Minggu, 24 April 2016
Era Baru dalam Kasih Kristus
(Kis. 11:1-18; Mzm. 148; Why. 21:1-6; Yoh. 13:31-35)
Perayaan Minggu Paskah V ditempatkan dalam konteks percakapan Yesus menjelang Dia disalibkan. Bacaan Injil dalam Minggu Paskah V adalah Yohanes 13:31-35. Tentu maksud makna perayaan Minggu Paskah V tersebut tidak identik dengan peristiwa Kamis Putih walaupun bahan bacaan Alkitab yang dipakai the Revised Common Lectionary relatif sama. Tekanan utama dari bacaan Yohanes 13:31-35 adalah diawali dari ayat 31 adalah kata: “Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.” Kata δοξάζω (doxazo) mempunyai arti: mengagungkan, membesarkan, memuji, dan memuliakan. Makna “dipermuliakan” digunakan sekitar 53 kali dalam Perjanjian Baru, misalnya Matius 9:8, yaitu: “Maka orang banyak yang melihat hal itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa sedemikian itu kepada manusia.” Di Lukas 4:15, kata doxazo diterjemahkan dengan kata “memuji” yaitu: “Sementara itu Ia mengajar di rumah-rumah ibadat di situ dan semua orang memuji Dia.” Dengan demikian makna ucapan Yesus di Yohanes 13:31 menyatakan bahwa kematian-Nya di atas kayu salib merupakan peristiwa pemuliaan Allah, dan Allah diagungkan di dalam diri-Nya. Salib bukanlah peristiwa tragis, tetapi sesuatu yang begitu agung dan mulia sebab melalui salib kasih Allah dinyatakan.
Jika kasih Allah dinyatakan melalui salib Kristus, dan salib merupakan tindakan Allah memuliakan Kristus, maka dalam kemuliaan-Nya Allah menyatakan kasih-Nya melalui penebusan Kristus. Karena itu melalui kematian dan kebangkitan Kristus terbuka sebuah era baru, yaitu era di mana kasih Allah di dalam Kristus telah hadir secara eksistensial dalam kehidupan umat manusia. Di Yohanes 13:34, Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Yesus memberikan perintah agar setiap umat saling mengasihi. Namun yang menarik Yesus menyebut perintah kepada setiap umat saling mengasihi sebagai perintah baru. Apakah benar dalam ucapan Yesus tersebut terdapat “perintah” yang benar-benar baru?
Kata “perintah baru” berasal dari kata: καινός ἐντολή (kainos entole) menunjuk dimensi kebaruan dalam mandat yang diberikan oleh Yesus kepada para murid-Nya. Karena itu kata kainos entole diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi mandatum novum. Sebagai mandat Kristus, maka perintah tersebut harus dilaksanakan sebagai ciri dan pola hidup setiap umat percaya. Ciri utama dari “perintah baru” dari Yesus tersebut adalah “supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Dimensi kebaruannya adalah terletak pada: “sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Para nabi dan para tokoh pendiri agama tentu mengajar agar umat saling mengasihi, tetapi Yesus menekankan pengajaran tersebut pada jalan hidup dan misi hidup-Nya yaitu mengasihi dengan berkurban dan menyerahkan nyawa-Nya.
Makna “kasih” yang dipakai adalah agape (Yoh. 13:34), yaitu kasih ilahi yang bersedia berkurban. Padahal kasih ilahi yang berkurban dilakukan oleh Yesus melalui kehinaan dan penderitaan hingga wafat-Nya dalam peristiwa salib. Dalam kemuliaan Allah terkandung kehinaan, penderitaan dan kematian Kristus. Sebaliknya dalam penderitaan dan kematian Kristus yang begitu hina terpancarlah kemuliaan Allah yang begitu agung dengan kasih-Nya yang menyelamatkan. Dengan demikian melaksanakan “perintah baru” atau mandatum novum dari Yesus berarti setiap umat dipanggil mengasihi Allah dan sesama dengan kesediaan menderita dan mengurbankan diri, barulah umat akan mengalami kemuliaan Allah dalam kehidupan mereka. Kemuliaan Allah di dalam Kristus tidak dapat dicapai dengan kasih yang standar, tetapi kasih yang bersedia memberikan diri untuk keselamatan sesama. Karena itu ciri khas dari “perintah baru” (mandatum novum) dari Yesus terletak pada “supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Landasan etis yang utama dari “perintah baru” dari Yesus adalah “seperti Aku telah mengasihi kamu.” Sebab Yesus mengasihi para murid-Nya dengan kesediaan-Nya berkurban dan memberikan nyawa-Nya. Sikap Yesus yang mengasihi para murid-Nya sampai kesudahannya terlihat dari kesaksian Yohanes 13:1 yaitu: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” Jadi apabila setiap umat percaya melakukan mandat dari Yesus tersebut umat mengalami akan mengalami kebaruan dan kemuliaan Allah dalam kehidupan mereka, yaitu mengasihi dengan berkurban bagi sesamanya.
Kasih sebagai landasan etis bagi setiap umat percaya kepada Yesus tersebut diperdalam pemaknaannya. Sebab selain kasih sebagai landasan etis juga menjadi ciri identitas orang Kristen. Di Yohanes 13:35, Yesus berkata: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Kasih Yesus yang bersedia berkurban merupakan landasan etis yang diresapi oleh nilai-nilai dan pengalaman kasih umat bersama Kristus. Landasan etis berfungsi seperti “akar” pohon yang tidak terlihat oleh mata inderawi. Sedang kasih Yesus yang menjadi ciri identitas diri adalah “buah” dari kehidupan yang diresapi oleh nilai-nilai dan pengalaman kasih umat bersama Kristus. Dengan demikian identitas diri di dalam kasih Yesus adalah buah yang terlihat jelas oleh mata inderawi orang lain. Melalui tindakan kasih yang dinyatakan oleh umat dengan kesediaan untuk saling mengasihi, maka sesama dan dunia di sekitar akan tahu bahwa mereka adalah murid-murid Yesus.
Apabila kasih sebagai tanda pengenal atau identitas diri umat percaya, bagaimanakah umat Kristen perdana menyikapi keberadaan umat di luar Israel? Dalam pandangan umat Israel, bangsa-bangsa lain disebut dengan goyim (bentuk jamak dari goy) yang artinya: orang-orang yang bukan Israel dan tidak menyembah kepada Yahweh, karena itu mereka disebut dengan “kafir.” Dalam Perjanjian Baru, kata goyim diterjemahkan menjadi ethnos (Yoh. 7:35; Rm. 2:9, 10; 1Kor. 10:32). Orang-orang asing tersebut umumnya diterima dan diperlakukan dengan baik. Di Ulangan 10:19 Allah berfirman: “Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.” Sikap kasih kepada orang asing tersebut dinyatakan dalam sikap yang tidak menindas mereka, yaitu: “Orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel. 23:9). Orang-orang asing juga berhak mendapat milik pusaka bersama umat Israel (Yeh. 47:22, 23). Namun dalam praktik, orang-orang asing tidak diperlakukan sesuai dengan firman Allah. Mereka dianggap sebagai kelompok orang-orang yang tidak bersunat. Karena itu di Kisah Para Rasul 11:2 Petrus ditegur oleh umat Israel yang bersunat sebab ia makan dengan orang-orang yang tidak bersunat. Kisah Para Rasul 11:3 menyatakan: “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.” Problem yang dihadapi oleh jemaat Kristen Yahudi adalah mereka menganggap Rasul Petrus menajiskan diri dengan masuk ke rumah orang-orang tidak bersunat dan makan bersama-sama mereka. Jika demikian makna kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus di Yohanes 13:34 dipahami oleh umat Kristen Yahudi terbatas pada sesama Yahudi, sehingga kasih Kristus tidak dapat menjangkau orang-orang yang tidak bersunat (goyim, ethnos).
Rasul Petrus mendasarkan sikap etis teologisnya berdasarkan penyataan Allah yang telah diterimanya, yaitu penyataan Allah melalui simbolisasi binatang haram dan halal. Saat ia sedang berdoa di kota Yope, roh Petrus diliputi oleh kuasa ilahi dan ia melihat suatu penglihatan suatu benda dalam bentuk kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya diturunkan dari langit (Kis. 11:5). Di kain lebar tersebut terdapat berbagai macam hewan. Allah memerintahkan agar Petrus menyembelih hewan-hewan yang terdapat dalam kain lebar tersebut. Petrus menolak menyembelih dan makan hewan-hewan tersebut sebab terdapat binatang yang dianggap haram. Ketentuan jenis binatang haram dan halal diatur dalam Imamat 11 dan Ulangan 14:3-8. Namun Allah menegur sikap Petrus dengan berkata: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (Kis. 11:9). Penyataan Allah kepada Petrus tersebut bukanlah mengenai masalah makanan haram dan halal, tetapi simbolisasi teologis terhadap keberadaan goyim atau ethnos (umat di luar Israel) yang dianggap kelompok “haram.” Allah memerintahkan agar bangsa-bangsa di luar umat Israel tidak diperlakukan sebagai kelompok kafir (haram). Sebab di dalam Kristus Allah berkenan memilih dan menjadikan mereka sebagai umat-Nya. Karena itu di Kisah Para Rasul 11:1 menyatakan: “Rasul-rasul dan saudara-saudara di Yudea mendengar, bahwa bangsa-bangsa lain juga menerima firman Allah.”
Kesaksian Kisah Para Rasul 11:1 sebenarnya dilatarbelakangi oleh pertobatan Kornelius dari Kaisarea. Ia seorang perwira pasukan Italia. Ketika Petrus memberitakan firman di rumah Kornelius, ternyata Roh Kudus turun ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaannya. Bangsa-bangsa yang semula dianggap “haram” dianugerahi Allah keselamatan dalam iman kepada Kristus. Kisah Para Rasul 10:45-46 menyatakan: “Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah.” Dengan demikian di dalam karya penebusan Kristus, kasih Allah yang menyelamatkan menjangkau kepada seluruh umat manusia. Di dalam Kristus, setiap umat dipanggil untuk saling mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi mereka. Makna “perintah baru” benar-benar menjadi mandat yang membuka era baru, yaitu era di mana kasih Allah yang menyelamatkan di dalam penebusan Kristus menjadi landasan etis dan identitas diri sebagai Umat Allah. Kasih Allah di dalam Kristus adalah kasih yang inklusif dan universal sehingga membebaskan umat dari belenggu tembok-tembok pemisah. Di dalam Kristus tidak ada lagi kelompok goyim atau ethnos, sehingga tidak boleh seorangpun yang mengkafirkan orang lain karena beda etnis dan agama.
Realisasi era baru yang telah dinyatakan dalam karya penebusan Kristus dilukiskan dalam Wahyu 21:1-16. Rasul Yohanes melihat penyataan Allah pada Akhir Zaman yaitu: “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.” Era baru dalam pemerintahan Kristus dinyatakan melalui kehadiran kemah Allah berada di tengah-tengah kehidupan manusia (Why. 21:3). Umat manusia akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Ciri utama pemerintahan Allah dalam penebusan Kristus di era baru tersebut adalah tidak ada lagi penggolongan manusia secara diskriminatif dan primordialistik. Sebab setiap orang ditempatkan dalam kesetaraan sehingga mereka hidup saling mengasihi dengan kasih agape. Di Wahyu 21:5 Allah menyatakan: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Karya Allah yang membarui sehingga tercipta era baru di akhir zaman telah dimulai dalam penebusan Kristus, yaitu wafat dan kebangkitan-Nya. Karena itu setiap umat percaya pada masa kini dipanggil memberlakukan kasih Kristus sebagai landasan etis dan tanda pengenal identitas diri mereka.
Namun apakah harapan tersebut dapat terealisir dalam kehidupan manusia di mana kasih Kristus sebagai landasan etis-moral dan tanda pengenal identitas diri sebagai umat Allah? Saat ini kita hidup di tengah-tengah realitas kekerasan dan kekejaman atas nama agama dan Allah dipamerkan. Namun harapan iman kita diteguhkan karena di Wahyu 21:5 Allah berfirman: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dengan kuasa-Nya Allah pada akhir zaman akan menciptakan ulang sehingga segala sesuatu menjadi baru. Setiap kekuatan yang represif, diskriminatif, primordialistik dan semua bentuk ketidakadilan akan dilenyapkan, sehingga tidak ada lagi penderitaan dan air mata (Why. 21:4). Respons iman umat percaya adalah bersedia menjadi kawan sekerja Allah untuk mewujudkan era baru di dalam kasih Kristus. Karena itu setiap umat percaya dipanggil untuk berjuang bersama-sama dengan seluruh denominasi gereja dan agama-agama yang ada menghadirkan realitas pemerintahan kasih Allah yang saling berkurban. Makna kebenaran Allah bukan lagi dinyatakan hanya dalam rumusan doktrinal, tetapi utamanya dinyatakan dalam praktik spiritualitas yang saling mengasihi dan mengampuni. Doktrin agama-agama atau ideologi yang anti cinta-kasih dan pengampunan berasal dari kuasa kegelapan, yaitu Iblis. Dengan demikian kebenaran Allah dinyatakan dengan penghargaan akan harkat kemanusiaan dan penerimaan yang tulus terhadap sesama yang berbeda serta beragam. Demikian pula kemuliaan Allah akan dinyatakan melalui kasih Kristus sehingga setiap umat mampu mengasihi setiap orang yang berbeda. Sebab untuk menyatakan kemuliaan Allah yang merangkul seluruh kemanusiaan manusia Kristus bersedia berkurban dan menyerahkan diri dalam kematian-Nya di kayu salib.
Jika demikian, marilah kita mengubah sikap diskriminatif menjadi perilaku yang menghargai kesetaraan, sikap primordialistik menjadi sikap yang menjunjung keadilan, dan sikap represif menjadi sikap yang mengedukasi dalam kasih.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono