Latest Article
ALLAH TRINITAS

ALLAH TRINITAS

Pengantar

Ajaran Allah yang Trinitaris telah dirumuskan dalam konsili gerejawi di Nicea (325 M) dan Konstantinopel (381 M). Keputusan gerejawi tersebut tercermin dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Athanasius. Gema dan pengaruh konsili Nicea-Chalcedon tersebut menguat kembali pada permulaan abad XX. Pada permulaan abad XX muncul kembali kebangunan doktrin Trinitas, dan ledakan penyelidikan teologi khususnya dalam relasi di antara agama-agama (Karkkainen 2013, 1). Kebangunan doktrin Trinitas pada awal abad XX dipelopori oleh Karl Barth (1886-1968), seorang teolog dari gereja Reformatoris di Swiss. Doktrin Allah yang Trinitaris tersebut ditempatkan dalam isu-isu kontemporer (masa kini), yaitu: keselamatan, komunitas, ciptaan dan eskatologi, khususnya tantangan pluralisme agama. Pembahasan Allah yang Trinitaris merupakan pokok iman Kristen yang aktual/relevan dengan kehidupan umat secara internal maupun dalam relasinya dengan sesama di sekitarnya.

Pada sisi lain pembahasan teologi Allah yang Trinitaris cenderung dihindari oleh umat, sebab dianggap yang utama adalah sikap iman umat kepada Bapa-Anak-Roh Kudus. Namun perlu dipahami bahwa sikap iman tidak berarti meniadakan pentingnya pemahaman. Gordon S. Dicker dalam bukunya yang berjudul Faith with Understanding menyatakan bahwa: “Faith always contains an element of understanding” (iman senantiasa mengandung elemen pemahaman) (Dicker 1995, 3). Selaku insan manusia yang terbatas dan berdosa, kita tidak dapat menjangkau misteri Allah, namun pada sisi yang lain selaku umat beriman yang bertanggungjawab dipanggil untuk belajar dan mendengar kesaksian Alkitab tentang penyataan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Penyataan Allah tersebut tidak terjadi dalam ruang kosong, namun dalam proses sejarah, yaitu realitas kehidupan umat percaya. Karena itu dalam tulisan ini disajikan sekilas pergumulan pemikiran teologis tentang misteri Allah secara Trinitaris yang menolak pemikiran Unitarianisme. Sebab ajaran Unitarianisme menekankan kepada keesaan Allah secara bilangan. Sebaliknya ajaran Trinitarianisme memahami keesaan Allah secara relasional sehingga mengandung dimensi kemajemukan dalam pribadi Allah.

Dengan pemahaman yang lebih utuh dan jernih terhadap pergumulan pemikiran tentang Allah yang Trinitaris, diharapkan umat semakin takjub akan kekayaan rahasia kemuliaan dan penyataan Allah dalam kehidupan umat manusia. Sikap takjub tersebut menuntun umat untuk semakin rendah-hati akan keterbatasan dirinya seraya membuka wawasan imannya untuk menyambut penyataan kasih Allah. Karena sesungguhnya rahasia relasi Bapa-Anak-Roh Kudus yang intim, esa, menyeluruh, dan tiada taranya bersumber pada hakikat Allah, yaitu: “Kasih.” Surat 1 Yohanes 4:8 berkata: “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” Hubungan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah hubungan kasih yang tiada taranya sehingga Bapa, Anak, dan Roh Kudus melakukan tarian kasih yang melahirkan kasih yang menghidupi setiap ciptaan dan mahluk hidup serta umat manusia (Dicker 1995, 58). Kasih yang menghidupi dan menyelamatkan seluruh ciptaan tersebut adalah rahmat atau anugerah-Nya yang tidak terhingga, sehingga kita memperoleh kerahiman dan kemurahan-Nya. Hubungan kasih yang menyatu antara Bapa-Anak-Roh Kudus, namun tidak saling meniadakan atau tercampur disebut dengan Perikhoresis. Ulasan tentang makna perikhoresis akan disajikan di bagian akhir dalam tulisan ini.

Tulisan ini disiapkan juga untuk menyambut Minggu Trinitas yang akan dirayakan satu minggu setelah Pentakosta. Dengan harapan umat mampu menghayati karya pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, dan kesiapan secara rohaniah dalam menyambut Minggu Trinitas pada Minggu 15 Juni 2014. Sikap rohaniah umat tersebut menjadi pola spiritualitas iman yang senantiasa mampu menghayati kehadiran dan penyertaan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari bahkan sampai kita menghadap hadirat Allah.

Pendahuluan

Pusat iman Kristen adalah Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Penyataan diri Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus ini dalam Pengakuan Iman Kristen disebut Allah Trinitas. Istilah “trinitas” tidak pernah kita jumpai dalam ayat-ayat Alkitab, namun esensi “trinitas” terdapat dalam pelbagai kesaksian Alkitab. Penggagas pertama istilah “trinitas” ada dua pendapat, yaitu: Pertama adalah Theophilus dari Antiokhia (115-181), Kedua adalah Tertullianus (160-220) di Kartago (sekarang: Tunisia). Kata “trinitas” berasal dari bentukan kata dalam bahasa Inggris, yaitu triunity (harafiah: tiga dalam kesatuan). Kata triunity tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu Trinitas (berasal dari “triad” yang artinya: tiga). Istilah-istilah tersebut mengandung makna bahwa Allah dalam keesaan-Nya adalah Allah yang memiliki tiga diri (pribadi) sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus.

Ciri khas dan identitas iman Kristen bukan hanya Allah yang esa. Rumusan yang tepat adalah: “Allah yang esa dalam Bapa-Anak-Roh Kudus.” Karena itu rumusan iman “Allah Trinitas” dinyatakan dalam seluruh aspek kehidupan spiritualitas umat, pengakuan iman, dan liturgi. Landasan umat berdoa, dibaptis, mengaku percaya (sidi), menikah, diteguhkan menjadi pejabat gerejawi, atau ditahbis menjadi pendeta dinyatakan dalam rumusan “Bapa-Anak-Roh Kudus.” Dalam hal ini makna “keesaan Allah” tidak dipahami sebagai keesaan yang nominal (absolut), namun keesaan yang relasional (majemuk). Sebab dalam rumusan Allah sebagai “Bapa-Anak-Roh Kudus” diimani sebagai Allah yang esa dengan tiga pribadi, namun ketiga-Nya berelasi dalam ikatan kasih dan keintiman yang tiada taranya.

Pemahaman iman (teologis) tentang Allah bukan hanya berkaitan dengan bidang dogmatika belaka, namun juga bidang etika. Ajaran dan pemahaman tentang Allah yang absolut, sebagai satu-satunya Subyek Ilahi dapat menciptakan “monarkhi-absolutisme” dalam kehidupan negara dan bangsa. Makna “absolut” berarti mutlak, sehingga ketika diejawantahkan dalam kehidupan bersama di tengah-tengah komunitas dapat menjadi pemutlakan terhadap suatu kebenaran, dan menolak kebenaran lain yang dianggap tidak cocok. Absolutisme dalam ranah ilahi dalam kehidupan sehari-hari sering diidentikkan dalam absolutisme dalam ranah insani, sehingga Allah yang esa atau satu secara nominal (absolut) tidak menyediakan ruang bagi pihak yang berbeda. Sebaliknya Allah yang esa dalam tiga pribadi, yaitu “Bapa-Anak-Roh Kudus” membuka ruang kasih dan relasi bagi yang berbeda. Doktrin Trinitas menjadi dasar sikap etis yang praktis untuk membuka ruang, menjalin relasi, dan penerimaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda.

Makna Keesaan Allah dalam Alkitab

Dalam Alkitab Perjanjian Lama dikenal dua istilah untuk pengertian esa (satu), yaitu: yakhid dan ekhad. Untuk itu dalam bagian berikut, kita akan membahas kedua istilah yakhid dan ekhad, sehingga kita dapat memahami makna keesaan Allah dalam Alkitab.

  • Yakhid, yang berarti: “satu-satunya. “ Kata yakhid dipergunakan di Kejadian 22:2, 16, yaitu: “Ambillah anakmu yang tunggal itu (yakhid), yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu. Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri, demikianlah firman TUHAN: Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal (yakhid) kepada-Ku.” Kata yakhid menunjuk pada bilangan angka satu yang mutlak.
  • Ekhad, yang berarti: “satu gabungan.” Dalam kata ekhad makna “satu” mengandung unsur relasi dengan yang lain. Sebagai contoh kata ekhad dipergunakan dalam beberapa bagian, misalnya: “Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama (yom ekhad). Gabungan dari petang dan pagi membentuk satu (ekhad) hari. Di Kejadian 2:24, Adam dan Hawa menjadi satu (ekhad) daging. Mereka adalah dua pribadi yang disatukan dalam satu daging, sehingga keduanya menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.

Keesaan Allah dalam Bapa-Anak-Roh Kudus tidak mempergunakan istilah yakhid, namun kata ekhad. Karena itu keesaan Allah dalam iman Kristen bukanlah dipahami Allah yang esa secara mutlak (keesaan yang nominal), namun keesaan Allah yang majemuk dan relasional. Di Ulangan 6:4 menyatakan: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.” Kata “esa” yang dipergunakan dalam Ulangan 6:4 adalah ekhad, dan bukan yakhid. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keesaan Allah menurut kesaksian Alkitab adalah keesaan yang relasional. Iman Kristen merumuskan keesaan Allah yang relasional tersebut sebagai “keesaan Allah yang menyatakan diri-Nya dalam Bapa-Anak-Roh Kudus.” Karena itu Yesus Kristus selaku Anak Allah adalah sehakikat dengan Bapa, dan Roh Kudus juga sehakikat dengan Bapa, sebaliknya Kristus sehakikat dengan Roh Kudus. Ketiga-Nya adalah esa dan sehakikat dalam kuasa, kemuliaan, kedudukan, dan kekekalan. Persoalan teologis yang belum diterima oleh beberapa kalangan adalah apakah Yesus adalah Anak Allah dan Sang Firman Allah yang kekal? Karena itu persoalan trinitas sesungguhnya berkaitan dengan masalah Kristologis.

Masalah kristologis tersebut terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu Kristologi yang menekankan pada keesaan Allah secara bilangan (absolut), dan Kristologi yang menekankan keesaan Allah secara majemuk dan relasional. Untuk itu dalam ulasan di bawah, kita akan menguraikan pengajaran yang “unitarisme” (Allah adalah satu-satunya Tuhan), dan pengajaran yang “trinitarianisme” (Allah yang esa menyatakan relasi-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus).

Pengajaran Unitarianisme

Pengajaran unitarisme menekankan kepada keesaan Allah secara bilangan (absolut), sehingga menolak ketuhanan Yesus dan Roh Kudus. Aliran teologi “unitarianisme” oleh Tertullianus disebut dengan “monarkhianisme” (Erickson 1991, 48). Prinsip pemikiran unitarianisme atau monarkhianisme adalah menolak ke-Tuhan-an Yesus, sebab Allah pada hakikatnya adalah esa, sehingga kedudukan Yesus berada di bawah Allah (Erickson 1991, 48-49). Tokoh pertama yang menekankan makna keesaan Allah secara bilangan (absolut) adalah Adamatinus Origenes (hidup 185-255). Sebab Origenes sangat menekankan pada keesaan Allah, karena itu satu-satunya Allah adalah Allah Bapa (Seerberg 1958, 148-150). Dengan kata lain Allah Bapa yang esa itu menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Ia adalah Allah yang ada pada diri-Nya sendiri dan tidak dilahirkan. Konsekuensi logisnya adalah Origenes menempatkan Logos yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus memiliki pangkat yang lebih rendah daripada Allah Bapa. Sebab Logos (Anak) dipakai oleh Allah sebagai perantara untuk berhubungan dengan dunia benda.

Kedudukan Logos (Anak) dalam teologi Origenes adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal Ia dilahirkan dari Allah. Walaupun demikian Logos (Anak) tidak mempunyai awal yang temporal. Maksudnya eksistensi Logos (Anak) adalah non est quando Filius non Filius fuit (“tidak ada saat di mana Anak itu tidak ada”). Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan Ia satu dengan Allah, tetapi karena Ia keluar dari Allah Bapa, maka Ia lebih rendah dari Allah Bapa. Jadi dalam pemikiran Origenes, Yesus selaku Firman adalah Theos Deuteros (Allah berderajat/berpangkat dua). Demikian pula dengan Roh Kudus, dipandang sebagai zat yang ada pada Allah atau Roh Kudus merupakan pangkat ketiga dalam zat Allah. Roh Kudus ada karena Sang Logos (Anak). Lingkup kerja Roh Kudus lebih sempit dibandingkan dengan lingkup kerja dari Logos (Anak). Jadi pemahaman teologis Origenes tentang ketritunggalan Allah merupakan konsepsi yang sifatnya bertingkat. Jadi Origenes menempatkan kedudukan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus secara berpangkat-pangkat. Ia mengakui perbedaan antara Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus; tetapi meniadakan kesatuan di antara ketiga-Nya.

Tokoh kedua yang memahami makna keesaan Allah secara nominal adalah Arius (250-336), Penatua dari Alesandria. Arius dapat disebut sebagai seorang yang mendefinisikan ulang pemikiran Origenes. Ia mempertahankan transendensi Allah dan hanya mengakui Allah Bapa sebagai satu-satunya Allah yang esa. Arius menyatakan: “He is the One and only, single and incomparable” (Erickson 1991, 50). Perbedaan dengan Origenes adalah jika Origenes memahami kedudukan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus secara subordinasianisme (berpangkat-pangkat), tetapi Arius menolaknya. Jadi Arius berpandangan karena Allah itu satu-satunya yang tak dilahirkan, yaitu Ia tidak diciptakan; maka eksistensi Anak pasti diciptakan, karena itu Anak adalah ciptaan. Perbedaan kedua, jika Origenes mengatakan bahwa Anak itu dilahirkan sejak kekal, maka Arius menegaskan bahwa yang kekal itu hanya Allah. Jadi Arius menyatakan bahwa Anak tidak dilahirkan sejak kekal. Anak mempunyai awal, walaupun Ia telah hadir sebelum dunia diciptakan.[1] Di sini Arius mengakui Anak sebagai pencipta waktu, namun Dia pernah tidak ada. Artinya dari segi kekekalan ilahi, Sang Anak pernah tidak ada. Perhatikan perbedaan dengan Origenes yang menyatakan bahwa Anak pada hakikatnya “tidak ada saat di mana Anak itu tidak ada,” sebaliknya Arius menegaskan bahwa “ada saat di mana Anak tidak ada” (there was a time when the Son was not) (Erickson 1991, 55). [2] Dengan demikian, Arius mengajarkan bahwa Anak tidak mempunyai kesatuan dengan Allah Bapa (Erickson 1991, 51). Sebab Anak hakikatnya ciptaan, sehingga substansi-Nya tidak sama dengan substansi Allah. Perbedaan Yesus sebagai “Ciptaan” dengan “ciptaan pada umumnya” adalah Yesus dibuat langsung oleh Allah, sedangkan seluruh ciptaan yang lain diciptakan secara tidak langsung oleh Allah (Erickson 1991, 51). Di sini Arius menentang pandangan Origenes yang mengajarkan bahwa Firman dan Hikmat yang adalah Anak sama dengan Firman atau Hikmat yang ada pada diri Allah. Lebih jauh lagi, Arius menegaskan yaitu karena Allah adalah satu-satunya yang mutlak dan kekal, dan Anak hanya sebagai ciptaan, maka Anak itu mau tak mau harus tunduk pada perubahan dan dosa.[3]

Dari pandangan Arius ini kita dapat melihat bahwa Arius secara konsisten menegaskan keesaan Allah, yaitu keesaan Allah secara bilangan. Bandingkan pula dalam lingkungan umat Muslim menyebut keesaan Allah secara bilangan dengan istilah tauhid. Ajaran Arius pada hakikatnya menolak ajaran Trinitas yang memahami Allah yang esa dengan tiga pribadi-Nya. Reaksi penolakan atas ajaran Arius tentu sangat hebat, sehingga kaisar Konstantinus campur-tangan dan menyelenggarakan sidang sinode di Nicea tahun 325 untuk menyelesaikan persoalan tersebut.[4]

Tokoh ketiga yang menolak pengajaran Trinitas (Allah yang esa dalam tiga pribadi-Nya) adalah Sabellius yang hidup sekitar abad III (Erickson 1991, 54). Ia sebenarnya seorang Libya walaupun beberapa orang menganggap Sabellius sebagai orang Roma. Pemikiran Sabellius pada prinsipnya mempertahankan keesaan Allah. Dalam konsep Sabellius, Allah memiliki satu hypostasis namun memiliki 3 Nama. Jadi Allah yang esa dalam penyataanNya itu menampakkan diri secara modalitas atau tiga bentuk penampakan diri. Dalam Perjanjian Lama, Allah menampakkan diri sebagai Bapa yang bertindak sebagai Sang Pencipta dan pemberi hukum. Kemudian, Allah yang esa dan sama itu menyatakan diri-Nya dalam diri Sang Anak, yaitu sebagai Juru-selamat untuk menebus dosa umat manusia. Akhirnya Allah yang esa dan sama itu setelah kematian dan kebangkitan Yesus pada hari Pentakosta menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus. Dengan pola pemikiran modalisme tersebut, Sabellius memang berhasil mempertahankan keesaan Allah tetapi pada sisi lain mengorbankan segi pluralitas Allah (Turner 1977, 220). Konsep “tritunggal” menurut Sabellius sebenarnya tidak lebih sebagai proses urut-urutan cara penampakan Allah yang esa dalam berbagai momen sejarah. Karena itu pengajaran unitarisme atau monarkhianisme disebut dengan modalistik-monarkhianisme (Allah yang esa menampakkan diri-Nya dalam tiga rupa atau wujud) (Erickson 1991, 49).

Kesimpulan yang dapat ditarik dalam ajaran/pengertian yang menolak Trinitas, yaitu ajaran Unitarianisme (Monarkhianisme) adalah:

  1. Allah dipandang sebagai satu person/ satu pribadi saja, dan karena itu pemahaman yang menolak ketritunggalan Allah sering pula disebut dengan ajaran tentang “unipersonalitas” Allah (unipersonality of God).
  2. Karena eksistensi Allah dipandang dalam satu pribadi saja yang Ilahi dan transenden, maka ajaran yang menolak Trinitas pada hakikatnya menyangkal ketuhanan Yesus dan Roh Kudus.
  3. Apabila Yesus selaku Anak dan Roh Kudus dalam ajaran ini diakui “ketuhanan-Nya” tapi hanya sebatas dalam pengertian “ketuhanan” yang lebih rendah (subordinasianisme) sebagaimana yang diajarkan oleh Origenes. Yesus selaku Logos adalah pangkat kedua, sedang Roh Kudus lebih rendah lagi yaitu pangkat ketiga dari Allah Bapa.
  4. Dalam pandangan Arius, Yesus dan Roh Kudus ditolak kesamaan substansinya dengan Allah. Sebab dalam pandangan Arius, Yesus selaku Anak memang diakui sebagai pencipta waktu tetapi pada hakikatnya Yesus hanya berkedudukan sebagai ciptaan dan Ia berawal, bukan kekal. Karena Yesus hanya ciptaan, maka dalam pandangan Arius Yesus selaku Logos/Anak harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dalam pandangan Arius, Yesus yang adalah Logos ketika menjadi Ia manusia tidak terbebas dari dosa.
  5. Dalam pandangan Sabellius, keunikan pribadi Yesus dan Roh Kudus tidak diberi tempat sama sekali. Yesus dan Roh Kudus diangap hanya sebagai salah satu bentuk modalitas (penampakan) Allah dalam karya-Nya. Eksistensi Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus dipahami hanya sekedar nama-nama diri dari satu Allah yang esa itu.

Pengajaran Trinitarianisme

Penolakan terhadap pengajaran Unitarisme (Monarkhianisme) melahirkan pengajaran Trinitarianisme. Tokoh trinitarianisme atau trinitaris yang paling menonjol adalah Athanasius, sebab dialah yang memiliki pengaruh yang besar dalam percakapan dan keputusan persidangan sinode di Konstantinopel tahun 381.[5] Dalam pemikirannya, Athanasius mengakui keesaan Allah, namun pada saat yang sama Allah yang esa itu pada hakikatnya adalah Allah Tritunggal. Karena itu kedudukan Yesus selaku Firman tidak berada di bawah Allah, dan Ia juga bukan ciptaan seperti yang dikatakan oleh Arius. Jadi dalam pemikiran Athanasius, Yesus selaku Firman Allah pada hakikatnya Ia adalah Allah. Selaku Firman Allah, Yesus telah berada sejak kekal, tidak berawal, dan Ia sehakikat dengan diri Allah (Erickson 1991, 48-52). Karena itu Athanasius menolak pemikiran Origenes yang mengajarkan bahwa Yesus selaku Firman adalah Theos Deuteros (Allah berpangkat dua). Sebab dalam pemikiran Athanasius, Allah dan Yesus itu satu homousios,[6] sehingga keilahian Anak identik dengan keilahian Allah. Jadi Allah Bapa dan Anak dalam pemikiran Athanasius memiliki kesatuan hakikat (oneness of essence).

Pandangan Athanasius tersebut di atas didukung oleh “Tiga Serangkai dari Kapadokia,” yang kemudian memunculkan ide/pengertian Trinitas.[7] Itu sebabnya dalam pengakuan iman Athanasius dinyatakan: “Kita menyembah satu Allah dalam ketritunggalan-Nya, dan ketritunggalan dalam keesaan-Nya, tanpa mencampur-baurkan kepribadian-Nya, dan tidak memisahkan hakikatNya. Karena dalam hakikat Allah terdapat satu pribadi dari Bapa, yang lain dari pribadi Anak, dan yang lain dengan pribadi Roh Kudus. Tetapi Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah esa dengan kemuliaan yang sama dan kewibawaan yang sama kekalnya ……….. .” [8] Dalam pengakuan iman Athanasius,[9] Oknum Roh Kudus dipahami sehakikat dengan Bapa dan Anak. Jadi eksistensi Roh Kudus dalam pemikiran Athanasius tidak diciptakan. Roh Kudus itu juga adalah diri Allah yang mencipta. Beda dengan Origenes yang menyatakan bahwa Roh Kudus itu keluar dari Anak, dan karena itu Roh Kudus berbeda dengan Anak.

Selain itu pandangan Athanasius berbeda dengan Arius, yang mengajarkan bahwa Roh Kudus itu bukan Allah. Sebaliknya dalam pengakuan iman Athanasius menyatakan bahwa Roh Kudus kekal, Ia tidak diciptakan dan tidak terbatas. Perhatikan pernyataan pengakuan iman Athanasius berikut: “Bapa bukan diciptakan, Anak tidak diciptakan, dan Roh Kudus tidak diciptakan. Bapa tidak terbatas adanya, Anak tidak terbatas adanya, demikian pula Roh Kudus tidak terbatas adanya. Bapa kekal adanya, Anak kekal adanya, Roh Kudus juga kekal adanya. Bukan tiga yang kekal, tetapi satu yang kekal …….. [10]

Tokoh kedua yang dapat disebut mengajarkan Trinitarianisme adalah Tertullianus (145-220). Tertullianus memperkenalkan rumusan: Una Substantia, Tres Personae, yang artinya: “Satu Zat, Tiga Pribadi.” Dalam pemikiran Tertullianus, dinyatakan bahwa Allah itu satu dalam substansi/zat-Nya, dan memiliki tiga di dalam persona/pribadi-Nya (Erickson 1991, 192). Tertullianus dalam tulisannya sebenarnya menentang ajaran dari Praxeas. Ajaran Praxeas adalah Allah adalah Roh, dan sebagai Roh Ia disebut dengan Bapa. Kemudian Ia mengenakan daging atau menjadi manusia. Keadaan Roh menjadi daging itu disebut dengan Anak. Jadi dalam diri Tuhan Yesus, diri Allah Bapa dan Anak menjadi satu, yaitu bahwa manusia Yesus (yang memiliki daging) adalah Anak, sedang Kristus-nya (yang adalah Roh) adalah Bapa.[11]

Pola pikir Praxeas yang terlalu simplistis dengan menyamakan begitu saja pribadi Bapa dan Anak tersebut ditentang oleh Tertullianus. Itu sebabnya Tertullianus menegaskan bahwa pada satu pihak Allah itu esa, namun Ia memiliki tiga pribadi. Artinya, Allah Bapa memiliki persona, Anak memiliki persona, dan Roh Kudus memiliki persona. Ketiga persona Allah itu hakikatnya tetap esa, karena ketiga persona Allah itu disatukan dalam satu zat Ilahi. Konsep pemikiran Tertullianus tersebut sebenarnya cenderung memiliki corak pendekatan yang monistik (satu substansi/zat). Dalam pemikiran Tertullianus, Allah dipandang memiliki akal/budi. Kemudian Firman (Logos) pada waktu penciptaan dikeluarkan dari akal/budi Allah. Firman yang keluar dari akal/budi Allah inilah yang disebut dengan “Anak.” Demikian pula dengan Roh Kudus, semula adalah satu dengan Firman. Roh Kudus tersebut juga tetap satu ketika Firman itu menjadi manusia dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus naik ke sorga, Roh Kudus itu keluar dari Bapa dan Anak. Walaupun Firman itu keluar dari Bapa, dan Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak, Tertullianus tidak memahami Firman/Anak dan Roh Kudus lebih rendah daripada Allah Bapa sebagaimana yang diajarkan oleh Origenes. Ketiga oknum Allah tersebut tetap sehakikat dalam satu substansi/zat. Perumusan ajaran Trinitas dari Tertullianus tersebut dalam perkembangan kemudian sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran teologi gereja pada zaman berikutnya.
Kesimpulan ajaran Trinitarianisme adalah:

  1. Pada prinsipnya ajaran Trinitaris tetap mempertahankan keesaan Allah.
  2. Namun dalam keesaan-Nya, Allah memiliki tiga pribadi yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ketiga pribadi Allah tersebut memiliki perbedaan dan kekhasan/keunikan-Nya. Karena itu ketiga oknum Allah tersebut tidak bercampur.
  3. Ketiga pribadi Allah tersebut memiliki kesamaan dalam kekekalan, tidak terbatas (unlimited), tidak ada yang diciptakan (uncreated), memiliki kemuliaan yang sama dan kewibawaan Ilahi yang sama. Karena itu kedudukan Allah Bapa sehakikat dengan Anak dan juga sehakikat dengan Roh Kudus (oneness of essence).
  4. Ajaran Tertullianus tentang “satu zat tiga pribadi” menunjuk upaya teologis tentang misteri Allah agar gereja-gereja memiliki suatu rumusan Trinitaris yang seimbang, yaitu tetap konsisten mempertahankan keesaan Allah dan pada pihak lain juga mengakui ketritunggalan-Nya dalam persona (pribadi)-Nya yang saling berbeda.

Tinjauan Kritis terhadap Pandangan Unitarisme

Tinjauan kritis dari penulis terhadap pandangan Unitarisme yang menekankan keesaan Allah secara bilangan perlu dilakukan agar jemaat memahami dengan tepat alasan gereja menghayati imannya kepada Allah yang Trinitaris. Gereja Kristen Indonesia (GKI) menegaskan sikap imannya kepada Allah yang Trinitaris. Dalam uraian ini kita batasi tinjauan kritis hanya pada pandangan dari Origenes, Arius dan Sabellius, yaitu:

  1. Dalam pandangan Origenes, kita dapat melihat prinsipnya yang sangat membela keesaan Allah, karena Allah Bapa adalah satu-satunya Allah (The Father is Very God). Allah Bapa melampaui segala hal/keberadaan (The Father is Very beyond Being). Karena itu kedudukan Anak/Logos memiliki pangkat yang lebih rendah dari Allah Bapa. Yesus berkedudukan sebagai Allah yang kedua (Theos Deuteros/Secondary God). Roh Kudus memiliki pangkat yang lebih rendah lagi. Ketritunggalan Allah dalam teologi Origenes dilihat sebagai suatu subordinasianisme (berpangkat-pangkat). Dari pola pemikiran Origenes kita dapat melihat pengaruh pemikiran/filsafat dari Neo-platonisme.[12] Sebab dalam pemikiran Neo-platonisme, menurut filsuf Plotinos, Allah adalah yang esa, Ia tanpa pembandingan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Allah tak dapat diuraikan karena pada diri-Nya tidak ada predikat, tiada sifat, mengatasi segala perlawanan dan bebas dari segala pengertian. Ia adalah yang sempurna dalam diri-Nya sendiri. Karena itu segala sesuatu dari jagat raya itu mengalir keluar (emanasi) dari yang Ilahi itu.

Emanasi (pengaliran keluar) tersebut terjadi dengan pengertian bahwa makin jauh hal-hal yang mengalir dari sumbernya, maka semakin tidak sempurna keadaannya. Konsep “subordinasianisme” dalam pemikiran Neo-platonisme tersebut oleh Origenes dikenakan kepada eksistensi Allah Bapa sebagai satu-satu yang paling ilahi. Kemudian dari diri Allah tersebut mengalir keluar Sang Logos (pangkat pertama), setelah itu mengalir Roh Kudus (pangkat kedua). Walaupun diakui bahwa Logos/Anak yang menciptakan segala sesuatu namun Ia dilahirkan dari Allah. Ia adalah kuasa dan hikmat Allah, sehingga “tidak ada waktu di mana Anak itu tidak ada.” Ia sehakikat dengan Allah, tetapi karena Ia keluar dari Sang Bapa, maka kedudukan-Nya lebih rendah. Jadi ajaran trinitaris yang dibangun dalam teologi Origenes sebenarnya konsepsi Allah menurut filsafat Neo-platonisme. Yang mana Origenes, kurang memberi tempat kepada kesaksian Alkitab. Mereka menggali dan memahami makna Trinitas secara filosofis belaka, namun bukan hasil penafsiran Alkitabiah. Walaupun Origenes dalam ajaran “trinitaris” menyebut Yesus sebagai Logos sebagaimana disebut dalam teologia Injil Yohanes, tetapi konsepsi Logos dari Origenes sebenarnya lebih dekat dengan pengertian Neo-platonisme. Logos dalam pemikiran Neo-platonisme berkedudukan lebih rendah, karena Ia mengenakan tubuh jasmani, padahal tubuh dipahami sebagai kubur/penjara bagi jiwa.[13] Bagi Plato, tubuh tidak dipahami sebagai alat atau wahana saja, tetapi dipandang sebagai hambatan dan pencemaran terhadap kemurnian jiwa.

Dalam pemikiran Alkitab, hakikat tubuh tak pernah dipertentangkan dengan jiwa.[14] Karena itu dalam pemikiran Alkitab, tak pernah berpandangan bahwa Yesus sebagai Logos berkedudukan lebih rendah dengan Allah Bapa karena Ia mengenakan tubuh manusia. Ia mengenakan tubuh, agar Ia dapat menjadi sesama di antara umat manusia; sehingga Ia dapat pula mengangkat atau membawa umat manusia sebagai anak-anak Allah. Dalam berita Injil, Firman Allah yang menjadi Yesus Kristus adalah penyataan diri Allah yang berkenan solider dengan umat manusia, dengan demikian Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus menjadi sesama bagi umat manusia.

  1. Pemikiran Arius yang menegaskan eksistensi Anak terjadi karena diciptakan. Sebagai ciptaan, Anak (he was a creature but not as one of the creature), Ia mempunyai awal walau Ia telah hadir sebelum dunia diciptakan. Dalam waktu kekekalan, eksistensi-Nya sebagai Anak menurut Arius adalah: “ada saat di mana Anak tidak ada.” Karena status Anak dalam konsep Arius hanya ciptaan, maka Ia mau tak mau harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dalam pemikiran Arius, kita dapat melihat pola pendekatan yang ditempuh lebih ke arah pendekatan filosofis, bukan pendekatan teologis yaitu dengan pendekatan tafsir Alkitabiah. Ajaran Arius telah mengabaikan kesaksian Alkitab yang berkata, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Dengan jelas surat Ibrani menyatakan, bahwa Yesus sebagai Anak Allah dapat merasakan seluruh kelemahan manusia,[15] dan Ia juga pernah dicobai, tetapi Yesus “tidak berbuat dosa” (khooris hamartias). Mungkin Arius terpengaruh dengan perkataan dari Surat Ibrani yang berkata, “Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus …..” (Ibr. 2:9). Pengertian “waktu yang singkat” (brakhu ti), artinya: sedikit/singkat, dipakai dalam jenis frase keterangan (adverbial) untuk menunjuk pada tingkatan waktu. Tetapi dalam waktu yang singkat “Yesus dibuat sedikit lebih rendah dari pada pada malaikat-malaikat” tersebut oleh Alkitab kedudukan Yesus sebagai Anak tak pernah dinyatakan Ia hanya sebagai ciptaan Allah. Lebih tepat, Surat Ibrani menyatakan bahwa Yesus dijadikan sama dengan manusia, agar Ia dengan kematian-Nya dapat memusnahkan kuasa Iblis (Ibr 2:14, 17). Sebab oleh karena Yesus telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong setiap umat yang dicobai” (Ibr 2:18).

Makna pernyataan Surat Ibrani: “dibuat sedikit lebih rendah” lebih dimaksudkan untuk menjelaskan makna fungsi dan misi Yesus untuk menyelamatkan umat manusia, namun bukan untuk menyatakan kedudukan-Nya yang lebih rendah atau status-Nya sebagai ciptaan sebagaimana yang dikatakan oleh Arius. Karena itu di Ibrani 13:20-21, penulis Surat Ibrani menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, sehingga ia berkata: “Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Dengan perkataan lain, ajaran Arius tentang Yesus sebagai ciptaan, yang mempunyai awal, tunduk pada perubahan/fana dan dosa pada prinsipnya sama tidak memiliki dasar Alkitabiah. Itu sebabnya Konsili Nicea tahun 325 menegaskan bahwa Yesus itu dilahirkan, bukan diciptakan. Salah satu bentuk penolakannya terhadap ajaran Arius, konsili Nicea menyatakan:

Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal,
yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman,
Allah dari Allah, terang dari terang,
Allah yang sejati dari Allah yang sejati,
Diperanakkan, bukan dibuat,
sehakikat dengan Sang Bapa,
yang dengan perantaranNya segala sesuatu dibuat ………….”

  1. Pandangan Sabellius berusaha mempertahankan keesaan Allah secara nominal (absolut). Untuk itu Sabellius menegaskan bahwa Allah hanya memiliki satu hypostasis namun memiliki tiga Nama. Jadi Allah yang esa dalam penyataan-Nya itu menampakkan diri secara modalitas, atau menyatakan diri-Nya dalam tiga bentuk/cara. Untuk melaksanakan tugas penciptaan dan pemberi hukum atas umatNya, Allah menampilkan diri-Nya sebagai Allah Bapa. Sedangkan untuk melaksanakan karya penyelamatan atau penebusan dosa, Allah menampilkan diri-Nya sebagai Sang Anak yaitu dalam diri Yesus Kristus. Kemudian untuk melaksanakan karya pembaruan dan untuk meneguhkan jemaat Kristen, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus yang dimulai pada hari Pentakosta. Jelas bahwa Sabellius memahami “trinitaris” Allah hanya sekadar suatu proses urut-urutan cara penampakan Allah yang esa itu dalam berbagai momen sejarah. Dalam hal ini Sabellius mengabaikan dimensi “personalitas” unik dari Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Akibatnya Sabellius dalam ajarannya mengorbankan “pluralitas” kedirian Allah, walau ia cukup berhasil mempertahankan keesaan Allah secara bilangan.

Ajaran Sabellius tentunya sangat memuaskan orang-orang yang berlatar belakang pemahaman wahdat bi’l adat yaitu mereka yang semula memahami keesaan Allah secara bilangan (tauhid).[16] Tetapi pada pihak lain ajaran Sabellius tetap tidak mampu memberi jawab yang memuaskan akan rahasia karya penyelamatan Allah di dalam diri Yesus dan Roh Kudus. Dengan pemikiran “modalitas” atau cara penampakan Allah secara berurut-urutan dalam peristiwa sejarah, maka ketika “Allah yang esa” itu menjadi Yesus Kristus, maka Allah yang esa itu selama 30 tahun pernah meninggalkan takhta-Nya di sorga. Jadi ketika Allah menjelma menjadi Yesus dalam ajaran Sabellius, maka “ada suatu saat” di mana Allah pernah meninggalkan sorga dan karya-Nya yang memelihara umat manusia di luar bumi Palestina.

Pengajaran Sabellius ini tentu menimbulkan banyak persoalan dan pertanyaan yang tak terjawab, misal: ketika Yesus berdoa, apakah Ia berdoa kepada diri-Nya sendiri? Ketika Yesus dibaptiskan, terdengar suara “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Suara siapakah itu yang berkata itu? Padahal dalam Injil, secara tegas dinyatakan perbedaan antara Bapa dan Anak. Di Yohanes 17:1 mempersaksikan doa Yesus, “Lalu Ia menengadah ke langit dan berkata: Bapa telah tiba saatnya; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau.” Sedangkan untuk Roh Kudus, sering dipergunakan kata ganti orang ketiga tunggal. Di Yohanes 16:13, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran….” Pernyataan “Ia akan memimpin kamu” dipergunakan kata hodegesei (jenis orang ketiga tunggal dalam kasus: tense future indikatif aktif), dimaksudkan untuk menunjuk bagaimana kedirian unik dari Roh Kebenaran itu. Di Kisah Para Rasul 13:2 dinyatakan: “Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagiKu untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” Di sini secara jelas, disebutkan: “berkatalah Roh Kudus” (eipen to pneuma to hagion).

Dalam Kisah Para Rasul menyatakan bagaimana karya Allah dalam Roh Kudus sebagai subyek Ilahi dengan karya-Nya yang khusus, yaitu Roh yang memberi hikmat, membarui, menghibur, menguatkan, melindungi dan menyelamatkan jemaat atau para rasul Tuhan Yesus ketika mereka berhadapan dengan bahaya dan situasi yang sangat kritis. Jadi di dalam Alkitab dengan jelas dibedakan antara diri Yesus Kristus dengan Roh Kudus, misal dalam ucapan berkat di 2 Korintus 13:13 yang berkata, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.” Juga di 1 Petrus 1:2, Rasul Petrus berkata: “… yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.” Walau pada sisi lain, diri Yesus dan Roh Kudus tak dapat dipisahkan. Sebab pada hakikatnya karya Tuhan Yesus pada hakikatnya tetap esa dengan karya Roh Kudus. Dalam hal ini Roh Kudus tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri (Yoh 16:13). Justru Roh Kudus bersaksi tentang Kristus (Yoh 15:26). Dalam konteks tertentu, Roh Kudus dapat disebut juga sebagai Roh Kristus (Gal 4:6; Rm 8:9; Fil 1:19; 1Ptr. 1:11). Itu sebabnya Tuhan Yesus sendiri berkata kepada para murid-Nya, “Terimalah Roh Kudus!” (Yoh 20:22).

Pandangan GKI tentang Allah yang Trinitaris

Relasi Trinitas Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan suatu jalinan kasih. Bapa sebagai subyek yang mengasihi, dan Anak sebagai obyek yang dikasihi. Namun pada sisi lain Anak sebagai subyek yang mengasihi, dan Bapa sebagai yang dikasihi. Dalam hakikat diri Allah sejak kekal telah terdapat gerak hidup cinta-kasih. Di Yohanes 17:24, Tuhan Yesus berkata: “Ya Bapa, Aku mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.” Jelas, Allah telah mengasihi Kristus sebelum dunia dijadikan. Kehadiran Roh Kudus secara khusus untuk mencurahkan kasih Allah (Rom. 5:5). Karena itu esensi utama dari diri Allah adalah Kasih. Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Konsep Trinitas Allah dalam pemahaman ini disebut dengan perikhoresis, yaitu Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus saling mendiami atau saling tinggal dalam keesaan-Nya.

 Istilah perikhoresis berasal pemikiran John Damaskus (675-749), yang berpijak pada ucapan Tuhan Yesus di Yohanes 14:10, yaitu: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” Inti perkataan Kristus tersebut adalah Dia di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Yesus. Karena itu John Damaskus menyatakan bahwa Allah itu esa yang di dalam diri-Nya memiliki tiga pribadi yang saling berbeda, namun yang saling berbeda itu tidak meniadakan Yang Lain. John Damaskus memahami keesaan Allah dalam tiga pribadi-Nya sebagai “co-inherence of the persons.” Makna perikhoresis” adalah hypostasis (pribadi-pribadi) Allah tersebut saling mendiami satu sama lain tanpa tercampur. Konsep perikhoresis diilustrasikan seperti sebutir telur yang memiliki tiga bagian, yaitu: kulit, putih, dan kuning telur. Ketiga bagian dari telur tersebut saling menyatu namun tidak tercampur (Dicker 1995, 58). Peran Roh Kudus di sini sebagai Roh Allah yang menyelidiki segala sesuatu termasuk pula hal-hal yang tersembunyi di dalam diri Allah (bdk. 1Kor. 2:10).

Untuk memahami Trinitas Allah perlu dibedakan antara “substansi-Nya” (hakikat) dengan “kuasa” Allah. Substansi Allah lebih menunjuk kepada hakikat yang terjadi dalam diri Allah. Yang mana tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui, menyelami dan memahami secara utuh kedirian Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Hakikat atau substansi Allah bersifat misteri dan melampaui seluruh pengertian manusia, sehingga manusia hanya dapat takjub dengan penuh takzim dan beriman. Sebaliknya yang kita ketahui tentang diri Allah adalah melalui manifestasi “kuasa-Nya.” Melalui kuasa-Nya, Allah meliputi dan menghidupi seluruh ciptaan. Di Kisah Para Rasul 17:27-28, Rasul Paulus berkata saat dia berada di Aeropagus: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.”  Kata “di dalam” (en) Allah di sini menunjuk seluruh mahluk dan umat manusia berada, hidup dan bergerak dalam kuasa Allah.[17] Jadi sebagai ciptaan kita tidak hidup dalam hakikat Allah. Hakikat Allah lebih menunjuk kepada relasi atau hubungan eksklusif dan intim antara Bapa-Anak-Roh Kudus. Itu sebabnya bagi gereja-gereja Tuhan, esensi Allah hanya dapat diketahui secara negatif (negationis). Karena itu yang kita ungkapan dalam teologi dan ibadat tentang Allah yaitu “ siapa Allah” atau hypostasis (ὑπόστᾰσις) sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Kita mengetahui tentang Allah melalui penyataan kuasa-Nya. Di Efesus 1:19-20 rasul Paulus berkata: “dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga.” Perhatikan kata “dengan kekuatan kuasa-Nya” (megethos tes dunameoos autou).  Jadi Allah hadir dalam kehidupan umat manusia melalui kuasa-Nya. Melalui manifestasi kuasa-Nya, Allah di dalam Kristus dan Roh Kudus menyatakan kasih, kerahiman, pengampunan, dan pemeliharaan-Nya.

Manifestasi kuasa Allah yang menyatakan diri sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus memampukan umat untuk menjalin relasi kasih dengan sesama. Melalui penyataan Allah yang Trinitaris tidak terbuka ruang sikap otoriter dan absolutisme. Sangat berbeda bila Allah hadir sebagai Allah yang esa secara absolut (monarkhianisme), maka akan terbuka ruang bagi umat untuk meneladani Dia dengan bersikap absolut, eksklusif, dan sikap menghakimi setiap orang yang berbeda dengan dirinya. Kita menolak Allah yang esa secara nominal karena doktrin tersebut menjadi landasan etis bagi umat untuk meniadakan kepelbagaian dan perbedaan dalam kehidupan bersama. Karl Barth dalam “Church Dogmatics” sebagaimana disunting oleh Veli-Matti Karkkainen dalam Tritunggal dan Pluralisme Agama menyatakan: “Allah Trinitaris yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang ingin masuk ke dalam persekutuan dengan umat manusia di dalam kasih-Nya. Allah dihayati sebagai Allah yang trinitaris sementara Ia menyatakan diri-Nya di dalam kasih Bapa yang memberikan diri-Nya kepada Anak, yang pada dirinya berkorespondensi dengan kasih Allah yang memberikan diri-Nya kepada ciptaan. Relasi kasih trinitaris ini sangat mendasari relasi kasih antara Allah dan dunia” (Karkkainen 2013, 22). Dengan demikian, semakin jelas bahwa iman kita kepada Allah yang Trinitaris memampukan kita untuk mengalami rahmat-Nya yang menerangi, membimbing, dan menguduskan kita untuk menjalin relasi kasih dengan Allah dan dunia. Iman kepada Allah yang Trinitaris, yaitu Bapa-Anak-Roh Kudus tersebut hanya mungkin bila setiap umat menempatkan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidup-Nya.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) merumuskan sikap imannya kepada Allah Tritunggal (Trinitas). Di hadapan Allah Tritunggal, umat datang dengan sikap penyembahan. Sikap penyembahan tersebut melingkupi seluruh dimensi kehidupan manusia secara pribadi dan persekutuan umat percaya. Sikap takjub di dalam penyembahan tersebut menunjukkan pengakuan kita bahwa Allah adalah misteri yang melampaui kemampuan manusia untuk mengenali dan memahami Allah. Tindakan mengenali dan memahami Allah hanya dapat didekati melalui kasih dan iman. Allah Tritunggal (Trinitas) yang kita percayai adalah satu hakikat di dalam tiga Pribadi, yang bersekutu di dalam kekekalan melalui relasi kasih di antara ketiga Pribadi ilahi. Persekutuan kasih ilahi tersebut terarah kepada seluruh ciptaan secara melimpah dan tanpa syarat melalui karya penciptaan, penyelamatan, dan pemeliharaan. Ketiga karya ilahi tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan yang bertujuan untuk mengikutsertakan seluruh ciptaan ke dalam persekutuan Allah Tritungal. Itu berarti penciptaan, penyelamatan, dan pemeliharan Allah merupakan karya dari ketiga Pribadi Allah Tritunggal secara bersama-sama (Konsep Konfesi GKI dan Penjelasan Pendek Konfesi GKI – 2014).

Daftar Acuan 

Jan S. Aritonang. 1995. Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Dicker, Gordon S. 1995. Faith With Understanding. Australia: United Theological College.

Erickson, Millard J. 1991. The Word Became Flesh: A Contemporary Incarnational Christology. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House.

Karkkainen, Veli-Matti. 2013. Tritunggal dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Seeberg, Reinhold. 1958. History of Doctrines Ancient Church: Text Book of History of Doctrines. Volume 1: Grand Rapids, Michigan: Baker Book House

Turner, H.EW. 1099. Doctrine of the Trinity dalam A Dictionary of Christian Theology, Edited by Alan Richardson, SCM Press LTD, London, 1977

Website:

http://www.huda.tv/articles/miscellaneous-topics/212-tauhid-islamic-monotheism

[1] Bandingkan dengan pandangan Saksi Yehova, yang mengajarkan bahwa Allah Bapa dan Putera Allah (Yesus Kristus) adalah dua pribadi dan Roh yang secara hakiki berbeda dan terpisah satu sama lain. Allah Bapa, Jehova, sang Pencipta, lebih tinggi dari sang Putera. Yesus Kristus adalah Saksi dan Pelayan utama dari Jehova. Pada suatu ketika Allah berada sendirian, tetapi setelah memulai penciptaan, Allah mengeluarkan seorang Putera. Dengan demikian sang Putera itu mempunyai keberadaan pra-manusia sebelum kelahiran-Nya di dunia dan merupakan “permulaan dari penciptaan oleh Allah” Sang Putera itu dinamakan “Mikhael atau Logos” (“Firman”) ketika masih dalam keadaan tidak fana, lalu dinamakan Yesus selama Ia melawat dunia. Lihat: Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, 334.
[2] H.E.W Turner menyatakan, “The Father alone is God since he alone is ingenerate. Since the Son is generate he could not be fully God. He was different in substance from the Father, not only as a separate concrete particular (Origen) but also as lacking a common generic character. On the analogy of human generation Arius argued that “there was a time when the Son was not.” He was a creature but not as one of the creatures, though he enjoyed a special relationship of dependence upon the divine will” (Turner 1977, 346).
[3] Pandangan Arius yang mengatakan, bahwa Yesus sebagai Logos/Anak tunduk pada perubahan dan dosa justru oleh Saksi Yehova dinyatakan bahwa Yesus menjalani kehidupan-Nya sebagai manusia tanpa dosa. Tetapi baik Arius maupun Saksi Yehova menyatakan bahwa Yesus bukanlah Allah.
[4] Intervensi kaisar Konstantinus menyebabkan perdebatan teologis berubah menjadi isu politis. Namun hanya sedikit gereja yang menerima ajaran/pandangan Arius. Salah satu keputusan sidang sinode di Nicea adalah mengucilkan Arius dan para pengikutnya.

[5] Athanasius hidup tahun 295-373. Pada tahun 328 ia menjadi Uskup di Alexandria. Karya-karya tulisannya dapat disebut: “Orations against the Arians” yang berisi ringkasan ajaran Arius dan bagaimana ia mempertahankan keputusan persidangan di Nicea. Selain itu ia juga menulis Letter concerning the Decrees of the Council of Nicea. Ia juga menulis buku yang berjudul On Synods yang berisi uraian tentang pembenaran terhadap konsep homousios, dan tulisan yang berjudul Letters to Serapion yang berisi pandangannya tentang Roh Kudus.
[6] Istilah homousios mempunyai arti satu zat atau satu hakikat. Arti pokok dari ousia adalah “being,” essence,” “reality.” Jadi yang dimaksud dengan Athanasius adalah bahwa Logos sama sekali satu zat dengan Allah Bapa. Bandingkan istilah homousios dengan istilah homoios. Istilah homoios yang artinya: menyerupai. Istilah homoios dipakai oleh pengikut ajaran Arius justru yang mengajarkan bahwa Anak itu menyerupai Bapa. Bahkan ada pula pengikut Arius yang mengajarkan bahwa Anak tidak menyerupai (an-homoios) dengan Allah Bapa. Kedua istilah homoios (menyerupai) dan an-homoios (tidak menyerupai) pada hakikatnya tetap menyangkal keilahian atau ketuhanan Logos (Yesus selaku Anak). Itu sebabnya Athanasius menegaskan bahwa Yesus dengan Allah Bapa sehakikat (homousios).

[7] Pandangan Athanasius tersebut didukung oleh “Tiga Serangkai dari Kapadokia,” yaitu: Basilius yang Agung (wafat tahun 379), Uskup Kaisarea dan Metropolitan Kapadokia (wafat tahun 394), dan Gregorius dari Nazianzus (wafat tahun 390). Mereka sepikir dan sepakat, yaitu bahwa dalam diri Allah terdapat kesatuan ilahi di antara ketiga keilahian-Nya. Hanya bedanya, jika Athanasius menekankan konsubstansialitas antara ketigaNya; maka menurut “tiga serangkai dari Kapadokia” di antara ketiga keilahian itu tetap memiliki perbedaannya, dan masing-masing memiliki hypostasis. Dari “ketiga serangkai dari Kapadokia” tersebut memunculkan ide “Trinitas” yaitu: Tiga pribadi dalam satu keallahan. Mereka tetap menekankan keesaan Allah, tetapi juga pada saat yang sama menegaskan bahwa ketiga keilahian Allah tetap memiliki kekhasan-Nya.

[8] Pengakuan Iman Athanasius disebut juga: QUICUNQUE VULT. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, yaitu perkataan yang terdapat pada pembukaan kredo Athanasius: “Quicunque Vult salvus esse, ante omnia opus est, ut teneat catholicam fidem ……. “ (artinya: Bila seseorang ingin diselamatkan, maka pertama-tama haruslah ia memegang erat Kepercayaan Gereja Katolik….”).
[9] Rumusan tersebut penulis terjemahkan dari teks Pengakuan Iman Athanasius dalam bahasa Inggris, yaitu: “That we worship one God in Trinity, and Trinity in unity. Neither confounding the Person, nor the dividing the substance (essence). For there is one Person of the Father, another of the Son, and another of the Holy Ghost. But the Godhead of the Father, of the Son and of the Holy Ghost is all one, the glory equal, the Majesty coeternal ….”
[10] Berasal dari terjemahan: “The Father uncreated, the Son uncreated, and the Holy Ghost uncreated. The Father incomprehensible (unlimited), the Son incomprehensible (unlimited), and the Holy Ghost incomprehensible (unlimited, or infinite). The Father eternal, the Son eternal, and the Holy Ghost eternal. And yet they are not three eternals, but one eternal….”
[11] Karena itu menurut Praxeas yang sebenarnya menderita sengsara adalah Anak, sedang Bapa yang adalah Roh tidak dapat menderita. Tetapi karena Bapa telah memasuki daging (Kristus memasuki diri Yesus), maka Ia turut menderita. Allah Bapa turut menderita. Inilah yang disebut dengan ajaran Patripassianisme. Dengan ajarannya ini, Praxeas sebenarnya mengajarkan keesaan Allah. Allah itu esa dalam pengertian Bapa dan Anak satu Pribadi, yaitu sebagai pribadi Allah.
[12] Dalam pemikiran Neo-platonisme mengajarkan dualisme Plato, yaitu tubuh dan roh/jiwa. Dimensi roh ditempatkan oleh Neo-platonisme sebagai tingkatan yang paling tinggi. Pendiri Neo-platonisme adalah Ammonius Sakkas dari Alexandria (175-242). Namun pencipta Platonisme yang sebenarnya adalah Plotinos (284-269), yang adalah murid Ammonius Sakkas.
[13] Bandingkan dalam karyanya yang berjudul Phaidros, Plato melukiskan terbentuknya struktur jiwa manusia dalam sebuah kisah mite. Jiwa dilukiskan sebagai seorang sais (kusir) yang mengendarai dua kuda yang bersayap. Kuda yang satu menarik ke atas (lambang bagian dari jiwa yang disebut “keberanian”), dan yang lain selalu menarik ke bawah (lambang bagian dari jiwa yang disebut “keinginan”). Sais kuda tersebut (lambang bagian jiwa yang rasional) hendak mencapai puncak langit yang tertinggi, supaya dari sana ia dapat memandang “kerajaan Idea-idea.” Tetapi karena kuda yang selalu menarik ke bawah (lambang nafsu manusia), maka mereka kehilangan sayap-sayapnya, sehingga akhirnya jatuh ke bumi.

[14] Realitas Jiwa menyatakan dirinya justru dalam intensitas manusia yang bergerak dalam hidup ini. Tubuh (sooma) dalam pemikiran Alkitab tak pernah dipahami sebagai sumber dosa. Sebab sumber dosa disebut oleh Alkitab dengan istilah daging (sarx). Jadi jika dalam Yohanes 1:14 Yesus Kristus sebagai Logos disebut “Firman menjadi daging” (ho logos sarx egeneto), dilakukan agar melalui Kristus, Allah membebaskan kita dari kuasa dosa (sarx), tetapi bukan dimaksudkan untuk membebaskan kita dari tubuh (sooma) ini.
[15] Penulis kitab Ibrani tidak memperlihatkan kebingungan mengenai gagasan yang sejajar tentang keilahian Yesus sebagai Anak Allah dengan kemanusian-Nya. Pada saat yang sama Yesus sebagai Anak Allah yang mencerminkan kemuliaan Allah dan juga sebagai manusia yang dapat dicobai seperti kita. Karena itu dalam Ibrani 1:3, penulis Surat Ibrani memperkenalkan Yesus sebagai Anak Allah yang ditinggikan, sesudah itu ia memberikan perincian mengenai keadaan kemanusiaan-Nya, sebagai berikut.

  • Ia lebih rendah dari pada malaikat dan dalam pelayananNya, Ia memperhatikan manusia, bukan malaikat-malaikat (Ibr 2:9,16).
  • Ia mempunyai darah dan daging seperti saudara-saudara-Nya (Ibr 2:14).
  • Dalam keadaan sebagai manusia, Ia mengalami pencobaan (Ibr 2:18; 4:15).
  • Ia berdoa dan memohon dengan suara jeritan yang mengharukan dan ratap tangis pada waktu di taman Getsemani (Ibr 5:7).
  • Ia belajar taat melalui penderitaan-Nya, sebagai hasilnya Ia dikatakan telah dijadikan sempurna (Ibr 2:10; 5:8-9).
  • Ia merasakan pengalaman takut akan Allah (Ibr. 5:7).
  • Ia menganggap kematian-Nya sebagai bagian yang tidak dapat dihindarkan dalam maksud/rencana Allah (Ibr. 2:9,14).

[16] Dalam hal ini Quran menyatakan, “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimatNya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh daripadaNya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulNya dan janganlah kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaanNya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara (Surah An Nisaa”/4:171). Penekanan teologis Quran adalah Allah itu esa secara bilangan (wahdat bil’l adat), sehingga timbul kesalahpahaman terhadap ajaran Trinitas, seakan-akan umat Kristen mengimani “Allah itu tiga.” Namun pada sisi lain, masalah Kalimatulah (Firman Allah) dan Ruh (Roh) Allah dalam Quran tetap belum terjawab, apakah Kalimatulah (Firman Allah) telah ada sejak kekal ataukah diciptakan. Umat Muslim terpecah menjadi dua golongan dalam menghadapi persoalan Kalimatullah (Firman Allah) diciptakan atau tidak diciptakan.
[17] Di I Timotius 6:16, Rasul Paulus menyatakan bahwa Kristus bersemayam bersama dengan Allah dalam terang yang tidak terhampiri, yaitu: “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin.” Makna kata “terang yang tak terhampiri” (phoos oikoon aprositon) menunjuk kepada ketidakmungkinan dan keterbatasan manusia untuk mencapai atau menghampiri yang ilahi. Manusia juga tidak mampu mengungkapkan dengan bahasa atau kalimat tentang bagaimanakah hakikat atau esensi Allah.  Hakikat Allah melampaui seluruh pengetahuan dan pemahaman kita. Sebab hakikat atau esensi Allah tidak terbagi.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply