Minggu Prapaskah IV
Salah satu beban yang paling berat dalam kehidupan ini adalah ketidakmampuan untuk mengampuni. Karena itu kita sering membiarkan diri digerogoti oleh kemarahan, kebencian, dan dendam. Padahal kemarahan, kebencian, dan dendam yang kita tujukan kepada seseorang sebenarnya sedang kita tujukan kepada diri sendiri. Paradoksnya kita lebih intensif dilukai oleh kemarahan, kebencian, dan dendam tersebut. Karena itu seseorang yang marah, membenci, dan mendendam kepada sesama sebenarnya sedang menghancurkan dirinya sendiri. Penyebabnya karena ia tidak memiliki kekayaan kasih untuk mengampuni sesama yang bersalah kepadanya. Ia tidak memiliki kekayaan kasih, karena ia tidak mengalami anugerah Allah dalam kehidupannya. Mungkin ia hidup sebagai orang Kristen atau memiliki status sebagai anak-anak Allah, tetapi ia tidak menempatkan statusnya secara pantas dan dihayati dengan sikap bersyukur.
Di antara ketiga tokoh dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 15:11-32, pertanyaannya adalah manakah tokoh yang tidak menempatkan statusnya secara pantas, sehingga ia sulit untuk mengampuni? Lukas 15:28 mempersaksikan anak yang sulung itu marah sebab ayahnya menerima dan mengampuni adiknya. Lalu di Lukas 15:29 anak yang sulung itu menyatakan bahwa ia bekerja bertahun-tahun di rumah bapanya, tetapi ia tidak pernah mendapat seekor anak kambing untuk berpesta dengan teman-temannya. Kita sulit untuk mengampuni sesama yang bersalah, karena kita menganut “Teologi Anak Sulung”. Yang saya maksudkan dengan “Teologi Anak Sulung” adalah kita memiliki suatu pemikiran, dan pandangan iman bahwa diri kita lebih baik daripada orang-orang yang brengsek seperti anak bungsu yang berfoya-foya dan amoral. Kita mudah menghakimi dan mencela semua orang yang hidupnya mengikuti keinginan dunia, tetapi kita tidak memiliki kasih seperti tokoh bapa yang siap mengampuni. Selain itu walau kita berada dalam kekayaan anugerah Allah, kita merasa hanya berstatus sebagai “pelayan” Allah yang tidak pernah diberi kesenangan. Seperti anak sulung tersebut, walau ia setiap hari berada di rumah bapanya dengan semua fasilitas, cinta-kasih yang diterima, dan relasi pribadi dengan bapanya, tetapi ia masih iri-hati saat bapanya menyembelih seekor anak lembu yang tambun dan mengenakan cincin kepada adiknya. Umat yang hidup dalam “Teologi Anak Sulung” tidak pernah bersyukur atas kehormatan yang diterima dari Allah Bapa-nya, sehingga ia marah saat Allah memberkati orang yang dahulu memiliki latar-belakang yang kelam. Karena itu ia merasa diperlakukan tidak adil, dan menuntut memperoleh perhatian dan penghargaan atas semua perbuatan baik yang pernah dilakukan.
Efek teologi Anak Sulung adalah kita tidak bahagia saat orang lain mendapat suatu kehormatan dan rezeki khususnya bila kita mengetahui latar-belakang kehidupannya. Kita lupa satu hal yang utama, yaitu saat kita marah dan iri-hati sebenarnya kita telah menempatkan diri lebih buruk daripada orang yang kita hakimi itu. Selain itu kita harus ingat bahwa kehidupan spiritual seseorang tidak senantiasa serba hitam. Semula tokoh anak bungsu hidup dalam situasi yang serba kelam, tetapi kesadarannya telah membawa kepada suatu pertobatan yang menyeluruh. Ia datang bukan untuk memperoleh harta-kekayaan dari ayahnya. Tetapi ia datang untuk mengakui dosa-dosanya. Anak bungsu tersebut hanya ingin bekerja di rumah ayahnya sebagai seorang pelayan. Bukankah kondisi dan keberadaan anak bungsu itu merupakan cermin bagi kehidupan spiritualitas kita di hadapan Allah? Setiap kita pernah hidup seperti anak bungsu tersebut. Tetapi oleh karena kasih Kristus, kita datang kepada Allah untuk bertobat melalui sakramen baptis-sidi. Karena itu seharusnya teologi yang kita kembangkan adalah “teologi Anak Bungsu”, sehingga kita senantiasa sadar dan rendah-hati akan anugerah keselamatan yang kita terima. Lebih utama lagi apabila kita berupaya dengan sungguh-sungguh mau bersikap seperti tokoh bapa yang kaya dengan pengampunan. Bila hidup rohani kita seperti anak bungsu yang bertobat, sehingga dipenuhi oleh kasih bapa, maka kita akan memulihkan berbagai luka-luka batin dan dendam yang pernah melarutkan kita dalam penderitaan duniawi. Kita tidak hidup lagi dengan trauma-trauma masa lampau, tetapi kita hidup dalam pengharapan dan sukacita Roh Kudus.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono