Latest Article

Berkurban, Bukan Mengorbankan (Yesaya 53:4-12; Mazmur 91:9-16; Ibrani 5:1-10; Markus 10:35-45)

Kehadiran Kristus secara faktual membuka ruang yang memberdayakan setiap orang di sekitarnya. Simon Petrus yang dahulu berprofesi sebagai penjalan ikan dijadikan oleh Kristus sebagai penjala manusia. Lewi atau Matius yang dahulu bekerja sebagai pemungut cukai dipanggil untuk menjadi murid yang bertobat dan mengikuti Dia. Zakheus yang dahulu bersikap sangat kikir dan memeras rakyat berubah menjadi seorang yang pemurah dan belas-kasihan. Namun di Markus 10:35 sangat menarik mempersaksikan bahwa Yohanes dan Yakobus juga ingin memiliki cita-cita yang dianggap luhur. Mereka datang kepada Tuhan Yesus dengan mengajukan suatu permohonan, yaitu: “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu  kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu” (Mark. 10:37). Perbedaan yang esensial dengan para murid atau tokoh yang lain dengan sikap Yohanes dan Yakobus adalah para murid tersebut tidak pernah mengajukan permohonan kepada Tuhan Yesus. Mereka mengalami perubahan hidup karena mereka merespons panggilan Kristus dengan sikap iman. Tetapi tidaklah demikian halnya yang terjadi dalam diri Yohanes dan Yakobus. Pengaruh kehadiran Kristus yang membuka ruang pemberdayaan diri ternyata disikapi oleh Yohanes dan Yakobus agar mereka dapat berkuasa dalam pemerintahan Kristus.

Keinginan dan harapan dari Yakobus dan Yohanes tersebut dilatar-belakangi oleh konsep  Mesianis umat Israel. Sebab umat Israel menganggap relasi dengan seorang Mesias akan membawa mereka kepada kemuliaan dan kekuasaan ilahi. Tokoh Mesias dalam pemahaman umat Israel selain dianggap mampu membawa kejayaan politis dengan kuasa-Nya untuk mengalahkan para lawan, juga akan membawa umat Israel menikmati kemuliaan di surga. Selaku umat Kristen kita sering beranggapan bahwa tidaklah pantas untuk mencita-citakan kekuasaan atau kemuliaan pada masa kini dan masa mendatang. Mereka menganggap lebih saleh bilamana kehidupan mereka tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Tetapi faktanya kehidupan kita justru sering sarat untuk menguasai dan mengendalikan orang lain. Dalam membahas masalah kekuasaan, kita sering bersikap munafik. Secara teoritis dan konseptual teologis kita sering menolaknya, namun dalam kehidupan sehari-hari kita justru secara intensif mempraktekkannya. Ini terlihat saat ide atau usul kita ditolak. Kita segera memberi reaksi marah dan bermusuhan.

Makna meminum cawan Kristus berarti kita bersedia menderita bagi Dia. Seluruh kehidupan kita difokuskan dan dipersembahkan untuk mempersaksikan kebenaran dan kuasa kasihNya. Namun apakah setiap penderitaan yang kita alami merupakan minum cawan Kristus? Dalam kehidupan riel, penderitaan yang kita alami lebih banyak disebabkan kesombongan, iri-hati, dan nafsu serakah. Makna minum cawan dari Kristus berarti kita bersedia menderita karena mempersaksikan kebenaran dan karya keselamatanNya. Kebenaran dan karya Kristus terkait langsung dengan hakikat keselamatan. Karena itu bilamana keselamatan dipisahkan dari kebenaran dan karyaNya, maka keselamatan hanya akan menjadi suatu impian religius belaka. Hakikat keselamatan Allah identik dengan seluruh kebenaran dan karya Kristus. Kita tidak dapat menyampaikan keselamatan Allah tanpa dilandasi kebenaran dan karya Kristus. Pada sisi lain dunia cenderung menyampaikan pengajaran tentang “keselamatan Allah” dengan meniadakan kebenaran dan karya penebusan Kristus. Mereka menganggap “keselamatan Allah” sebagai sesuatu yang dapat dicapai dengan kekuatan dan perbuatan baik manusiawi. Keselamatan hanya dapat dimengerti dalam konteks ketentuan dan ordo Allah. Sebagai ordo Allah, maka keselamatan Allah tidak dapat dilepaskan dari karya penyataanNya di dalam Kristus. Yang mana penyataan Kristus dan karya penebusanNya merupakan wujud dari anugerah Allah.

Tindakan Kristus yang melayani dan memberikan nyawa dipahami oleh surat Ibrani sebagai Imam Besar. Kristus menjadi satu-satunya pribadi yang layak menjadi seorang Imam Besar bagi umat manusia karena Dia adalah Anak Allah (Ibr. 5:6). Peran Kristus sebagai Imam Besar dilakukan dengan pengabdian dan kasih seorang anak, yaitu taat kepada Allah BapaNya. Surat Ibrani berkata: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya” (Ibr. 5:8). Bagaimana implikasi etis sikap Kristus tersebut dengan kehidupan kita? Dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluarga dan jemaat, kita sering mengartikan dan menerapkan makna pelayanan dalam pengertian yang sangat sempit. Pelayanan diartikan hanya pergi ke gereja secara rutin atau ambil bagian dalam suatu bidang pelayanan gerejawi tertentu. Pengertian dan penerapan etis pelayanan tersebut sama sekali tidak memberikan dampak sebagaimana yang diharapkan Tuhan. Penyebabnya pelayanan yang kita lakukan belum didasari oleh pengurbanan diri. Makna pengurbanan diri berarti kita tidak pernah memaksakan kehendak dan keinginan kita. Sebaliknya dengan tulus kita bersedia membuka berbagai ruang yang lebih luas dan kreatif bagi orang-orang di sekitar kita untuk mengaktualisasikan diri mempermuliakan Allah. Pelayanan yang tidak membuka ruang adalah pelayanan yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan diri kita. Tentunya pelayanan yang demikian tidak berkenan di hadapan Allah. Sebab Allah di dalam Kristus datang untuk memulihkan dan memberdayakan setiap umat tanpa terkecuali.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply