Latest Article
Belas-kasihan Kristus yang Berbelarasa

Belas-kasihan Kristus yang Berbelarasa

Pendahuluan

Berulangkali kita diajak untuk menyadari keterbatasan dan kefanaan diri kita selaku manusia. Tetapi kesadaran tersebut umumnya tidak senantiasa menyentuh hati dan membawa kita kepada suatu perubahan dan pembaharuan diri. Sebab kesadaran tersebut sering muncul sebagai suatu hasil pengajaran atau peristiwa yang kita lihat tetapi tidak berkaitan langsung dengan kehidupan pribadi kita.

Tetapi saat  kita mengalami peristiwa yang hampir merenggut nyawa, maka umumnya kita disadarkan akan makna “batas akhir” kehidupan. Sebab saat itulah kita berhadapan secara langsung dan eksistensial “ambang batas” dari kefanaan diri. Kita disadarkan telah berada di “tepian kehidupan” di mana kita akan mengalami suatu “ketiadaan.” Tentunya kesadaran tersebut direspons dalam berbagai cara, apakah kita menjadi sangat ketakutan, gelisah, bingung, putus-asa, atau sikap yang menyerah dengan tulus terhadap keputusan Allah. Pemaknaan terhadap “batas akhir” atau “ambang batas” ditentukan oleh sikap respons kita. Sikap yang ketakutan, gelisah dan putus-asa pada hakikatnya menyatakan bahwa kita belum berhasil menyikapi seluruh rangkaian hidup secara utuh dengan sikap iman. Kita tidak mungkin dapat berbohong atau menggunakan topeng saat berhadapan dengan batas akhir dalam kehidupan kita. Bila proses kehidupan kita penuh dengan kepalsuan, tanpa sikap iman dan berelasi yang tidak beres dengan Allah maka sangat sulit bagi kita untuk menyikapi batas akhir dengan penyerahan diri dan kasih kepada Allah. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita dapat membohongi setiap orang dan anggota keluarga, tetapi saat kita menghadapi batas akhir berupa kematian, seluruh jati-diri kita akan terungkap dengan jelas. Demikian pula jika kita memiliki sikap iman dan relasi dengan Allah yang begitu akrab, maka pastilah kita dimampukan untuk menghadapi batas akhir atau kematian dengan sikap yang penuh dengan sukacita dan damai. Peristiwa kematian tidak mungkin dielakkan, tetapi kita dapat merayakan peristiwa kematian dalam suasana bela-rasa kasih Allah.

Belas-Kasihan Kristus Dalam Kedukaan

Kita lebih sulit saat berhadapan dengan “batas  akhir” yang menyangkut orang-orang yang kita kasihi. Kita sering tidak sanggup bilamana anggota keluarga inti mengalami sekarat maut dan kematian yang begitu tiba-tiba. Mungkin kita akan berkata bahwa lebih baik jika kita yang menghadapi kematian dari pada kita menghadapi kematian anak atau pasangan hidup kita. Di Luk. 7:11-17 kita dapat menyaksikan tentang seorang ibu di kota Nain yang menghadapi kematian anaknya. Perlu dipahami bahwa kisah Luk. 7:11-17 merupakan kesaksian yang khas Injil Lukas. Di ayat 11 disaksikan Tuhan Yesus pergi ke kota Nain. Dari peta, kita dapat melihat kota Nain terletak dekat perbatasan Galilea dan Samaria, sekitar 10 km di sebelah tenggara Nazaret. Dalam perjalanan tersebut Tuhan Yesus, murid-murid dan orang banyak telah sampai di dekat pintu gerbang kota Nain. Mereka berjumpa dengan rombongan orang yang sedang mengusung jenasah seorang anak muda. Injil Lukas memberi keterangan bahwa anak muda yang mati itu adalah anak seorang janda. Tampaknya selama perjalanan ke kubur, janda tersebut terus menangisi kepergian anak laki-lakinya. Tangisan janda tersebut pada hakikatnya mau menyatakan bahwa dia tidak sanggup kehilangan anak yang mungkin dia adalah satu-satunya anak yang  dimiliki. Makna batas-akhir menunjuk kepada ketidaksanggupan seseorang untuk berpisah dengan orang yang sangat dikasihinya khususnya seorang ibu atau ayah yang harus kehilangan seorang anak.  Mereka sadar telah kehilangan orang yang mereka kasihi selama-lamanya, tetapi apakah mungkin ada pertolongan yang datang dan melampaui apa yang mereka pikirkan?  Di Luk. 7:13 menyatakan, yaitu ketika Tuhan Yesus melihat kesedihan dan air mata janda tersebut, maka disebutkan: “tergeraklah hati Yesus oleh belas-kasihan. Lalu Tuhan Yesus menghampiri usungan itu dan menyentuh keranda jenasah  sambil berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah! (Luk. 7:14). Dengan perkataan Tuhan Yesus tersebut, anak muda yang telah mati itu menjadi hidup kembali. Karya mukjizat yang terjadi di kota Nain pada hakikatnya dilandasi oleh belas-kasihan Tuhan Yesus kepada janda yang menjadi ibu dari anak muda yang telah meninggal itu. Karena Dia tergerak oleh belas-kasihan, maka Tuhan Yesus membuat mukjizat. Ini berarti karya-karya mukjizat Kristus pada hakikatnya merupakan manifestasi dari rasa belas-kasihanNya kepada orang yang sedang menderita.

Makna kata “belas-kasihan” diterjemahkan dari kata “esplagkhnisthe” (Yun.) yang menunjuk pada pengertian “bela-rasa.” Dalam pengertian “bela-rasa” atau “compassion” pada prinsipnya merupakan: sympathy for the suffering of others, often including a desire to help (rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong). Jadi makna  dari pengertian “compassion” lebih dari pada sikap “simpati” karena makna sikap simpati lebih cenderung pada rasa belas kasihan, tetapi tidak dinyatakan dalam sikap yang konkret untuk menolong. Itu sebabnya setiap kali disebutkan “tergeraklah hati Yesus oleh belas-kasihan” maka senantiasa diikuti dengan suatu tindakan nyata dari Tuhan Yesus sebagai respon atau solusiNya dalam permasalahan tersebut. Misalnya dengan Mat. 13:14 yang berkata: “Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.” Setiap kali Tuhan Yesus tergerak oleh belas-kasihan, maka Dia segera bertindak untuk menolong. Sikap bela-rasa Kristus kepada setiap orang yang menderita merupakan dasar dari seluruh karyaNya. Jadi jati-diri Tuhan Yesus yang sesungguhnya adalah rasa belas-kasih (compassion), karena itu Dia tidak dapat menangguhkan diri untuk segera menolong. Di Luk. 7:16 orang banyak yang melihat karya mukjizat Tuhan Yesus yang dapat membangkitkan pemuda Nain tersebut memberikan suatu respon. Mereka segera memuliakan Allah sambil berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita, dan Allah telah melawat umatNya.” Bukankah ungkapan orang banyak tersebut yang menyatakan karya  bela-rasa Kristus diyakini sebagai wujud dari kehadiran Allah yang melawat umatNya yang menderita?

Perlawatan Yang Berbela-rasa

Mzm. 146 diawali dengan ungkapan “Haleluya” untuk menyatakan pujian dan tindakan yang memuliakan Allah. Pemazmur memuji dan memuliakan Allah karena Dia telah menunjukkan kesetiaanNya. Karena kasih dan kesetiaanNya, maka Allah menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, memberi roti kepada mereka yang lapar, membebaskan orang-orang yang terkurung, membuka mata orang-orang yang buta, menjaga orang asing, anak yatim dan janda. Jati-diri Allah terungkap sangat jelas, yaitu: “Tuhan mengasihi orang-orang benar” (Mzm. 146:8). Untuk itu Allah berkenan melawat dan bertindak dalam sejarah umatNya. Allah tidak akan membiarkan umat atau orang-orang yang tertindas berada dalam belenggu dan penindasan. Itu sebabnya Alkitab senantiasa menyaksikan karya Allah yang selalu berbela-rasa kepada umat yang menderita dan lemah.

Ajaran atau teologi “Allah melawat umat-Nya dengan belarasa yang dinyatakan dengan tindakan penyelamatan” sangatlah berbeda esensinya dengan: “Allah melawat umat-Nya dengan karya mukjizat.” Teologi Allah melawat umat-Nya dengan penekanan pada karya mukjizat akan cenderung untuk terus-menerus mengemukakan berbagai macam perbuatan spekatakuler (supranatural) sebagai bukti kehadiran Allah. Dengan pemahaman ini perbuatan mukjizat atau hal-hal supranatural sebagai isi atau substansi yang  utama dari pemberitaan firman. Karena itu berbagai perbuatan mukjizat atau hal-hal yang supranatural tersebut perlu terus-menerus didemontrasikan dan dialami oleh setiap orang yang mengaku percaya.  Pemahaman teologis tersebut sebenarnya sangat asing dan tidak dianut dalam iman Kristen arus utama. Pekerjaan mukjizat Allah dipahami terjadi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pula dalam hal-hal yang tampaknya sangat sederhana.  Tekanan utama dari kesaksian Alkitab adalah Allah yang berkenan  hadir dan melawat umat-Nya dengan menyatakan bela-rasa dan kasih-Nya. Dalam pengertian ini makna Allah melawat umat-Nya karena Dia mengasihi kita, dan karena itu Dia terus berkarya. Prinsip teologis ini membawa suatu konsekuensi penting dalam kehidupan iman kita, yaitu setiap orang percaya yang telah mengenal kasih Allah seharusnya ditandai oleh sikap bela-rasa dari Kristus, sehingga setiap orang percaya bersedia ambil bagian dengan seluruh jiwanya dalam karya keselamatan Allah untuk menolong sesamanya.  Bukankah saat kita dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan mengasihi kita, maka kita akan diteguhkan saat menghadapi penderitaan dan kedukaan karena kepergian orang-orang yang kita kasihi. Tepatnya kita menyadari bagaimanapun kita tidak bisa menghindar dari situasi “batas akhir” yaitu kematian. Tetapi kita dapat diteguhkan untuk menghadapi situasi batas akhir dalam kematian orang-orang yang kita kasihi bersama dengan sesama di sekitar kita.

Kasih: Lebih Daripada Yang Supranatural

Manakala kita hanya menekankan perbuatan mukjizat atau hal-hal yang supranatural dalam pemberitaan firman dan pengajaran gereja, maka kita tidak akan pernah ambil bagian secara eksistensial dan nyata dalam karya Allah di dunia. Padahal apa artinya kita mampu melakukan berbagai macam “perbuatan mukjizat” jikalau tidak dilandasi oleh kasih. Di Mat. 7:22-23 disaksikan demikian: Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”  Berbagai karya supranatural dan natural, mukjizat atau berbagai pelayanangerejawi yang tidak dilandasi oleh kasih dan bela-rasa dari Kristus akan menjadi sia-sia belaka. Karena pada hari penghakiman, karya yang demikian akan ditolak oleh Kristus. Padahal dalam praktek hidup, sejujurnya kita justru sering mengabaikan kasih dan bela-rasa Kristus. Kalau kita tidak mau dianggap mengabaikan kasih dan bela-rasa Kristus, sering berbagai pelayanan atau kepedulian kita hanya didasari oleh rasa simpati belaka kepada sesama yang menderita. Bentuk rasa simpati yang demikian merupakan sikap yang humanistis. Dalam hal ini kita hanya berbelas-kasihan saja, tetapi kita tidak pernah terlibat secara nyata untuk menolong permasalahan sesama dengan seluruh hati kita. Padahal bentuk kasih yang humanistis juga mampu dilakukan oleh umat yang tidak mengenal Allah. Tetapi tidaklah demikian kesaksian utama dari Alkitab.  Di I Raj. 17:17-24 menyaksikan bagaimana nabi Elia oleh belas-kasihannya menolong janda di Sarfat, dia memohon kepada Allah agar berkenan membangkitkan anak dari janda tersebut yang telah meninggal. Allah kemudian bersedia mendengar dan mengabulkan doa nabi Elia, karena nabi Elia sungguh-sungguh mendoakan dengan bela-rasa dan kasih yang dalam.

Teologi hidup Kristus adalah teologi bela-rasa (the compassion’ s theology). Jadi seharusnya teologi seluruh umat Kristen adalah teologi bela-rasa yang dinyatakan secara operatif dalam tindakan nyata kepada sesama yang menderita dan tertindas. Teologi yang saya maksudkan di sini bukanlah sekedar suatu pola berpikir yang sistematis-alkitabiah dan etis tentang “bela-rasa Kristus.” Lebih tepat saya pahami teologi bela-rasa Kristus sebagai suatu sistem kerohanian yang mampu direfleksikan dan diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan dan karya. Karena itu boleh saja pengertian “teologi” di sini dipahami sebagai suatu “spiritualitas” yang seluruhnya mencerminkan bela-rasa Kristus dalam seluruh aspek kehidupan umat percaya saat dia berpikir, merasa, berkata-kata, bertingkah-laku dan bertindak. Jadi selaku jemaat Tuhan, seharusnya kita bertindak dan mengambil keputusan etis berdasarkan bela-rasa Kristus (compassion of Christ), bukan karena sekedar dorongan dari bela-rasa yang manusiawi (compassion of human). Dalam bela-rasa yang manusiawi hanya timbul perasaan puas sebab kita dapat andil/berperan. Kita sering merasa berhasil melakukan telah kebajikan, yaitu karena  kita dapat menolong sesama yang menderita dan membela orang-orang yang tertindas. Tetapi dalam bela-rasa Kristus bukan lagi didasari oleh sekedar rasa puas dan punya andil. Dalam bela-rasa Kristus  didasari oleh rasa hormat yang mempermuliakan nama Tuhan karena Dialah yang satu-satunya menjadi pemilik kehidupan dan pembela orang-orang yang tertindas dan menderita. Kita mempermuliakan nama Tuhan dengan karya dan tindakan yang berbela-rasa kepada sesama.

Hormat Akan Kehidupan

Panggilan untuk merayakan kehidupan dengan bela-rasa Kristus, mengingatkan kita akan seorang teolog bernama: Albert Schweitzer (1875-1965).  Teolog asal  Jerman ini dijuluki orang sebagai teolog yang serba bisa, sebab dia juga seorang filsuf, ahli musik, dan misionaris medis. Karya-karyanya di bidang teologi, filsafat, dan  musik sangat berpengaruh luas. Saat dia telah mencapai karier yang sukses sebagai teolog dan ahli musik pada umur 30 tahun, Albert Schweitzer kemudian belajar ilmu medis dan bedah pada tahun 1905-1913. Lalu pada tahun 1913 bersama dengan isterinya ia pergi ke Gabon, Afrika sebagai seorang misionaris yang menangani pengobatan kepada orang-orang yang menderita. Tahun pertama di Afrika dia dapat mengobati 2000 orang pasien. Selama Perang Dunia I tahun 1914-1918, Schweitzer dan isterinya melakukan pelayanan di penjara Perancis. Dia lalu membuat refleksi teologis dan filosofis tentang peradaban manusia dengan judul “The Decay and the Restoration of Civilization” dan “Civilization and Ethics”. Schweitzer meringkaskan panggilan setiap orang agar bersedia untuk “hormat kepada kehidupan” (reference for life) yang mana didasari oleh bela-rasa yang mendalam kepada semua bentuk kehidupan (compassion all forms of life). Albert Schweitzer bukan hanya ahli sebagai seorang teolog, filsuf dan musikus besar; tetapi dia juga mempraktekkan refleksi teologisnya yang kaya dengan tindakan dan perbuatan nyata untuk menyatakan bela-rasa Kristus. Gereja-gereja Tuhan sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki spiritualitas seperti Albert Schweitzer, yang mampu membuat refleksi teologis yang dalam, sekaligus dengan komitmen dan tindakan nyata berbela-rasa. Kita tidak boleh mendidik anggota jemaat sebagai “teolog” yang hanya mahir  menghafal  ayat-ayat Alkitab dan berbagai doktrin, tetapi mereka ternyata sangat miskin dalam kasih sehingga mereka enggan untuk berbela-rasa dan menyatakan kasih Kristus kepada sesamanya.  Dalam hal ini setiap anggota jemaat perlu diajar untuk peka dengan kedukaan yang sedang dialami oleh sesamanya. Mereka harus ambil bagian dalam berbagai segi pelayanan kedukaan, baik pada waktu kedukaan sedang berlangsung maupun setelah kedukaan terjadi. Bahkan lebih dari pada itu mereka dipanggil untuk memperjuangkan nilai-nilai penghargaan kepada kehidupan seperti: menolak aborsi, peduli kepada mereka yang sakit namun miskin, memberdayaan kepada mereka yang lemah, dan membela mereka yang tertindas.

Belarasa Kepada Yang Tidak Layak

Bela-rasa Kristus juga ditujukan kepada sesama yang hidup dalam dosa dan yang membenci kita. Di Gal. 1:11-24 menyatakan bagaimana Kristus mengasihi Saulus yang telah menganiaya jemaat. Makna bela-rasa Kristus  di sini bukan karena Dia mengasihi dosa-dosa yang dilakukan oleh Saulus. Sebab Tuhan membenci dan akan melawan setiap dosa dan kejahatan, tetapi Dia mengasihi setiap manusia yang berdosa. Bela-rasa dan kasih Kristus bertujuan untuk menyelamatkan seorang yang berdosa untuk menjadi milikNya dan mengalami anugerah pengampunan Allah. Jadi Kristus menyatakan bela-rasa kasihNya kepada Saulus selaku seorang pribadi, dan bukan kepada kesalahan atau dosa-dosanya. Ketika kita mampu menyatakan bela-rasa dengan mengasihi sesama sebagai seorang pribadi, maka dengan rahmat Tuhan kita dimampukan untuk membawa dia kepada Kristus sehingga dia mengalami pengampunan Allah dan pembaharuan hidup. Kegagalan kita sebagai umat percaya adalah seringkali kita membenci seseorang dan perbuatannya. Seharusnya yang kita benci hanyalah perbuatan dan tindakannya yang jahat, tetapi kita harus selalu mengasihi dirinya sebagai pribadi yang telah ditebus oleh kasih Kristus. Namun ketika kita tergoda untuk membenci seseorang, maka pastilah kita akan gagal untuk menyatakan bela-rasa Kristus. Apalagi orang yang sedang melakukan kesalahan dan tanpa pertobatan tersebut akhirnya mengalami kematian. Bukankah kita memiliki andil yang sangat besar terhadap kematiannya yang jauh dari keselamatan? Seandainya kita mau berbela-rasa kepada sesama tersebut, terbuka suatu kemungkinan dia mampu menyadari kesalahan dan dosanya. Tetapi karena kita bersikap tidak peduli, tanpa empati dan sikap kasih maka kita memilih untuk membiarkan dia mati dalam kesalahannya.

Dengan demikian sangat jelas bahwa sikap bela-rasa pada hakikatnya lahir dari hati yang mengasihi sesama tanpa syarat. Sikap bela-rasa tercipta dari pancaran pribadi yang telah mampu keluar dari cinta diri. Sehingga dengan sikap bela-rasa yang murni, kita menemukan panggilan Kristus di dalam setiap sesama yang sedang bersalah agar mereka menerima berita pengampunan Allah. Jadi melalui bela-rasa Kristus, kita dapat ambil bagian dalam kehidupan sesama di saat mereka menghadapi situasi yang genting dan kritis, sehingga mereka mampu melewati situasi batas akhir dengan anugerah keselamatan Allah.

Panggilan

Makna  hidup “di ambang batas” sebenarnya tidaklah perlu harus  dihayati saat kita mengalami peristiwa yang sangat berbahaya dan hampir merenggut nyawa. Juga makna hidup “di ambang batas” bukan selalu dihayati saat kita sedang kehilangan orang-orang yang kita cintai. Tetapi makna hidup “ambang batas” akan selalu kita hayati saat kita menyadari bahwa sebenarnya hidup kita berada dalam hukuman kekal Allah karena kuasa dan belenggu dosa. Sebenarnya kita telah mati dan jauh dari keselamatan, tetapi Allah dengan kasih-karuniaNya berkenan menyelamatkan kita dalam pengorbanan Kristus. Bukankah realitas kuasa dosa yang mematikan lebih dahsyat dari pada sekedar suatu kematian itu sendiri? Realitas kuasa dosa yang membawa maut juga lebih mengerikan dan menyedihkan dari pada kehilangan seseorang yang kita sayangi. Karena itu anugerah keselamatan yang kita terima di dalam iman kepada Kristus pada hakikatnya merupakan bukti bela-rasa kasih Allah yang tanpa syarat. Sehingga setiap orang yang percaya kepada Kristus dipanggil pula untuk menyatakan bela-rasa dan kasih Allah kepada sesama di sekitar kita.

Jika demikian bagaimanakah kualitas bela-rasa kita? Apakah yang kita miliki selama ini sekedar suatu bela-rasa yang manusiawi, ataukah hidup kita telah mencerminkan bela-rasa dan kasih dari Kristus? Ketika kita menganggap telah didasari oleh bela-rasa kasih Kristus, apakah hidup kita secara nyata telah mengungkapkan kasih Allah kepada sesama? Sejauh mana kepedulian kasih kita? Apakah kita juga mampu mengasihi orang-orang yang jahat dan memusuhi kita? Jadi bela-rasa Kristus adalah suatu panggilan hidup. Ketika kehidupan kita didasari oleh bela-rasa Kristus, maka sesungguhnya kita telah merayakan kehidupan ini dengan mempermuliakan nama Allah. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply