Dasar Pemikiran
Kristus adalah Sang Penyata Allah. Melalui Kristus, umat mengenal kedirian Allah Bapa yang sesungguhnya. Salah satu karakter Allah yang utama adalah Yang Maharahim, yaitu Allah yang kaya dengan pengampunan, kasih-sayang, panjang-sabar, berlimpah kebaikan dan kebenaran. Di dalam diri Yesus, seluruh kepenuhan ke-Allah-an hadir dan berkarya (Kol. 2:9). Sebagai Sang Penyata Allah, Yesus mengajarkan Allah Yang Maharahim melalui perumpamaan tokoh Bapa yang memiliki dua orang anak dengan karakter yang berbeda, yaitu anak bungsu dan anak sulung. Anak bungsu adalah anak yang terhilang dan pulang dengan pertobatan. Anak sulung adalah anak yang tinggal bersama Bapanya namun menghayati identitas dirinya sekadar seorang pelayan sehingga menolak pertobatan adiknya. Dua karakter tersebut merupakan cermin kehidupan umat dalam hidup sehari-hari. Sebagian umat memiliki kisah seperti anak bungsu yang pernah hidup dalam dosa dan kejahatan, sebagian umat hidup seperti anak sulung yang merasa hidupnya lebih baik dan menghakimi orang-orang yang dianggap berdosa.
Model kerahiman yang dinyatakan Allah di dalam Kristus dibutuhkan oleh umat agar menjadi pribadi yang dibarui. Karya penebusan Kristus membarui setiap umat untuk menjadi ciptaan baru (2Kor. 5:17), sehingga umat tidak lagi menilai sesamanya menurut ukuran manusia. Di 2 Korintus 5:16, Rasul Paulus berkata: “Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.” Sebagai model kerahiman Allah, kisah perumpamaan Yesus di Lukas 15:11-32 merupakan kerahiman yang revolusioner. Di padang-gurun umat Israel generasi pertama tidak diperkenankan Allah masuk ke tanah Kanaan karena ketegaran hati mereka. Di Yosua 5 menyatakan bahwa kerahiman Allah hanya dinyatakan kepada umat Israel generasi kedua. Di Yosua 5:6 menyatakan: “Sebab empat puluh tahun lamanya orang Israel itu berjalan melalui padang gurun, sampai habis mati seluruh bangsa itu, yakni prajurit yang keluar dari Mesir, yang tidak mendengarkan firman TUHAN.” Namun tidaklah demikian makna perumpamaan Yesus dalam Lukas 15:11-32. Anak bungsu yang menegarkan hatinya dengan meninggalkan rumah ayahnya dan menghabiskan harta warisan tidak ditolak oleh Bapanya. Di dalam Kristus, Allah menyatakan kerahiman-Nya yang tanpa batas dan tanpa syarat.
Model kerahiman Allah tersebut dalam praktik sering sekadar menjadi wacana, namun sulit direalisasikan. Model kerahiman Allah tersebut membutuhkan peristiwa pembaruan, yaitu pembaruan yang dinyatakan dalam peristiwa penebusan Kristus. Model kerahiman Allah membutuhkan spiritualitas, yaitu nilai-nilai iman yang dihayati secara eksistensial dalam kehidupan umat, sehingga menghasilkan dampak yang transformatif. Spiritualitas menjadi suatu kenyataan hidup apabila umat mengalami perjumpaan dengan Allah dengan paradigma yang baru sebagaimana terlihat dalam perjumpaan Bapa dengan anak bungsu yang pulang kembali ke rumah ayahnya, dan anak sulung yang disadarkan akan statusnya sebagai seorang anak sulung dan pewaris. Tanpa peristiwa pembaruan, maka anak bungsu dan anak sulung dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah menyadari makna kerahiman dan kemurahan bapanya. Mereka juga akan hidup dalam permusuhan, dan tidak saling menghargai serta menyayangi. Mereka membutuhkan pemulihan dan pembaruan oleh Roh Kudus.
Hermeneutik Leksionaris
Injil Lukas di pasal 15 mengumpulkan kisah perumpaan Yesus secara sistematis tentang “yang terhilang.” Lukas 15:1-7 tentang domba yang hilang, Lukas 15:8-10 tentang uang dirham yang hilang, dan Lukas 15:11-32 tentang anak yang hilang. Namun subjek utama dalam ketiga kisah tentang “yang hilang” tersebut bukanlah domba, uang dan anak yang hilang, tetapi muncul pribadi yang berinisiatif mencari dan menyambut yang hilang tersebut. Dalam kisah domba yang hilang, pemilik seratus ekor domba mencari domba yang hilang dengan meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor dalam kandangnya. Dalam kisah uang dirham yang hilang, perempuan pemilik uang tersebut berjuang untuk menemukan uangnya yang hilang. Dalam kisah anak yang hilang, Sang Bapa yang tergerak oleh belas-kasihan segera ia berlari dan menyambut anak bungsunya yang tersesat sebelum ia mengakui dosa dan kesalahannya. Ketiga simbol ketiga tokoh yaitu pemilik domba, perempuan, dan Sang Bapa dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan karakter Allah yang berbelas-kasihan dengan mengampuni, yaitu Allah yang Maharahim. Dengan kerahiman-Nya Allah bersedia mencari dan menyelamatkan yang hilang. Tanpa kerahiman Allah, domba dan uang dirham yang hilang tidak akan pernah ditemukan. Demikian pula tanpa kerahiman-Nya Sang Bapa tidak akan menerima kedatangan anaknya yang bungsu walaupun ia telah mengakui dosa dan kesalahannya. Karena itu kerahiman Allah merupakan saripati yang utama dalam memahami ketiga perumpamaan Yesus tersebut.
Alasan utama mengapa kerahiman Allah dikemukakan begitu intensif oleh Yesus adalah sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang bersungut-sungut melihat Yesus menerima dan makan bersama dengan orang-orang berdosa (Luk. 15:1-2). Kata bersungut-sungut berasal dari kata diagoggyzo untuk menunjuk tindakan menggerutu, mengomel, mengeluh dan memarahi. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menggerutu di antara mereka dan dikemukakan di hadapan orang banyak tentang sikap Yesus yang menerima kehadiran orang-orang yang berdosa. Sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dipahami oleh umat Israel sebagai representasi kelembagaan keagamaan Yudaisme yang tertinggi, sehingga sikap mereka mencerminkan karakter Yahweh. Melalui sikap dan tindakan mereka yang jauh dari sikap kasih, umat Israel akan memahami Yahweh sebagai Allah yang tidak berbelas-kasihan dan menolak orang-orang berdosa. Dengan perkataan lain, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menyatakan Yahweh sebagai Allah tidak maharahim. Padahal dalam rumusan iman umat Israel menyatakan, yaitu: “TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel. 34:6; Yun. 4:2). Allah yang penyayang (rahum), pengasih (khanum), panjang-sabar (arek), dan berlimpah kebaikan dan kebenaran (checed, emeth). Melalui ketiga perumpamaan-Nya Yesus mengembalikan makna dan hakikat karakter Yahweh sebagai Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kebaikan dan kebenaran.
Secara khusus dalam perumpamaan anak yang hilang dalam Lukas. 15:11-32, Yesus menampilkan karakter Allah sebagai Bapa yang penuh kasih untuk menghadapi kedua anaknya, yang bungsu dan yang sulung. Sang Bapa tidak memperhitungkan kerugian materiil yang telah dihabiskan oleh anak bungsunya untuk berfoya-foya di negeri asing. Sebaliknya Sang Bapa menanti setiap saat kepulangan anaknya yang bungsu, sehingga saat ia melihat dari jauh keadaan anaknya itu, ia segera berlari, memeluk, dan memulihkan keadaan anak bungsunya. Lalu sikap anaknya yang sulung marah dan menolak kedatangan adiknya, Sang Bapa menyatakan: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk. 15:32).
Gambaran anak bungsu adalah untuk menunjuk orang-orang berdosa yang datang dan makan bersama-sama Yesus. Sikap Yesus merepresentasikan kasih Allah sebagai Bapa yang maharahim sehingga Ia berkenan menyambut setiap orang berdosa dengan pengampunan Allah. Tentunya tokoh Sang Bapa menggambarkan diri Allah semula sangat sedih saat anak bungsunya menuntut hak waris selagi ia masih hidup. Apalagi anak bungsu tersebut mempergunakan harta warisan tersebut untuk berfoya-foya, dan bukan untuk dikembangkan dalam suatu usaha yang produktif. Keadaan diperparah karena terjadi suatu bencana kelaparan di negeri asing tersebut, sehingga anak bungsu tersebut jatuh melarat. Sedemikian melaratnya sehingga ia tidak memiliki apapun untuk melanjutkan kehidupannya, sehingga ia terpaksa bekerja sebagai penunggu ternak babi. Simbol hewan babi untuk menunjuk situasi najis atau haram. Namun karena dia sangat lapar, terpaksa anak bungsu tersebut makan ampas babi tersebut. Sebenarnya dalam kondisi sangat genting tidak ada umat Israel yang mau makan ampas babi. Simbol ampas babi yang dimakan oleh anak bungsu dapat dipakai untuk menganalogikan kondisi seseorang yang telah kehilangan harga dirinya atau kondisi rohani yang sama sekali telah bangkrut. Anehnya saat anak bungsu makan ampas babi tersebut ia tiba-tiba mengalami pencerahan atau kesadaran diri, sehingga ia berkata: “Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa” (Luk. 15:17-28). Rahmat Tuhan bekerja di saat seseorang secara rohani sedang bangkrut. Dalam situasi ketiadaan diri, anak bungsu menemukan setitik harapan untuk menerima pengampunan dari Bapanya. Ampas babi menjadi media untuk melihat keberadaan dirinya yang najis dan tidak layak, sehingga ia ingin kembali dipulihkan dalam persekutuan bersama Bapanya. Sebaliknya rahmat Tuhan merupakan anugerah Allah yang jarang dihayati oleh orang-orang yang merasa dirinya telah mapan, puas dengan kesalehannya, dan merasa telah hidup benar. Sikap mereka mencerminkan sikap yang tidak membutuhkan belas-kasihan dan kerahiman Allah.
Gambaran anak sulung adalah untuk menunjuk sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak suka, marah dan menolak kehadiran orang-orang berdosa makan bersama Yesus. Dalam hal ini Yesus mengingatkan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bahwa mereka selama ini belum menghayati diri mereka sebagai anak-anak yang hidup dalam kehidupan keluarga bersama Sang Bapa, tetapi menghayati sebagai seorang pelayan. Walau mereka hidup bersama dengan Allah, namun hati mereka jauh dan tidak merasakan rahmat-Nya yang begitu besar. Itu sebabnya sebagai “anak sulung” mereka menuntut pemberian dari Bapanya atas segala jerih-payah dan pekerjaan yang dilakukan. Anak sulung berkata: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku” (Luk. 15:31). Anak sulung tersebut menuntut upah dan penghargaan dari Bapanya atas apa yang telah ia kerjakan selama ini, sehingga ia iri-hati melihat “adiknya” yang telah menghabiskan harta ayahnya mendapat perlakuan dan sambutan yang begitu istimewa. Ia melupakan satu hal yang berharga yang dialami bersama dengan Bapanya, yaitu: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (Luk. 15:32). Anak sulung selama ini telah hidup bersama dalam persekutuan kasih dengan Bapanya, dan semua kepunyaan ayahnya adalah kepunyaannya; karena itu ia tidak perlu memeroleh upah dan penghargaan lagi. Namun anak sulung tersebut tidak merasakan semua karunia dan kebersamaan dengan Bapanya, sebab ia memosisikan dirinya sebagai seorang pelayan yang berhak mendapat upah.
Antara anak bungsu dan anak sulung tersebut sebenarnya sama-sama memiliki kesamaan karakter, yaitu mereka tidak mampu merespons seluruh kasih-sayang ayahnya. Anak bungsu tidak mampu merespons sehingga memilih keluar dari rumah ayahnya ke negeri asing dengan berfoya-foya. Anak sulung tidak mampu merespons sehingga memosisikan dirinya sebagai seorang pelayan yang berhak mendapat upah dan penghargaan. Keduanya gagal untuk menghargai status dan kedudukan mereka sebagai anak-anak yang diperkenankan hidup dalam persekutuan dengan Bapanya. Sebaliknya tokoh Sang Bapa berhasil dengan kasih-sayangnya mengembalikan mereka kepada status dan kedudukan sebagai anak-anak yang dikasihinya. Kepada anak bungsu, Sang Bapa memberikan jubah yang terbaik, cincin pada jarinya, dan sepatu pada kakinya serta mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan anaknya yang bungsu. Kepada anak sulungnya, Sang Bapa menyadarkan dengan penuh kasih sayang bahwa ia adalah pewaris seluruh harta milik ayahnya dan bersama-sama telah hidup dalam persekutuan kasih yang tidak dapat dialami oleh adiknya selama ini. Di tengah-tengah keberdosaan dan kesalahan anak-anaknya, tokoh Sang Bapa menjadi pemulih. Sang Bapa itulah Yahweh yang dinyatakan dalam kehidupan dan karya Yesus Kristus.
Bacaan Injil dari Lukas 15:11-32 oleh RCL dikaitkan dengan kesaksian Yosua 5:9-12. Latar-belakang Yosua 5:9-12 adalah umat Israel merayakan hari raya Paskah yang pertama di tanah terjanji, Kanaan. Perayaan Paskah tersebut diadakan di Gilgal, yang mana sebelum perayaan Paskah dilaksanakan setiap orang laki-laki di antara umat Israel disunat. Untuk sampai ke Gilgal, umat Israel harus terlebih dahulu menyeberangi Sungai Yordan. Kepada umat Israel tersebut Yahweh menunjukkan kuasa mukjizat-Nya dengan mengeringkan air Sungai Yordan sehingga mereka dapat menyeberang dengan aman. Tindakan Allah tersebut menggetarkan para raja di wilayah Kanaan. Di Yosua 5:1 menyatakan: “Ketika semua raja orang Amori di sebelah barat sungai Yordan dan semua raja orang Kanaan di tepi laut mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air sungai Yordan di depan orang Israel, sampai mereka dapat menyeberang, tawarlah hati mereka dan hilanglah semangat mereka menghadapi orang Israel itu.” Dengan penyeberangan di Sungai Yordan tersebut berarti umat Israel telah memasuki era yang baru sebagai umat Allah di tanah terjanji.
Umat Israel yang menyeberang Sungai Yordan tersebut adalah generasi kedua yang diizinkan Tuhan untuk memasuki tanah Kanaan, sedang generasi pertama yaitu mereka yang keluar dari tanah Mesir telah mati. Allah tidak memperkenankan mereka untuk memasuki tanah Kanaan sebab mereka telah memberontak kepada Allah. Yosua 5:6 menyatakan: “Sebab empat puluh tahun lamanya orang Israel itu berjalan melalui padang gurun, sampai habis mati seluruh bangsa itu, yakni prajurit yang keluar dari Mesir, yang tidak mendengarkan firman TUHAN. Kepada mereka itu TUHAN telah bersumpah, bahwa Ia tidak akan mengizinkan mereka melihat negeri yang dijanjikan TUHAN dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.” Sunat di Gilgal dilakukan kepada generasi kedua sebagai lambang perjanjian Allah dengan umat-Nya di tanah perjanjian, Kanaan. Makna sunat sebagai pengakuan iman akan ke-Tuhan-an Allah dan pengudusan sebagai umat yang dipilih Allah. Dengan demikian melalui sunat tersebut, Allah telah menghapus cela penindasan Mesir yang telah menjadikan mereka sebagai bangsa budak. Di Yosua 5:9 Allah berfirman kepada Yosua, yaitu: “Hari ini telah Kuhapuskan cela Mesir itu dari padamu. Itulah sebabnya nama tempat itu disebut Gilgal sampai sekarang.”
Pokok-pokok pemahaman teologis dari kesaksian Yosua 5:1-12 adalah:
- Karya keselamatan Allah yang mengeringkan air Sungai Yordan sebagaimana Allah dulu membelah Laut Teberau sehingga umat Israel dapat lewat dengan aman dan selamat memasuki tanah terjanji.
- Umat Israel menguduskan diri dan Allah mengikat perjanjian dengan mereka melalui sunat.
- Umat Israel diperkenankan Allah untuk merayakan Paskah yang pertama di tanah terjanji.
- Umat Israel kini sepenuhnya bebas dari bayang-bayang cela dan status sebagai budak Mesir sebab mereka kini mulai menetap di tanah terjanji.
Dengan demikian Yosua 5:9-12 menyatakan karya keselamatan Allah melalui kerahiman-Nya yang memulihkan umat Israel dari dosa dan kesalahan nenek moyang mereka. Karena itu Allah mengaruniakan kebebasan seutuhnya, sehingga mereka menjadi bangsa yang merdeka. Status sebagai bangsa yang merdeka itulah yang kelak memungkinkan mereka kelak membangun sistem kerajaan. James D. Newsome dalam Texts for Preaching Year C menyatakan: “But on a deeper level, Josh. 5:9 is a declaration of freedom, a manner of asserting that the old passed away. Perhaps this association between the new freedom of the people and the city of Gilgal accounts for the reference to this site in connection with the establishment of Israel’s monarchy (1Sam. 11:14-15)” (Newsome 1994, 221). Bagian inti yang utama dalam seluruh proses pemulihan itu adalah Allah yang berkenan dengan kerahiman-Nya menghapus cela Mesir seluruhnya dalam kehidupan umat Israel. Penghapusan cela itulah yang memungkinkan umat Israel mengalami kehidupan baru yang penuh dengan kebebasan.
Benang-merah teologis antara Lukas 15:11-32 dengan Yosua 5:9-12 adalah:
- Pengampunan Allah tidak hanya bersifat personal (anak bungsu yang hilang dan anak sulung yang iri-hati), namun juga bersifat komunal (perjanjian sunat umat Israel di Gilgal dan perayaan Paskah yang pertama).
- Kerahiman Allah yang mengampuni membawa umat dalam situasi kehidupan baru dan pembebasan (anak bungsu dan anak sulung dari Sang Bapa dipulihkan, demikian pula umat Israel dibebaskan dari cela dan status perbudakan Mesir).
- Pemulihan hubungan antara anak bungsu dengan Sang Bapa, anak sulung dengan adiknya; demikian pula pemulihan hubungan antara umat Israel dengan Allah dan pemulihan dalam persekutuan umat Israel melalui perayaan Paskah yang pertama di tanah Kanaan.
- Seluruh karya keselamatan dan pemulihan bersumber pada tindakan Allah dalam sejarah kehidupan umat-Nya (Allah yang mengeringkan air Sungai Yordan dan menghapus cela Mesir serta berlari memeluk anak bungsunya dan meneguhkan status anak sulungnya).
- Melalui kisah Lukas 15:11-32 dan Yosua 5:9-12 menegaskan kegagalan umat manusia untuk merespons kasih Allah yang maharahim. Bila dalam kisah Lukas 15:11-32 Sang Bapa tetap mengasihi dan menerima mereka, namun dalam Yosua 5:9-12 Allah menghukum generasi pertama umat Israel yang keluar dari tanah Mesir sehingga hanya generasi kedua saja yang diizinkan masuk ke tanah terjanji. Di dalam Kristus, Allah menyatakan kemurahan dan belas-kasihan-Nya yang melampaui pikiran dan pengertian manusia.
Refleksi
- Pengkhotbah dapat mengajukan terlebih dahulu pertanyaan kepada anggota jemaat: “Apa yang Saudara lakukan manakala di antara anak-anak Saudara yang menyusahkan orang-tua dengan menghabiskan harta dan hidup secara liar?” Ada beberapa kemungkinan, yaitu: menerima dan memaafkan, tidak dapat memaafkan, menolak dengan mengusir pergi, tidak mengakui sebagai anak, dan sebagainya. Sesungguhnya kita tidak mudah untuk memaafkan dan menerima mereka setelah melukai hati secara mendalam. Hanya kepada orang-orang yang dianugerahkan kerahiman Allah saja yang mampu melakukannya.
- Di dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatakan kerahiman-Nya yang begitu besar. Melalui perumpamaan Lukas 15:11-32, sebagai Penyata diri Allah, Yesus menyatakan begitu besar kerahiman Allah yang berkenan menerima orang-orang berdosa bertobat. Allah dinyatakan sebagai seorang Bapa dan umat manusia diperlakukan sebagai anak-anaknya, baik sebagai anak yang bungsu maupun sebagai anak sulung. Karena itu Allah dengan kasih-sayang-Nya menyambut anak bungsu yang telah menghabiskan harta yang telah diwariskan dan menyadarkan anak sulung yang marah kepada adiknya yang disambut oleh Bapanya dengan pesta.
- Tindakan kerahiman Allah sebagai Bapa berbeda dengan sikap Allah kepada umat Israel generasi pertama yang keluar dari tanah Mesir. Generasi pertama menurut Yosua 5:6 ditolak Allah sehingga mereka tidak dapat masuk tanah Kanaan: “Sebab empat puluh tahun lamanya orang Israel itu berjalan melalui padang gurun, sampai habis mati seluruh bangsa itu, yakni prajurit yang keluar dari Mesir, yang tidak mendengarkan firman TUHAN. Kepada mereka itu TUHAN telah bersumpah, bahwa Ia tidak akan mengizinkan mereka melihat negeri yang dijanjikan TUHAN.” Yosua 5:6 menekankan aspek kekudusan Allah, sehingga Ia menghukum setiap umat yang berdosa dan tidak mendengarkan firman-Nya. Apabila Allah hanya menekankan aspek kekudusan-Nya maka tidak ada seorangpun di antara kita yang selamat. Dari sudut kekudusan-Nya, Allah akan menolak anak bungsu yang telah keluar dan berfoya-foya menghabiskan seluruh harta warisan di negeri asing.
- Namun kekudusan Allah di dalam inkarnasi Kristus juga dinyatakan dalam kerahiman-Nya, sehingga Ia berkenan memanggil dan merangkul orang-orang berdosa dalam pelukan-Nya. Allah sebagai Bapa tidak menjadikan kesalahan seseorang di masa lalu sebagai landasan vonis untuk menghukum dan membinasakan, namun menjadikan peristiwa pertobatan di masa kini sebagai media penyelamatan. Karena itulah Rasul Paulus berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17).
- Kerahiman Allah yang kaya dengan pengampunan perlu dihayati sebagai model spiritualitas umat dalam kehidupan sehari-hari khususnya saat kita dilukai dan dikhianati. Dalam praktik kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga umat seringkali mengalami konflik dengan anggota keluarga yang berkepanjangan sehingga menimbulkan akar pahit dan permusuhan. Lingkaran setan permusuhan antar anggota keluarga dan orang-orang di sekitar kita perlu diputuskan oleh kerahiman Allah. Melalui firman Tuhan hari ini setiap umat perlu membuka diri untuk menyambut kerahiman Allah sebagaimana dinyatakan dalam diri Yesus Kristus. Dengan kerahiman Allah di dalam Kristus, setiap umat dimampukan untuk memaafkan dan mengampuni setiap anggota keluarga atau orang-orang yang pernah melukai dan mengkhianati mereka. Dengan demikian tindakan mengampuni terjadi dalam proses pembaruan yang dilakukan oleh Kristus dan Roh Kudus-Nya.
- Tanpa karya pembaruan oleh Kristus melalui Roh Kudus-Nya kita tidak akan mampu berperan sebagai tokoh Bapa dalam perumpamaan Lukas 15:11-32. Sebaliknya kita akan berperan sebagai anak sulung yang marah, iri-hati, dan menghakimi saudaranya yang datang dengan pertobatan dan penyesalan. Kita akan menganggap diri telah banyak berjasa bekerja di ladang Tuhan, merasa diri lebih baik dan saleh, serta merasa memiliki hak yang lebih besar. Namun dengan sikap seperti itu kita tidak memosisikan diri sebagai seorang anak dalam kehidupan bersama Sang Bapa, tetapi sebagai seorang pelayan yang merasa berhak menuntut gaji dan balas jasa. Sikap kita tersebut sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sikap anak bungsu yang murtad dan hidup secara liar. Sebab kita tidak hidup dalam spiritualitas kerahiman Sang Bapa tetapi hidup dalam kemarahan, iri-hati dan kebencian.
- Makna karya pembaruan Kristus melalui Roh Kudus-Nya sebaiknya diperdalam dalam refleksi teologis sehingga tindakan pengampunan yang didasari oleh kerahiman Allah tidak bersifat wacana belaka. Pengampunan yang didasari oleh kerahiman Allah merupakan model spiritualitas yang konkret, sehingga dapat dialami dan dipraktikkan oleh setiap umat dalam relasinya dengan orang lain.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono