Latest Article
Bagaimana Sikap Puasa dalam Iman Kristen?
Sikap Puasa dalam Iman Kristen

Bagaimana Sikap Puasa dalam Iman Kristen?

Pertanyaan:

  1. Apakah puasa menurut GKI? Misal mengenai puasa rokok.
    Apakah puasa itu juga pengendalian diri?

Jawab:

Puasa dalam tradisi gereja khususnya GKI adalah diawali pada masa Prapaskah yang dimulai pada Rabu Abu sampai pada Sabtu Sunyi. Puasa dipahami sebagai bentuk pertobatan yaitu perubahan orientasi dan pola rohani dari keinginan daging ke arah kehidupan dengan keinginan Roh (Rm. 8:6-8; Gal. 5:16-17). Keinginan daging menunjuk kepada kelekatan diri kita kepada hal-hal yang duniawi. Puasa merupakan media religius untuk menyatakan sikap iman agar kita hidup menurut kehendak Roh Kudus. Melalui puasa kita dapat melakukan introspekti yang korektif terhadap diri sendiri sehingga membuka ruang terhadap karya Roh Kudus. Dengan demikian puasa dapat menjadi media pengendalian diri dalam terang kebangkitan Kristus, sebab Allah memanggil kita untuk menyalibkan “tubuh dosa” kita sehingga hilang kuasanya melalui penebusan di kayu salib Kristus (Rm. 6:6). Dalam konteks ini, rokok dapat digolongkan sebagai kebiasaan dan keinginan daging yang membuat kita lekat (ketagihan dan tergantung). Kita perlu berjuang membebaskan diri dari kebiasaan buruk yang membuat kita tergantung dan merusak kesehatan. Dengan harapan setelah melakukan puasa tersebut, kita tidak lagi memiliki keinginan dan kebiasaan merokok. Jadi tujuan puasa adalah pembaruan diri oleh karya penebusan Kristus dan pengudusan oleh Roh Kudus. Puasa menyadarkan umat akan panggilan firman Tuhan, yaitu: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Petr. 1:16).

Pertanyaan:

  1. Apakah makna simbol lilin di GKI?  Terutama pada masa Adven dan masa pra Paskah?

Jawab:

Penggunaan lilin dalam tradisi gereja sebenarnya berakar pada ritus/ibadat umat Israel di Bait Allah. Ibadah umat Israel di Bait Allah menyalakan pelita yang disebut dengan Menorah (kandil dengan tujuh ruas) pada hari raya keagamaan mereka, misalnya pada: hari Shavuot (Pentakosta), Rosh Hashanah (tahun baru rakyat), Yom Kippur (pendamaian), Sukkot (pondok daun), Hanukah (pengudusan Bait Suci), dan sebagainya. Cahaya dari Menorah yang memiliki tujuh ruas saat dinyalakan akan menerangi seluruh ruang Bait Allah (Kel. 25:31-37). Cahaya dari Menorah menjadi lambang kehadiran Allah yang adalah Sang Terang, yaitu Terang Ilahi yang tidak terciptakan. Dalam iman Kristen pemaknaan cahaya dan api dari Menorah diperdalam dengan makna terang kebangkitan Kristus. Karena itu cahaya lilin yang dipakai dalam kebaktian Minggu atau hari raya besar gerejawi bersumber pada terang kebangkitan Kristus. Melalui penyalaan lilin umat diajak untuk memahami misteri keselamatan Allah dalam kebangkitan Kristus, sehingga umat senantiasa memiliki pengharapan iman di tengah-tengah kegelapan dunia.

Pertanyaan:

  1. Apakah dalam liturgi GKI dikenal dengan tata-cara pematian lilin pada saat kebaktiaan berlangsung?

Jawab:

Secara formal liturgi GKI tidak mengenal tata-cara pematian lilin pada saat kebaktian berlangsung baik pada masa Adven maupun masa Paskah. Karena itu penyalaan lilin dimulai dari awal sampai akhir misal penyalaan lilin 1 untuk Minggu Adven I, penyalaan 2 untuk Minggu Adven II, dst. Demikian pula penyalaan lilin pada masa Prapaskah I – VI. Pola ini untuk menyatakan jumlah kronologis masa gerejawi pada hari raya gerejawi tersebut. Walaupun demikian umat dapat melakukan penyalaan lilin dengan pola sebaliknya. Di Adven I telah dinyalakan empat lilin, lalu di Adven II satu lilin dipadamkan, demikian seterusnya. Di Minggu Prapaskah I telah dinyalakan keenam lilin, lalu di Minggu Prapaskah II satu lilin dipadamkan. Pola kedua yang memadamkan lilin pada setiap minggu selanjutnya untuk mengingatkan umat bahwa puncak Minggu Adven yaitu Natal, atau puncak Minggu Prapaskah yaitu Paskah semakin mendekat. Pemadaman lilin pada hari raya gerejawi tersebut dapat diberi makna tentang panggilan untuk memadamkan setiap kecenderungan dari keakuan (sikap egoism) kita dalam terang kebangkitan Kristus. Saat keakuan kita dipadamkan, maka saat itulah Kristus akan menguasai kehidupan kita (Gal. 2:20).

Pertanyaan:

  1. Apakah satu simbol bisa berarti dua pengertian yg bertolak belakang pada saat ibadah berlangsung? Misal lilin dinyalakan untuk simbol kehadiran Allah, dan ada lilin yang dipadamkan artinya ego manusia dimatikan.

Jawab:

Kehidupan gereja sejak awal tidak pernah lepas dari simbol. Sebab simbol merupakan ekspresi dan bahasa yang mengungkap isi batin manusia. Gereja mengadopsi simbol-simbol iman yang terlihat dalam: 1). Sakramen gereja yaitu Baptis dan Perjamuan Kudus (air, roti, dan anggur), 2). Pusat iman kepada Kristus yang dilambangkan pada salib, 3). Ungkapan liturgis dengan posisi umat yang duduk atau berdiri, bel/lonceng, 4). Warna-warna liturgi (hijau, merah, ungu, putih, dan hitam). Beberapa simbol tidak ada dalam Alkitab namun digunakan oleh gereja, misalnya : bel/lonceng, lilin, dan warna-warna liturgi. Selain itu dalam setiap Kebaktian Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan, gereja dalam liturginya menggunakan pengenaan cincin mempelai.

Barber dalam bukunya yang berjudul The Story of Language membuat pembedaan antara tanda (sign) dengan simbol (symbol). Barber memberi contoh dengan gambar pertama tentang tanda lalu-lintas yang menunjuk pada dua orang anak-anak yang sedang berlari ke jalan, dan gambar kedua tentang obor yang menyala. Gambar pertama tentang dua orang anak-anak yang sedang berlari-lari merupakan tanda (sign) yang sifatnya jelas dan aktual yaitu agar kendaraan berhati-hati dan mengurangi kecepatan sebab kemungkinan ada anak-anak yang sedang berjalan atau berlari. Makna gambar pertama tersebut tidak perlu dijelaskan. Sedang gambar kedua tentang obor yang menyala mewakili semangat hidup yang menyala-nyala. Gambar kedua itulah simbol (symbol). Sebab gambar obor yang menyala bukan sekedar alat penerang di masa zaman belum mengenal listrik, namun dimaksud sebagai ekspresi batin yang berkobar-kobar.

Karena itu simbol memiliki memiliki dimensi yang lebih mendalam dan multi makna, namun bukan dimaksudkan bertolak-belakang (kontradiksi). Tepatnya melalui simbol kita dapat mengalami makna yang paradoksal yaitu dua pengertian yang bertentangan namun hadir dalam satu-kesatuan yang utuh, misalnya melalui lilin kita dapat menemukan makna kehadiran Allah dan lilin yang dipadamkan sebagai simbol pemadaman setiap keakuan diri kita.

Pertanyaan:

  1. Apakah ibadah masa raya Paskah yg dilakukan di GKI dulu salah, karena tidak melaksanakan ibadah Rabu Abu, Kamis Putih dan Sabtu Sepi?

Jawab:

Kita perlu memahami terlebih apa makna kebaktian atau liturgi setiap hari Minggu dan hari raya gerejawi. Liturgi adalah karya/pekerjaan Allah, dan bukan karya/perbuatan manusia. Umat yang hadir dalam liturgi berperan untuk berpartisipasi dengan karya keselamatan Allah yang berpuncak pada kematian dan kebangkitan Kristus. Karena itu pusat dari seluruh liturgi adalah Allah, dan bukan manusia. Dalam liturgi Allah Trinitas yaitu Bapa-Anak-Roh Kudus dimuliakan dan disembah. Demikian pula dalam liturgi hari raya gerejawi misalnya Rabu Abu, Kamis Putih, dan Sabtu Sunyi yang kini dirayakan pada masa Prapaskah. Perayaan-perayaan gerejawi tersebut adalah untuk mempermuliakan Allah yang telah menyatakan karya keselamatan-Nya dalam karya penebusan Kristus. Tindakan mempermuliakan Allah akan terwujud bilamana didasari oleh pemahaman, sikap iman dan partisipasi umat dalam ibadah-ibadah tersebut. Karena itu bilamana jemaat-jemaat di lingkungan GKI dahulu belum melaksanakan ibadah Rabu Abu, Kamis Putih, dan Sabtu Sunyi tidak dapat digolongkan sebagai suatu kesalahan. Pada waktu itu jemaat-jemaat GKI belum mengerti makna ibadah Rabu Abu, Kamis Putih, dan Sabtu Sunyi, sehingga mereka belum memiliki sikap iman dan belum dapat berpartisipasi secara eksistensial dalam ibadah-ibadah tersebut. Bukankah ibadah yang berkenan di hadapan Allah adalah ibadah yang lahir dari hati yang hancur dan sikap iman yang mengasihi Allah, sehingga kita mengalami proses pembaruan dan pengudusan oleh anugerah Allah?

Pertanyaan:

  1. Apakah abu yang dipakai dalam ibadah Rabu Abu harus dari daun palem tahun lalu yg dibakar?

Jawab:

Abu yang digunakan pada ibadah Rabu Abu umumnya diambil dari daun-daun palem yang digunakan pada Masa Prapaskah VI, yaitu Minggu Palma dan juga Minggu Sengsara. Pada Minggu Palma/Sengsara, umat membawa daun palem untuk menyambut kedatangan Yesus di kota Yerusalem. Karena itu abu yang dibuat dari daun palem Minggu Palem tahun yang lalu untuk menunjuk kesinambungan makna Masa Minggu Prapaskah tahun lalu dengan Masa Minggu Prapaskah di masa kini. Daun palem tahun lalu menjadi kering sehingga mudah dibakar dengan menyangrai dan menumbuknya, sehingga menghasilkan abu yang berwarna hitam. Abu yang berwarna hitam hasil dari pembakaran daun palem tersebut dapat dipakai untuk menyatakan simbol kekelaman dosa kita di hadapan Allah. Kita dapat membandingkan dengan pembakaran daun-daun yang lain menjadi abu. Ternyata pembakaran daun palem menghasilkan abu yang lebih hitam dan kelam dibandingkan dari daun-daun lain. Namun tentunya tidaklah salah bilamana kita memakai daun-daun selain palem untuk memeroleh abu yang akan dioleskan pada kebaktian Rabu Abu asal tidak menggunakan abu gosok yang fungsinya untuk membersihkan perkakas makanan. Sebab semua abu tersebut hanyalah media untuk menyatakan simbol kefanaan dan keberdosaan kita di hadapan Allah.

Pertanyaan:

  1. Bagaimana menjelaskan kepada jemaat bahwa perayaan Rabu Abu, Kamis Putih dan Sabtu Sepi tidak menjadikan GKI menjadi Katholik?

Jawab:

Gereja-gereja Protestan (reformatoris) yang bercorak Calvinis baru muncul setelah peristiwa reformasi gereja yang diawali dari protes Martin Luther pada 31 Oktober 1517, yaitu saat dia menempelkan 95 dalil di gereja Wittenberg Jerman. Sejak itu gereja yang semula satu, yaitu gereja Katolik (arti “katolik” adalah: Am) terpecah sehingga muncul gereja Reformatoris. Dengan memahami catatan sejarah ini berarti tanggal 31 Oktober 1517 merupakan tonggak waktu pemisah antara gereja Katolik dengan gereja Reformatoris. Tepatnya segala hal yang berkaitan dengan keputusan gereja Roma Katolik setelah 31 Oktober 1517 bukanlah keputusan gereja-gereja Reformatoris (Calvinis dan Lutheran). Jika demikian, segala hal yang berkaitan dengan keputusan gereja sebelum 31 Oktober 1517 adalah keputusan bersama. Sebab ibadah Rabu Abu dengan pengolesan abu menjelang masa Prapaskah telah terjadi pada akhir abad XI – XIII yaitu melalui penetapan sidang Sinode di Benevento pada 1091 oleh Paus Urbanus II (Adolf Adam 1990, 98). Jika demikian, penetapan sidang Sinode di Benevento pada 1091 menjadi bagian dalam kehidupan gereja Reformatoris. Itu sebabnya GKI dalam Tata Laksana pasal 13 menetapkan kebaktian Rabu Abu sebagai awal masa Prapaskah. Tidak mengherankan juga jikalau gereja-gereja Reformed dan Evangelical (Injili) di berbagai belahan dunia kini melaksanakan ibadah Rabu Abu dengan mengoleskan abu di dahi jemaat. Mereka melakukan dengan suatu kesadaran teologis tentang ikatan dalam tradisi gereja dan pentingnya mewujudkan keesaan gereja sebagai Tubuh Kristus. Sedang ibadah Kamis Putih adalah bagian dari peristiwa Paskah, yaitu Triduum. Perayaan Triduum meliputi: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Dengan demikian saat umat merayakan Triduum, umat merayakan secara utuh, yaitu: perjamuan malam terakhir Tuhan Yesus, penderitaan, wafat, Yesus dimakamkan, dan kebangkitan Kristus. Melalui Triduum, kita merayakan puncak karya keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, M.Th.

Leave a Reply