichon pro tou ton kosmon einai para soi). Gagasan dari Yohanes 17:5 menyatakan: Pertama, Yesus meminta untuk dimuliakan “pada-Mu sendiri” (para seautō) yaitu untuk menunjukkan intimitas keberadaan bersama dengan Allah. Ungkapan ini bukan permohonan agar dibawa ke surga seperti Henokh atau Elia, tetapi kembali kepada kondisi kemuliaan yang sudah ada sebelumnya. Kedua, Yesus berbicara tentang kemuliaan “yang Aku miliki” (hē eichon) yang bentuk kata kerjanya menunjukkan kepemilikan kontinyu di masa lampau. Maknanya dalam Yoh. 17:5 bukan kemuliaan baru yang akan diberikan, tetapi kemuliaan yang sudah menjadi milik-Nya. Ketiga, kemuliaan ini dimiliki “sebelum dunia ada” (pro tou ton kosmon einai). Dalam pemikiran Yahudi, hanya YHWH yang ada sebelum segala sesuatu diciptakan. Mazmur menegaskan hal ini: “Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dari kekal sampai kekal Engkaulah Allah” (Mzm. 90:2). Tidak ada nabi, tidak ada malaikat, maupun makhluk rohani mana pun dalam seluruh literatur Yahudi yang pernah mengklaim keberadaan sebelum penciptaan, apalagi memiliki atau berbagi kemuliaan ilahi.

Dalam konteks monoteisme Yahudi yang sangat ketat, pernyataan Yesus jelas akan dipandang sebagai penghujatan yang tak termaafkan, kecuali jika pernyataan itu benar. Artinya, kecuali jika Yesus memang adalah Allah yang berinkarnasi, yang untuk sementara waktu melepaskan kemuliaan sorgawi-Nya, dan kini menyatakan bahwa Ia akan kembali kepada kemuliaan yang telah menjadi milik-Nya sejak kekekalan. Dengan demikian, perkataan Yesus bukan sekadar klaim berani, melainkan pewahyuan identitas-Nya yang sesungguhnya.

Dalam doa Yesus, kita melihat Ia mengambil peran yang dalam Perjanjian Lama hanya dilakukan oleh YHWH, yaitu menyatakan Nama Allah. Yesus berkata, “Aku telah menyatakan Nama-Mu.” Dalam pemikiran Ibrani, nama bukan sekadar label, tetapi representasi karakter, hakikat, dan keberadaan pribadi itu sendiri. Ketika Allah menyatakan diri kepada Musa di semak yang menyala (Keluaran 3:14), Ia berkata, “AKU ADALAH AKU.” Dalam terjemahan Septuaginta (LXX), ungkapan ini diterjemahkan dengan frasa egō eimi. Menariknya, frasa yang sama berulang kali digunakan Yesus untuk menunjuk pada diri-Nya dalam Injil Yohanes, misalnya:

  • “Sebelum Abraham jadi, Aku ada (egō eimi, Yoh. 8:58);
  • “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (egō eimi, Yoh. 14:6);
  • serta berbagai pernyataan “Akulah…” lainnya yang menyatakan identitas ilahi-Nya.

Pola ini bukan kebetulan literer. Dengan memakai bahasa pewahyuan yang sama seperti YHWH, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah pewahyu definitif Allah bukan sekadar karena Ia membawa kabar dari Allah, tetapi karena Ia sendiri adalah Allah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Dalam ayat 10, kita menemukan pernyataan Yesus yang lugas, yaitu “Dan segala milik-Ku adalah milik-Mu, dan milik-Mu adalah milik-Ku” (kai ta ema panta sa estin, kai ta sa ema). Apakah mungkin seorang nabi atau makhluk ciptaan berani berkata kepada Allah bahwa “Segala milik-Mu adalah milik-Ku”? Ucapan Yesus di Yoh. 17:10 bukan sekadar tentang kesatuan tujuan atau kehendak, tetapi kesatuan kepemilikan, kesatuan kedaulatan, dan kesatuan dalam esensi. Sebab kata “segala” (panta) tidak memberi ruang untuk pengecualian. Semua atribut Allah yaitu kekekalan, kemahakuasaan, kemahahadiran, kemahatahuan-Nya dimiliki bersama oleh Bapa dan Anak.

Dalam ayat 11, Yesus berdoa agar murid-murid-Nya “menjadi satu seperti Kita.” Kesatuan yang diinginkan Yesus bagi gereja mencerminkan kesatuan antara Bapa dan Anak. Tentu saja, kesatuan kita selaku umat bersifat partisipatif dan analogis, bukan identik seperti kesatuan Trinitas. Tetapi faktanya bahwa kesatuan Trinitas menjadi model menunjukkan bahwa kesatuan Bapa-Anak adalah kesatuan yang paling sempurna. Kesatuan dalam Allah Trinitas bukan sekadar kesatuan dalam pikiran atau tujuan, tetapi kesatuan dalam “keberadaan” (eksistensi). Ayat 21 memperluas ini lebih intim, yaitu “Supaya mereka semua menjadi satu, seperti Engkau, Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” Frasa “di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” menggambarkan ritme perichoresis, yaitu saling meresapi, memasuki dan saling tinggal di dalam. Ritme perikhoresis adalah karakteristik relasi Trinitas, yaitu Bapa ada di dalam Anak, Anak ada di dalam Bapa, dalam kesatuan yang begitu sempurna sehingga mereka adalah satu dalam esensi namun tetap berbeda dalam personalitas.

Ayat 12 membuka dimensi yang lebih luas ketika Yesus berkata, “Ketika Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam Nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku.” Di sini Yesus menegaskan bahwa Ia sendiri yang memelihara umat Allah dalam Nama ilahi itu. Dalam Perjanjian Lama, tindakan memelihara dan menjaga umat adalah prerogatif YHWH semata. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 121, “Sesungguhnya, tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.” Dengan demikian, ketika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Pemelihara umat Allah, Ia mengambil peran yang dalam tradisi Israel hanya dimiliki oleh YHWH sendiri merupakan suatu penegasan halus namun kuat tentang identitas ilahinya. Yehezkiel 34 menubuatkan bahwa YHWH sendiri akan menggembalakan umat-Nya. Namun Yesus mengklaim melakukan fungsi ilahi ini. Lebih mendasar lagi bahwa Nama Allah, yaitu identitas ilahi itu sendiri telah diberikan kepada Yesus. Pemikiran yang serupa dinyatakan oleh rasul Paulus, yaitu Allah menganugerahkan kepada Yesus “nama di atas segala nama,” yaitu nama YHWH sendiri, sehingga dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit, di bumi, dan di bawah bumi (Flp. 2:10).

Dalam ayat 17 dan 19, Yesus menyatakan, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran… Bagi mereka Aku menguduskan diri-Ku.” Tindakan menguduskan adalah tindakan yang dalam Perjanjian Lama hanya dapat dilakukan oleh Allah. Kitab Keluaran menegaskan identitas ilahi YHWH ketika Ia berkata, “Akulah YHWH yang menguduskan kamu” (Kel. 31:13). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hanya YHWH yang memiliki kuasa untuk menguduskan umat-Nya. Yang unik adalah bahwa Yesus menguduskan diri-Nya sendiri. Dalam sistem kultus Lewi, imam dikuduskan oleh imam besar lain atau melalui ritual yang ditetapkan. Tetapi Yesus menguduskan diri-Nya sendiri, menunjukkan bahwa Ia memiliki otoritas ilahi yang inheren. Surat Ibrani menjelaskan bahwa Kristus “mempersembahkan diri-Nya sendiri yang tak bercacat kepada Allah” (Ibr. 9:14). Pernyataan ini menegaskan bahwa karya keselamatan tidak dapat dilakukan oleh korban lain, tetapi oleh Kristus sendiri yang menyerahkan hidup-Nya sebagai persembahan sempurna bagi Allah. Yesus adalah sekaligus berjabatan sebagai Imam dan Korban. Dalam jabatan-Nya sebagai Imam, Yesus mempersembahkan diri-Nya. Ia bersedia mengorbankan nyawa-Nya (sacrifice).

Ayat 22 Yesus berdoa “Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang telah Engkau berikan kepada-Ku.” Kemuliaan ilahi menurut nabi Yesaya tidak akan diberikan Allah kepada yang lain. Namun dalam konteks ini diberikan oleh Bapa kepada Anak, lalu oleh Anak kepada orang percaya. Apa yang dimaksudkan? Dalam Trinitas, Sang Bapa memberikan kemuliaan kepada Sang Anak (Firman) bukan sebagai pemberian eksternal kepada makhluk terpisah, tetapi sebagai komunikasi internal dalam satu esensi ilahi. Anak kemudian membagikan kemuliaan ini kepada kita bukan dengan mengalihkan esensi ilahi, tetapi dengan membuat kita partisipan dalam kemuliaan itu melalui kesatuan mistis dengan Kristus. Inilah yang dimaksud ketika rasul Petrus menulis bahwa kita menjadi “partisipan dalam natur ilahi.”

Klimaks doa Yesus ini terlihat dalam ayat 24, yaitu “Bapa, Aku mau supaya, di mana Aku berada, mereka juga ada bersama dengan Aku, supaya mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.” Kita jumpai ada 3 aspek penting, yaitu: Pertama, Yesus menggunakan kata “Aku mau” (thelō) sebagai ekspresi kehendak yang menunjukkan otoritas. Kedua, Ia ingin para murid melihat “kemuliaan-Ku” yaitu hakikat kemuliaan yang menjadi milik personal-Nya. Ketiga, kemuliaan ini diberikan “sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.” Apa yang dikatakan Yesus bukan tentang kasih Allah kepada makhluk yang diciptakan, tetapi tentang kasih yang ada dalam kekekalan, sebelum apapun diciptakan. Ucapan dalam doa Yesus ini merupakan ekspresi kasih intra-Trinitas, kasih yang mengalir dalam relasi kekal antara Bapa dan Anak. Bapa Agustinus menjelaskan bahwa kasih ini adalah Roh Kudus sendiri, yaitu kasih yang menghubungkan Bapa dan Anak dalam kesatuan yang sempurna.

Jikalau kita membaca Yohanes 17 dalam konteks seluruh Injil Yohanes, konsistensi tentang keilahian Kristus sangatlah jelas. Sebagaimana Injil ini dibuka dengan pernyataan, “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Tiga klausa ini menetapkan pra-eksistensi Logos, personalitas yang berbeda dari Bapa, dan identitas ilahi yang penuh. Keseluruhan Injil Yohanes menyatakan bahwa pernyataan Yesus tentang diri-Nya hanya dapat dipahami sebagai klaim keilahian-Nya, yaitu “Supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa”. Yesus menegaskan bahwa penghormatan kepada diri-Nya setara dengan penghormatan kepada Allah. Lalu pernyataan Yesus bahwa “Sebelum Abraham jadi, Aku ada” semakin menegaskan bahwa Ia telah ada dalam kekekalan bersama Allah. Karena itu Yesus dalam Yoh. 10:30 menyatakan, “Aku dan Bapa adalah satu”.

Apabila kita merenungkan pertanyaan polemik tentang Yohanes 17:3, kita dapat melihat dengan jelas bahwa interpretasi “Yesus hanya utusan” adalah kesalahan hermeneutis yang fundamental. Mereka mengambil satu ayat dalam isolasi tanpa mempertimbangkan konteks. Metodologi eksegesis yang benar mengharuskan kita membaca ayat dalam konteks perikop, suatu perikop dalam konteks kitab, dan suatu kitab dalam konteks kanon seluruhnya. Mengapa pola tafsir yang sederhana ini sering diabaikan oleh banyak orang?

Konsep makna “pengutusan” dalam Injil Yohanes bukan tentang subordinasi ontologis tetapi tentang misi ekonomis. Bapa-bapa Kapadokia, yaitu Basilius Agung, Gregorius dari Nazianzus, Gregorius dari Nyssa membedakan antara theologia (pembahasan tentang Allah dalam diri-Nya sendiri) dan oikonomia (pembahasan tentang karya Allah dalam sejarah keselamatan). Pengutusan Sang Anak termasuk dalam lingkup oikonomia, yaitu bagaimana peran Allah dalam sejarah keselamatan manusia. Sebaliknya dalam lingkup theologia menjelaskan relasi pribadi Sang Bapa-Anak-Roh Kudus sebagai kesatuan homoousios (hakikat), atau satu dalam substansi, setara dalam kemuliaan, sama kekal. Itu sebabnya dalam Konsili Nicea tahun 325 dan Konsili Konstantinopel tahun 381 merumuskan, “Kami percaya kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang diperanakkan dari Bapa sebelum segala abad, terang dari terang, Allah yang benar dari Allah yang benar, diperanakkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa.” Kata kunci homoousion yang artinya sehakikat merupakan hasil dari perdebatan melawan Arianisme yang mengajarkan bahwa Anak adalah makhluk pertama dan utama. Jadi Yesus dianggap oleh Arius hanyalah ciptaan belaka. Konsep pemikiran Arius ini dilanjutkan dalam ajaran Islam dan Saksi Yehovah. Mereka menolak ketuhanan Yesus.

Dalam Yoh. 17:23 Yesus berdoa, “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku, supaya mereka sempurna menjadi satu.” Ungkapan “di dalam” mengungkapkan pola relasi yang sangat dalam: umat percaya berada di dalam Kristus, dan Kristus berada di dalam Bapa. Di sini terlihat bahwa kesatuan gereja bukan dimulai dari usaha manusia, melainkan dari arus hidup Trinitaris yang mengalir dari Bapa melalui Anak. Rasul Paulus menggunakan pola yang sama ketika menulis, “Melalui Dia kita memperoleh akses dalam satu Roh kepada Bapa.” Polanya konsisten, yaitu kepada Bapa, melalui Anak, dalam Roh. Inilah struktur Trinitaris yang menjadi dasar kesatuan gereja. Karena itu, kesempurnaan kesatuan yang dimaksud Yesus bukan pertama-tama kesatuan organisasional atau institusional, tetapi kesatuan spiritual yaitu hakikat kesatuan yang berakar pada kesatuan Trinitas itu sendiri.

Yesus menjelaskan tujuan utama dari makna kesatuan ini, “supaya dunia tahu bahwa Engkau telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka sama seperti Engkau mengasihi Aku.” Dengan demikian, kesatuan gereja adalah kesaksian hidup tentang kasih Bapa, karya Anak, dan persekutuan Roh Kudus yang mempersatukan seluruh umat dalam diri Kristus.

Yesus menutup doa-Nya dengan berkata, “Bapa yang adil, dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka tahu bahwa Engkau telah mengutus Aku. Aku telah memperkenalkan nama-Mu kepada mereka dan akan terus memperkenalkannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.” Di sini tampak bahwa pewahyuan Allah melalui Kristus bukan peristiwa sesaat, tetapi proses yang terus berlanjut. Inkarnasi memang merupakan puncak pewahyuan Allah dalam sejarah, namun pemahaman yang semakin mendalam diberikan oleh Roh Kudus.
Apabila Yohanes 16 menegaskan bahwa Roh Kudus akan menuntun umat ke dalam seluruh kebenaran dan memuliakan Kristus dengan menyatakan apa yang menjadi milik-Nya. Dengan kata lain, Roh Kudus melanjutkan karya pewahyuan Kristus dalam hati orang percaya.

Tujuan akhir dari doa Yesus dinyatakan, “supaya kasih yang Engkau kasihi Aku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.” Dua ungkapan dalam doa ini sesungguhnya menunjuk pada satu realitas, yaitu Kristus tinggal di dalam umat-Nya, dan melalui Dia kasih Trinitas mengalir masuk ke dalam hidup mereka. Rasul Paulus mengungkapkan prinsip iman yang sama ketika ia menulis, “Bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia 2:20), dan, “kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Roma 5:5). Kedua pernyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan orang percaya dibentuk oleh kehadiran Kristus dan karya Roh Kudus yang menanamkan kasih Allah di dalam diri kita.

Jika dilihat sebagai satu kesatuan literer dan teologis, pasal 17 dalam Injil Yohanes menampilkan panorama utuh tentang kebenaran Trinitaris dan soteriologis. Di sini kita melihat Sang Anak yang kekal berbagi kemuliaan dengan Bapa sebelum dunia dijadikan, turun ke dalam dunia melalui inkarnasi untuk melaksanakan karya keselamatan, dan kemudian kembali kepada kemuliaan itu sambil menarik umat-Nya masuk ke dalam persekutuan kasih Trinitas. Ini bukan sekadar kisah tentang seorang utusan ilahi. Sebaliknya ini adalah kisah tentang Allah yang menjadi manusia untuk membawa manusia kembali kepada Allah, yaitu puncak pewahyuan dan inti dari seluruh narasi keselamatan.

Pdt. Em. Yohanes Bambang Mulyono