Minggu, 17 Januari 2016
Tempayan Kosong Menjadi Penuh (Yes. 62:1-5; Mzm. 36:6-11; 1Kor. 12:1-11; Yoh. 2:1-11)
Karya mukjizat Yesus dalam perkawinan di kota Kana dipersaksikan dalam Yohanes 2:11, yaitu: “Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.” Mukjizat pertama tersebut dilakukan Yesus untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Dari Yohanes 17:5 menyatakan kemuliaan Yesus adalah kemuliaan yang telah dimiliki sejak kekal bersama Allah, yaitu: “Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” Mukjizat Yesus yang mengubah air menjadi anggur di kota Kana adalah “tanda” atau semeion (σημείων). Makna “tanda” dalam konteks ini berarti suatu kejadian yang tidak biasa dan melampaui realita yang alamiah namun membawa perubahan dalam kehidupan riil manusia. Namun biasanya makna “semeion” dipakai untuk menunjuk segi pembeda sehingga seseorang dapat mengenali sesuatu atau seseorang secara khusus (bdk. Mat. 26:48). Karena itu makna mukjizat Yesus di Kana merupakan tindakan Allah yang transenden, sehingga dengan peristiwa Yesus mengubah air menjadi anggur menjadi penunjuk identitas diri-Nya sebagai Anak Allah yang mulia dan menyelamatkan situasi krisis manusia.
Manifestasi kemuliaan Yesus sebagai Anak Allah secara khusus dinyatakan dalam Injil Yohanes melalui tindakan atau perbuatan-Nya. Berbeda dengan kesaksian Injil-injil Sinoptis yang menempatkan kemuliaan Yesus sebagai Anak Allah melalui khotbah/pengajaran-Nya. Karena itu Injil Yohanes dimulai dengan karya mukjizat Yesus di kota Kana dan tindakan Yesus yang menyucikan Bait Allah di Yerusalem. Di Yohanes 5:17 Yesus berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” Kemuliaan Yesus yang utama dinyatakan dalam karya keselamatan melalui perbuatan mukjizat yang menghadirkan pemulihan, sukacita, kekudusan, dan kebenaran. Setelah itu barulah Yesus menyatakan kemuliaan diri-Nya melalui pengajaran dan percakapan-percakapan reflektif tentang siapakah Dia yang sesungguhnya. Penyingkapan identitas diri Yesus dalam Injil Yohanes berulangkali memakai kata Egoo Eimi yang artinya: “Akulah Dia” misalnya: “Akulah Terang Dunia” (Yoh. 8:12), “Akulah Dia” (Yoh. 4:26), “Akulah Gembala yang Baik” (Yoh. 10:11), “Akulah Pokok Anggur yang benar” (Yoh. 15:1), dan sebagainya.
Makna “Egoo eimi” (Akulah Dia) yang dipakai oleh Yesus untuk diri-Nya perlu dipahami dalam konteks penyingkapan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah dalam tindakan/karya dan pengajaran-Nya. Aspek tindakan yang dilakukan oleh Yesus merupakan segi pembeda tentang siapakah Yesus Sang Anak Allah: “Tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” Karya atau pekerjaan yang dilakukan Yesus juga menunjukkan relasi yang intim dan esa dengan Allah. Melalui karya mukjizat dan segala perbuatan-Nya merupakan bagaimana Allah di dalam Yesus hadir dan menyelamatkan manusia dalam realitas krisisnya.
Karya mukjizat Yesus dalam konteks perikop Yohanes 2:1-11 bukan sekadar “tempayan kosong menjadi penuh.” Tetapi tindakan Yesus menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru, yaitu air menjadi anggur (Yoh. 2:9-10) sebab telah terjadi perubahan zat kimiawi dari air menjadi anggur. Tempayan kosong berubah menjadi penuh melimpah dengan anugerah Allah sehingga mendatangkan sukacita bagi keluarga mempelai dan seluruh tamu undangan yang hadir. Tindakan Yesus menyediakan air anggur yang terbaik secara berlimpah, sehingga keluarga mempelai di kota Kana tidak mendapat aib dan celaan. Bahkan keluarga mempelai di kota Kana tersebut mendapat pujian dari para tamu yang datang sebab: “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang” (Yoh. 2:10).
Tindakan dan karya Yesus juga mengubah yang lama menjadi baru, yaitu: Bait Allah yang baru yaitu Tubuh-Nya (Yoh. 2:14-19), kelahiran baru (Yoh. 3:1-21), mata-air yang baru (Yoh. 4:7-15), dan ibadah yang baru (Yoh. 4:16-26). Dengan demikian karya dan tindakan yang dilakukan Yesus merupakan manifestasi anugerah Allah dan kepenuhan Allah. Yohanes 1:16 menyatakan: “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia.” Jikalau demikian mukjizat Yesus yang mengubah air menjadi anggur selain mendatangkan kebahagiaan dan sukacita bagi para pengantin di Kana juga memiliki makna simbolis yang lebih dalam lagi secara rohani bagi umat manusia, yaitu kehidupan umat yang diubahkan dengan segala kelimpahan anugerah Allah. Kehadiran Kristus bertujuan untuk mendatangkan hidup yang berlimpah dalam kepenuhan rahmat Tuhan. Di Yohanes 10:10b, Yesus berkata: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
Konteks anugerah Allah yang berlimpah yang dikaruniakan Kristus adalah situasi riil yang sedang nihil/krisis, yaitu: “Mereka kehabisan anggur” (Yoh. 2:3). Anugerah Allah tidak mungkin dicurahkan saat kita sedang merasa berlimpah dan memiliki segala persediaan. Di hadapan Kristus hanya orang-orang yang merasa hidupnya bangkrut akan mengalami kelimpahan anugerah keselamatan Allah. Mempelai dan keluarga mempelai di Kana saat itu tidak memiliki harapan apapun untuk memeroleh anggur. Mereka tidak berdaya dan mengharap pertolongan. Dalam situasi kritis tersebut tidak ada seorangpun yang mampu menyediakan anggur untuk para tamu. Namun ternyata Maria ibu Yesus tanggap terhadap situasi kritis yang dialami oleh keluarga mempelai. Maria, ibu-Nya mendatangi Yesus dan menjelaskan situasi yang sedang terjadi dengan harapan Yesus bersedia melakukan sesuatu untuk menolong keluarga yang sedang bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Maria tahu dan yakin bahwa Yesus mampu melakukan sesuatu yang tidak seorangpun mampu melakukannya.
Respons Yesus terhadap harapan Maria, ibu-Nya adalah: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Sebenarnya respons Yesus kepada Maria adalah Ia tidak memanggil dengan nama “ibu” tetapi “wanita.” Yohanes 2:4 menyatakan: “kai legei autoi ho Iesous ti emoi kai soi gynai oupo hekei he hora mou” (dan Yesus berkata kepadanya, apakah yang engkau mau hai wanita, waktu-Ku belum tiba). Dari tatanan etis sikap dan ucapan Yesus dapat dianggap “tidak sopan,” sebab Ia memanggil ibu-Nya dengan sebutan “wanita.” Dengan panggilan Yesus kepada Maria sebagai “wanita” jelas menyatakan terdapat suatu jarak relasi, namun bukan sesuatu yang bersifat merendahkan. Yesus sepenuhnya melakukan kehendak Allah. Dalam kedudukan Yesus sebagai Anak Allah yang kekal itu, Dia memanggil Maria sebagai “wanita.” Karena itu memahami sebutan Yesus kepada Maria ibu-Nya dengan “wanita” (gynai) berkaitan erat dengan masalah “waktu-Ku belum tiba” (oupo hekei he hora mou).
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa anugerah Allah berlimpah yang dinyatakan dalam karya mukjizat Yesus di kota Kana ditempatkan dalam dua konteks utama, yaitu: Situasi nihil/krisis umat karena mereka kehabisan anggur dan Agenda waktu Kristus. Bagaimanakah kita dapat melihat hubungan antara Situasi nihil/krisis umat dengan Agenda waktu Kristus? Faktor manakah yang paling menentukan anugerah keselamatan Allah dinyatakan: Situasi krisis yang dialami oleh umat ataukah Agenda waktu Kristus? Situasi nihil umat adalah kondisi riil manusiawi yang tidak berdaya, sedangkan Agenda waktu Kristus adalah bagian dari realitas ketentuan Kerajaan Sorga. Di antara dua faktor tersebut, manakah yang paling dominan sebagai faktor penentunya?
Di balik ungkapan Yesus kepada Maria ibu-Nya dengan sebutan “wanita” hendak menyatakan sesuatu yang begitu prinsipiil, yaitu bahwa segala sesuatu yang Yesus lakukan pada hakikatnya didasarkan pada agenda dan rencana Allah, dan bukan ditentukan oleh situasi krisis atau perencanaan manusia. Dengan perkataan lain, karya yang dilakukan Yesus bukan ditentukan oleh situasi krisis yang dialami oleh manusia, bahkan juga bukan ditentukan oleh harapan dan keinginan ibu-Nya. Teologia Injil Yohanes bukan didasarkan pada situasi krisis manusia, tetapi utamanya adalah pada kedaulatan penyataan Allah di dalam inkarnasi Sang Firman menjadi manusia. Karena itu momen peristiwa Firman menjadi daging bukan ditentukan oleh situasi krisis dan keberdosaan manusia, tetapi waktu yang dipilih Allah. Di Galatia 4:4 Rasul Paulus berkata: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Kata “genap waktunya” dari kata: pleroma tou chronou (waktu yang penuh dan genap) adalah menunjuk situasi waktu yang tepat menurut kebijaksanaan Allah untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya yang definitif dalam kehidupan manusia. Karena itu kegenapan waktu tersebut ditentukan oleh kedaulatan Allah di dalam kasih-karunia-Nya. Yesus menyadari kapan waktu yang ditentukan oleh Allah dalam kehidupan-Nya, misalnya di Yohanes 13:1 yaitu: “Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.” Jadi Yesus tahu dengan persis kapan Ia harus bertindak dan kapan Ia tidak mau bertindak sebelum waktu-Nya tiba.
Jikalau karya keselamatan Allah dilakukan oleh Yesus menurut agenda dan ketentuan “waktu-Nya” dapat timbul pertanyaan yaitu: “Apakah tindakan Yesus tersebut tidak terlambat dalam merespons situasi krisis yang sedang dialami oleh manusia?” Sebab bukankah agenda dan ketentuan waktu Kristus berbeda secara esensial dengan situasi krisis yang sedang dialami oleh manusia?
Agenda dan ketentuan waktu Kristus didasarkan pada anugerah kasih Allah yang melimpah, sehingga Yesus melakukan karya-karya-Nya sesuai dengan kepedulian dan belarasa Allah kepada umat manusia dalam situasi krisisnya. Karena itu dalam Injil Yohanes menegaskan hakikat kasih Allah kepada manusia. Yohanes 3:16 menyatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Karya Yesus pada hakikatnya mengungkapkan isi hati Allah yang terdalam, yaitu anugerah kasih-Nya yang melimpah sehingga di dalam kehidupan-Nya Allah menyatakan kepedulian dan belarasa kepada umat manusia. Karena itu perbuatan-perbuatan mukjizat yang dilakukan oleh Yesus disebut dengan “tanda” (semeion), yaitu untuk menyatakan secara simbolis bahwa karya keselamatan Allah tidak berhenti hanya pada peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa mukjizat yang dipersaksikan dalam kitab Injil-injil tidak berhenti hanya pada suatu era di zaman Yesus sebagai manusia, tetapi terus berlanjut dalam kehidupan manusia sampai akhir zaman. Sebagai “tanda” tentunya aktualitas karya mukjizat yang terjadi setelah Yesus naik ke sorga sampai pada masa kini tentunya tidak harus dipahami secara harafiah. Kisah Yesus mengubah air menjadi anggur di kota Kana bukan mengajarkan bagaimana gereja (umat percaya) harus membuktikan mampu mengubah air menjadi anggur agar dunia menjadi percaya kepada Kristus. Karya mukjizat akan bermakna sebagai “tanda” keselamatan Allah bilamana umat mengalami kehidupan yang semula runtuh dan tanpa harapan namun dipulihkan sehingga mengalami kehidupan yang bermakna dalam keselamatan.
Berita inti dari karya mukjizat Yesus mengubah air menjadi anggur adalah di dalam Kristus Allah menghadirkan keselamatan dan damai-sejahtera di saat umat mengalami situasi krisis sehingga mereka mengalami sukacita yang melimpah. Bagi umat Israel, anggur merupakan lambang sukacita dan hadirnya keselamatan Allah dalam kehidupan mereka. Istilah “anggur” yang disebut dengan yayin disebut sebanyak 141 kali dalam Perjanjian Lama. Penggunaan kata “yayin” bisa bermakna positif dan negatif tergantung konteksnya. Secara positif, kata “anggur” dipakai untuk menggambar situasi berkat yang dianugerahkan Allah, misalnya berkat Yakub kepada Yehuda: “Ia akan menambatkan keledainya pada pohon anggur dan anak keledainya pada pohon anggur pilihan; ia akan mencuci pakaiannya dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur” (Kej. 49:11). Namun kata “anggur” juga dipakai secara negatif, misalnya: “Telah lenyap sukaria dan sorak-sorak dari kebun buah-buahan; telah menghilang dari kebun-kebun anggur tempik sorak dan sorak-sorai; tiada pengirik anggur di tempat pemerasan, pekik mereka sudah berhenti” (Yes. 16:10). Umat Israel akan kehilangan sukacita dan sorak-sorai saat kebun-kebun anggur mereka menghilang, sehingga para pengirik anggur tidak ada lagi. Karena itu dengan tindakan Yesus yang mampu menyediakan anggur secara berlimpah berarti di dalam Dia Allah menghadirkan sukacita dan keselamatan bagi keluarga mempelai yang sedang kehabisan anggur.
Kehidupan kita di tengah-tengah padang-gurun dunia seringkali tawar seperti air. Umat membutuhkan Kristus untuk mengubah “air tawar menjadi anggur” dalam kehidupan mereka. Sebab situasi tawar telah membuat kita sering kehilangan harapan dan makna hidup. Kita sering dicengkeram oleh perasaan kecil hati, kehampaan dan tiadanya harapan. Sebaliknya saat Kristus mengubah air menjadi anggur, hidup yang tawar diubah menjadi bermakna dan penuh sukacita. Situasi krisis setiap umat akan diubah menjadi situasi yang dipenuhi oleh anugerah dan keselamatan Allah yang melimpah. Namun apakah umat bersedia menyatakan keberadaan dirinya yang bangkrut dan dengan rendah-hati memohon rahmat Allah untuk menolong mereka? Untuk itu setiap umat dipanggil untuk belajar percaya dan bersabar dengan rahasia “waktu Tuhan” dalam kehidupan mereka. Kita tidak dibenarkan memaksa dan mengatur Tuhan untuk bertindak menurut waktu dan harapan kita. Kita mengimani bahwa waktu Allah adalah waktu yang terbaik dan tepat bagi kehidupan kita. Allah di dalam Kristus adalah Tuhan yang berbelarasa dan mengasihi kita sedemikian dalam, sehingga Ia pasti peduli dan menolong kita.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono