Latest Article
Preparasi dan Proklamasi Firman

Preparasi dan Proklamasi Firman

(Paradigma Komunikatif-Kontekstual dalam Teologi Homiletika)

Oleh: Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Abstrak

Artikel ini mengeksplorasi secara kritis keterkaitan antara dimensi teologis dan praktis dalam proses persiapan (preparatio) dan pemberitaan (proclamatio) firman Tuhan, yang dipandang sebagai titik kulminasi dari formasi teologis seorang pelayan atau pengkhotbah. Penelitian ini bertolak dari asumsi bahwa khotbah bukan sekadar aktivitas retoris atau liturgis, melainkan wujud perjumpaan transformatif antara Sabda Allah dan realitas kehidupan umat. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika komunikatif, artikel ini menganalisis bagaimana interaksi antara teks-teks Alkitab dan konteks eksistensial jemaat berperan dalam membentuk khotbah yang teologis-akademis sekaligus pastoral-kontekstual.
Dalam proses ini, ditegaskan bahwa khotbah yang bertanggung jawab menuntut keseimbangan antara fidelitas terhadap makna teologis teks (dalam kerangka eksposisi yang akademis) dan kepekaan terhadap kebutuhan serta dinamika kehidupan konkret jemaat (dalam kerangka komunikasi yang kontekstual). Temuan utama menunjukkan bahwa efektivitas proklamasi firman secara signifikan dipengaruhi oleh integrasi antara keteguhan refleksi teologis dan keluwesan dalam menjembatani pesan ilahi ke dalam bahasa dan simbol-simbol budaya jemaat.
Integrasi ini dimediasi melalui praksis kontemplatif—yakni disiplin spiritual yang membuka ruang batin untuk mendengar dan meresapi suara firman—serta melalui visualisasi hermeneutika, yaitu kemampuan mengimajinasikan makna teks secara kreatif dalam horizon pengalaman jemaat. Dengan demikian, formasi teologis mencapai realisasinya dalam tindakan proklamasi yang hidup, kontekstual, dan mengubahkan.

Kata Kunci: hermeneutika komunikatif, proklamasi firman, teologi homiletika, kontekstualisasi, formasi teologis

1. Pendahuluan

Proklamasi firman dalam kerangka teologi praktis kontemporer menghadapi tantangan epistemologis yang tidak sederhana, terutama ketika tradisi pewartaan harus bersentuhan langsung dengan kompleksitas dunia postmodern yang plural, dinamis, dan sering kali skeptis terhadap otoritas religius. Dalam kondisi ini, khotbah tidak lagi dapat dipahami semata sebagai repetisi liturgis atau ekspresi puitis iman, melainkan sebagai tindakan teologis yang menuntut tanggung jawab epistemologis, etis, dan pastoral secara simultan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Lonergan, khotbah merupakan bentuk puncak dari praksis teologi; bukan hanya dalam arti sebagai aplikasi, melainkan sebagai transformasi epistemik yang menggabungkan pengetahuan konseptual, refleksi rohani, dan komunikasi eksistensial yang menyentuh kehidupan konkret umat.
Dalam kenyataannya, ketegangan terus-menerus muncul antara sofistikasi teologis—yakni upaya mempertahankan kedalaman, ketepatan, dan koherensi pemahaman iman—dengan aksesibilitas komunikatif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pesan ilahi yang dapat diterima dan bermakna dalam konteks kehidupan umat. Ketegangan ini menuntut adanya paradigma hermeneutika yang bukan hanya bersifat akademis, tetapi juga dialogis dan kontekstual; suatu pendekatan yang mampu menjembatani antara dunia teks dan dunia pendengar, antara norma dogmatik dan kebutuhan eksistensial jemaat.
Persoalan preparasi khotbah dalam konteks ini pun tidak dapat direduksi menjadi aktivitas teknis atau rutinitas homiletis semata. Ia merupakan medan dialektika antara tiga domain besar, yaitu: pertama, interpretasi eksegetis yang menuntut kesetiaan pada makna tekstual dan historis Alkitab; kedua, kontekstualisasi pastoral yang peka terhadap realitas sosial, budaya, dan psikologis jemaat; dan ketiga, retorika komunikatif yang mampu menjembatani pesan teologis dengan bentuk penyampaian yang menggugah dan menghidupkan. Ketiga domain ini membentuk jaringan kompleks yang membutuhkan kerangka konseptual dan metodologis yang interdisipliner.
Berdasarkan urgensi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi transformasi paradigma hermeneutika dalam proses preparasi (persiapan) dan proklamasi firman (pemberitaan), khususnya melalui lensa pendekatan komunikatif-kontekstual. Penelitian ini menyoroti bagaimana integrasi antara rigiditas akademis-teologis dan fleksibilitas komunikatif-praksis dapat menghasilkan bentuk pewartaan firman yang tidak hanya informatif, tetapi juga transformatif. Pertanyaan kunci yang menjadi fokus adalah: Bagaimana sebuah khotbah dapat tetap setia pada disiplin akademik teologis namun sekaligus relevan, komunikatif, dan menyentuh eksistensi umat?
Dengan menggunakan metode analisis hermeneutis-reflektif, artikel ini bertujuan untuk memberikan kontribusi teoretis bagi pengembangan wacana teologi homiletika kontemporer, terutama dalam usaha membangun integrasi antara kontemplasi teologis dan tindakan pewartaan yang kontekstual dan membebaskan.

2. Kerangka Teoretis: Lingkaran Hermeneutika dalam Proklamasi Firman

2.1 Paradigma Hermeneutika Komunikatif

Proklamasi firman sebagai sebuah tindakan interpretatif bukanlah proses linier atau mekanistik, melainkan sebuah peristiwa perjumpaan yang sarat dengan dinamika spiritual, kognitif, dan relasional. Tindakan ini menuntut penghayatan terhadap lingkaran hermeneutika yang terus bergerak—sebuah dialog tak henti antara teks alkitabiah yang memuat jejak wahyu ilahi dan konteks eksistensial umat yang terus berubah. Dalam terang pemikiran Hans-Georg Gadamer, pemahaman tidak pernah netral atau pasif. Ia adalah peristiwa “peleburan cakrawala” (Horizontverschmelzung)—yakni, titik temu antara cakrawala makna teks dengan cakrawala pengalaman dan harapan penafsir serta pendengar.
Dalam konteks homiletika, ini berarti bahwa khotbah yang sejati bukanlah semata-mata transfer pengetahuan teologis, melainkan sebuah tindakan dialogis yang menghadirkan perjumpaan transenden antara sabda yang diwahyukan dan realitas manusiawi yang rapuh dan penuh gejolak. Di sini, khotbah menjadi tempat kudus—locus theologicus—di mana Allah dan umat saling menjumpai dalam keheningan yang penuh makna maupun dalam kegelisahan yang jujur.
Lebih jauh, konsep “penyingkapan diri Allah” dalam proklamasi firman menunjukkan bahwa khotbah memiliki karakter teofanik, yaitu sebagai ruang pewahyuan, bukan sekadar komunikasi verbal. Dalam setiap pewartaan yang otentik, Allah menyatakan diri-Nya bukan hanya melalui isi teks, tetapi juga melalui proses keterlibatan interpretatif pengkhotbah dan respons umat yang mendengar. Maka, tanggung jawab homiletik bukan hanya bersifat informatif, tetapi juga performativo-teologis, yaitu khotbah menjadi tindakan yang menghadirkan, bukan hanya menjelaskan. Di sinilah pentingnya kepekaan rohani dan kedalaman reflektif sang pengkhotbah dalam menangkap resonansi antara narasi-narasi biblika dengan realitas luka, harapan, dan kerinduan umat di masa kini.
Hermeneutika komunikatif, dalam kerangka ini, bukan sekadar strategi menyampaikan pesan, melainkan suatu pendekatan ontologis terhadap teks dan audiens. Ia mengandaikan adanya dialektika kreatif dan kadang tegang antara fidelitas terhadap teks dan relevansi kontekstual. Paul Ricoeur mengingatkan bahwa setiap interpretasi selalu dijalani dalam horizon pemahaman yang telah terbentuk sebelumnya. Tidak ada pembacaan yang benar-benar netral. Oleh karena itu, kesadaran hermeneutis seorang pengkhotbah mesti dibentuk oleh dua gerakan yang saling melengkapi: pertama, refleksi kritis terhadap bias dan prakonsepsi pribadi, dan kedua, kerendahan hati eksistensial untuk terus dibentuk oleh alteritas teks—yakni suara ilahi yang lain dan tak bisa direduksi ke dalam kepastian manusiawi.
Dengan demikian, proklamasi firman bukan hanya tugas teologis, melainkan panggilan spiritual yang menuntut penyerahan diri, pengosongan ego, dan kesediaan untuk menjadi alat melalui siapa Allah menyapa umat-Nya. Dalam setiap khotbah, terbuka kemungkinan akan peristiwa penyembuhan, konfrontasi, penghiburan, bahkan transformasi. Maka, pengkhotbah sejati bukanlah sekadar komunikator yang cakap, melainkan peziarah hermeneutis—seseorang yang dengan rendah hati menempuh jalan sabda, di mana teks dan dunia, Allah dan umat, bersua dalam kasih dan kebenaran.

2.2 Dimensi Komunikatif dalam Teologi Homiletika

Efektivitas proklamasi firman tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas dimensi komunikatif yang melampaui sekadar penyampaian verbal. Komunikasi dalam khotbah adalah tindakan yang utuh, mencakup unsur verbal (kata, struktur argumen, narasi) dan nonverbal (intonasi, gestur, ekspresi wajah, kehadiran tubuh)—semuanya berperan dalam menciptakan makna dan dampak bagi pendengar. Dalam kerangka ini, pemikiran Marshall McLuhan menyatakan bahwa “the medium is the message” – menjadi sangat relevan dalam konteks homiletika. Cara dan wujud penyampaian khotbah tidak netral; ia membawa serta makna dan nilai yang memperkuat atau bahkan mengubah isi pesan itu sendiri. Pengkhotbah, dalam hal ini, bukan hanya penyampai firman, tetapi juga inkarnasi komunikatif dari pesan yang diwartakan.
Komunikasi homiletika yang efektif menuntut integrasi mendalam antara ketelitian intelektual dan resonansi emosional, yang hanya dapat dimungkinkan melalui keterhubungan eksistensial pengkhotbah dengan teks dan dengan Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui teks tersebut. Artinya, proses preparasi (persiapan) khotbah tidak boleh direduksi menjadi “kegiatan akademis” semata—seperti eksegesis, studi bahasa, atau konstruksi argumen—melainkan harus mencakup formasi spiritual yang holistik. Di sinilah dimensi kontemplatif memainkan peran penting, yaitu hanya pengkhotbah yang telah berdiam dalam sabda mampu menyuarakan sabda dengan otoritas rohani.
Lebih jauh, dimensi komunikatif dalam teologi homiletika tidak dapat dilepaskan dari seni retorika yang selama ini sering kali dianggap duniawi atau manipulatif. Justru dalam terang teologi inkarnasi, aspek retoris (pemberitaan) dalam khotbah harus direhabilitasi sebagai bagian dari usaha mempertemukan Sabda yang kekal dengan bahasa manusia yang terbatas. Dalam hal ini, pemikiran klasik Aristoteles dalam Rhetorica tentang tiga pilar persuasi—ethos, pathos, dan logos—menyediakan kerangka penting bagi komunikasi homiletika yang transformatif.

  1. Ethos dalam khotbah Kristen tidak hanya merujuk pada kredibilitas pribadi pengkhotbah, tetapi lebih dalam lagi pada otoritas moral dan spiritual yang terpancar dari hidupnya. Sikap ethos dibangun melalui integritas hidup, konsistensi antara kata dan perbuatan, serta kedalaman relasi dengan Kristus yang memberinya otoritas bukan karena posisi, tetapi karena perjumpaan dengan Sang Firman.
  2. Pathos berkaitan dengan kemampuan pengkhotbah untuk menyentuh hati dan menimbulkan resonansi emosional melalui empati pastoral, bahasa yang kontekstual, serta kepekaan terhadap penderitaan dan harapan umat. Di sini, pengkhotbah bertindak bukan sebagai pengajar dari menara gading, tetapi sebagai companion in suffering—rekan seperjalanan yang mengenal realitas luka dan pergumulan umat.
  3. Logos merujuk pada kekuatan argumen dan struktur pesan yang logis dan meyakinkan. Namun dalam homiletika Kristen, logos bukan sekadar logika manusia, melainkan keterbukaan terhadap Logos Ilahi (Kristus), yakni Firman yang menjadi daging. Maka, logos dalam khotbah harus mencerminkan kedalaman eksegesis, koherensi naratif-teologis, dan keterhubungan dengan kisah keselamatan Allah.

Ketiga unsur ini—ethos, pathos, dan logos—harus diintegrasikan secara harmonis, tidak dalam ketegangan manipulatif, tetapi dalam pelayanan kasih dan kebenaran. Ketika integrasi ini terjadi dalam diri pengkhotbah yang telah terbentuk secara spiritual, maka proklamasi firman tidak hanya menjadi tindakan komunikatif, melainkan juga peristiwa teologis yang mengubahkan, baik bagi pendengar maupun pengkhotbah itu sendiri.
Dengan demikian, proklamasi firman bukan hanya sebuah seni berbicara, tetapi sarana rahmat, tempat di mana kehadiran Allah dapat dialami secara nyata melalui kata, tubuh, dan roh. Efektivitasnya tidak ditentukan oleh daya retoris semata, tetapi oleh kejujuran eksistensial pengkhotbah dalam menghadirkan dirinya sebagai saksi dan pelayan Sabda yang hidup.

3. Metodologi Preparasi Khotbah yang Bertanggung Jawab

3.1 Prinsip Preparasi Holistik

Preparasi khotbah yang bertanggung jawab merupakan sebuah proses formasi teologis dan spiritual yang menyeluruh, bukan sekadar langkah teknis untuk menghasilkan naskah khotbah. Ia menuntut integrasi antara akademis teologis yang ketat dan kontemplasi rohani yang otentik. Dalam paradigma ini, pengkhotbah dipandang tidak hanya sebagai komunikator atau interpretator teks, tetapi sebagai mediator eksistensial antara Sabda dan kehidupan umat. Maka, proses preparasi (persiapan) khotbah harus melibatkan keseluruhan dimensi diri: akal, hati, dan jiwa.
Fase preparatif khotbah dapat dipetakan dalam empat tahapan saling terkait:

  1. Analisis eksegetis yang komprehensif terhadap teks alkitabiah: Proses ini mencakup studi linguistik, historis, dan literer terhadap teks dalam terang kanon, serta mempertimbangkan genre, struktur naratif, dan dinamika retoris. Di sini, pengkhotbah bertindak sebagai teolog-biblika yang berakar pada disiplin ilmu namun terbuka terhadap dinamika ilham Roh Kudus.
  2. Analisis kontekstual terhadap situasi eksistensial jemaat: Khotbah yang relevan menuntut kepekaan terhadap dunia konkret umat. Pengkhotbah ditantang untuk membaca “teks kehidupan” umat—yakni realitas sosial, budaya, ekonomi, dan spiritual jemaat—sebagai latar di mana Firman harus menjelma. Di sini, hermeneutika kontekstual menjadi penting untuk menjembatani makna teks dan kebutuhan umat.
  3. Sintesis teologis yang kreatif dan kontekstual: Sintesis ini bukan sekadar menjumlahkan data eksegetis dan sosial, tetapi upaya kreatif untuk menyusun narasi pewartaan yang setia secara teologis dan transformatif secara pastoral. Pengkhotbah memformulasikan pesan yang menjunjung integritas iman Kristiani sambil menjawab keresahan umat dalam terang Injil Kristus.
  4. Strategi komunikatif yang sensitif terhadap diversitas audiens: Khotbah bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana memberitakan dengan benar dan tepat. Pengkhotbah harus mempertimbangkan latar belakang pendidikan, usia, tradisi spiritual, bahkan gaya belajar jemaat. Di sini, unsur retorika, narasi, metafora, dan dinamika liturgis menjadi instrumen untuk menjembatani pesan dan penerima.

Aspek yang sangat krusial dalam preparasi khotbah adalah kesadaran akan bahaya vulgarisasi atau simplifikasi berlebihan terhadap konsep teologis yang kompleks. Meskipun kerinduan untuk menjangkau semua lapisan jemaat itu mulia, namun penyampaian teologi secara tidak hati-hati dapat menyebabkan distorsi makna, penyempitan doktrin, atau bahkan kebingungan rohani dalam komunitas eklesiologis. Pengkhotbah perlu memiliki kebijaksanaan hermeneutis dalam memilih, meramu, dan menyampaikan narasi teologis dengan kadar yang proporsional dan relevan.
Dalam konteks ini, preparasi khotbah menuntut pengkhotbah untuk mengembangkan apa yang dapat disebut sebagai “teologi pastoral”—yakni kemampuan untuk mentranslasikan pemikiran teologis abstrak ke dalam bahasa dan pengalaman umat secara konkret. Hal ini bukanlah bentuk banalitas atau pendangkalan iman, melainkan usaha inkarnatoris, yaitu menjelmakan Sang Sabda yang hidup ke dalam tubuh pengalaman manusia yang historis dan partikular. Seperti Kristus yang telah menjelma dalam sejarah dan budaya tertentu, demikian pula firman yang diberitakan harus berakar dalam realitas konkrit umat yang mendengar.
Dengan demikian, metodologi preparasi (persiapan) yang holistik tidak hanya menghasilkan khotbah yang informatif atau inspiratif, tetapi juga proklamasi (pemberitaan) yang transformatif—sebuah tindakan iman yang menjembatani dunia Allah dan dunia umat, sebuah liturgi sabda yang membentuk identitas gereja dan mengarahkan umat menuju perjumpaan dengan Kristus yang hidup.

3.2 Diksi dan Kontekstualisasi Linguistik

Penggunaan terminologi teologis dalam proklamasi firman bukan sekadar persoalan gaya bahasa, melainkan menyangkut kesetiaan hermeneutis terhadap teks serta kepekaan pastoral terhadap audiens. Khotbah yang bertanggung jawab menuntut adanya keseimbangan yang arif antara presisi teologis dan aksesibilitas komunikatif. Di satu sisi, penggunaan istilah-istilah teknis seperti justifikasi (pembenaran) karena iman, eskatologi, trinitas, predestinasi, penebusan, atau inkarnasi sangat penting untuk menjaga keutuhan dan kedalaman pesan Injil. Namun, di sisi lain, penggunaan istilah teologis yang tidak terjelaskan atau terlalu berlebihan dapat menciptakan hambatan semantik, sehingga menjauhkan audiens dari pesan yang seharusnya menjangkau dan menyentuh mereka.
Sebaliknya, penyederhanaan berlebihan demi alasan komunikasi dapat menyebabkan reduksionisme teologis—sebuah bentuk pemiskinan makna di mana dimensi kedalaman iman tereduksi menjadi slogan moralistik atau narasi psikologis yang dangkal. Dalam hal ini, khotbah kehilangan sifat kerygmatik dan profetis-nya karena lebih menyesuaikan diri pada selera budaya daripada bersaksi tentang realitas Allah yang transenden dan menyelamatkan.
Untuk itu, diperlukan strategi kontekstualisasi linguistik—yakni kemampuan untuk menerjemahkan konsep-konsep teologis yang sofistikated ke dalam bahasa sehari-hari yang berakar dalam dunia-hidup jemaat, dan tanpa kehilangan ketepatan maknanya. Strategi ini bukan sekadar tentang memilih sinonim yang sederhana, tetapi tentang mengalami kembali realitas iman dalam horizon hidup umat, dan mendeklarasikan dengan bahasa yang dapat menggugah, membimbing, dan membentuk.
Pengkhotbah, dalam hal ini, dipanggil untuk menjadi seorang mediator linguistik dan kultural, yang menguasai baik bahasa teologi maupun bahasa umat. Maka, sensitivitas linguistik dan kompetensi kultural menjadi prasyarat bagi pewartaan yang efektif. Sensitivitas ini mencakup kepekaan terhadap ragam bahasa (vernakular lokal, bahasa generasi muda, simbol budaya populer), serta kemampuan menangkap makna laten yang tersimpan dalam ungkapan-ungkapan dan narasi sehari-hari jemaat.
Lebih dalam lagi, kontekstualisasi linguistik harus mempertimbangkan dimensi semiotik dalam komunikasi khotbah. Bahasa bukan hanya medium transmisi makna literal, tetapi juga sistem tanda yang sarat dengan konotasi, asosiasi budaya, dan nilai-nilai simbolik. Misalnya, kata “salib” mungkin memiliki makna yang sangat berbeda bagi jemaat urban modern dibandingkan dengan komunitas pedesaan tradisional atau jemaat yang hidup di bawah tekanan. Pengkhotbah yang efektif adalah mereka yang mampu membaca dan memanfaatkan dimensi semiotik bahasa ini untuk membangun resonansi makna yang mendalam—yakni, hubungan antara makna Injil dan pengalaman batin umat yang mendengarnya.
Dengan demikian, penggunaan bahasa dalam proklamasi firman bukan sekadar alat komunikasi, tetapi menjadi arena spiritual dan hermeneutis, di mana makna ilahi menjelma ke dalam simbol-simbol manusiawi. Tugas pengkhotbah bukan hanya menyampaikan informasi teologis, tetapi juga memfasilitasi pengalaman makna, di mana audiens tidak hanya memahami secara kognitif, tetapi juga mengalami secara eksistensial, bahwa Allah hadir dan berbicara di dalam bahasa mereka.

4. Paradigma Komunikatif dalam Proklamasi Firman

4.1 Dimensi Interpersonal dalam Homiletika

Proklamasi firman bukanlah sekadar penyampaian doktrin atau eksposisi teks Alkitab, melainkan sebuah tindakan komunikasi iman yang relasional. Dalam kerangka ini, dimensi interpersonal menjadi fondasi utama yang menopang efektivitas pewartaan. Khotbah yang transformatif hanya dapat terjadi dalam konteks relasi personal yang otentik antara pengkhotbah dan jemaat, di mana pesan ilahi disampaikan bukan hanya melalui kata-kata, melainkan melalui kehadiran manusiawi sang pewarta itu sendiri.
Koneksi interpersonal yang kuat dibangun melalui elemen-elemen paralinguistik seperti kontak mata yang hangat, modulasi vokal yang dinamis, ekspresi wajah yang selaras dengan isi pesan, serta gerakan tubuh yang mendukung narasi. Elemen-elemen ini bukan sekadar teknik retoris, tetapi merupakan ekspresi dari inkarnasi komunikasi—di mana pewarta menjadi perpanjangan tangan belas kasih dan sabda Allah yang menjelma ke dalam ruang konkret umat.
Khotbah yang sejati bukanlah monolog intelektual yang steril, melainkan sebuah dialog spiritual yang transenden, yang membuka ruang bagi Roh Kudus untuk bekerja di tengah perjumpaan antara teks, pengkhotbah, dan jemaat. Oleh karena itu, pengkhotbah dipanggil bukan hanya untuk menjelaskan firman, tetapi untuk menghadirkannya secara eksistensial, sehingga setiap kata menjadi jembatan yang menghubungkan antara realitas ilahi dan realitas hidup umat.
Keterlibatan emosional dan intelektual jemaat secara simultan menjadi indikator penting dalam efektivitas homiletika. Jemaat tidak hanya mendengarkan dengan telinga dan pikiran, tetapi juga dengan hati. Maka, pengkhotbah perlu mengembangkan sensitivitas empatik, yakni kepekaan terhadap dinamika batin jemaat—kekhawatiran, harapan, dan luka-luka mereka yang tersembunyi. Dalam terang ini, khotbah yang baik bukan sekadar tepat secara isi, tetapi juga mengena secara batiniah, menyentuh sisi terdalam kemanusiaan pendengarnya.
Dalam kajian ilmu komunikasi, makna dalam komunikasi antarmanusia hanya sebagian kecil disampaikan lewat kata-kata secara literal (sekitar 7%), sementara sisanya—sekitar 38% melalui intonasi suara, dan 55% melalui bahasa tubuh (Mehrabian, 1971). Artinya, pewartaan firman yang kuat membutuhkan sinkronisasi antara isi verbal dan ekspresi nonverbal. Khotbah yang disampaikan dengan suara monoton, ekspresi kaku, dan gestur tidak selaras akan kehilangan kekuatan performatifnya, bahkan jika secara teologis isinya sangat solid.
Lebih jauh, dimensi interpersonal dalam homiletika juga bersifat spiritual dan sakramental. Dalam perjumpaan mata dan dalam keheningan jeda kata, pengkhotbah menjadi ikon kehadiran Kristus yang menyapa umat-Nya. Oleh sebab itu, relasi interpersonal dalam khotbah bukan sekadar teknik komunikasi, melainkan ruang teofani, tempat Allah hadir dan bekerja secara personal.
Pengkhotbah yang efektif, karenanya, bukan hanya pengajar yang kompeten atau komunikator yang fasih, melainkan juga seorang pelayan yang hadir secara utuh—dengan tubuh, suara, tatapan, dan kasih. Ia tidak hanya mengajar firman, tetapi menghidupi dan mengalirkannya melalui dirinya sendiri. Di sinilah dimensi homiletika menyentuh aspek pembentukan diri rohani, yaitu pengkhotbah dipanggil untuk menjadi firman yang dihidupi, bukan hanya disampaikan secara verbal walau menarik secara sastrawi.

4.2 Fokus dan Kedalaman Tematik

Efektivitas sebuah khotbah sangat bergantung pada fokus tematik yang jelas, konsisten, dan mendalam. Dalam konteks ini, pengkhotbah bertindak bukan hanya sebagai komunikator, tetapi sebagai seorang kurator spiritual yang dengan bijak memilih dan meramu satu tema teologis untuk dijelajahi secara utuh dan relevan. Alih-alih memadati khotbah dengan berbagai tema atau subtopik yang berserakan, pendekatan homiletika kontemporer lebih menekankan prinsip “less is more” yaitu semakin fokus sebuah khotbah, semakin besar kekuatan transformatifnya.
Khotbah yang terlalu banyak memuat isu atau tema cenderung menyebabkan kelebihan beban kognitif (cognitive overload) pada jemaat. Hal ini tidak hanya menghambat pemahaman dan retensi, tetapi juga dapat mengaburkan pesan utama yang ingin disampaikan. Seperti lensa yang membiaskan cahaya menjadi satu titik api, demikian pula khotbah perlu mengkonsentrasikan pesan teologisnya pada satu tema yang terang, tajam, dan relevan. Tema yang mendalam lebih membentuk hati dan pemikiran jemaat dibandingkan banyak gagasan yang dangkal dan berserakan.
Untuk itu, pemilihan dan eksplorasi tema harus dilakukan secara teologis, kontekstual, dan pastoral. Pengkhotbah bertugas untuk menafsirkan tema tersebut bukan hanya secara dogmatis, tetapi juga secara eksistensial—menghubungkannya dengan kebutuhan nyata, penderitaan, dan kerinduan umat yang mendengarkannya. Ini berarti, kedalaman tematik bukan hanya soal kedalaman intelektual, tetapi juga kedalaman keterlibatan spiritual dan empatik.
Elemen penting dalam memperdalam tema adalah penggunaan ilustrasi dan eksemplifikasi. Namun, ilustrasi yang baik bukan sekadar hiasan retoris, melainkan harus menjadi jembatan yang mengantar jemaat kepada pesan utama. Ilustrasi yang dipilih secara sembarangan atau tidak relevan dapat menjadi distraksi bahkan menyebabkan disonansi kognitif. Maka, sensitivitas terhadap konteks budaya, pengalaman hidup umat, dan situasi pastoral lokal menjadi kunci. Ilustrasi yang tepat mampu menerangi pesan firman seperti lampu sorot yang diarahkan secara presisi ke pusat makna.
Lebih lanjut, kedalaman tematik dalam homiletika menuntut pengkhotbah untuk mengembangkan “teologi naratif”—sebuah pendekatan yang menyadari bahwa manusia memahami dunia dan kebenaran melalui cerita. Dalam terang ini, khotbah bukan sekadar pemaparan proposisi-proposisi teologis, tetapi penceritaan realitas ilahi yang mengundang jemaat masuk dalam partisipasi eksistensial. Ini bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan cara untuk meng-inkarnasikan kebenaran teologis dalam kisah hidup nyata.
Struktur naratif dalam khotbah mampu menciptakan alur dramatik yang membawa jemaat dalam perjalanan rohani, yaitu dari pengenalan masalah, penggalian firman, hingga puncak perjumpaan dengan Kristus dan ajakan transformatif. Narasi memungkinkan terjadinya resonansi emosional dan refleksi personal yang lebih dalam daripada penjelasan proposisional semata. Dalam hal ini, khotbah menyatu dengan liturgi kehidupan, di mana firman Allah bukan hanya didengar, tetapi dialami, direnungkan, dan dihidupi secara eksistensial.
Dengan demikian, pengkhotbah dipanggil untuk menjadi penafsir kisah Allah dalam terang kisah manusia—menghubungkan kisah besar penebusan (meta-narrative Injil) dengan narasi kecil kehidupan jemaat sehari-hari. Di sinilah kekuatan khotbah yang efektif, yaitu ketika proklamasi menjadi perjumpaan, dan narasi menjadi transformasi.

5. Integrasi Kontemplasi Spiritual dalam Preparasi Khotbah

5.1 Refleksi Teologis Kontemplatif

Khotbah yang benar-benar transformatif tidak lahir hanya dari kemampuan retorika atau pengetahuan teologis semata, melainkan dari sebuah sintesis yang intim antara ketelitian intelektual dan kedalaman kontemplatif. Di sinilah letak ketegangan kreatif dalam homiletika, yaitu antara disiplin akademik yang menuntut akurasi, dan kehidupan spiritual yang menuntut keheningan dan ketersediaan untuk mendengar suara Roh Kudus.
Persiapan khotbah yang bersifat kognitif saja, meski mampu menghasilkan paparan teologis yang cermat dan sistematis, berisiko menjadi diskursus akademik yang steril dan kering—”berjarak” dari realitas kehidupan, kehilangan sentuhan ilahi, dan gagal memediasi kehadiran Allah kepada umat. Sebaliknya, khotbah yang hidup adalah hasil dari perjumpaan pengkhotbah dengan Sang Firman (Kristus) yang telah lebih dahulu menjamah hati si pengkhotbah sebelum ia menyampaikannya kepada orang lain. Karl Barth menyatakan, “One cannot speak of God unless one has first listened to God.”
Dalam tradisi spiritualitas klasik, ini dikenal sebagai jalan kontemplatif. Persiapan khotbah bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga praktik batin yang penuh kasih, diam, dan terbuka kepada Roh Allah. Proses ini melibatkan perenungan mendalam, doa yang khusyuk, dan perendahan hati yang remuk di hadapan Firman. Pengkhotbah, dalam hal ini, bukan sekadar komentator Alkitab, tetapi saksi yang telah lebih dulu disentuh oleh pesan ilahi.
Salah satu bentuk praksis kontemplatif yang paling relevan dalam persiapan khotbah adalah lectio divina—sebuah cara membaca Alkitab yang tidak hanya mengejar pemahaman teologis, tetapi juga mengarah pada transformasi eksistensial. Dalam lectio divina, teks Alkitab bukan hanya dipelajari secara eksegetis, tetapi juga dihayati secara batiniah, “dikunyah” dengan perlahan seperti roti hidup yang menguatkan jiwa. Hal ini menciptakan proses internalisasi di mana Firman menjadi bagian dari struktur batin dan pengalaman iman pengkhotbah itu sendiri.
Empat tahap dalam lectio divinalectio (membaca), meditatio (merenung), oratio (berdoa), dan contemplatio (diam dalam hadirat)—membentuk semacam ritus spiritual yang menyelaraskan pikiran, hati, dan roh. Pengkhotbah belajar untuk mendengar Firman Tuhan tidak hanya dengan telinga atau akal, tetapi dengan seluruh keberadaan dirinya. Ini menciptakan ruang bagi “otoritas spiritual” yang tidak bisa direkayasa oleh teknik atau teori retorika, tetapi hanya akan lahir dari habitus batin yang berserah kepada Allah.
Selain itu, proses kontemplatif ini memungkinkan lahirnya suara profetik dalam khotbah. Suara profetik bukanlah sikap agresif atau sekadar klaim absolut, melainkan suara yang jernih dan berani karena bersumber dari keintiman dengan Sang Sumber Firman. Dalam dunia yang bising dan serba instan, suara seperti ini menjadi oase rohani bagi jemaat yang merindukan kehadiran Allah yang nyata.
Dengan demikian, preparasi khotbah harus menjadi medan kontemplasi teologis, tempat di mana pengkhotbah tidak hanya mempersiapkan isi, tetapi juga mempersiapkan dirinya sebagai bejana firman. Sebuah khotbah hanya akan menyentuh hati jika berasal dari hati yang terlebih dahulu disentuh oleh kasih Allah. Dalam hal ini, khotbah menjadi bukan sekadar “berbicara tentang Allah,” tetapi partisipasi dalam percakapan Allah dengan umat-Nya.

5.2 Otentisitas Kerygmatik

Khotbah yang lahir dari persiapan kontemplatif memiliki daya resonansi spiritual yang tidak bisa dipalsukan. Ia membawa kualitas kerygmatik yang otentik—bukan hanya karena retorikanya kuat atau isinya informatif, melainkan karena di dalamnya hadir jejak perjumpaan dengan Allah yang hidup. Jemaat, dalam kepekaan iman mereka, dapat merasakan apakah seorang pengkhotbah sedang menyampaikan berita yang telah mengubah hidupnya sendiri, atau sekadar mengulangi informasi yang belum menjadi bagian dari jiwanya.
Otentisitas ini bukan sekadar ketulusan emosional atau kesungguhan etis, meskipun keduanya penting. Yang dimaksud di sini adalah otoritas spiritual yang muncul dari relasi yang nyata dengan Firman yang diwartakan. Pengkhotbah yang telah masuk ke dalam keheningan kontemplatif dan membiarkan dirinya dibentuk oleh Firman tidak lagi berbicara dari dirinya sendiri, tetapi menjadi corong suara Allah, menghadirkan suara yang lebih besar dari pada dirinya. Ia bukan orator, tetapi mediator wahyu.
Dalam pemikiran Karl Barth, otentisitas ini berkaitan erat dengan prinsip analogia fidei—sebuah cara berteologi dan berkhotbah yang bersumber dari iman yang sejati dan bukan dari akal semata. Analogia fidei mengandaikan bahwa hanya dalam terang pewahyuan Allah seseorang bisa memahami dan menyampaikan kebenaran tentang Allah. Maka, pengkhotbah bukan hanya seorang interpreter teks, tetapi seorang saksi yang telah dijamah oleh kebenaran yang ia wartakan. Ia berbicara “dari dalam” pengalaman iman, bukan sekadar berperan sebagai komentator luar terhadap teks suci.
Khotbah yang demikian akan memiliki kualitas kesaksian profetik, bukan sekadar eksposisi teologis. Ia tidak hanya menjelaskan, tetapi menyingkapkan; tidak hanya menginformasikan, tetapi mentransformasi. Seperti para nabi Perjanjian Lama dan para rasul dalam Kisah Para Rasul, suara pengkhotbah yang otentik lahir dari kedalaman “perjumpaan” dan bukan dari permukaan “pengetahuan.” Maka, khotbah menjadi tindakan sakramental, yaitu Allah berbicara melalui suara manusia.
Kejelasan perbedaan antara khotbah intelektual dan khotbah kontemplatif juga nyata dalam respons batin jemaat. Khotbah yang murni akademis mungkin membangkitkan apresiasi intelektual, tetapi sering gagal menembus relung terdalam dari eksistensi manusia. Sebaliknya, khotbah yang lahir dari kedalaman spiritual sering kali melampaui struktur kata dan memunculkan gema ilahi di hati pendengarnya. Jemaat tidak hanya “mengerti” khotbah itu, tetapi diurapi Roh Kudus dan diubah olehnya.
Dalam terang ini, tugas pengkhotbah bukan sekadar berbicara tentang Allah, melainkan membawa umat kepada perjumpaan dengan Allah. Ini hanya mungkin jika pengkhotbah sendiri telah lebih dulu masuk dalam “ruang kudus” kontemplasi, membiarkan dirinya ditransformasi oleh Firman, dan bersedia menjadi alat yang rapuh namun taat dalam menyampaikan pesan Allah. Sebagaimana kata rasul Paulus, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rm. 10:17)—dan firman itu hanya dapat didengar jika terlebih dahulu dihidupi oleh yang mewartakan.

6. Pendekatan Leksionari dalam Proklamasi Firman

6.1 Metodologi Hermeneutika Leksionari

Khotbah leksionari memerlukan pendekatan hermeneutis yang tidak hanya sofistikated secara metodologis, tetapi juga sensitif secara teologis dan liturgis. Pendekatan ini menuntut keterampilan untuk membaca dan menghubungkan teks-teks Kitab Suci yang seringkali berasal dari genre, konteks historis, dan teologi yang berbeda—misalnya: bacaan dari Perjanjian Lama, Mazmur, Surat rasul, dan Injil—dalam satu jalinan khotbah yang utuh dan bermakna.
Tantangan utama dalam menyusun khotbah leksionari adalah menghindari konstruksi hubungan antar-teks yang artifisial atau dipaksakan (forced harmonization). Alih-alih memaksakan koherensi naratif, pendekatan hermeneutis leksionaris yang bertanggung jawab justru mencari kesatuan tematik dan teologis yang muncul secara natural dari intertekstualitas Alkitab. Artinya, pengkhotbah perlu mengembangkan kepekaan terhadap simbolisme, motif naratif, dan pola-pola teologis yang berulang dalam seluruh kanon Alkitab—semacam “benang merah” teologis yang dapat dijadikan dasar untuk penyampaian pesan yang relevan dan bermakna.
Dalam praktiknya, khotbah leksionari yang efektif dapat mengambil dua bentuk. Pertama, dengan menelusuri benang teologis yang menghubungkan semua bacaan dalam satu hari liturgis dan menjadikannya landasan untuk perenungan terpadu. Pendekatan ini sangat berguna untuk menunjukkan kesatuan naratif besar Alkitab sehingga menumbuhkan pemahaman jemaat terhadap teologi alkitabiah secara menyeluruh. Kedua, dalam situasi di mana koneksi antar-teks Alkitab kurang kuat atau konteks pastoral jemaat memerlukan penekanan khusus, pengkhotbah dapat dengan bijaksana memilih untuk memusatkan perhatian hanya pada satu teks yang paling menyentuh kebutuhan kontekstual umat dan paling selaras dengan ritme spiritual musim liturgis.
Lebih jauh, metodologi hermeneutika leksionari idealnya berakar pada apa yang dikenal sebagai canonical approach (pendekatan kanonik) dalam penafsiran Alkitab. Pendekatan ini, yang dipopulerkan oleh para teolog seperti Brevard Childs dan Christopher Seitz, berangkat dari asumsi bahwa makna penuh dari suatu perikop Alkitab hanya dapat dipahami dalam terang keseluruhan kanon Kitab Suci. Artinya, setiap teks bukan hanya berdiri sendiri dalam konteks historis dan literernya, tetapi juga berbicara dalam korespondensi dengan narasi besar keselamatan Allah yang memuncak dalam Kristus.
Oleh karena itu, khotbah leksionari bukanlah sekadar upaya liturgis untuk “mengisi” kalender gerejawi dengan bacaan rohani mingguan. Kalender gerejawi sebagai alat bantu bagi umat untuk memahami seluruh rangkaian karya dan kehidupan Kristus. Khotbah leksionari merupakan sebuah seni dan disiplin teologis yang bertujuan menempatkan setiap bacaan ke dalam struktur makro dari “ekonomi keselamatan” Allah (oeconomia salutis). Dengan demikian, pengkhotbah tidak hanya bertugas menjelaskan isi teks, melainkan menuntun umat untuk masuk dalam perjalanan iman yang terus diperbarui, dengan Kristus sebagai pusat naratif dan tujuan akhir segala penyingkapan ilahi.

6.2 Fleksibilitas dan Kontekstualisasi

Pendekatan leksionari dalam khotbah menuntut ketegangan kreatif antara dua kutub yang sama pentingnya, yaitu kesetiaan terhadap bacaan-bacaan yang telah ditetapkan dalam kalender liturgis dan sensitivitas pastoral terhadap konteks hidup jemaat. Keduanya bukanlah entitas yang saling bertentangan, melainkan “dua kutub hermeneutis” yang harus dirangkul secara seimbang agar khotbah tetap memiliki integritas teologis sekaligus relevansi eksistensial.
Kepatuhan yang terlalu kaku terhadap struktur leksionari—misalnya dengan mencoba memaksakan semua bacaan menjadi bahan khotbah setiap minggu tanpa refleksi yang mendalam—berisiko menghasilkan penyampaian yang terfragmentasi, dangkal, atau sekadar teknis. Khotbah semacam ini cenderung kehilangan daya hidup dan daya transformasi, karena gagal mengaitkan Sabda Tuhan dengan realitas konkret kehidupan umat. Sebaliknya, jika pengkhotbah terlalu cepat meninggalkan struktur leksionari demi “preferensi pribadi” atau kebutuhan pragmatis, maka ada risiko terputusnya kontinuitas liturgis yang telah diwariskan gereja secara historis, dan rusaknya integritas eklesiologis yang mendasari ritme spiritual komunitas umat percaya, yaitu gereja yang Am.
Di sinilah letak pentingnya discernment pastoral dan liturgis. Fleksibilitas dalam penggunaan leksionari tidak boleh dilihat sebagai pelonggaran sembarangan, tetapi sebagai praktik kebijaksanaan rohani yang bertumpu pada pengenalan akan kairos—momen ilahi yang tepat dan signifikan. Seorang pengkhotbah yang peka akan mampu merasakan kapan teks-teks leksionari tertentu perlu ditegaskan secara khusus, diperluas, atau bahkan dikoreksi dalam terang pergumulan riil jemaat. Ada kalanya situasi pastoral yang mendesak—seperti bencana alam, krisis sosial, atau peristiwa duka kolektif—memanggil gereja untuk “keluar” dari urutan leksionari reguler demi menyuarakan suara kenabian atau penghiburan profetik yang lebih kontekstual.
Namun demikian, penyimpangan seperti itu sebaiknya bersifat sementara, strategis, dan tetap dalam semangat liturgi gerejawi. Idealnya, pengkhotbah tetap menjaga koneksi implisit dengan musim liturgis yang sedang berjalan, agar kontinuitas formasi spiritual umat tetap terpelihara. Ini mencerminkan apa yang oleh Alexander Schmemann disebut sebagai liturgical theology, yakni pemahaman bahwa ibadah bukan sekadar ruang ekspresi religius, tetapi adalah epifani dari Kerajaan Allah dalam sejarah dan konteks manusia.
Dengan demikian, fleksibilitas yang bertanggung jawab dalam pendekatan leksionari menuntut kedewasaan rohani, pemahaman liturgis yang mendalam, serta kepekaan pastoral yang terasah. Pengkhotbah bukan sekadar seorang pelaksana agenda liturgi mingguan, tetapi sebagai mediator antara teks yang kudus dan realitas hidup umat, yang dalam terang Roh Kudus, membentuk narasi iman yang terus diperbarui dari minggu ke minggu.

7. Inovasi dalam Visualisasi Homiletika

7.1 Komunikasi Multi-Sensori

Homiletika kontemporer sering bergerak melampaui paradigma verbalistik-tradisional menuju pendekatan komunikasi yang lebih holistik dan inkarnasional. Perlu dipahami bahwa dalam lanskap digital dan budaya visual saat ini, efektivitas pewartaan Injil tidak lagi ditentukan semata oleh kejelasan retorika lisan, tetapi juga oleh kemampuan pengkhotbah untuk mengintegrasikan berbagai “modalitas sensori” dalam penyampaian pesan—pendekatan yang dikenal sebagai multi-sensory homiletics.
Penggunaan media visual seperti presentasi PowerPoint, klip video, ilustrasi grafis, maupun ekspresi dramatik dan performatif, dapat secara signifikan meningkatkan keterlibatan emosional dan kognitif audiens. Riset komunikasi menunjukkan bahwa manusia mampu memproses informasi visual 60.000 kali lebih cepat dibandingkan informasi teks, dan retensi pesan akan meningkat drastis ketika pesan disampaikan melalui kombinasi verbal dan visual. Dengan demikian, visualisasi bukan hanya ornamen retoris, melainkan komponen integral dalam strategi pewartaan yang efektif.
Namun demikian, efektivitas komunikasi visual dalam khotbah sangat bergantung pada koordinasi yang cermat dan integrasi yang intentional. Elemen visual harus bersinergi secara harmonis dengan pesan verbal, menciptakan resonansi simbolik yang memperdalam pemahaman, bukan distraksi yang memecah konsentrasi. Visualisasi yang buruk, berlebihan, atau dangkal justru dapat menggantikan pusat perhatian dari firman yang diwartakan kepada sensasi estetis yang kosong. Maka, pengkhotbah dituntut untuk mengembangkan literasi visual teologis, yakni kemampuan untuk menilai, memilih, dan merancang elemen visual yang secara simbolik koheren dan teologis bermakna.
Keseimbangan antara kehadiran visual dan kedalaman verbal ini menuntut bukan hanya ketepatan teknis, tetapi juga kepekaan artistik. Dalam hal ini, estetika memainkan peran yang krusial. Dalam tradisi teologi klasik, keindahan (pulchrum) adalah bagian tak terpisahkan dari kebenaran (verum) dan kebaikan (bonum), membentuk “triad transendental” yang mencerminkan natur Allah. Oleh karena itu, khotbah bukan hanya penyampaian informasi, tetapi suatu pengalaman estetis yang membentuk dan memfasilitasi perjumpaan umat dengan yang Ilahi.
Pengkhotbah yang efektif adalah mereka yang tidak hanya mahir berbicara, tetapi juga mampu menciptakan ruang estetik dalam ibadah—suatu ruang simbolik di mana kata-kata, gambar, suara, dan bahkan keheningan, bekerja bersama sebagai wahana epifani. Hal ini selaras dengan prinsip liturgical aesthetics, sebagaimana ditegaskan oleh Hans Urs von Balthasar, bahwa keindahan liturgis dan naratif dalam suatu khotbah bukanlah tambahan sekunder, tetapi bagian esensial dari pewahyuan Allah yang ingin dilihat, dirasakan, dan dialami.
Dalam terang itu, homiletika yang “multi-sensori” bukanlah bentuk kompromi terhadap budaya populer, tetapi ekspresi inkarnasional dari pewartaan yang hidup. Sebagaimana Sabda menjadi daging, demikian pula Sabda yang diwartakan perlu “menjelma” dalam format-format komunikatif yang dapat diindrai, diresapi, dan dihayati oleh umat masa kini. Maka, tugas pengkhotbah bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi menghadirkan pengalaman, yaitu pengalaman akan Sabda yang hidup, yang menyapa dengan daya, keindahan, dan kebenaran yang menyentuh seluruh keberadaan manusia.

7.2 Integrasi Teknologi

Di era transformasi digital yang cepat, teknologi menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya dalam ranah pewartaan firman. Media sosial, platform video streaming, augmented reality, bahkan kecerdasan buatan (AI), telah membuka cakrawala baru bagi komunikasi alkitabiah yang lebih kreatif, visual, dan partisipatif. Khotbah yang dahulu terbatas pada mimbar fisik kini dapat menjangkau ribuan, bahkan jutaan jiwa secara real-time maupun on-demand. Namun, potensi besar ini membawa serta tanggung jawab yang tidak kecil.
Prinsip dasar integrasi teknologi dalam homiletika adalah bahwa teknologi harus tetap menjadi alat (instrumentum), bukan tujuan (finis) dalam dirinya sendiri. Inovasi digital hanya bernilai sejauh ia memperdalam, memperluas, atau memperjelas pewartaan Injil. Ketika teknologi menjadi pusat perhatian, bukan wahana pewartaan, maka pesan spiritual akan tergantikan oleh pertunjukan visual atau keindahan format. Dalam konteks ini, pengkhotbah ditantang untuk bersikap discernible—mampu membedakan mana teknologi yang mendukung pewartaan, dan mana yang justru menutupi atau menggantikan makna spiritual yang sejati.
Keseimbangan antara sofistikasi teknologi dan keotentikan spiritual menjadi persoalan krusial dalam homiletika kontemporer. Gereja dipanggil untuk menjadi ekklesia digitalis—bukan hanya gereja yang hadir secara digital, tetapi gereja yang menyaring, membaptis, dan menguduskan ruang digital sebagai bagian dari medan misi dan formasi rohani. Dalam hal ini, integrasi teknologi memerlukan teologi inkarnasional, yaitu sebagaimana Sabda menjadi daging, demikian pula Sabda yang diwartakan harus “menjadi format digital” tanpa kehilangan substansinya sebagai pewahyuan Allah yang transenden dan menyelamatkan.
Selain pertimbangan teologis, dimensi etis dan pastoral dari penggunaan teknologi juga sangat penting. Teknologi canggih sering kali membawa implikasi eksklusivitas. Tidak semua anggota jemaat memiliki akses yang sama terhadap perangkat, jaringan internet, atau literasi digital yang memadai. Ketimpangan ini bisa menciptakan kesenjangan dalam pengalaman spiritual, bahkan menimbulkan perasaan terasing atau terpinggirkan—terutama di kalangan lanjut usia, masyarakat kurang mampu, atau komunitas marjinal.
Oleh karena itu, pengkhotbah yang bijaksana bukanlah mereka yang semata-mata mengejar tren digital terbaru, tetapi yang mampu mendamaikan antara aksesibilitas dan kreativitas. Ia tahu kapan teknologi harus dimaksimalkan, kapan harus disederhanakan, bahkan kapan harus diabaikan demi perjumpaan yang lebih otentik antara umat dengan Sabda. Kesadaran ini menuntut sensibilitas pastoral yang tinggi, yakni pengenalan terhadap kondisi jemaat secara utuh, baik spiritual maupun sosial.
Dalam terang ini, homiletika digital seharusnya dilandasi oleh paradigma inklusivitas redemptif: setiap sarana komunikasi harus membawa semakin banyak orang masuk ke dalam pengalaman akan Kristus, bukan mendorong mereka menjauh karena hambatan teknis atau estetika yang tidak relevan. Maka, misi khotbah di era digital bukan hanya menyampaikan konten rohani secara efisien, tetapi menyentuh hati umat dalam segala keberagamannya, dan memelihara kesatuan tubuh Kristus dalam ruang digital yang kini semakin luas namun juga semakin kompleks.

8. Pengembangan Progresif dalam Formasi Ministerial

8.1 Pembelajaran Berkelanjutan dan Pertumbuhan

Kompetensi dalam proklamasi firman Tuhan bukanlah hasil dari pencapaian sesaat atau kelengkapan akademik belaka, melainkan buah dari komitmen jangka panjang terhadap formasi rohani dan intelektual yang berkelanjutan. Dalam terang pemahaman ini, pengkhotbah dipanggil bukan hanya untuk menjadi komunikator yang fasih, tetapi juga discipulus perpetuus— “murid abadi” yang terus belajar dari Alkitab, tradisi gereja, perkembangan teologi kontemporer, dan misteri eksistensi manusia.
Kerendahan hati spiritual menjadi fondasi utama dalam proses ini. Seorang pengkhotbah yang efektif akan menyadari bahwa setiap khotbah bukan sekadar kesempatan untuk berbicara, melainkan ruang kudus untuk mendengarkan kembali suara Allah melalui teks yang hidup. Dalam semangat lectio continua, kehidupan pengkhotbah terjalin dengan firman Tuhan, bukan hanya dalam studi akademik, tetapi juga dalam permenungan, doa, dan pertobatan. Sebagaimana dikatakan oleh Karl Barth, pengkhotbah berdiri di antara Alkitab dan koran pagi—ia harus memahami keduanya, tetapi bersandar penuh kepada yang pertama.
Paparan yang teratur terhadap beragam gaya homiletis, baik dari tradisi Reformed, Katolik, Ortodoks, hingga khotbah pentakostal atau naratif, memperkaya bukan hanya teknik retoris, tetapi juga memperluas horizon teologis. Ia membantu pengkhotbah untuk tidak terjebak secara monoton atau reproduksi gaya pribadi yang stagnan, tetapi mendorong pada pertumbuhan dinamis dan pemekaran spiritual. Keterbukaan terhadap perspektif teologis yang beragam juga memperkuat empati pastoral dan ketajaman dalam membedakan konteks jemaat yang pluralistik.
Namun, formasi homiletika tidak dapat berdiri hanya dalam kerangka teologi sistematik atau biblika semata. Dalam konteks masyarakat yang terus berubah secara budaya dan psikososial, pengkhotbah masa kini perlu memiliki “literasi interdisipliner” yang memadai. Ilmu psikologi menyediakan wawasan mengenai dinamika batin dan afeksi jemaat; sosiologi membantu membaca struktur masyarakat dan relasi kekuasaan; antropologi menawarkan pemahaman tentang nilai-nilai budaya dan simbol yang hidup dalam komunitas; sementara ilmu komunikasi modern memperlengkapi pengkhotbah untuk menyampaikan pesan secara efektif dalam medium dan bahasa yang dapat diakses berbagai lapisan audiens.
Pendekatan ini mencerminkan paradigma inkarnasional dalam pelayanan pewartaan, yaitu bahwa Sabda Allah menjelma bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam dunia manusia yang kompleks, berlatar budaya, dan penuh dinamika eksistensial. Oleh sebab itu, pengkhotbah sebagai hamba Sang Sabda harus membentuk dirinya sebagai jembatan antara kebenaran ilahi dan realitas manusiawi, antara langit dan bumi. Dalam posisi ini, pembelajaran bukanlah beban tambahan, melainkan panggilan integral dari identitas pelayan firman.
Karena itu, formasi homiletis sejati adalah ziarah panjang menuju kedewasaan rohani dan intelektual, bukan demi prestasi pribadi, tetapi demi kemurnian pewartaan Injil. Dalam perjalanan ini, pengkhotbah bertumbuh menjadi tidak hanya seorang penyampai pesan, tetapi seorang saksi yang hidup, yang terus dibentuk oleh firman yang ia wartakan.

8.2 Keterlibatan Komunitas dan Sensitivitas Pastoral

Proklamasi firman Tuhan yang efektif tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa. Ia selalu bersinggungan dengan realitas konkret kehidupan komunitas umat, yang sarat dengan dinamika psikososial, latar budaya, dan pergumulan eksistensial yang kompleks. Dalam terang ini, pengkhotbah dipanggil tidak hanya sebagai penyampai pesan ilahi, tetapi juga sebagai interpreter yang peka terhadap konteks, dan pastor yang mampu menjembatani kebenaran firman dengan kehidupan nyata umat Allah.
Pemahaman mendalam terhadap komunitas menjadi syarat mutlak bagi pewartaan yang relevan dan transformatif. Pengkhotbah perlu mengembangkan kemampuan contextual reading—yakni kepekaan untuk “membaca” dinamika batin jemaat, relasi sosial yang tersembunyi, serta isu-isu mendalam yang sedang bergulir, baik secara eksplisit maupun implisit. Ini mencakup kondisi historis jemaat, latar belakang etnis dan budaya, tingkat pendidikan, distribusi usia, serta trauma kolektif atau aspirasi spiritual yang hidup dalam komunitas tersebut.
Namun, pemahaman kontekstual ini bukanlah landasan untuk relativisme teologis. Proklamasi firman yang setia tetap harus menjaga integritas pesannya, yakni Injil yang murni dan menyelamatkan. Tantangannya adalah bagaimana mengkomunikasikan kebenaran yang absolut dalam cara yang tetap pastoral, mengakar, dan membangun iman jemaat. Dalam hal ini, pengkhotbah dituntut memiliki kebijaksanaan pastoral—sebuah kepekaan rohani dan emosional untuk menyesuaikan timing, framing, dan modalitas penyampaian pesan, terutama ketika pesan tersebut bersifat menegur, menantang, atau bahkan konfrontatif.
Timing berkaitan dengan kesiapan spiritual jemaat untuk menerima pesan tertentu. Tidak setiap kebenaran harus langsung diungkapkan secara frontal; kadang-kadang dibutuhkan proses pendewasaan rohani agar hati umat dapat menerima teguran atau panggilan pertobatan.
Framing menyangkut cara pengemasan pesan, yaitu apakah pesan tersebut disampaikan dalam nada legalistik atau dalam kasih yang menuntun pada pemulihan?
Sementara modalitas penyampaian merujuk pada media dan gaya komunikasi yang digunakan—apakah melalui narasi, metafora, simbol liturgis, atau pendekatan dialogis—yang dapat menyentuh hati tanpa mengaburkan isi.
Sensitivitas pastoral juga berarti keberanian untuk mendengar kembali—yakni menanggapi reaksi jemaat dengan empati dan keteduhan, bukan sikap defensif atau manipulatif. Dalam dunia yang semakin plural dan mudah terpolarisasi, pengkhotbah ditantang untuk memelihara kesatuan tubuh Kristus sambil tetap bersuara profetik. Dalam hal ini, proklamasi firman menjadi tindakan ganda, yaitu kerygma yang menyuarakan Injil, dan pastoral care yang memelihara jiwa.
Oleh karena itu, kualitas pewartaan tidak hanya ditentukan oleh kedalaman eksposisi biblika, tetapi juga oleh ketajaman pastoral yang memungkinkan firman itu menjadi sabda yang menyentuh hati, bukan hanya pikiran. Dengan demikian, pengkhotbah menjadi bukan lagi sekadar guru atau pendidik yang “penyampai informasi teologis,” tetapi seorang penjaga jiwa (cura animarum) yang menuntun jemaat kepada kebenaran dengan kasih, kepekaan, dan keberanian yang berakar dalam Kristus. Melalui pemberitaan firman, setiap umat percaya bertumbuh dalam kebenaran, hidup dalam kasih, berintegritas, dan setia kepada kehendak Allah. Karena itu setiap umat dibentuk dan dimampukan menjadi agen-agen pembaruan, yaitu menjadi garam bumi, dan terang dunia (Mat. 5:13-14). Untuk itu khotbah menjadi media Roh Kudus untuk menyapa umat mengalami pembaruan dan pertobatan. Jadi khotbah bukan media “entertainment” yang menyenangkan hati umat atau untuk memperoleh pujian. 

9. Implikasi untuk Teologi Praktis Kontemporer

9.1 Rekonfigurasi Pendidikan Teologi

Temuan penelitian ini membawa implikasi strategis dan mendalam bagi desain ulang pendidikan teologi, terutama dalam program formasi ministerial yang mencakup pelatihan homiletika. Kebutuhan untuk merekonstruksi pendekatan pengajaran khotbah tidak lagi bersifat opsional, melainkan mendesak, mengingat kompleksitas tantangan pewartaan firman dalam konteks global, digital, dan post-sekuler saat ini.
Kurikulum homiletika di banyak institusi teologi masih didominasi oleh pendekatan teknis dan akademis—berfokus pada struktur, gaya retorika, teknik eksposisi teks, dan kaidah penyampaian lisan. Meskipun komponen-komponen ini penting, namun temuan penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proklamasi firman jauh lebih bergantung pada integrasi dimensi-dimensi lain yang bersifat spiritual, komunikatif, dan kontekstual. Dengan kata lain, efektivitas homiletika tidak hanya ditentukan oleh apa yang dikhotbahkan atau bagaimana khotbah disusun, tetapi juga oleh siapa yang mengkhotbahkan dan dalam konteks apa khotbah itu disampaikan.
Oleh karena itu, pendidikan homiletika memerlukan reformulasi kurikulum yang bersifat holistik dan transformatif. Ini mencakup integrasi dari:

  1. Dimensi kontemplatif, di mana mahasiswa teologi dan calon pendeta diajak masuk ke dalam ruang perjumpaan dengan Firman, bukan sekadar sebagai teks yang dianalisis, tetapi sebagai Sabda yang dihayati, direnungkan, dan diinternalisasi melalui praktik-praktik spiritual seperti lectio divina, retret, dan keheningan.
  2. Dimensi komunikatif, yang tidak hanya mencakup keterampilan retorika, tetapi juga kompetensi dalam membangun koneksi empatik, mendengar kebutuhan audiens, dan menyampaikan pesan dengan sensitivitas budaya, emosional, dan generasional.
  3. Dimensi kontekstual, yang menekankan pentingnya pemahaman akan realitas sosial, politik, ekonomi, dan psikologis umat. Mahasiswa teologi dan calon pendeta harus dilatih untuk membaca “tanda-tanda zaman” dan menjembatani pesan alkitabiah dengan situasi konkret jemaat, baik dalam konteks lokal maupun global.

Agar ketiga dimensi ini terintegrasi secara utuh, diperlukan transformasi metodologi pedagogi dalam pendidikan teologi. Model yang terlalu intelektualistik, berorientasi pada ceramah dan ujian tertulis, cenderung akan melahirkan lulusan yang cakap secara teoritis namun kering secara spiritual dan pastoral. Paradigma baru perlu menempatkan formasi spiritual dan refleksi praksis sebagai inti dari pembelajaran teologi.
Model pedagogi integratif dan performatif lebih disarankan, di mana kelas homiletika bukan sekadar ruang transfer pengetahuan, melainkan laboratorium kehidupan spiritual dan komunitas. Pembelajaran berbasis praktik, mentoring pastoral, komunitas dialogis, peer review khotbah, dan evaluasi berbasis konteks harus menjadi bagian integral dari proses formasi.
Dalam kerangka ini, peran dosen homiletika bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pembimbing rohani dan fasilitator pertumbuhan pribadi. Tujuan akhir pendidikan homiletika bukan hanya menciptakan pengkhotbah yang “pandai berbicara,” tetapi membentuk pribadi pewarta yang diubah oleh firman, dan karena itu mampu mengubah dunia melalui pewartaannya.
Dengan demikian, implikasi penelitian ini mengarah pada sebuah rekonfigurasi mendalam terhadap formasi teologi, di mana homiletika tidak lagi dipahami sebagai teknik komunikasi religius, tetapi sebagai seni teologis dan praktik spiritual yang menjembatani Sang Sabda dan dunia, langit dan bumi, Allah dan umat-Nya.

9.2 Pengembangan Kriteria Evaluasi Homiletis

Paradigma komunikatif-kontekstual dalam proklamasi firman menuntut pergeseran paradigma evaluasi homiletis dari model teknis-instruksional menuju pendekatan yang lebih holistik, formasional, dan transformatif. Evaluasi khotbah tidak lagi memadai jika hanya mengukur tiga pilar klasik—yakni struktur narasi, akurasi eksegetis, dan kualitas penyampaian—sekalipun ketiganya tetap penting sebagai pondasi ilmu berkhotbah. Dalam realitas gerejawi dan masyarakat yang semakin kompleks, evaluasi harus menembus ke kedalaman spiritualitas pewarta, daya transformatif khotbah, dan relevansinya terhadap konteks konkret jemaat.
Dimensi transformatif merujuk pada sejauh mana khotbah tidak hanya menyampaikan informasi teologis, tetapi turut serta dalam pekerjaan Roh Kudus untuk mengubah hati, memperbarui pikiran, dan menggerakkan tindakan umat. Ini bukanlah sesuatu yang mudah diukur secara kuantitatif, tetapi dapat dikenali melalui tanda-tanda seperti resonansi emosional, munculnya pertobatan, peningkatan partisipasi aktif jemaat, atau terbukanya diskusi spiritual pasca-khotbah.
Dimensi otentisitas spiritual berkaitan dengan integritas pribadi dan rohani pengkhotbah. Khotbah yang berdampak bukan hanya berasal dari kecakapan verbal, tetapi dari kehidupan yang sungguh-sungguh dibentuk oleh firman yang diwartakan. Dengan kata lain, khotbah bukan sekadar performansi, tetapi perwujudan dari pengalaman rohani yang otentik. Evaluasi dalam dimensi ini dapat mempertimbangkan kedalaman refleksi doa dalam persiapan, keselarasan antara isi pesan dan karakter pewarta, serta kehadiran spiritualitas yang hidup dalam penyampaian.
Dimensi relevansi kontekstual menjadi kriteria yang semakin tak terelakkan dalam masyarakat pluralistik. Khotbah yang baik bukan hanya benar secara teologis, tetapi juga tepat guna—ia menjawab pertanyaan nyata umat, merespons luka kolektif, atau menyalakan pengharapan dalam situasi sosial tertentu. Evaluasi dalam aspek ini mencakup kemampuan pengkhotbah membaca konteks, memilih ilustrasi yang relevan, serta menyuarakan Injil dalam bahasa dan idiom yang bisa dijangkau oleh jemaatnya, tanpa kehilangan kedalaman teologis.
Kriteria evaluasi homiletis yang komprehensif ini tidak hanya dibutuhkan dalam ruang akademik (misalnya, dalam penilaian tugas mahasiswa teologi), tetapi juga sangat penting dalam kerangka pengembangan profesional berkelanjutan bagi para pelayan firman di lapangan. Feedback yang bersifat konstruktif dan integratif menjadi alat pertumbuhan yang sangat vital, baik dalam konteks mentoring pastoral, peer review antar pengkhotbah, maupun evaluasi jemaat yang dikelola secara reflektif dan non-defensif.
Dalam konteks pendidikan teologi, penerapan kriteria evaluasi holistik ini menuntut perubahan pendekatan pedagogis—dari sekadar penilaian performa menjadi proses formasi integratif. Pengkhotbah diperlakukan bukan hanya sebagai subjek belajar, tetapi sebagai pribadi utuh yang sedang dibentuk dalam roh, intelektualitas, dan kapasitas komunikatifnya. Dengan demikian, evaluasi khotbah bukanlah ujian akhir, tetapi ruang pembentukan yang berkelanjutan dalam perjalanan pelayanan dan pertumbuhan spiritual.
Akhirnya, evaluasi homiletis yang sejati adalah yang mempertimbangkan pertanyaan: “Apakah jemaat mengalami perjumpaan dengan Allah melalui pewartaan ini?” Pertanyaan ini, meskipun sulit diukur secara presisi, harus menjadi landasan eksistensial dari seluruh dinamika evaluasi homiletika. Sebab tujuan akhir dari khotbah bukanlah kesempurnaan retoris, tetapi partisipasi umat dalam karya penyelamatan Allah yang terus dinyatakan melalui sabda yang hidup dan menyapa. Umat mengalami perjumpaan personal dengan Allah Trinitas (Bapa-Anak-Roh Kudus). Dengan perjumpaan tersebut umat dimampukan untuk mewujudkan perjumpaan dengan sesama dan pergumulan hidup sehari-hari. 

10. Kesimpulan dan Implikasi Praktis

Penelitian ini menunjukkan bahwa proklamasi firman yang bertanggung jawab dan efektif memerlukan integrasi kompleks dari berbagai kompetensi, yaitu ketelitian eksegetis, sofistikasi teologis, keterampilan komunikatif, otentisitas spiritual, dan sensitivitas pastoral. Kompetensi-kompetensi ini bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait secara dinamis dalam praksis homiletika yang menyatu. Dalam konteks ini, pengkhotbah berfungsi tidak hanya sebagai komunikator, tetapi juga sebagai teolog-pastor yang membumikan nilai/hakikat kebenaran ilahi dalam realitas kehidupan jemaat. Praktik homiletis kontemporer harus menavigasi ketegangan antara keunggulan akademis dengan relevansi praktis, kedalaman teologis dengan aksesibilitas komunikatif, serta kesetiaan pada tradisi iman dengan urgensi konteks zaman. Ketegangan-ketegangan ini bukan untuk dihindari, melainkan harus diolah secara kreatif dalam proses penyampaian firman, sehingga khotbah menjadi ruang perjumpaan yang hidup antara doktrin dan kehidupan, antara teks dan konteks.
Paradigma komunikatif-kontekstual yang diusulkan dalam penelitian ini menawarkan kerangka kerja untuk mengatasi dikotomi-dikotomi tersebut melalui pendekatan hermeneutis yang mengintegrasikan rigiditas akademis dengan fleksibilitas komunikatif. Kerangka ini menempatkan pengkhotbah sebagai jembatan teologis dan eksistensial yang mampu menerjemahkan wahyu Allah ke dalam bahasa yang dapat ditangkap, dirasakan, dan diinternalisasi oleh audiens modern tanpa kehilangan kedalaman kebenarannya. Integrasi ini dimediasi melalui praksis kontemplatif yang menjadi titik temu antara dimensi spiritual dan intelektual dari pewartaan. Proses kontemplasi tidak semata-mata merupakan aktivitas devosional, melainkan menjadi laboratorium rohani tempat teks-teks Alkitab dibaca dalam terang realitas hidup dan dalam kehadiran Roh Kudus, sehingga pesan yang muncul bukan sekadar informasi teologis, melainkan undangan eksistensial kepada transformasi.
Pengembangan masa depan dalam teologi dan ilmu homiletika harus mengeksplorasi pendekatan-pendekatan inovatif yang dapat menjembatani jurang antara teologi skolastik yang bersifat deduktif-abstrak dengan pengalaman iman yang bersifat naratif-partisipatif dalam komunitas. Inovasi ini mencakup integrasi praktik kontemplatif seperti lectio divina, silent prayer, dan discernment spiritual ke dalam proses persiapan khotbah, yang memungkinkan teks Alkitab tidak hanya didekati secara akademis, tetapi juga dialami secara batin. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital secara kritis, keterlibatan dengan literatur lintas budaya, dan pembacaan kontekstual dari bawah (from below) menjadi krusial untuk membentuk khotbah yang benar-benar responsif terhadap dinamika sosial dan spiritual jemaat masa kini. Dengan demikian, homiletika tidak lagi terbatas pada seni retorika religius, melainkan menjadi praksis pastoral-profetik yang relevan dan membebaskan.
Khotbah yang transformatif tetap menjadi komponen esensial dari misi eklesiologis dalam dunia kontemporer yang plural, cepat berubah, dan seringkali penuh fragmentasi makna. Di tengah banjir informasi dan kebisingan digital, proklamasi firman Tuhan yang otentik memiliki potensi untuk menjadi suara kenabian yang menembus kekosongan eksistensial umat. Oleh karena itu, persiapan dan penyampaian firman ilahi yang efektif memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya menghormati ketelitian intelektual dari scholar theology, tetapi juga mengakar dalam kepekaan spiritual dan pengalaman iman yang otentik. Khotbah harus menjadi tempat di mana umat mengalami perjumpaan yang hidup dengan Allah yang berbicara, bukan sekadar presentasi religius atau eksposisi akademis.
Kontribusi teoretis utama dari penelitian ini adalah artikulasi paradigma komunikatif-kontekstual yang menawarkan alternatif terhadap pendekatan-pendekatan dikotomis dalam teologi homiletika. Paradigma ini mengakui bahwa efektivitas proklamasi firman tidak dapat direduksi pada keberhasilan retoris atau keakuratan eksposisi semata, tetapi bergantung pada dialektika kreatif antara berbagai dimensi yang seringkali dianggap berlawanan, yaitu antara yang akademis dan pastoral, antara intelektual dan spiritual, serta antara universalitas teologis dan partikularitas kontekstual. Dialektika ini menuntut kehadiran seorang pengkhotbah yang bukan hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas rohani dan empati pastoral yang mendalam.
Implikasi praktis dari penelitian ini mencakup pengembangan metodologi preparasi khotbah yang lebih holistik, rekonfigurasi kurikulum pendidikan teologi homiletika agar mencerminkan integrasi antara kognitif-afektif-spiritual, serta formulasi kriteria evaluasi khotbah yang lebih komprehensif dan berorientasi pada transformasi. Jadi dalam visi ini, khotbah bukan sekadar praktik liturgis, tetapi merupakan “jantung” dari pembentukan spiritual jemaat dan transformasi sosial gereja. Semua ini berkontribusi pada revitalisasi proklamasi firman sebagai kekuatan transformatif dan eskatologis dalam kehidupan komunitas iman kontemporer — suatu praktik yang menjembatani “kekekalan” dengan keseharian, dan yang memampukan umat untuk mendengar kembali suara Sang Firman yang hidup.

Daftar Pustaka

Aristoteles. (2007). Rhetorica. Diterjemahkan oleh W. Rhys Roberts. New York: Dover Publications.

Barth, K. (1991). Homiletics. Diterjemahkan oleh Geoffrey W. Bromiley dan Donald E. Daniels.
Louisville: Westminster John Knox Press.

Gadamer, H. G. (2013). Truth and Method. London: Bloomsbury Academic.

Lonergan, B. (1972). Method in Theology. New York: Herder and Herder.

McLuhan, M. (1994). Understanding Media: The Extensions of Man. Cambridge: MIT Press.

Mulyono, Yohanes Bambang (2025). Mempersiapkan dan Memberitakan Firman. Grafika KreasIndo,
Jakarta.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas
Christian University Press.

Ricoeur, P. (1991). From Text to Action: Essays in Hermeneutics II. Diterjemahkan oleh Kathleen Blamey
dan John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press.

Tisdale, L. T. (1997). Preaching as Local Theology and Folk Art. Minneapolis: Fortress Press.

Wilson, P. S. (2004). The Practice of Preaching. Edisi Revisi. Nashville: Abingdon Press.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono