Latest Article
Prapaskah I: Ulasan Yesus Dibaptis dan Dicobai (Dibaptis dan Dicobai agar Siap Memberitakan Injil  Kej. 9:8-17; Mzm. 25:1-10; 1Petr. 3:18-22; Mark. 1:9-15)

Prapaskah I: Ulasan Yesus Dibaptis dan Dicobai (Dibaptis dan Dicobai agar Siap Memberitakan Injil Kej. 9:8-17; Mzm. 25:1-10; 1Petr. 3:18-22; Mark. 1:9-15)

Pesan inti dari Minggu Prapaskah pertama adalah merefleksikan peristiwa pencobaan Yesus di padang gurun. Pesan Minggu Prapaskah 1 berkaitan dengan pesan Rabu Abu agar umat hidup dalam pembaruan hidup melalui kemurahan hati (bersedekah), berdoa, dan berpuasa. Ketiga aspek pembaruan hidup tersebut dilakukan dalam spiritualitas yang tersembunyi, yaitu spiritualitas yang didasari oleh motif batiniah yang tidak mencari perhatian dan pujian dari banyak orang. Kemurahan hati, doa dan puasa yang dipamerkan akan menjadi kemunafikan. Sikap munafik adalah manipulasi terhadap kebenaran, sehingga pelakunya hidup dalam ketidakbenaran dan kepalsuan. Mereka menjadi musuh Allah, sebab telah memanipulasi kebenaran-Nya untuk kepentingan diri dan nafsu duniawi. Karena itu tiada jalan lain selain bersedia bertobat dengan hati yang hancur dan jiwa yang remuk agar memeroleh belas-kasihan dan kerahiman Allah.

Puasa dalam peristiwa pencobaan Yesus di padang gurun bukan untuk memeroleh belas-kasihan dan kerahiman Allah, tetapi Yesus menjadi model yang sempurna bagi umat percaya dalam menghayati kemurnian dan kekudusan di hadapan Allah. Sebab Yesus adalah Anak Allah, Sang Mesias. Yesus dilantik menjadi Anak Allah bukan karena keberhasilan-Nya meraih kesalehan yang tertinggi. Ajaran Adopsionisme menyatakan bahwa Yesus menjadi Anak Allah karena Allah berkenan akan kesalehan-Nya. Karena itu Yesus bukan Anak Allah sejak kekal. Yesus dianggap menjadi Anak Allah setelah Ia berhasil mengalahkan godaan Iblis. Ajaran Adopsionisme tidak cermat dalam membaca Alkitab. Sebelum Yesus dikandung Maria, Malaikat telah menyatakan: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35). Pertama, sejak awal Yesus disebut Kudus, Anak Allah. Ia telah sejak kekal telah ada sebagai Anak Allah. Kedua, struktur narasi Injil-injil adalah Yesus dibaptis dahulu baru Ia dicobai, dan bukan sebaliknya “dicobai dulu baru dibaptis.” Karena itu pencobaan Yesus di padang-gurun merupakan pembuktian gelar-Nya sebagai Anak Allah.

Untuk membuktikan diri-Nya adalah sungguh-sungguh Anak Allah setelah Yesus dibaptis, Dia dibawa oleh Roh Kudus untuk dicobai di padang-gurun. Terjadi perubahan lokasi dari sungai ke padang-gurun. Perubahan dari tempat berair ke tempat gersang. Dari situasi keramaian publik ke tempat yang sepi. Perubahan dari peristiwa penyataan Allah di Sungai Yordan dengan langit yang terkoyak ke peristiwa Yesus diuji oleh Iblis di padang-gurun. Roh Kudus yang sama yang melantik Yesus adalah juga yang membawa Dia untuk dicobai Iblis. Pola yang sama terjadi dalam kehidupan umat. Dalam baptisan-sidi, setiap umat dimeteraikan menjadi anak-anak Allah. Namun setelah itu Roh Kudus membawa umat berziarah di padang-gurun dunia dengan segala pencobaan dan godaannya. Umat yang semula berada di tempat yang “basah” dan menyenangkan dibawa oleh Roh Kudus ke tempat yang sulit dan berbahaya, yaitu dunia dengan segala daya tariknya. Apakah umat mampu tetap setia dan mampu mempertahankan statusnya sebagai umat percaya di tengah-tengah pencobaan dunia tersebut.

Minggu Prapaskah pertama secara bersengaja mengajak umat untuk setia di tengah-tengah pencobaan sehari-hari kepada Allah sebagaimana Yesus saat Ia dicobai. Walaupun Yesus adalah Mesias, Anak Allah sejak kekal, Ia tidak mendapat dispensasi dari pencobaan dan penderitaan. Yesus tidak menolak saat Ia dibawa oleh Roh Kudus untuk dibawa ke padang-gurun agar dicobai oleh Iblis. Walau Yesus memiliki kuasa Ilahi yang tidak terbatas dan setara dengan Allah, Dia tidak memandang remeh pencobaan Iblis. Yesus mengendalikan kemanusiaan-Nya, sehingga Ia tidak berdosa dalam segala hal. Tepatlah kesaksian Surat Ibrani yang berkata: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Pencobaan Iblis dihadapi Yesus dengan berpuasa selama empat puluh hari, yaitu tindakan iman yang mengendalikan setiap keinginan dan nafsu manusiawi agar tetap taat dan fokus kepada kehendak Allah. Tanpa pengendalian diri yang sempurna, Yesus juga dapat gagal saat Ia dicobai. Sebab peristiwa pencobaan di padang-gurun bukanlah sandiwara yang kisah akhirnya (ending) dapat diramalkan.

Setelah Yesus dicobai oleh Iblis selama empat puluh hari, Ia pergi ke Galilea memberitakan Injil Allah. Tema khotbah Yesus adalah: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mark. 1:15). Berita Injil yang Yesus sampaikan adalah manifestasi dari kedalaman hati-Nya yang telah bersekutu dengan Allah. Injil akan menjadi “Kabar baik” bilamana lahir dari pengalaman spiritualitas yang mengosongkan setiap keinginan dan kecenderungan nafsu manusiawi. Injil yang disampaikan gereja seringkali tidak mampu menjadi kabar baik, sebab umat tidak memberitakan Injil yang lahir dari spiritualitas yang mengosongkan diri. Pemberitaan Injil seringkali lahir dari arogansi kepada penganut agama lain atau keyakinan yang berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan masyarakat pada umumnya alergi dengan istilah “pekabaran Injil.” Padahal makna kata “pekabaran Injil” seharusnya merupakan ungkapan yang dirindukan dan diharapkan oleh masyarakat. Melalui pekabaran Injil, Allah berkenan menyatakan karya penebusan dan keselamatan bagi umat manusia. Jadi yang harus kita ubah lebih dahulu adalah hati kita masing-masing bukan sekedar program pekabaran Injilnya. Saat kita berubah dan diperbarui oleh Roh Kudus, apapun yang kita kerjakan akan dipakai Allah untuk mendatangkan keselamatan bagi banyak orang.

Pertanyaan untuk direnungkan:

  1. Tiga sikap apakah yang menjadi panggilan Tuhan Yesus pada Rabu Abu untuk diterapkan agar menjadi wujud pembaruan diri dalam kehidupan kita?
  2. Apakah yang dimaksud dengan spiritualitas yang tersembunyi, yaitu spiritualitas yang bertentangan dengan kemunafikan?
  3. Apakah Yesus berpuasa dan dicobai oleh Iblis untuk mencapai tingkat tertinggi sebagai Anak Allah sebagaimana ajaran Adopsionisme?
  4. Apakah kesalahan dari ajaran Adopsionisme sehingga ditolak oleh gereja?
  5. Apakah ada kemungkinan Yesus gagal dalam menghadapi pencobaan Iblis? Apa alasannya bahwa Yesus dapat gagal dalam menghadapi pencobaan Iblis?
  6. Bagaimanakah kita dapat mengalahkan setiap pencobaan dunia atau Iblis?
  7. Bagaimanakah agar setiap umat dapat memberitakan Injil sebagai Kabar Baik, dan bukan sebaliknya?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply