Latest Article
Minggu IV Sesudah Epifani

Minggu IV Sesudah Epifani

Minggu, 31 Januari 2016

Ditolak Di Tempat Asal-Nya (Yer. 1:4-10; Mzm. 71:1-6; 1Kor. 13:1-13; Luk. 4:21-30)

Tempat kelahiran atau tempat kita dibesarkan bukanlah tempat yang biasa dibandingkan dengan tempat-tempat lain. Sebab tempat kita dilahirkan atau tempat kita dibesarkan mengandung banyak kenangan yang di dalamnya keberadaan kita dirajut dan dibentuk. Karena itu tidak mengherankan jikalau tempat kita dilahirkan atau dibesarkan memiliki ikatan psikologis atau emosional yang abadi. Kita ingin kembali menengok ke tempat kelahiran dan tempat kita menghabiskan masa anak-anak dan masa remaja yang pernah kita lalui. Kita juga ingin menemui orang-orang yang pernah bersama dengan kita. Pikiran dan perasaan kita disegarkan kembali apabila dapat berjumpa atau berbincang dengan para sahabat yang pernah menikmati kebersamaan dalam kegembiraan dan kesedihan. Sungguh, tempat kelahiran atau tempat kita dibesarkan bukan sekadar suatu ikatan psikologis dan sosial, tetapi suatu ruang pemaknaan yang menempatkan kita secara reflektif akan makna dan tujuan hidup kita. Di tempat kelahiran dan tempat kita dibesarkan, di situlah kita mulai merefleksikan makna keberadaan hidup kita di dunia ini.

Konteks narasi Lukas 4:21-30 adalah kisah Yesus berada di tempat Ia dibesarkan, yaitu Nazaret, yaitu: “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab” (Luk. 4:16). Di Nazaret Yesus dibesarkan bersama Maria dan Yusuf sekitar tiga puluh tahun lamanya. Secara manusiawi Yesus merasakan kerinduan dan sukacita-Nya saat Ia datang kembali ke Nazaret dan berjumpa dengan orang-orang yang dikenal-Nya. Yesus mengingat setiap jengkal tanah yang pernah Ia lalui dan tempat-tempat yang mengesankan bersama dengan orang-orang sekampung-Nya. Tetapi apakah yang terjadi saat Ia berada di Nazaret kampung halamann-Nya? Orang-orang Nazaret sangat terkesan dan kagum akan segala ucapan/pengajaran yang diberikan oleh Yesus, tetapi kemudian berubah sinis. Lukas 4:22 memberi kesaksian, yaitu: “Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Perasaan kagum dan terkesan pada keindahan dan kefasihan Yesus mengajar diikuti oleh ungkapan meremehkan akan status Yusuf, ayah yang mengasuh-Nya. Orang-orang di Nazaret pada waktu itu tentu tidak memahami Yesus selaku Anak Allah atau Sang Firman Allah yang menjadi manusia. Mereka memahami dan mengenal Yesus sebagai anak Yusuf yang pekerjaannya adalah tukang kayu.

Di balik ungkapan orang-orang Nazaret, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” hendak menyatakan suatu sikap merendahkan dan menolak diri Yesus. Bagaimanakah mungkin Yesus anak Yusuf mampu memiliki hikmat dan kemampuan mengajar yang begitu memesona? Pertanyaan dan sikap meremehkan tersebut karena orang-orang Nazaret menganggap telah mengenal dengan baik latarbelakang keluarga Yesus dan kehidupan Dia sehari-hari. Dalam kurun waktu yang cukup lama sekitar tiga puluh tahun Yesus dan orang-orang Nazaret telah hidup bersama-sama dalam suka dan duka. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau orang-orang yang pernah bersama-sama dengan kita dalam kurun waktu yang lama akan terjalin suatu solidaritas yang dalam. Tetapi kadangkala solidaritas tersebut bisa mendorong ke arah negatif yaitu mereka tidak terlalu gembira bila salah seorang di antara mereka menjadi terpandang. Di lubuk hati mereka yang terdalam timbul perasaan iri bagaimana dia bisa lebih berhasil dan menjadi terkemuka dibandingkan diri mereka. Misalnya timbul suatu pemikiran dari orang-orang Nazaret terhadap diri Yesus, yaitu bagaimana mungkin Yesus mampu memiliki hikmat, kecerdasan, dan memiliki kuasa memimpin serta mengajar yang begitu memesona padahal Dia waktu kecil dan remaja tampaknya “biasa” saja. Tentunya sikap negatif tersebut bersifat insidental, sebab kadangkala kita jumpai komunitas yang justru mendukung setiap anggotanya untuk mencapai cita-cita yang tertinggi dan tulus menghargai. Tetapi sikap orang-orang Nazaret cenderung meremehkan keberadaan diri Yesus.

Di Lukas 4:23, Yesus berkata: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” Perkataan Yesus tersebut merupakan respons atas sikap sinis dan tindakan yang meremehkan diri-Nya. Orang-orang Nazaret baru mau percaya kepada Yesus jikalau Ia terlebih dahulu membuktikan mampu melakukan mukjizat untuk diri-Nya sendiri. Dalam pencobaan di padang-gurun, Iblis juga menyuruh Yesus untuk membuat mukjizat untuk diri-Nya sendiri (Luk. 4:3). Orang-orang Nazaret juga minta agar Yesus membuktikan ke-Mesias-an-Nya dengan membuat mukjizat sebagaimana mereka telah mendengar perbuatan-perbuatan mukjizat Yesus di Kapernaum. Sikap penolakan (resistensi) orang-orang Nazaret terhadap diri Yesus berkaitan dengan ucapan dalam khotbah-Nya yang menguraikan nubuat nabi Yesaya (Yes. 61:1-2). Sebab Yesus menyatakan bahwa nas nubuat Yesaya 61 tersebut telah genap dan terwujud dalam diri-Nya. Inti nas nubuat nabi Yesaya 61 adalah Roh Allah tinggal dalam diri Mesias sehingga menempatkan Dia sebagai seorang yang mampu menyembuhkan, membebaskan dan menghadirkan tahun rahmat Allah. Karena itu ketika Yesus berkata: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:21) berarti Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Mesias, dan sebagai Mesias Dia memiliki kuasa untuk menyembuhkan, membebaskan dan menghadirkan tahun rahmat Tuhan. Respons orang-orang Nazaret adalah mereka minta agar Yesus membuktikan di depan mereka kuasa mukjizat-Nya sebagai Mesias.

Respons Yesus terhadap penolakan mereka adalah dengan menjelaskan dua tokoh iman dalam Alkitab, yaitu nabi Elia dan dan Elisa. Nabi Elia diutus Allah dipelihara hidupnya oleh seorang janda miskin di Sarfat dan bukan janda-janda kaya di tanah Israel. Demikian pula nabi Elisa hanya menyembuhkan Naaman orang Siria padahal waktu itu begitu banyak orang yang sakit kusta di Israel. Kedua nabi tersebut tidak diutus Allah kepada “orang-orang sekampung atau sebangsanya” tetapi kepada bangsa lain. Ilustrasi yang dipakai oleh Yesus hendak menyatakan bahwa Ia tidak dapat membuat mukjizat di tempat asal-Nya sebab mereka tidak percaya dan menolak Dia. Di Lukas 4:24 Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” Ketidakpercayaan, sikap tidak menghargai dan penolakan orang-orang Nazaret yang menghalangi Yesus untuk menyatakan kuasa Allah yang menyembuhkan dan memulihkan. Kuasa Allah di dalam diri Yesus akan terjadi apabila mereka percaya dan menerima Dia. Karena mereka menolak dan tidak percaya, maka Yesus akan menyatakan kuasa Allah yang menyembuhkan dan memulihkan kepada orang-orang lain. Kuasa dan karya keselamatan Allah tidak dapat dibatasi dan dibendung untuk sebagian orang, apalagi bila mereka tidak percaya dan menolak Dia. Ternyata jawaban Yesus tersebut menimbulkan kemarahan yang lebih besar sehingga mereka menghalau Dia ke luar kota dan hendak melempar Dia dari tebing gunung (Luk. 4:28-29).

Dari Narasi Lukas 4:21-30 kita dapat melihat sikap orang-orang Nazaret yang semula kagum dan terkesan dengan hikmat Yesus dalam mengajar berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Intesitas kemarahan dan kebencian mereka terhadap diri Yesus semakin memuncak dari sikap tidak suka menjadi keinginan untuk membunuh Dia. Memori kenangan manis yang pernah dirajut mereka bersama Yesus tiba-tiba hilang lenyap. Kurun waktu tiga puluh tahun hidup bersama sebagai komunitas di Nazaret bersama Yesus segera sirna dalam sehari. Orang-orang Nazaret tidak dapat menerima Yesus menyebut diri-Nya sebagai penggenap nubuat nabi Yesaya. Mereka marah karena Yesus tidak bersedia membuktikan diri-Nya dengan mukjizat ilahi sebagaimana yang Ia lakukan di Kapernaum. Lalu kemarahan mereka semakin memuncak saat ditegur oleh Yesus dengan dua contoh kehidupan nabi Perjanjian Lama, yaitu Elia dan Elisa yang diutus Allah kepada bangsa-bangsa lain. Tetapi upaya orang-orang Nazaret tersebut tidak berhasil sebab “Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi” (Luk. 4:30). Makna Lukas 4:30 tersebut tidak terlalu jelas. Tetapi tampaknya tubuh Yesus lenyap dalam pandangan mata orang-orang Nazaret sebagaimana juga terjadi pada diri Filipus (Kis. 8:39). Melalui “lenyap-Nya tubuh Yesus” sehingga menggagalkan niat orang-orang Nazaret membunuh Dia telah membuktikan bahwa Yesus bukan sekadar “anak Yusuf dari Nazaret.”

Pembacaan nubuat nabi Yesaya 61 bukan suatu teks Alkitab yang kebetulan berkaitan dengan diri Yesus sebagai Mesias Allah. Apa yang dibaca dan dijelaskan oleh Yesus di Sinagoge Nazaret ditempatkan dalam “agenda karya keselamatan Allah” sehingga “genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Karena itu Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan Allah dan melaksanakan misi Allah yang memulihkan, membebaskan dan menghadirkan tahun rahmat Tuhan. Penentuan kehendak Allah atas diri Yesus dalam bacaan leksionaris dikaitkan dengan pemanggilan Allah kepada Nabi Yeremia, yaitu: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer. 1:5). Firman Allah yang khusus ditujukan kepada Nabi Yeremia tersebut mengandung kebenaran untuk memahami penentuan kehendak Allah atas diri Yesus, yaitu Allah telah terlebih dahulu mengenal Yesus sebelum Ia menjadi janin dalam rahim Maria. Allah juga telah menguduskan Yesus dan menetapkan Dia sebagai Mesias untuk segala bangsa. Sebagai Mesias, Yesus tidak lupa akan tempat asal-Nya yaitu Nazaret seperti peribahasa “kacang tidak lupa akan kulitnya.” Tetapi lingkup pelayanan Yesus tidak terbatas pada satu kelompok orang saja, tetapi meluas bagi seluruh umat manusia. Demikian pula ketetapan Allah berlaku bagi Nabi Yeremia, yaitu Allah memanggil, menguduskan dan menetapkan dia untuk menjadi hamba Allah bagi bangsa-bangsa. Yeremia juga ditolak oleh orang-orang sebangsanya. Namun pengalaman ditolak ditempat asalnya tidak berarti misi dan karya keselamatan Allah menjadi gagal. Sebab melalui peran dan pelayanan Nabi Yeremia, Allah menyatakan bahwa “Ia mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam” (Yer. 1:10).

Lingkup karya keselamatan Allah yang universal untuk menjangkau seluruh umat yang beragam adalah karakter Allah yang inklusif dalam kasih-Nya. Misi karya keselamatan Allah di dalam Kristus yang menjangkau bangsa-bangsa di dunia ditempatkan dalam perspektif kasih Allah. Sifat misioner Kristus adalah misioner dalam kuasa kasih-Nya. Isi nubuat nabi Yesaya 61 merupakan misi Mesias yang mendeskripsikan dan mengimplementasikan kasih Allah dalam tindakan Yesus, yaitu: menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada mereka yang tertawan dalam penjara, penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan. Karena itu bacaan 1 Korintus 13:1-13 merupakan penegasan ulang bagaimanakah mengimplementasikan misi Kristus dalam gereja-Nya dalam tindakan kasih sebagaimana dideskripsikan Rasul Paulus di 1 Korintus 13:1-13. Misi dan karya keselamatan Allah bukan hanya menaburkan benih-benih iman sehingga banyak orang percaya kepada Kristus dan anggota jemaat bertambah banyak. Gereja juga bukan hanya terpanggil memberi pelatihan dan pengembangan berbagai talenta kepada umat dan orang-orang di sekitarnya sehingga mereka semakin terampil dan profesional. Umat tidak cukup memiliki pengetahuan yang luas dan dalam sehingga mampu menyelami segala rahasia ilmu pengetahuan dan menjadi para pakar dalam berbagai bidang. Lebih daripada itu gereja dipanggil Allah untuk mempraktikkan kasih secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap umat mampu mempraktikkan: kesabaran, kemurahan hati, tidak iri, tidak sombong, bersikap etis, tidak mencari keuntungan diri sendiri, mampu mengendalikan kemarahan, dan tidak pendendam. Mereka juga bersedia membela keadilan, mampu memegang rahasia, kredibel, dan tidak bersungut-sungut dalam kesusahan, dan (1Kor. 13:4-7). Sebab kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap (1Kor. 13:8).

Memahami kasih berbeda dengan mempraktikkan kasih. Kegagalan utama kita adalah mampu memahami makna kasih tetapi gagal mempraktikkan kasih. Orang-orang Nazaret sebagai umat Israel mampu memahami inti utama sebagaimana diajarkan dalam TANAKH (Torah, Nebiim, Ketubim) yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Tetapi mereka gagal menerapkan saat Yesus menyatakan bahwa isi nubuat nabi Yesaya 61 telah tergenapi dalam diri-Nya. Sikap mereka yang semula kagum dan terpesona pada hikmat Yesus dalam mengajar berubah drastis menjadi perasaan benci bahkan keinginan untuk membunuh Dia. Pemahaman kasih tidak senantiasa meresapi dan menjiwai perilaku hidup seseorang sejauh pemahaman tentang kasih tersebut belum menjadi karakter dalam kepribadiannya. Dalam realita, karakter kita lebih banyak dibentuk oleh berbagai kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan yang justru tidak bersumber pada kasih Allah. Perilaku buruk orang-orang Nazaret tersebut mengalahkan kenangan dan rajutan kasih yang pernah terjalin bersama Yesus selama tiga puluh tahun lamanya sehingga mereka berniat membunuh Yesus.

Injil Lukas tidak melukiskan isi hati dan perasaan Yesus yang telah diremehkan, ditolak dan dibunuh oleh orang-orang yang pernah bersama dengan Dia. Tetapi sebagai seorang manusia, kita dapat merasakan perasaan terluka yang dialami oleh Yesus. Bukankah ditolak dan dilukai oleh orang-orang yang kita kenal sebagai sahabat lebih menyakitkan daripada dilukai oleh musuh? Tetapi Yesus tidak membalas dengan kemarahan dan kekecewaan, tetapi Ia menghindar dari kemarahan dan amukan mereka. Kasih-Nya tidak berubah sehingga walau Ia terluka, Ia tetap melanjutkan misi dan karya keselamatan Allah.

Dalam konteks ini kita harus belajar menghargai orang-orang terdekat apabila mereka berprestasi. Kita seharusnya bangga dan memberikan dukungan, bukan sebaliknya bersikap iri dan sinis dengan memandang remeh. Sikap kita yang sinis dan iri memperlihatkan bahwa kita bukanlah seorang yang berjiwa mulia. Sikap sinis dan iri juga menyatakan bahwa kita bukanlah seorang sahabat. Sebaliknya kita adalah orang-orang pecundang yang tidak mampu bergaul secara etis. Di dalam Kristus, kita dipanggil untuk menjadi para sahabat yang mengasihi dan mendukung setiap orang-orang di sekitar kita sehingga mereka mengalami kemajuan dan berprestasi sesuai dengan bidang atau panggilan hidup mereka.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono