Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata kerja shabat, yang secara harafiah berarti “berhenti”, atau shev yang berarti “duduk”. Terjemahan yang lebih harafiah adalah “berhenti”, dengan implikasi “berhenti dari melakukan pekerjaan”. Jadi Sabat adalah hari untuk orang berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat.
Akar kata untuk “tujuh”, atau “sheva”, mirip ucapannya dengan Shabbat, walau tulisannya berbeda. Dalam Keluaran 20:11 menyatakan, Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya. Makna hari Sabat dalam Keluaran 20:11 menegaskan Allah yang berhenti pada hari ketujuh setelah Ia menciptakan seluruh semesta selama 6 hari.
Namun di Ulangan 5:15 menyatakan, “Sebab haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat.” Alasan umat menguduskan hari Sabat tidak hanya teologis, namun juga bersifat sosial. Mereka harus berhenti bekerja untuk mengingat bahwa mereka dahulu adalah budak di Mesir. Makna hari Sabat sebagai suatu refleksi agar umat Tuhan tidak bekerja sebagai seorang budak, atau budak pekerjaan.
Pemaknaan hari Sabat dari perspektif Perjanjian Lama bagi umat percaya adalah agar setiap umat percaya menguduskan hasil karya penciptaan Allah (teologis), dan juga memperlakukan sesama lebih manusiawi sehingga tidak membebankan mereka sebagai budak atau menjadi budak pekerjaan.
Dengan menguduskan hari Sabat, umat percaya memiliki kesempatan beristirahat untuk memulihkan kekuatan, menemukan inspirasi, mengembangkan kemampuan kreatif, dan tidak terbelenggu oleh kemelekatan kerja. Umat percaya adalah umat yang telah dibebaskan dari perhambaan Mesir sehingga mereka seharusnya hidup sebagai orang-orang yang bebas. Dengan kebebasan tersebut mereka dimampukan menjadi manusia yang seutuhnya. Mereka hanya menjadi milik Allah, bukan milik dunia.
Dengan penghayatan iman hari Sabat sebagai momentum Allah membebaskan mereka, umat Israel setia dan taat merayakan hari Sabat setiap hari ketujuh. Karena itu pada hari Sabat (Sabtu) mereka tidak melakukan pekerjaan apapun. Umat boleh berjalan namun sebatas 7 mil saya pada hari Sabat. Namun utamanya pada hari Sabat umat wajib beribadah, dan berdiam diri untuk beristirahat. Lalu persoalan muncul bagaimana sikap umat apabila ada anggota keluarga atau tetangga yang sakit? Apakah boleh menolong mereka? Ataukah harus menunggu pada hari berikutnya? Di Markus 3:1-6 mengisahkan problem tersebut. Saat Yesus beribadah pada hari Sabat, Ia menjumpai seorang yang tangannya mati sebelah (stroke). Tuhan Yesus mengetahui bahwa orang-orang Farisi tidak menghendaki Ia menyembuhkan orang yang sakit itu. Mereka bersekongkol untuk membunuh Yesus, karena ternyata Ia menyembuhkan.
Hukum hari Sabat bertujuan untuk membebaskan manusia dari kemelekatan sehingga mampu mempermuliakan Allah. Namun tujuan dan makna yang baik dari hukum hari Sabat sering berubah menjadi sikap yang legalistis. Manusia memaknai hukum Tuhan secara hitam-putih, sehingga tidak ada ruang untuk menyatakan kemurahan, belas-kasihan, dan kerahiman Allah. Dalam konteks itulah Tuhan Yesus menyatakan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mark. 2:27-28).
Makna “Sabat sejati” tidak dapat dipahami dalam sikap yang legalistis. Sebab sikap legalistis memahami dan mengartikan setiap hukum dengan cara pandang yang sempit dan dangkal. Sikap legalistis menghasilkan sikap yang keras, tanpa empati, jauh dari sikap belas-kasihan, dan fanatis. Dalam konteks ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat (Mark. 2:27-28). Kristus menegaskan bahwa Ia adalah Tuhan atas hari Sabat. Sebab Kristus dalam hakikat-Nya selaku Firman Allah mewahyukan seluruh hukum Taurat. Karena itu umat percaya wajib beribadah dan menguduskan hari Sabat dengan perspektif kasih dan anugerah Allah.
Persoalan timbul sehingga gereja Adven menolak gereja-gereja yang beribadah pada hari Minggu. Bukankah gereja-gereja di dunia ini melanggar ketentuan hari Sabat yang jatuh pada hari ketujuh (Sabtu)? Mengapa umat Kristen beribadah bukan pada hari ketujuh, sebaliknya pada hari Minggu?
Gereja-gereja Tuhan tidak pernah menghapus ketentuan hari Sabat yang jatuh pada hari ketujuh (Sabtu), tetapi mengembangkan pemaknaan hari Sabat yang terentang sampai pada hari Minggu. Makna hari Sabat dihayati dan dirayakan dalam perspektif kebangkitan Kristus yang jatuh pada hari Minggu. Karena itu kata yang dipakai gereja untuk perayaan kebangkitan Kristus adalah kata “Hari Tuhan” (kuriake hemera). Dalam bahasa Portugis “hari Tuhan” (kuriake hemera) disebut dengan “Domingo” (baca: dominggo).
Makna hari Tuhan dalam konteks ini menghayati makna hari Sabat dengan perspektif kebangkitan Kristus yang telah mengalahkan kuasa maut dan dosa. Itu sebabnya “Dominggo” yang menjadi kata “Minggu” (hari Tuhan, kuriake hemera) juga disebut dengan “hari kedelapan.” Dalam bahasa Ibrani nama-nama hari selama seminggu adalah: 1). Yom Ekhad/yom Rishon (Minggu), 2). Yom Sheni (Senin), 3). Yom Shelishi (Selasa), 4). Yom Revi’i (Rabu), 5). Yom Khamishi (Kamis), 6). Yom Shishi (Jumat), 7). Yom Shabat (Sabtu). Karena itu sebutan “hari kedelapan” berkaitan dengan hari pertama (Yom Ekhad/yom Rishon) , yaitu Allah menciptakan terang. Makna “terang” pada hari pertama bukan terang matahari atau bulan, tetapi “terang ilahi.” Dengan terang ilahi itulah Kristus bangkit dari kuasa maut. Kristus, selaku Tuhan atas hari Sabat mengaruniakan keselamatan, pembebasan, dan pengampunan dosa. Makna “Sabat sejati” lebih luas dari ketentuan hari Sabat (hari ketujuh) menurut hukum, sebab di dalam Kristus yang adalah Tuhan atas hari Sabat, Ia membawa manusia ke dalam terang ilahi, yaitu keselamatan, dan pembebasan dari kemelekatan atau belenggu dosa.
Dengan perspektif kebangkitan Kristus (Paskah), bukan dimaksudkan umat percaya boleh mengganti atau mengubah hukum sesuka hati. Umat percaya harus taat pada hukum Tuhan dan peraturan yang berlaku. Tetapi spirit ketaatan tidak boleh legalistis. Ketaatan kita harus didasarkan pada kasih dan penyelamatan Allah dalam karya penebusan Kristus. Karena itu cara memahami dan menafsirkan hukum dengan wawasan yang lebih luas dan mendalam. Hukum yang kita perjuangkan atau tegakkan tidak boleh melanggar harkat dan martabat manusia. Sebaliknya setiap hukum atau peraturan yang berlaku harus senantiasa memanusiawikan. Disiplin atau hukumannya bertujuan untuk memperbarui, menyadarkan, membuka wawasan, dan menyelamatkan; bukan untuk menjatuhkan, meruntuhkan, dan menghancurkan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono