Minggu, 1 Mei 2016
Taat dalam Iman dan Kasih
(Kis. 16:9-15; Mzm. 67; Why. 21:10, 22 – 22:5; Yoh. 14:23-29)
Pesan perayaan Minggu Paskah VI ditempatkan dalam konteks percakapan Yesus dengan para murid-Nya menjelang Ia ditangkap. Yesus menegaskan keberadaan diri-Nya sebagai “Jalan, Kebenaran, dan Hidup” (Yoh. 14:6). Yesus bukan sekadar penunjuk jalan, penyampai kebenaran, dan pengajar akan kehidupan tetapi Dia sendiri adalah Sang Jalan, Kebenaran Allah yang hadir, dan Sang Hidup. Teks Yohanes 14 menyatakan dengan lugas Yesus sebagai manifestasi dari Yahweh yang dipanggil dengan “Sang Bapa.” Di Yohanes 14:7 Yesus berkata: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Karena itu melalui kehadiran Yesus manusia melihat kehadiran Sang Yahweh, dan melalui karya-karya-Nya manusia melihat pekerjaan Sang Yahweh di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Yesus adalah Sang Penyata Allah yang berkarya dalam sejarah kehidupan manusia.
Makna Minggu Paskah VI berpusat pada Yesus Sang Penyata Allah agar umat mampu memberi respons iman yang tepat. Bagaimanakah sikap umat di hadapan Yesus? Apakah mereka menyambut dan mengasihi Dia? Jika mereka percaya dan mengasihi Yesus, maka mereka akan mewujudkan dengan ketaatan kepada-Nya. Di Yohanes 14:23 Yesus berkata: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” Ketaatan adalah wujud dari tindakan kasih. Kata “ketaatan” dalam konteks ini memakai tereo yang berarti: “menjaga, melaksanakan, mematuhi.” Namun makna ketaatan yang dimaksudkan Yesus adalah ketaatan yang bersumber pada relasi personal dengan diri-Nya, sehingga menghasilkan ketaatan yang diinspirasi dan digerakkan oleh kekuatan kasih Allah. Ketaatan yang bersumber dari kasih Allah bukanlah ketaatan legalistis (hurufiah) yang menafsirkan dan memaknai realita sekadar “hitam-putih” tetapi kehilangan roh untuk memahami konteks dan maknanya yang terdalam. Sebaliknya ketaatan yang bersumber dari relasi dan kasih adalah ketaatan yang memahami secara holistik baik dalam relasi personal maupun dimensi makna yang sesungguhnya. Di hadapan Sang Penyata Allah, yaitu Kristus umat dipanggil mengasihi Dia dengan ketaatan dalam relasi personal untuk terus-menerus diperbarui dalam kuasa kasih-Nya.
Ketaatan dalam relasi personal dengan Kristus dibutuhkan sebagai sumber kekuatan spiritualitas umat dalam menghadapi tekanan dan kekuatan dosa. Dalam Injil Yohanes keberadaan dosa dipahami sebagai hamartia. Makna hamartia berarti tindakan yang meleset dari sasaran walaupun seseorang telah melakukan usahanya yang terbaik sehingga ia gagal. Kata hamartia pertama kali digunakan oleh Injil Yohanes dalam ucapan Yohanes Pembaptis yaitu: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29). Dosa dalam konteks Injil Yohanes berarti umat berada dalam kematian. Yesus berkata: “Kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu” (Yoh. 8:24). Salah satu jenis dosa yang mematikan menurut Injil Yohanes adalah dosa ketidakpercayaan akan Yesus. Penolakan atau tidak percaya bahwa Yesus adalah Sang Firman, Anak Allah adalah dosa yang mematikan. Sebaliknya umat yang percaya dan menerima Yesus akan memeroleh hidup yang kekal. Di Yohanes 5:24 Yesus berkata: “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” Ketidakpercayaan kepada Yesus akan membawa seseorang ke dalam maut. Karena itu makna “menaati” (tereo) dalam Yohanes 14:23-24 memiliki makna percaya dan melakukan semua hal yang diajarkan dan diteladankan Yesus. Apabila mereka “menaati” (tereo) firman Kristus, maka mereka akan berpindah dari maut kepada hidup sebab Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.
Sikap penolakan dan ketidakpercayaan kepada Kristus dipahami sebagai dosa karena berarti umat mengalami kebutaan rohani. Dengan kondisi buta rohani maka umat tidak mampu melakukan kebenaran Allah, sehingga hidup dalam kegelapan dunia. Yohanes 3:20 menyatakan: “Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak.” Kebutaan rohani untuk percaya dan menerima Kristus akan mengakibatkan umat membenci terang dan hidup dalam perbuatan-perbuatan yang jahat. Walaupun manusia mempunyai motivasi dan upaya yang terbaik untuk melakukan perbuatan baik, namun karena mereka terputus dari relasi dengan Kristus, maka mereka gagal di hadapan Allah. Mereka berada dalam kondisi dosa hamartia, yaitu situasi dosa yang menyebabkan mereka melenceng atau menyimpang sehingga hidup dalam kegelapan. Kuasa dosa hamartia hanya dapat dilumpuhkan melalui relasi kasih yang personal dengan Kristus, sebab mereka akan dipenuhi oleh kasih-karunia dan kebenaran Allah. Dalam percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di pinggir sumur, kasih karunia dan kebenaran Kristus bukan hanya akan melumpuhkan kuasa dosa tetapi juga “akan menjadi mata air yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4:14).
Namun sebagaimana dipahami konteks Yohanes 14 adalah pengajaran dan nasihat Yesus menjelang Dia akan ditangkap dan disalibkan. Karena itu konteks Yohanes 14 adalah bagaimanakah keadaan para murid dan umat percaya sepeninggal Yesus di bumi ini? Di Yohanes 14:3 Yesus berkata: “Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” Makna Yesus pergi di sini jelas menunjuk peristiwa setelah Dia wafat. Para murid dan umat percaya tidak akan ditinggalkan Yesus sebagai yatim-piatu (Yoh. 14:18). Karena itu sepeninggal Yesus, Dia akan mengutus “Penolong yang lain.” Di Yohanes 14:16 Yesus berkata: “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya.” Keberadaan “penolong yang lain” dalam Yohanes 14:26 disebut oleh Yesus dengan sebutan: “Penghibur yaitu Roh Kudus.” Penghibur yaitu Roh Kudus yang akan diutus oleh Bapa dalam nama Yesus, akan mengajarkan segala sesuatu dan akan mengingatkan kita akan semua yang telah Dia katakan.
Kata “penghibur” di Yohanes 14:26 berasal dari kata “parakletos.” Perlu diketahui juga bahwa Surat 1 Yohanes 2:1 menyebut Yesus sebagai “parakletos,” yaitu: “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil.” Kata “pengantara” di sini adalah terjemahan “parakletos.” Dengan demikian Yesus adalah “parakletos” dan Dia akan mengutus “parakletos yang lain” untuk menyertai para murid dan umat percaya. Identitas “parakletos yang lain” adalah Roh Kudus yang akan mengajarkan segala sesuatu dan akan mengingatkan kita akan semua yang telah Dia katakan. Menurut Yohanes 16:14, Parakletos (penghibur) akan memuliakan Yesus. Dia akan memberitakan kepada umat percaya apa yang diterimanya dari Yesus. Dengan demikian melalui Parakletos, tugas Roh Kudus adalah: 1). Mengajarkan segala sesuatu perihal kebenaran Allah, 2). Mengingatkan semua pengajaran Yesus, 3). Memuliakan Yesus. Dengan demikian antara Yesus dan Roh Kudus memiliki keterjalinan relasi personal yang bersifat esa untuk mengerjakan karya keselamatan Allah. Yesus adalah Sang Firman, dan Roh Kudus atau Parakletos adalah Kuasa Allah. Kedua-Nya saling mengisi dan melengkapi. Roh Kudus (parakletos) menghadirkan Kristus ketika Kristus absen secara manusiawi.
Identitas Roh Kudus sebagai parakletos (penghibur) beberapa kali berusaha diganti dengan makna “periklutos” yang berarti: “yang terpuji” untuk menunjuk keberadaan diri nabi Muhammad. Kedua istilah “parakletos” dan “periklutos” sepintas mirip bunyinya, tetapi memiliki makna yang sama sekali berbeda. Dalam pengertian “periklutos” tersebut nabi Muhamad dipahami sebagai yang melanjutkan karya Yesus. Padahal teks Yohanes 14:26 secara eksplisit menegaskan “parakletos” sebagai Roh Kudus yang akan mempermuliakan Yesus. Apalagi kata “periklutos” (yang artinya: “yang terpuji”) tidak pernah satu kalipun dipakai dalam tulisan-tulisan di Perjanjian Baru. Upaya menggantikan kata “parakletos” dengan “periklutos” sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat, namun sekadar suatu perkiraan dan pembenaran ajaran tertentu yang tidak didukung oleh teks apapun dalam Perjanjian Baru. Sebaliknya melalui Parakletos yaitu Roh Kudus, Yesus akan menyertai para murid dan umat percaya. Di Yohanes 14:28 Yesus berkata: “Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu.” Dalam peristiwa Pentakosta, Kristus datang dalam kehadiran Roh Kudus.
Melalui kehadiran dan karya Parakletos yaitu Roh Kudus para murid dan umat percaya diteguhkan dan diberi karunia Allah sehingga mampu menaati segala firman yang diajarkan oleh Yesus. Di Roma 8:26 Rasul Paulus berkata: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Roh Kudus yang akan membantu kita dalam kelemahan manusiawi kita. Saat kita tidak mampu melawan kuasa dosa “hamartia” kita dimampukan untuk hidup menurut keinginan Roh agar kita dapat menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Tentunya karya Roh Kudus tidak bekerja secara otomatis, tetapi membutuhkan kesediaan diri kita untuk diperbarui, diterangi dan dikuduskan. Karena itu ketaatan kita kepada Kristus merupakan hasil kerjasama karya Ilahi dengan respons iman, sehingga menghasilkan kesediaan diri untuk mematuhi kehendak Allah sebagaimana yang telah diajarkan dan diteladankan oleh Yesus.
Kesaksian Kisah Para Rasul 16:9-15 merupakan wujud ketaatan para murid Yesus dalam memberitakan Injil. Pertama, saat para murid Yesus hendak melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia (Kis. 16:6). Kedua, saat para murid Yesus tiba di Misia dan akan masuk ke daerah Bitinia, Roh Yesus tidak mengizinkan mereka (Kis. 16:7). Lalu saat para murid Yesus tiba di Troas, pada malam hari mereka melihat suatu penglihatan, yaitu:
“Ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” (Kis. 16:9). Dari penglihatan itu para murid Yesus menyimpulkan bahwa mereka harus pergi ke Makedonia. Para murid Yesus taat terhadap pesan dari penglihatan yang dinyatakan Allah kepada mereka (Kis. 16:10). Mereka berlayar ke Makedonia dan tiba di kota Filipi yaitu kota pertama dari Makedonia. Ketaatan para murid Yesus menghasilkan buah, sebab di Filipi mereka berjumpa dengan Lidia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira. Lidia membuka hatinya sehingga ia memerhatikan pengajaran yang disampaikan oleh Rasul Paulus. Akhirnya Lidia bersedia dibaptis bersama dengan seisi rumahnya (Kis. 16:15). Karena Makedonia merupakan bagian dari Eropa, maka Lidia dan keluarganya merupakan orang pertama yang dibaptis dan menjadi umat Kristen. Sejak itu pemberitaan Injil diwartakan ke berbagai wilayah Eropa.
Makna menaati perintah Yesus berarti sikap spiritualitas umat yang peka dengan mematuhi kehendak Roh Kudus dalam menyikapi berbagai permasalahan dan tekanan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketaatan kepada Allah tidak didasarkan hanya pada pertimbangan dan perhitungan manusiawi, tetapi utamanya pada ketajaman rohani dalam memahami kehendak Allah yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Dalam mengatasi suatu permasalahan kita membutuhkan kemampuan analisis situasi, pemetaan permasalahan dan pertimbangan-pertimbangan hati-nurani namun juga harus terbuka untuk mendengar kehendak Allah sehingga mampu mengambil keputusan secara tepat. Karena itu ketaatan kepada kehendak Allah sebagai landasan kehidupan kita yang paling utama. Ketaatan kepada kehendak Allah tersebut didasarkan pada relasi kasih dan iman kepada Kristus, sehingga menghasilkan ketaatan yang memahami maksud isi hati Allah. Di Kisah Para Rasul 5:29 Rasul Petrus dan para murid Yesus di hadapan Imam Besar dan Sanhedrin berkata dengan lantang, yaitu: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” Kita mengetahui bahwa ketaatan kepada Allah dalam praktik seringkali tidak senantiasa menyenangkan hati manusia. Sebaliknya ketaatan kepada Allah seringkali membawa konsekuensi yang kurang menyenangkan bahkan membahayakan keselamatan hidup kita.
Kita akan mampu menanggung semua konsekuensi permasalahan dan tekanan hidup dengan sikap taat kepada Allah apabila hidup kita senantiasa terjalin suatu relasi kasih dengan Kristus, sehingga Ia akan mengaruniakan Roh Kudus untuk membantu setiap kekurangan dan kelemahan kita. Karena itu bagaimanakah kualitas ketaatan kita kepada Allah dan tanggungjawab kita? Apakah ketaatan kita bersifat legalistik, ataukah ketaatan yang dilandasi oleh kasih dan iman kepada Kristus? Kemungkinan yang lain adalah apakah hidup kita justru merupakan rangkaian pelanggaran terhadap kehendak Allah sebab kita memilih untuk menonjolkan sikap egoisme diri?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono