Latest Article
Dari Eden ke Babel

Dari Eden ke Babel

Judul buku                  : Dari Eden ke Babel

Penulis                         : Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.

Penerbit                       : Kanisius, Jogjakarta

Tahun                          : 2011

Tebal                           : 332 halaman

 Pernyataan Tesis

Kajian tafsir Kejadian 1-11 sebagai media untuk memahami secara utuh konteks pemahaman penulis zaman itu, dan konteks riil Indonesia, sehingga memampukan umat hidup dalam syalom Allah bersama sesama dan alam.

Pengantar

Tujuan buku karya Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel adalah mengajak pembaca untuk melakukan suatu ziarah tafsir yang terentang dalam kesaksian Kejadian 1 – 11. Judul Dari Eden ke Babel diakui oleh Singgih diambil dari judul buku karya Donald E. Gowan yaitu From Eden to Babel: Commentary on the Book of Genesis 1 – 11 (Gowan 1988). Dalam Tafsir Kejadian 1 – 11 ini, Singgih berupaya membuka persektif baru dalam menafsir Kitab Kejadian yang selama ini lebih banyak berkutat di Kejadian 3. Dari berbagai sejarah tafsir, terlihat bahwa para teolog cenderung menafsir di lingkup Kejadian 1 – 3, sebagaimana terlihat dari tulisan Dietrich Bonhoeffer yang berjudul Creation and Fall: a Theological Interpretation of Genesis 1 – 3. Paul Ricoer menafsirkan Kejadian 1 – 3 dalam bukunya yang berjudul The Symbolism of Evil dengan pendekatan tafsir dan filsafat juga tidak terelakkan untuk hanya berfokus pada kisah Kejadian 3 yang disebutnya sebagai The Adamic Myth. Di tengah-tengah kecenderungan ilmu tafsir yang hanya berkutat di Kejadian 1 – 3, Singgih mendapat inspirasi dari tulisan Claus Westermann, Genesis 1 – 11: A Commentary (hlm. 16). Namun perbedaan Singgih dengan Westermann adalah pada segi penekanan.Westermann menekankan pada episode Penciptaan sebagai awal mula dan episode Air Bah sebagai akhir dunia. Sebaliknya, Singgih membalikkan penekanan Westermann tersebut dengan kesimpulan bahwa kisah Penciptaan memperlihatkan dunia sebagai dunia yang ideal, kisah Air Bah sebagai dunia yang tidak ideal, dan kisah pasca Air Bah sebagai dunia yang konkret, yaitu dunia yang kita hidupi sekarang sama seperti yang dulu dihidupi oleh para pendahulu manusia modern (hlm. 17).

Pola pendekatan yang dipakai oleh Singgih adalah menggunakan tafsir kritis-historis yang digabungkan dengan tafsir naratif, termasuk juga menggunakan model reader’s response (tanggapan pembaca) (hlm. 27). Karena itu dalam bukunya ini, Singgih tidak memisahkan bagian tafsir dan renungan. Kedua bagian tersebut diintegrasikan secara sadar dan ditempatkan dalam konteks Indonesia. Dengan perkataan lain, konteks Indonesia tidak diletakkan di belakang pasal atau di belakang buku sebagai renungan atau refleksi. Sebaliknya, renungan atau refleksi itu ditempatkan di setiap bagian tafsirnya. Singgih mengaku bahwa dalam bukunya tersebut, ia lebih banyak berdialog dengan Walter Lempp yang menulis buku tafsir Kitab Kejadian dalam bahasa Indonesia daripada dengan Christoph Barth yang menulis buku Teologi Perjanjian Lama (hlm. 23). Namun secara khusus, Singgih berupaya berdialog khususnya dengan budaya Indonesia daripada dengan ilmu pengetahuan modern (hlm. 27). Karena itu, hasil tafsir Kejadian 1 – 11 bukan dipakai Singgih untuk mengkritik budaya lokal Indonesia. Sebaliknya, tafsir Kejadian 1 – 11 dipakai Singgih untuk membuka pemahaman pembaca dalam mendalami kekayaan budaya Indonesia.

Untuk tujuan kontekstualisasi tafsir, dalam Laporan Buku ini, saya membatasi ulasan tafsir Emanuel Gerrit Singgih tentang Kejadian 1 – 11 hanya dalam hubungannya dengan konteks Indonesia. Saya akan memeriksa tulisan Singgih, yaitu seberapa jauh dia menempatkan Kejadian 1 – 11 dalam konteks Indonesia. Karena itu, pokok-pokok bahasan tafsir akan saya pilih berkaitan dengan konteks Indonesia. Pembatasan ulasan ini yang berkaitan dengan tujuan Laporan Buku saya ini adalah bagaimana kita seharusnya menempatkan konteks riil kehidupan umat di Indonesia dalam memahami dan menafsir isi Alkitab, khususnya dengan Kitab Kejadian 1 – 11. Tanggapan saya terhadap penafsiran Emanuel Gerrit Singgih tidak saya letakkan di halaman akhir, tetapi di setiap bagian setelah pokok-pokok pemikiran Singgih dibahas. Dengan cara demikian akan terlihat dinamika diskusi antara Singgih sebagai penulis buku, dan saya selaku penanggap tulisannya.

Judul-judul di bagian awal merupakan pokok pikiran utama dari hasil tafsir dan pemikiran Emanuel Gerrit Singgih, yang selanjutnya akan saya sebut dengan nama Singgih. Ulasan terhadap pemikiran Singgih menggunakan model reader’s response (tanggapan pembaca) di samping model tafsir kritik-historis dan tafsir naratif.

Pada bagian akhir, saya akan memberikan Kesimpulan dan Evaluasi Kritis terhadap keseluruhan pemikiran Singgih dalam buku Dari Eden ke Babel.

Penciptaan Alam Semesta dan Manusia

Singgih menawarkan penafsiran kata bara di Kejadian 1:1 dengan perspektif yang berbeda dengan penafsiran pada umumnya. Kata bara sering diartikan menunjuk pada penciptaan sesuatu dari ketiadaan (creatio-ex-nihilo). Dalam pemahaman teologis ini, Allah dipahami sebagai Tuhan yang Mahakuasa sehingga Ia mampu menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, yaitu dari yang tidak ada menjadi ada. Tanpa bermaksud menolak keyakinan iman yang demikian, Singgih mencoba untuk memahami isi teks Kejadian 1:1 – 2:4a sesuai dengan konteksnya dan ditambah dengan Kejadian 2:4b-25. Konteks Kitab Kejadian justru mengandaikan adanya bahan mentah dalam karya penciptaan Allah. Argumentasi Singgih didasarkan pada:

  1. Dalam Alkitab terjemahan Septuaginta (LXX), kata bara diterjemahkan menjadi kata poieoo (membuat) daripada ktizoo atau “krisis.”. Arti “membuat” tidak menunjuk kepada pekerjaan menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Bahkan bila menggunakan kata ktizoo yang artinya menciptakan sekalipun, perlu dipahami bahwa latar belakang kata ktizoo itu menunjuk pada pendirian kota, sedangkan pendiri kota sendiri disebut ktistes. Jadi semula, ktistes berarti “pendiri”, kemudian digeser artinya menjadi “pencipta” (hlm. 35).
  1. Kata hayetah di Kejadian 1:2 merupakan bentuk lampau dari kata hayah (“ada”, “adalah”). Menurut Singgih, kata hayetah berarti “tadinya”. Bila demikian, Kejadian 1:2 yang diterjemahkan oleh TB-LAI dengan “Bumi belum berbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” merupakan keterangan mengenai Kejadian 1:1. Berdasarkan pemahaman tersebut Singgih menafsirkan: “Bahwa tadinya, sebelum diciptakan, langit dan bumi merupakan materi yang belum berbentuk dan kosong, gelap gulita, samudra raya”. Para pakar mitologi menyebut materi prapenciptaan ini sebagai chaos. Ini disebut Singgih dengan Makna I. Kemungkinan kedua, jika diterjemahkan dengan kata “belum”, maksudnya pun tidak sama dengan “tadinya.”. Menurut Singgih, penggunaan kata “belum” akan menghasilkan kesimpulan bahwa Allah membuat ciptaan dalam dua tahap. Tahap pertama Allah menciptakan chaos, lalu dari chaos yang merupakan ciptaan itu, Allah menciptakan langit dan bumi yang teratur (Makna II) (hlm. 37). Kemungkinan ketiga adalah isi kesaksian Kejadian 1:1 dipahami bersifat temporal, yaitu: “ketika Allah menciptakan.”. Pemahaman teologis ini juga tercermin dalam Alkitab TB-BIS: “Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta”. Setelah frase “pada mulanya” memberi kata “waktu” sebelum kata “Allah”, dan kata “mulai” sebelum frase “menciptakan alam semesta”. Singgih menyebutnya sebagai Makna III (hlm. 38). Kemungkinan keempat adalah arti frase “belum berbentuk” dan kata “kosong” (juga “samudra raya” dan air”) tidak menunjuk pada keadaan chaos prapenciptaan, tetapi memperlihatkan bumi setelah diciptakan, yaitu belum diisi oleh manusia dan belum diolah (Makna IV). Dari keempat makna tersebut, Singgih cenderung memilih Makna III sebagaimana dinyatakan dalam pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar. Namun dalam perkembangan pemikiran teologisnya, selain memilih Makna III, Singgih juga memilih Makna I (hlm. 40).

Allah Pencipta Sebagai Pembuka Pemukiman dan Pemahat

Menurut Singgih kesenjangan pandangan dunia Alkitab bukanlah dengan pandangan dunia sains sebagaimana terlihat dalam ulasan buku Walter Lempp. Tampaknya Lempp, sebagaimana para teolog Barat pada umumnya, melakukan diskusi dengan ilmu pengetahuan khususnya teori Darwin, yaitu dalam konteks membela pandangan dunia Perjanjian Lama, pandangan dunia sains, ataukah dalam upaya melakukan sintesis Perjanjian Lama dan dunia sains (hlm. 28). Singgih merujuk kepada pidato pengukuhan Ellen van Wolde yang menekankan bahwa bara di Kejadian 1:1 harus dibaca “memisahkan”, dan bukan “menciptakan”. Lalu, Singgih merujuk kepada kamus Clines, yang mengartikan bara bukan dengan “menciptakan”, tetapi “memotong” (to cut). Apabila makna bara tersebut diberlakukan untuk Yosua 17:15, 18 yang menunjuk kepada kayu dan pohon di hutan, menurut Singgih, tindakan memotong itu dapat dianggap menciptakan. Arti bara sebagai “memotong” dianggap sesuai dengan konteks Indonesia, misalnya orang membabat hutan dalam rangka menciptakan pemukiman baru. Bagi orang Batak, menciptakan pemukiman baru disebut dengan sipungka huta. Jadi menurut Singgih, makna kata bara bisa dianologikan dengan membuka hutan.

Di sisi lain, makna kata bara dapat diterjemahkan sebagai “menciptakan dari ketiadaan” (creatio ex nihilo) dalam pengertian bahwa Allah menggunakan materi yang ada. Kata bara tersebut dapat dianalogikan dengan Allah sebagai seorang pemahat patung. Misalnya, hasil pahatan patung, semula patung wanita cantik itu tidak ada, sebab yang ada hanyalah sebuah batu.Tetapi kemudian, sang pemahat tersebut memahat dan mengukir batu tersebut menjadi sebuah patung yang memiliki bentuk yang indah (hlm. 34).

Penafsiran Singgih tentang Allah yang menciptakan alam semesta dengan “bahan mentah” tidak diikuti dengan penjelasan yang memadai tentang keberadaan bahan mentah tersebut. Apakah “bahan mentah” tersebut telah ada sejak kekal bersama dengan Allah, ataukah diciptakan lebih dahulu? Bila bahan mentah tersebut telah ada sejak kekal, maka timbul pertanyaan, apakah bahan mentah tersebut memiliki sifat abadi. Juga tafisran Singgih juga belum menjelaskan peran Allah sebagai Pencipta. Apakah Allah berperan sebagai Pencipta seperti pemahat, pematung, dan seniman; ataukah Allah sebagai Pencipta dari seluruh bahan penciptaan tersebut sekaligus berperan seperti seorang pemahat.

Roh Allah Sebagai Kekuatan Allah yang Melayang-layang

Istilah ruakh Elohim diterjemahkan oleh Alkitab TB-LAI menerjemahkan dengan “Roh Allah”. Namun, Singgih cenderung menerjemahkannya dengan “semangat atau kekuatan Allah” (Jawa: kasekten). Terjemahan Singgih tersebut paralel dengan Alkitab TB-BIS, yaitu “kuasa Allah.”. Berbeda dengan Alkitab TB-BIS, Singgih mengartikan ruakh Elohim bukan hanya dengan semangat atau kekuatan Allah, melainkan juga kekuatan Allah yang melesat ke bawah, ke permukaan air untuk memungkinkan chaos berubah menjadi ciptaan (hlm. 47). Sebab, kata “melayang-layang” diterjemahkan dari kata merakhefet (dari akar kata, rakhaf). Di Ulangan 32:11 terdapat kata yerakhef. Konteks kata yerakhef adalah seumpama seekor burung rajawali yang melesat turun untuk menolong atau menatang anaknya yang sedang belajar terbang. Penafsiran tentang Allah yang seumpama seekor burung rajawali melesat turun untuk menolong atau menatang anaknya tersebut tidak dikembangkan oleh Singgih dalam konteks Indonesia. Padahal sebelumnya, Singgih menunjukkan bahwa ruakh Elohim itu bersifat feminin. Karena itu, burung rajawali tersebut dapat dikaitkan sebagai induk yang melesat turun menolong anaknya yang terjatuh. Gambaran tersebut dapat membantu umat dalam konteks Indonesia untuk memahami Allah yang tidak semata-mata dipahami bersifat maskulin, tetapi juga Allah yang feminin. Gambaran Allah yang feminim dapat dipakai untuk mengangkat masalah sistem patriarkhat yang cenderung merendahkan para wanita.

Kemudian, Singgih justru menawarkan gambaran penciptaan dunia sebagai peristiwa telur yang menetas. Singgih menyatakan bahwa model telur yang menetas merupakan model penciptaan yang sah dan sejajar dengan gambaran Allah sebagai tukang periuk/pematung, arsitektur/bangunan, konflik/perang, kelahiran, kesaktian, dan sabda/mantra (hlm. 48). Singgih menyatakan bahwa orang Jawa memahami awal mula penciptaan menggunakan model menetas. Tetapi kemudian, Singgih tidak menggunakan model menetas karena ia tidak menemukan gagasan telur dalam teks Kejadian 1. Dalam konteks ini, Singgih menyatakan bahwa model menetas merupakan model penciptaan yang sah sebagaimana tafsiran Gunkel tentang ruakh seperti seekor burung yang mengeram telur (Jerman: weltei). Tafsiran Gunkel tersebut juga dianut oleh Walter Lempp dalam Tafsiran Kedjadian 1:1 – 4:26 (Lempp 1971, 16).

Di sisi lain, Singgih menyatakan bahwa orang Jawa menggunakan model menetas untuk memahami penciptaan dunia. Jika demikian, mengapa Singgih dalam ulasan tafsirnya tidak mengembangkan model menetas dalam menafsirkan penciptaan Kejadian 1:2, yaitu soal ruakh yang “mengeram”? Menurut pendapat saya, dalam literatur budaya Jawa, kita sebenarnya menemukan konsep penciptaan dunia dan alam semesta yang berasal dari “telur”. Ardian Kresna dalam bukunya yang berjudul Dunia Semar menyitir pementasan yang dilakukan oleh Ki Purbo Asmoro di pendapa Keraton Surakarta pada bulan Maret 2009. Ki Purbo Asmoro menjelaskan bahwa Semar lahir dari hasil perkawinan Dewa Sang Hyang Tunggal Rekatawati. Saat lahir, Semar berupa sebuah telur. Oleh Sang Hyang Tunggal, telur diserahkan kepada Sang Hyang Wenang. Saat didoakan oleh Sang Hyang Tunggal, telur tersebut pecah menjadi tiga bagian: kulit luar, putih telur, dan kuning telur. Dari ketiga bagian, tercipta tokoh Tejamantri atau Antabaga, Ismaya, dan Manikmaya. Ketiga tokoh tersebut memerebutkan yang paling berkuasa di dunia ini. Karena itu Sang Hyang Wenang membuat sayembara bagi ketiga cucunya, yaitu siapa saja yang dapat menelan dan memuntahkan kembali Gunung Mahameru, ia akan berwenang memerintah triloka, yaitu: jagat marcapada (dunia manusia), jagad mayapada (dunia jin), dan kahyangan (Kresna 2012, 251).

Tejamantri yang berasal dari kulit luar telur mencoba pertama kali untuk menelan Gunung Mahameru. Tetapi baru sampai di mulut, ia tidak mampu sehingga mulutnya robek. Giliran kedua adalah Ismaya, dan ia berhasil menelan Gunung Mahameru tetapi tidak mampu mengeluarkan kembali sehingga tubuhnya membesar seperti gunung. Akhirnya Manikmaya dapat menelan Gunung Mahameru dan dapat mengeluarkan dari tubuhnya. Karena itu, Manikmaya berhak menguasai triloka, yaitu jagat marcapada (dunia manusia), jagad mayapada (dunia jin), dan kahyangan (Kresna 2012, 252). Dewa Ismaya itulah yang dikenal oleh orang Jawa dengan sebutan Semar. Jadi, Semarlah yang mengandung atau menopang dunia dan alam semesta ini. Ia lebih tua dari dunia dan alam semesta. Jati diri Semar disebut dengan jalma tan kena kinaya ngapa, artinya: tidak terpikirkan atau misterius.

Dengan demikian, kisah penciptaan dari konteks budaya Jawa ini dapat dipakai untuk menjelaskan makna penciptaan yang dilakukan Allah seraya menjelaskan perihal kesaksian penciptaan dalam Kitab Kejadian. Dalam Kitab Kejadian, kisah penciptaan alam semesta terjadi melalui Firman Allah dan Roh Tuhan yang melesat turun untuk mentransformasikannya menjadi ciptaan (hlm. 50). Dalam konteks ini, Singgih menganggap bahwa teologi penciptaan melalui Firman Allah dalam Kitab Kejadian bukanlah sesuatu yang asing dalam dunia Asia Barat Daya kuno. Sebab, teologi di Memphis, Mesir, juga menguraikan tentang kosmogoni (terjadinya alam semesta) yang memperlihatkan bagaimana para dewa mencipta alam semesta ini dengan firman (hlm. 50). Namun menurut pendapat saya, penemuan data tentang konsep penciptaan di dunia Asia Barat Daya kuno melalui “Firman” tidak berarti menghapuskan kekhasan narasi Kitab Kejadian 1 yang mempersaksikan bagaimana Allah menciptakan alam semesta ini dengan kuasa Firman-Nya (Poole 1979, 2). Yang utama adalah pemahaman teologis tentang penciptaan dengan Firman tersebut apakah telah dimaknai secara baru sesuai dengan isi iman umat Israel.

Laki-laki Akan Meninggalkan Ayah dan Ibunya

Kejadian 2:24 mempersaksikan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (TB-LAI). Menurut Singgih, Kejadian 2:24 tersebut menunjukkan suatu kesaksian bahwa sistem pernikahan yang asali itu bersifat matrilinial. Kita ketahui bahwa dalam sistem pernikahan patrilinial, perempuan justru akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bergabung dengan suaminya (hlm. 97). Padahal di Israel kuno pada zaman penulis Jahwist (J) sistem yang berlaku adalah patrilinial. Kesimpulan Singgih adalah bahwa penulis Kitab Kejadian 2:24 (penulis J) hendak mengingatkan pembaca di zamannya, bahwa sistem patrilinial yang berlaku saat itu bukanlah sistem yang bersifat mutlak. Dengan perkataan lain, sistem pernikahan matrilinial pada hakikatnya sudah dikenal sejak awal. Karena itu, Kitab Kejadian menegaskan bahwa istri atau perempuan itu tidak memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada suami atau laki-laki. Selain itu, konsep suami dan istri yang diharapkan meninggalkan keluarga lama untuk membentuk keluarga baru merupakan konteks Barat, yaitu bentuk nuclear family. Padahal di Indonesia, suami-istri lebih banyak hidup dalam keluarga besar (extended family) (hlm. 98).

Gordon J. Wenham dalam Word Biblical Commentary Genesis 1 – 15 menyatakan bahwa Kejadian 2:24 tersebut bukan merupakan kelanjutan dari Kejadian 2:23, sebab kesaksian Kejadian 2:24 merupakan komentar narator. Makna laki-laki yang akan meninggalkan ayah dan ibunya lebih tepat dipahami bahwa laki-laki saat menikah akan mendirikan rumah yang berdekatan dengan keluarganya. Wenham membedakan antara pernikahan yang patrilinial dengan patrilokal (Wenham 1987, 70). Dalam sistem pernikahan patrilokal, sepasang suami-istri akan tinggal bersama keluarga sedarah suami. Dalam hal ini, arti kata “meninggalkan” bukan berarti lepas sama sekali dengan keluarga lama, yaitu ayah dan ibunya. Keluarga Israel umumnya sangat menghormati ayah dan ibunya sehingga mereka tetap menempatkan hubungan dengan orangtua mereka sebagai prioritas dan kewajiban. Dalam kaitan dengan hal itu, makna kata “meninggalkan” dan makna frase “bersatu dengan isterinya”, menurut Wenham, bukan sekadar menunjuk pada hubungan seks di antara suami-istri, anak-anak yang akan dilahirkan, dan hubungan emosi dan spiritual di antara mereka. Namun, kedua kata ini juga bermakna bahwa suami yang meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan isteri akan hidup bersama dengan keluarga besar mereka. Keluarga besar suami akan menjadi keluarga besar isteri, dan sebaliknya. Karena itu, Imamat 18 mengatur hubungan agar tidak terjadi penyimpangan hubungan seks di antara keluarga besar tersebut (Wenham 1987, 71).

Dari diskusi di atas, terlihat perbedaan tafsir antara Singgih dengan Wenham. Singgih menafsirkan “laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya” dalam konteks matrilinial, sedang Wenham menfsirkannya dalam konteks patrilokal. Tujuan Singgih menafsirkan Kejadian 2:24 berhubungan dengan sistem matrilinial adalah agar umat tidak memutlakkan sistem patrilinial yang sering merendahkan perempuan dan isteri. Sedangkan, Wenham menafsirkan Kejadian 2:24 sehubungan dengan sistem patrilokal yang justru dekat dengan extended family sebagaimana yang dikemukakan oleh Singgih. Dalam sistem extended family ini, seorang isteri hidup bersama-sama dengan ayah dan ibu mertua, paman-bibi, dan saudara-saudara sepupu dari keluarga suami.

Kondisi Manusia Pertama: Malu dan Takut

Kejadian 2:25 melukiskan keadaan manusia pertama yang telanjang: “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (TB-LAI). Singgih menerjemahkannya menjadi “mereka berdua telanjang, laki-laki dan perempuan itu, tetapi mereka tidak malu”. Dalam hal ini, situasi “telanjang” (Ibr. eirum) ditafsirkan Singgih untuk menunjuk keadaan asali (hlm. 99). Keadaan asali tersebut dinyatakan saat mereka berhadapan dengan Allah, misalnya ketika Musa diperintahkan Tuhan untuk menanggalkan kasutnya (Kel. 3:5). Tindakan Musa yang menanggalkan kasut merupakan simbol menanggalkan seluruh pakaian, menjadi telanjang di hadapan yang kudus. Singgih juga mengambil contoh Nabi Yesaya yang diperintahkan Tuhan untuk berjalan telanjang dan tidak berkasut selama tiga tahun sebagai simbol Mesir yang akan dihina oleh Asyur (Yes. 20:2-3). Singgih juga memberi contoh tentang Saul yang telanjang seharian dan semalaman saat Roh Allah hinggap padanya (1Sam. 19:20-24). Lalu Singgih memberi kesimpulan: “Di seluruh PL ketelanjangan merupakan sesuatu yang tabu, terlebih lagi dalam konteks ibadat” (hlm. 100). Menurut pendapat saya kesimpulan Singgih tersebut kurang tepat karena di bagian awal, ia menyatakan bahwa makna arum (telanjang) di hadapan ilahi adalah sesuatu yang wajar. Bahkan, Kejadian 2:25 yang sedang ditafsirkan oleh Singgih adalah konteks laki-laki dan perempuan di taman Eden yang tidak malu. Mereka tidak malu karena belum melakukan kesalahan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, kesimpulan Singgih ini tidak konsisten dengan tafsirannya di Kejadian 2:25.

Gambaran situasi manusia pertama yang tidak malu di Kejadian 2:25 berbeda dengan kisah di Kejadian 3:10, yaitu setelah manusia pertama melanggar firman Tuhan: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Di Kejadian 3:10, kata “telanjang” berhubungan erat dengan “takut”. Menurut Singgih, dari perspektif pola pendekatan tafsir konvensional yang kritis dan kritis historis, makna kata “takut” di sini dibaca sebagai perubahan pemahaman terhadap Tuhan yang tadinya tidak perlu ditakuti. Padahal menurut Singgih seharusnya perubahan nuansa dari “malu” di ayat-ayat sebelumnya menjadi “takut” perlu diperhatikan. Jadi menurut Singgih, situasi takut di sini berada dalam kerangka pemahaman mengenai malu. Manusia takut kepada Tuhan, sebab takut untuk dipermalukan (hlm. 112).

Kata “takut” di sini berasal dari kata yare. Kata yare digunakan untuk menyatakan sikap takut karena disadari bahwa Allah menegur kelakuan yang dianggap tidak pantas, misal kasus tertawanya Sara (Kej. 18:15). Kata yare juga dipakai untuk menunjukkan sikap takut karena pengalaman buruk, misalnya kasus Lot yang tidak berani tinggal di Zoar (Kej. 19:30); Yakub yang takut bertemu dengan Esau (Kej. 32:11); rasa hormat kepada Allah (Kel. 1:17, 21); Musa yang ketakutan karena perbuatannya membunuh orang Mesir diketahui orang lain (Kel. 2:14); Musa yang takut berhadapan dengan penyataan diri Allah (Kel. 3:6). Dengan demikian, makna kata yare itu bukan sekadar sikap manusia yang takut kepada Tuhan, sebab takut dipermalukan. Namun, ini juga merupakan sikap manusia yang takut kepada Tuhan, karena ia menemukan keberadaan dirinya yang bertindak tidak benar. Kejadian 3:7 justru mempersaksikan bahwa setelah makan buah pengetahuan tersebut, manusia terbuka matanya bahwa mereka telanjang. Mereka telah menjadi malu sebelum Allah mendatangi mereka. Lalu, sikap malu tersebut berkembang menjadi takut saat Allah datang. Kejadian 3:10 menunjukkan hubungan yang erat antara rasa malu dan takut (“aku menjadi takut karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”).

Upaya kontekstualisasi di sini, oleh Singgih, dikaitkan dengan perasaan malu. Menurut Singgih, malu merupakan sesuatu yang bersifat sosial, bukan individual. Dalam konteks budaya Timur, rasa malu merupakan sesuatu yang begitu kuat seperti atmosfer yang berdiri sendiri dan menguasai manusia. Walau budaya Timur mengenal rasa salah (guilt), tetapi yang menonjol adalah rasa malu (shame). Karena itu, Singgih menafsirkan bahwa manusia pertama tidak merasa malu dengan ketelanjangannya karena hal itu menunjukkan keadaan ideal yang didambakan. Kesadaran kedua manusia itu, bahwa mereka telanjang, juga tidak disebabkan karena adanya orang lain, melainkan karena intervensi si ular (hlm. 101). Menurut pendapat saya, mereka berdua malu bukan karena intervensi ular, tetapi karena menemukan keberadaan dirinya yang berlaku tidak benar di hadapan Tuhan. Karena itu, manusia hanya mengakui ketelanjangannya, tetapi menyembunyikan dosa dan pelanggaran mereka. Kondisi ketidakbenaran mereka tidak diikuti dengan penyesalan dan pengakuan dosa di hadapan Tuhan (Poole 1979, 9).

Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa menyatakan bahwa pendidikan orang Jawa menanamkan tiga perasaan yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin, dan sungkan (Suseno 1984, 63). Kata wedi yang berarti takut merupakan reaksi terhadap ancaman fisik ataupun rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Kata isin berarti malu, dalam arti sikap malu-malu, merasa bersalah. Orang Jawa yang baik harus belajar ngerti isin (tahu malu). Isin dan hormat merupakan kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Sedangkan, sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Sungkan adalah rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal (Suseno 1984, 65). Dalam konteks ini, Singgih sebenarnya dapat mengembangkan suatu tafsiran yang kontekstual terhadap orang Jawa dalam perspektif isin (malu) dan wedi (takut). Tafsiran kontekstual tersebut adalah bagaimana menyikapi berbagai perbuatan yang tidak pantas dan jahat, seperti korupsi dan perselingkuhan, dengan mengembangkan budaya isin dan wedi. Mereka isin (malu) bukan karena ketahuan telah berbuat yang amoral, tetapi malu karena kesadaran akan diri sendiri, sehingga mereka takut untuk melakukannya.

Manusia Telah Menjadi seperti Allah?

Allah berfirman di Kejadian 3:22, “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya” (TB-LAI). Menurut Singgih, Allah berkata dalam konteks ini kepada penghuni sidang ilahi di surga, bahwa sekarang manusia telah sama dengan “Kita.”. Kalau kita perhatikan tafsiran Singgih di Kejadian 1:26, telah dijelaskan bahwa dalam penciptaan manusia Allah melibatkan sidang surgawi (hlm. 65). Jika demikian, saat manusia mengambil buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, penulis Kitab Kejadian konsisten melibatkan sidang surgawi. Tampaknya, dengan makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat itu, manusia “menjadi seperti Allah” (Latin: eritus sicut deus). Arti harfiah frase “manusia menjadi seperti Allah” adalah manusia itu bisa mengetahui yang baik dan yang jahat. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Singgih adalah bukankah hal yang positif bahwa manusia dapat mengetahui yang baik dan yang jahat. Pengetahuan tersebut justru dapat membawa manusia untuk menjadi mahluk yang bermoral. Singgih kemudian mengutip ayat pendukung dari 1Raja-Raja 3:1-15 (2Taw. 1:1-13) tentang raja Salomo yang permohonannya berkenan di hadapan Allah, sebab ia meminta hati yang paham menimbang perkara sehingga dapat membedakan yang baik dan yang jahat (hlm. 126). Jika demikian, mengapa kitab Kejadian mempersoalkan manusia makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat?

Menurut Singgih, masalahnya adalah kesadaran moral itu bersifat ambigu. Kesadaran dalam kondisi tertentu justru bersifat negatif. Seseorang yang terlalu sadar bahwa dirinya baik dan suci, justru saat itu dia tidak baik dan tidak suci. Contoh kontekstual adalah di zaman Orde Baru. Secara teoretis, mestinya semua orang Indonesia menjadi baik karena telah mengikuti Penataran P-4 dan lulus ujian dalam penataran tersebut. Tetapi, hasilnya adalah orang yang justru berlaku tidak baik dan korup (hlm. 127). Karena itu, Singgih kemudian mengutip buku Tao Te Ching yang menekankan ketidaksadaran dan melupakan apa yang telah dipelajari.

Tafsiran “pengetahuan yang baik dan yang jahat” yang dikemukakan oleh Kejadian 2:9, 3:22 perlu pula melihat kesaksian Amsal 1:7, yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Karena itu, pertanyaan yang perlu kita ajukan dalam konteks ini adalah “Apakah manusia pertama yang berhasil makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat tersebut melakukannya dalam konteks ‘takut akan Tuhan’, yaitu menghormati dan mempermuliakan Allah? Motif manusia dengan makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat justru adalah keinginan menjadi seperti Allah (Kej. 3:5). Gordon J. Wenham dalam Word Biblical Commentary Genesis 1 – 15 mengaitkan makna makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat tersebut dengan kesaksian Yehezkiel 28, yaitu tentang raja Tirus yang tinggi hati dan menganggap dirinya sebagai “allah” (Wenham 1987, 64). Latar belakang sikap raja Tirus tersebut adalah dia merasa telah memiliki hikmat yang begitu tinggi melebihi hikmat Daniel, sehingga tiada yang terselubung baginya (Yeh. 28:3). Karena itu sebagai hukumannya, Allah menurunkan raja Tirus ke liang kubur dengan mati sebagai orang yang terbunuh.

Memiliki pengetahuan yang baik dan yang jahat justru akan menjadi destruktif saat manusia tertuju dan membesar-besarkan pengetahuan itu sendiri. Sebab hanya Allah yang memiliki semua pengetahuan, sehingga tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Karena itu, hukuman Allah dijatuhkan kepada manusia bukan karena mereka berhasil memiliki pengetahuan yang baik dan yang jahat secara lengkap, melainkan motif yang mendasarinya, yaitu bahwa mereka ingin menjadi seperti Allah. Dengan motif tersebut, manusia berupaya menggunakan pengetahuan yang dicapainya untuk melawan Allah. Padahal, pengetahuan yang baik yang jahat itu seharusnya digunakan manusia untuk memuliakan Allah, memampukan setiap orang untuk hidup benar secara etis, dan membela keadilan bagi sesama yang tertindas. Motif tersebut perlu didukung oleh spiritualitas yang tepat sebagaimana dikemukakan oleh Singgih, yaitu manusia tidak perlu merasa diri baik dan suci. Kebaikan dan hidup suci bukan untuk diingat-ingat sebagai alasan untuk membanggakan diri. Keduanya seharusnya didukung untuk diwujudkan kasih secara tulus kepada Allah dan sesama.

Sikap Kain: Antara Menguasai atau Dikuasai oleh Dosa

Kejadian 4:6-7 mempersaksikan respons Kain yang marah karena persembahannya ditolak Allah. Kemarahan Kain disebabkan karena ia malu dan kehilangan muka. Menurut Singgih, kehilangan muka merupakan persoalan yang amat serius di dunia Timur. Misalnya, di dalam budaya Makasar-Bugis dan Madura, kehilangan muka bisa mendatangkan pertumpahan darah. Kehormatan orang yang tersinggung hanya bisa dibayar dengan darah (hlm. 134). Alasan Allah menerima persembahan Kain, menurut Singgih, adalah karena Habel adalah adik, sedangkan Kain adalah kakak. Di dalam budaya Timur, kakak selalu mendapat prioritas. Namun dalam narasi Kejadian 4, prioritas ini diputarbalikkan. Justru karena Habel adalah adik, maka ia diperhatikan oleh Tuhan. Selain itu, Singgih terbuka kepada kemungkinan bahwa penolakan Allah terhadap persembahan Esau adalah karena pemilihan Allah yang dilandasi oleh anugerah-Nya. Allah memilih dan menolak dilandasi oleh kehendak bebas-Nya (hlm. 136). Di sisi lain, Allah juga peduli dengan perasaan Kain yang tersinggung dan malu. Itu sebabnya Allah mengajukan dua pertanyaan kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?”, dan “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” (Kej. 4:6-7a).

Setelah mengajukan dua pertanyaan tersebut, Allah mengingatkan Kain: “Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej. 4:7b). Singgih memberi informasi bahwa di sinilah pertama kali muncul kata khatta’th (dosa). Dalam narasi ini, dosa tiba-tiba muncul seperti singa yang merunduk di balik pintu. Di sini, dosa dipahami seperti roh jahat yang mirip dengan roh jahat rabisu di dalam kisah-kisah Akad (hlm. 139). Dengan perkataan lain, dosa seperti singa yang sedang merunduk akan mengusai Kain. Jika benar, Kejadian 4:6-7 tersebut bermakna bahwa Allah telah meramalkan bahwa sebentar lagi Kain akan jatuh di bawah pelukan dosa dan roh jahat (kemungkinan pertama). Timbul pertanyaan, “Di manakah kehendak Kain?” Karena itu, Alkitab TB-LAI dan TB-BIS tidak memilih kemungkinan Kain “ditakdirkan” akan jatuh, tetapi memilih peran dari kehendak Kain sendiri. Dalam konteks ini, Allah berperan sebagai penasihat dan motivator agar Kain tidak mengikuti kemauan godaan jahat (kemungkinan kedua). Selain itu, Singgih menawarkan kemungkinan ketiga yaitu Allah menantang Kain untuk menguasai godaan tersebut. Kemungkinan keempat adalah Allah mengharap Kain dapat mengatasi godaan jahat (hlm. 140). Dalam hal ini, Singgih memilih kemungkinan keempat, yaitu Allah mengingatkan Kain agar waspada terhadap ancaman dosa sebab dia berada dalam situasi yang sangat berbahaya. Tetapi ternyata, Kain tidak mengindahkan nasihat Tuhan, sehingga ia membunuh Habel (hlm. 144).

Pilihan Singgih tersebut diakuinya terinspirasi dari buku East of Eden yang mengisahkan dua keluarga Amerika, yaitu keluarga Hamilton dan keluarga Trask sepanjang tiga generasi. Novel tersebut mengisahkan konflik antar-saudara, yaitu Charles dan Adam, serta antara Cal dan Aron Trask seperti kisah Kain dan Habel. Karena itu, Singgih memberi catatan di akhir tafsirannya bahwa walaupun Amerika adalah negara sekuler, pengaruh Alkitab tetap kuat tersebar melalui berbagai sarana yang ada seperti novel dan film. Jika demikian, dalam konteks Indonesia, seniman-seniman Kristen seharusnya juga melakukan “hermeneutik” tentang iman Kristen yang tidak harus dinyatakan secara eksplisit dalam ayat-ayat Alkitab dengan karya-karya mereka (hlm. 143).

Nasihat dan tantangan Singgih tersebut seharusnya direspons dengan serius, yaitu bagaimana membangun teologi sesuai dengan konteks Indonesia dalam berbagai bentuk, misalnya novel, puisi, novel, dan film. Tampaknya, Singgih belum mengetahui bahwa tokoh-tokoh seniman Kristen selama ini telah memberi kontribusi dalam mengomunikasikan iman Kristen. Kontribusi dalam bentuk seni lukisan di antaranya oleh seniman Bagong Kussudiardja, I Ketut Lasia, Ni Ketut Ayu Sri Wardani, Gede Sukana Kariana, I Komang Wahyu Sukayasa, dan I Nyoman Darsane; dalam bentuk seni patung dapat disebut nama seniman Gregoirus Sidharta; dalam bentuk drama ada Remi Sylado; dan dalam bentuk nyanyian Natal ada Koes Plus, dan sebagainya.

Kisah Kain yang membunuh Habel perlu diperjelas kepada umat bahwa iman Kristen tidak mendukung adanya “takdir”. Makna “takdir” di sini berarti segala-galanya telah ditentukan Allah. Padahal Kain yang membunuh Habel bukan karena Allah telah menakdirkan Kain bahwa ia akan ditaklukkan oleh dosa, sehingga membunuh Habel. Ulasan tafsir yang mendalam dan tepat tentang percakapan Allah dengan Kain akan membantu orang Jawa yang cenderung memahami bahwa seluruh kehidupan ini dengan segala peristiwanya telah ditentukan Allah agar dapat memaknai kisah ini dengan lebih baik. Bagi orang Jawa, setiap orang telah memiliki garis hidupnya masing-masing dan tidak dapat membebaskan dari nasib yang telah ditentukan (Suseno 1984, 152). Pandangan itu dapat diubah dengan memaknai kisah Kain dan Habel dari Alkitab dengan ulasan tafsir yang mendalam.

Anak-anak Allah Menikah dengan Anak-anak Manusia

Kejadian 6:1-2 mempersaksikan, “Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi,  dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah  melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik,  lalu mereka mengambil isteri  dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka” (TB-LAI). Singgih memberi judul “Manusia yang Salah Kedaden.”. “Salah kedaden” adalah bahasa Jawa yang berarti salah jadi atau salah tumbuh. Salah jadi atau salah tumbuh itu terjadi karena anak-anak Allah tergiur dengan kecantikan anak-anak manusia, sehingga mereka memperistri anak-anak perempuan manusia. Problem tafsir adalah siapakah yang dimaksud dengan “anak-anak Allah” tersebut. Alkitab TB-BIS menafsirkan “anak-anak Allah” itu sebagai “mahluk-mahluk ilahi.”. Septuaginta menerjemahkan dengan ho anggeloi tou Theou (“malaikat-malaikat Allah”). Calvin menentang pandangan tersebut sebagai suatu hal yang absurd. Dalam hal ini, Calvin justru mengartikan “anak-anak Allah” sebagai keturunan Set, dan anak-anak manusia menunjuk kepada keturunan Kain (hlm. 167). Singgih berpendapat bahwa Kejadian 6:2 merupakan kisah perkawinan para malaikat Allah dengan anak-anak perempuan dunia. Dosa terjadi akibat pelanggaran batas langit dan bumi, sebab malaikat kawin dengan manusia. Karena itu, Singgih berpendapat bahwa perkawinan campur antara mahluk surgawi dengan mahluk bumi inilah yang dianggap sebagai ancaman bagi surga, sama seperti pembangunan menara Babel. Singgih juga menunjukkan gagasan teologis Kejadian 3:22 sebagai suatu ancaman surga, yaitu kekekalan hidup manusia yang telah memperoleh pengetahuan yang sama dengan Allah juga merupakan ancaman bagi Allah. Karena itu, Singgih menyimpulkan: “manusia yang diciptakan oleh Allah, secara potensial bisa menggantikan kedudukan Allah, menjadi seperti Allah, dan itulah yang disebut dosa di dalam narasi panjang Kejadian 1 – 11” (hlm. 168).

Kejadian 6:3 mempersaksikan bahwa walaupun anak-anak manusia kawin dengan “mahluk-mahluk surgawi.”. Namun, ini tidak berarti bahwa mereka menjadi kekal dan berumur panjang. Karena itu, Allah memperpendek usia manusia menjadi 120 tahun. Selain itu roh Allah tidak senantiasa tinggal (yadon) di dalam diri manusia. Singgih mengartikannya dengan pernyataan bahwa Roh Allah tidak terus berada di dalam manusia, yang berarti manusia tidak akan terus menerus bernafas. Dasarnya adalah fungsi ruakh di sini paralel dengan fungsi nisymat khayyim (nafas hidup) di Kejadian 2:7 (hlm. 170).

Perkawinan“anak-anak Allah” dengan “anak-anak manusia” menghasilkan nefilim. Kata nefilim sering diartikan sebagai para pahlawan. Kata ini berasal dari akar kata nfl yang berarti jatuh, gugur. Dalam hal ini nefilim diartikan sebagai para pahlawan yang gugur (bdk. Yeh. 32:20-27). Alkitab TB-LAI menerjemahkan nefilim dengan “raksasa.”. Teks Septuaginta memahami nefilim sebagai gigantes (“raksasa-raksasa”) yang lebih dipengaruhi mitologi Yunani. Singgih memilih pengertian dari Septuaginta yang mengartikan nefilim dengan raksasa ini. Pilihan tersebut bukan karena Singgih percaya akan adanya raksasa, melainkan karena ia mengaku dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa (hlm. 173). Karena itu dengan perspektif budaya Jawa tersebut, Singgih kemudian mengisahkan Murwakala. Kisah Murwakala menceritakan tentang kelahiran seorang raksasa yang sangat sakti dan merajalela, bahkan mengancam surga, yaitu Batara Kala. Kelahiran Batara Kala terjadi karena Batara Guru yang sedang terbang bersama Dewi Uma di atas laut Jawa tiba-tiba timbul perasaan birahinya. Dewi Uma menolak permintaan suaminya, tetapi Batara Guru terlanjur birahi, sehingga air maninya tumpah ke laut sebagai api yang menyala-nyala. Air mani yang tumpah itulah yang menjadi Batara Kala (hlm. 174). Dari perspektif budaya Jawa inilah Singgih kemudian menyatakan bahwa kisah Batara Kala menjadi contoh dari mahluk-mahluk yang dianggap salah kedaden seperti halnya para raksasa dalam Kejadian 6 yang lahir dari perkawinan anak-anak Allah dengan anak-anak manusia.

Nuh yang Saleh Tetapi Tak Berbela Rasa

Kitab Kejadian 7:1-24 mengisahkan tentang sisi lain dari watak Allah selain sebagai Pencipta. Dia ternyata juga tampil sebagai Perusak (Destroyer). Narasi Kejadian 1 – 11 memiliki tiga tema besar, yaitu: Penciptaan (Creation) – kembalinya Chaos (Uncreation) – Penciptaan Kembali (Re-Creation). Menurut Singgih, terdapat tiga kisah mengenai Air Bah di Asia Barat Daya Kuno yang menonjol, yaitu: kisah Air Bah dari Sumeria (tokoh utama: Ziusudra), mitos Babilonia kuno (tokoh: Atrahasis), dan Luh XI dari kisah Gilgamesy (tokoh: Utnapisytim) (hlm. 194). Dengan peristiwa “banjir semesta” tersebut Allah menghapus seluruh mahluk hidup. Bumi kembali ke bentuk asalinya, yaitu dikuasai oleh air (Kej. 1:2). Chaos kembali menguasai bumi, dan hanya Nuh sekeluarga yang selamat. Dalam konteks tersebut, Singgih menafsirkan sikap Nuh yang di satu pihak sebagai seorang yang saleh dan taat perintah kepada Allah, tetapi di lain pihak, Nuh tampil sebagai seorang yang tidak memberi reaksi atas bencana yang melibatkan seluruh manusia dan mahluk hidup tersebut. Singgih terinspirasi dengan tulisan Karen Armstrong yang berjudul In the Beginning yang mengisahkan reaksi Utnapisytim, sebagai berikut:

“The Landscape was as level as a flat roof,

I opened a hatch, and light fell on my face.

Bowing low, I sat and wept,

Tears running down my face”

(Karen Armstrong. 1996. In the Beginning. New York: Ballantine Books,

44-45)

Utnapisytim menangis sebab merasa iba saat menyaksikan kematian umat manusia dan mahluk hidup. Namun dalam kesaksian Alkitab, Kejadian 7 sama sekali tidak mempersaksikan reaksi Nuh. Tidak ada ungkapan tentang perasaan dan sikap hati Nuh terhadap apa yang terjadi dengan sesamanya. Singgih menarik kesimpulan bahwa sebaiknya kita tidak terburu-buru membuat perbandingan antara kisah-kisah serupa di dunia Asia Barat Daya kuno dengan Perjanjian Lama, lalu menetapkan bahwa kisah-kisah di Perjanjian Lama lebih superior secara etis moral daripada kisah-kisah yang berkembang di dunia Asia Barat Daya kuno (hlm. 201).

Sehubungan dengan sikap Nuh tersebut, Singgih mengingatkan bahwa kita telah terbiasa membuat metafora bahtera Nuh sebagai Gereja, kendaraan keselamatan bagi umat percaya. Seperti sikap Nuh yang saleh tetapi tidak memiliki bela rasa, kita juga berpendapat sama bahwa biar semua orang lain mati, asal kita selamat (hlm. 210).

Catatan saya adalah sikap Nuh dapat dibandingkan dengan sikap Abraham ketika ia mengetahui rencana Tuhan akan membinasakan kota Sodom dan Gomora. Di Kejadian 18:23, Abraham berkata kepada malaikat Tuhan, “Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” Lalu Abraham membuat tawaran bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Tuhan akan melenyapkan tempat itu ataukah tidakkah Tuhan mengampuni apabila ada lima puluh orang benar? Lalu terjadilah dialog antara Abraham dengan Tuhan yang sifatnya terus menawar sampai bagaimana sikap Tuhan jika Ia hanya menjumpai sepuluh orang benar. Dalam hal ini, Abraham berbela rasa kepada keselamatan orang-orang yang hidup benar di hadapan Tuhan agar melalui mereka, Allah tidak menghukum seluruh kota Sodom dan Gomora. Spiritualitas Abraham tersebut seharusnya menjadi spiritualitas umat percaya. Orang percaya perlu berbelarasa dan menyatakan kepeduliannya agar keselamatan terjadi bagi seluruh kosmos. Dengan demikian, gereja harus hadir bukan hanya untuk kepentingan atau keselamatan segelintir umat, melainkan seharusnya menjadi media keselamatan bagi seluruh umat manusia dan mahluk hidup.

Pemulihan Alam Semesta

Karya pemulihan alam semesta diawali dengan tindakan Allah yang “mengingat” (zakar) Nuh dan segala mahluk hidup yang ada di dalam bahtera. Tindakan Allah untuk “mengingat” tersebut dinyatakan dalam bentuk “menghembuskan angin di atas bumi” (Kej. 8:1-2). Kesaksian ini mengingatkan kita akan kisah di Keluaran 14:21, saat Musa dan umat Israel menyeberangi Laut Teberau. Allah “menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, sehingga laut terbelah dan terbuka tanah yang kering” (hlm. 214). Dengan angin yang dihembuskan, daratan yang semula tertutup oleh air kini menjadi tampak. Narasi Kejadian 8:3 memiliki hubungan dengan Kejadian 1:9, sebab keduanya mempersaksikan air dan darat yang dipisahkan, sehingga dimungkinkan untuk didiami oleh manusia dan mahluk hidup (hlm. 216). Setelah Nuh mengetahui bahwa bumi kini telah kering, ia dan seluruh keluarga bersama dengan seluruh hewan keluar dari bahtera. Menurut Singgih, kisah Nuh keluar dari bahtera merupakan puncak dari kisah penciptaan dalam narasi Kejadian 1 – 11. Pandangan Singgih tersebut justru sering diabaikan oleh kebanyakan orang Kristen. Bukankah kebanyakan umat Kristen lebih suka menceritakan kisah Nuh dan keluarga serta hewan-hewan ke dalam bahtera? (hlm. 219). Padahal bahtera besar yang telah dibangun oleh Nuh dengan susah payah selama bertahun-tahun kini telah habis kegunaannya, sebab air bah telah berhenti dan air telah surut.

Kisah keluarnya Nuh dari bahtera, justru merupakan suatu panggilan bahwa kehidupan iman umat percaya seharusnya berperan untuk memulihkan bumi yang telah hancur. Umat percaya tidak berkubang dalam sindrom jasa-jasa yang pernah mereka lakukan sebagai pembuat “bahtera.”. Tugas memulihkan bumi yang telah hancur merupakan tugas yang sangat berat (bandingkan dengan pasca tsunami di Aceh). Tanah yang tertutup lumpur dan tanaman-tanaman yang mati perlu ditata ulang dengan kerja yang berat. Perintah Allah kepada Nuh bisa dianggapnya sebagai ancaman bagi keamanan dirinya (hlm. 221). Namun, narasi Kejadian 8 mempersaksikan bahwa Nuh taat kepada perintah Allah. Nuh merespons karya keselamatan Allah tersebut dengan membangun mezbah agar dapat mempersembahkan kurban syukur kepada-Nya. Persembahan Nuh disebut dengan kurban syukur karena bencana telah berlalu, dan dunia baru telah hadir. Namun, Singgih mengingatkan bahwa kurban syukur yang dilakukan oleh Nuh tersebut bukanlah yang pertama kali, sebab sebelumnya Kain dan Habel telah melakukan. Kecuali kita beranggapan bahwa Kejadian 8 merupakan karya penciptaan ulang, yaitu penciptaan dunia baru, maka Nuh-lah yang pertama kali mempersembahkan kurban syukur kepada Allah (hlm. 222).

Untuk relevansi dengan konteks Indonesia, Singgih memaknai bahwa hukuman Allah di Kejadian 3:17, yaitu: “Terkutuklah  tanah  karena engkau; dengan bersusah payah  engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu” kini tidak berlaku lagi. Menurut Singgih, Kejadian 8:21 mempersaksikan: “Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum  itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: Aku takkan mengutuk bumi  ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya,  dan Aku takkan membinasakan  lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.” Karena kutukan terhadap tanah telah dianulir, pemerintah seharusnya mendukung para petani agar mereka mampu mempertahankan tanah atau sawahnya, dan tidak mengubah fungsinya menjadi tempat perdagangan dan industri (hal. 227). Melalui karya para petani, seluruh rakyat Indonesia akan memperoleh bahan makanan yang dibutuhkan. Ketahanan pangan ini pada gilirannya akan menjadi ketahanan nasional.

Kiprah Manusia Pasca-Air Bah

Kejadian 9:1 mempersaksikan Allah memberkati Nuh dan anak-anaknya. Menurut Singgih perumusan berkat tersebut mirip dengan kesaksian Kejadian 1:22 (hlm. 233). Namun, dapat saya tambahkan juga dengan Kejadian 2:3, yaitu Allah memberkati setelah Ia menyelesaikan karya penciptaan-Nya. Gagasan teologis ini sesuai dengan yang dimaksudkan Singgih, yaitu “manusia diberkati oleh Tuhan dan realisasi dari berkat itu adalah adanya keturunan di bumi ini.” Selain itu, Singgih juga melihat hubungan teologis dengan Yesaya 8, dan 11:6-8 yang mempersaksikan keadaan asali hubungan manusia dan hewan yang serba harmonis (hlm. 233). Namun perbedaannya dengan narasi Kejadian 9:1-7 adalah bahwa binatang-binatang akan takut dan gentar terhadap manusia sebab mereka akan menjadi makanan manusia. Singgih menyebutkan bahwa kesaksian Kejadian 9 tentang gambaran dunia pasca-Air Bah sebagai dunia yang realistis. Manusia pasca-Air Bah berubah dari vegetarian menjadi pemakan segala (omnivora), sehingga binatang-binatang takut dimangsa. Setelah itu, narasi Kejadian 9:4 juga mengulas larangan makan darah. Dalam konteks itulah, Singgih membuat catatan tentang kebiasaan orang Indonesia yang suka makan darah yang dimasak (Jawa: saren). Bagi Singgih, kebiasaan makan darah ’saren’ bagi orang Jawa dan orang Batak bukanlah sesuatu yang melanggar hukum Tuhan tersebut (hlm. 237).

Berita yang paling esensial dalam narasi Kejadian 9 adalah larangan penumpahan darah manusia. Larangan tersebut berkaitan dengan larangan minum darah binatang, sebab darah dalam konteks ini melambangkan kesakralan hidup, dan kesakralan hidup berhubungan dengan kesinambungan kehidupan manusia sebab darah binatang ditumpahkan ke atas altar untuk keselamatan dan pendamaian hidup manusia. Larangan menumpahkan darah manusia tersebut adalah karena manusia adalah gambar Allah (Kej. 9:6). Makna gambar Allah itu tidak terbatas pada etnis dan bangsa tertentu sebab Kejadian 9:6 tidak menyebut bahwa hanya Israel saja yang menjadi gambar Allah. Setiap umat manusia adalah gambar Allah. Karena itu, Singgih menegaskan bahwa pengertian “umat Allah” tidak boleh hanya dibatasi pada satu agama saja, atau hanya “agama-agama Ibrahim” (Abrahamic Religions) seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam; tetapi juga seharusnya stiap umat manusia adalah anggota umat Allah (hlm. 234).

Di Kejadian 9:11, Allah berjanji sejak ini tidak akan ada lagi pemusnahan oleh air bah lagi. Janji keselamatan Allah tersebut juga digunakan oleh Yesaya 54:9, yaitu: “Keadaan ini bagi-Ku adalah seperti pada zaman Nuh: seperti Aku telah bersumpah kepadanya, bahwa Air Bah tidak akan meliputi bumi lagi, demikianlah Aku telah bersumpah bahwa Aku tidak akan murka terhadap engkau, dan tidak akan menghardik engkau lagi.” Kesaksian Yesaya 54:9 tersebut merujuk kepada kisah Nuh di luar bahtera, dan bukan saat Nuh di dalam bahtera. Karena itu menurut Singgih, Yesaya 54:10 disebut sebagai “perjanjian damai” (berit shalom) yang dapat disejajarkan dengan “perjanjian kekal” (berit olam) di Kejadian 9:16 (hlm. 242). Sangat menarik, bahwa ternyata Perjanjian Baru, yaitu 2 Petrus 2:5, mempersaksikan kisah penyelamatan Nuh dan tujuh orang lain dari kehancuran yang disebabkan Air Bah. Lalu, kesaksian 2 Petrus 2:6 dikaitkan dengan penghakiman (katekrinos) berupa penghancuran Sodom dan Gomora. Demikian juga di Matius 11:6, Yesus berbicara tentang “angkatan” (geneas) zaman Nuh yang bejat. Di Lukas 17:25-30 terdapat rujukan kepada Air Bah yang bersama-sama dengan kisah kehancuran Sodom dan Gomora dalam bentuk api dan belerang. Kesimpulan Singgih adalah: semua rujukan tentang Air Bah di dalam Perjanjian Baru ternyata tidak menyinggung mengenai sikap Allah yang tidak akan menghukum lagi umat manusia dengan Air Bah sebagaimana dipersaksikan kitab Kejadian. Dalam konteks ini, Singgih membantah tuduhan bahwa kesaksian Perjanjian Lama berisi kekerasan, dan Perjanjian Baru anti-kekerasan. Dalam kesaksian di Kejadian 9:11-14, Allah justru menegaskan bahwa Dia tidak akan menghukum bumi lagi. Never Again! (hlm. 244). Kesaksian Kejadian 9:11-14 menegaskan bahwa penulis Kitab Kejadian bukanlah berpikir dalam perspektif kehancuran dunia, melainkan justru pemulihan dunia (hlm. 248).

Makna Kutukan Nuh kepada Kanaan

Kisah Nuh yang mabuk berat karena minum anggur, hasil dari kerja kerasnya mengolah tanah di Kejadian 9:20, sehingga Nuh terlentang telanjang, ditafsirkan Singgih dengan perspektif yang baru. Penafsiran pada umumnya menekankan pada kondisi Nuh yang mabuk dan dikaitkan dengan masalah seks. Kemabukan menyebabkan pelanggaran seksual. Akibatnya Nuh mengutuk keturunan Kanaan sebagai keturunan Ham. Menurut Singgih dengan perspektif penafsiran yang demikian, kita mengabaikan hal esensial dari kisah Kejadian 9:18-28. Bagian yang esensial tersebut adalah kita mengabaikan kenyataan bahwa gereja tidak menangani secara serius tentang masalah diskriminasi terhadap “keturunan Ham”. Gereja lebih berkutat pada masalah kemabukan dan penyimpangan seksual belaka sementara gereja membiarkan dan mendukung diskriminasi terhadap keturunan “yang dikutuk Allah”. Keturunan Ham yang dikutuk Allah tersebut dikaitkan dengan bangsa Kanaan, yaitu bangsa Palestina (hlm. 257). Selain itu, dalam praktik para pedagang Barat yang memperdagangkan budak-budak yang didatangkan dari pantai-pantai Afrika Hitam ke daratan benua Amerika dan Eropa, para budak ditafsirkan sebagai keturunan Ham. Sebaliknya mereka menafsirkan Sem sebagai nenek moyang orang Israel dan Arab (bangsa Semitik), dan Yafet ditafsirkan sebagai nenek moyang orang kulit putih.

Walaupun praktik perdagangan budak dilarang di wilayah jajahan Inggris pada permulaan abad ke-19 dan di Amerika Serikat (yang menyebabkan perang saudara dari 1861-1865), tetap saja orang kulit hitam didiskriminasi di wilayah kekuasaan orang kulit putih. Penghapusan perbudakan yang dilakukan presiden Lincoln pada 1863 (Emancipation Proclamation), ternyata tidak berlaku di negara-negara bagian Amerika Serikat di selatan, misalnya Alabama dan Mississipi. Negara-negara itu tetap memberlakukan segregation (pemisahan orang kulit putih dari orang hitam). Hal yang demikian juga terjadi di Afrika Selatan. Di sana, orang keturunan Belanda, yang disebut sebagai orang Broer, dianggap sebagai minoritas. Namun sebagai minoritas, mereka berkuasa, dan demi mempertahankan kekuasaannya mereka menerapkan politik apartheid. Perlawanan Nelson Mandela bersama Uskup Agung Desmond Tutu dari Gereja Anglikan, Beyers Naude dari Gereja Gereformeerd membuahkan hasil dengan dihapusnya sistem apartheid tersebut (hlm. 259). Catatan ini menunjukkan bahwa ayat-ayat Alkitab sering dilegitimasi untuk membenarkan dan menguatkan diskriminasi dan penindasan terhadap etnis lain. Perlakuan tidak adil dan yang menindas kepada etnis yang tidak berwarna “putih” sering terjadi dengan legitimasi dari ayat-ayat Kitab Suci.

Menurut pendapat saya bagian ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Singgih untuk mengekplorasi masalah diskriminasi dan apartheid ala Indonesia. Tetapi sayang sekali, Singgih tidak mengulas diskriminasi dan penindasan yang terjadi di Indonesia. Di bagian Penutup (Bab XIII), Singgih mengaitkan diskriminasi dan sistem apartheid ala Indonesia dengan ekonomi. Di sini, Singgih menggunakan catatan dari Rosihan Anwar dalam bukunya yang berjudul Napak Tilas ke Belanda tentang two-part society warisan kolonial. Dalam sistem two-part society terdapat konsep dual economy yang menyebabkan masyarakat terbagi dua, yaitu mereka yang menjajah dan menguasai berhadapan dengan mereka yang dijajah dan dikuasai (hlm. 306). Namun, kontekstualisasi Singgih belum memberi ulasan terhadap diskriminasi dari suatu etnis kepada etnis lain, dan dari suatu agama kepada agama dan kepercayaan lain. Padahal, realita ini justru yang merisaukan kehidupan bangsa Indonesia seperti perlakuan sebagian umat Islam yang merusak dan menganiaya para pengikut Ahmadiyah. Terakhir pada 26 Agustus 2012, kaum Syiah di Sampang diserang, dianiaya, dan rumah-rumah mereka dibakar.

Singgih dalam penafsiran Kejadian 10:1-32 tentang “Manusia Menyebar di Bumi” menunjukkan bahwa nama “Israel” tidak terdapat dalam daftar penyebaran bangsa-bangsa. Padahal, Kejadian 10:1 diawali dengan kata “riwayat” (toledot) yang menunjuk kepada “sejarah” atau “hikayat” sebagaimana dipersaksikan Kejadian 5:1 dan Kejadian 6:9. Apalagi kalau dikaitkan dengan “daftar buku/tulisan” (sefer) yang konkret, tentunya itu dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tentang keberadaan suku atau bangsa dalam kaitannya dengan bapa leluhur mereka (hlm. 263). Tetapi dari seluruh daftar nama puak, bangsa, dan wilayah, sekitar 70 nama tidak mencantumkan nama “Israel” secara eksplisit. Karena itu, catatan Singgih di sini adalah Kejadian 10:1-32 merupakan pelajaran bagi Israel bahwa dia bukanlah yang pertama, atau yang terbesar, atau yang paling sempurna di antara bangsa-bangsa. Sejak kelahirannya, bangsa Israel memang tidak bisa mengklaim apapun. Sebagaimana diketahui, bangsa-bangsa kuno memiliki kebiasaan untuk membuat klaim bahwa mereka ditakdirkan untuk lahir lebih hebat daripada bangsa yang lain. Berita Kejadian 10:1-32 dapat digunakan gereja untuk mempersaksikan agar kita tidak terpengaruh oleh racun berbisa yang bernama rasisme atau etnisisme (hlm. 283). Namun apabila gereja memilih untuk menempatkan Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan, Singgih membuka ruang dalam pengertian dipilih untuk melayani (election is for service) (hlm. 284). Jadi, Israel dipilih Allah bukan untuk menempatkan dirinya lebih tinggi daripada bangsa-bangsa lain. Tanggapan saya adalah dalam tafsirannya Kejadian 10:1-32, Singgih belum memperlihatkan masalah superioritas etnis kepada etnis lain yang menimbulkan masalah rasisme di Indonesia, padahal bahan-bahan teks tentang hal itu telah tersedia dan ditafsirkan dengan baik.

Pembangunan Menara Sebagai Ancaman bagi Surga

Hukuman Tuhan dalam perwujudan program pembangunan Menara Babel sering didasarkan pada masalah “marilah kita membuat nama bagi diri kita”, dan “supaya umat manusia tidak terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11:4). Menurut Singgih, makna “mencari atau membuat nama” bukanlah sesuatu yang selalu negatif. Singgih mengutip Cassuto dalam Commentary on the Book of Genesis Part I yang melihat makna “membuat nama menjadi besar merupakan salah satu berkat yang diberikan kepada bapa Abraham (Kej. 12:2). Demikian pula, membuat nama dalam konteks ini dinyatakan dalam pembangunan suatu bangunan berupa menara yang tinggi.

Di bagian Penutup Bab XIII, Singgih mengkritik pemikiran Arend Th. van Leeuwen yang berpendapat bahwa pembangunan kota dan menara Babel merupakan kecenderungan budaya-budaya besar di seluruh dunia untuk memegang dominasi kuasa, bagaikan kuasa ilahi itu sendiri. Budaya-budaya tersebut oleh Leeuwen disebutnya sebagai “budaya ontokratis” yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Christendom in de Wereldgeschiedenis (1966). Menurut Singgih, pemikiran van Leeuwen tersebut merupakan sikap anti-budaya, sebab bagaimana mungkin kita sebagai orang beragama hidup tanpa budaya (hlm. 316). Pola pemikiran van Leeuwen tersebut merupakan cermin dari para misionaris pada masa lampau yang cenderung memandang rendah kebudayaan Timur.

Demikian pula masalah keinginan “supaya umat manusia tidak terserak ke seluruh bumi” bukanlah sesuatu yang buruk. Singgih mengaitkan dengan harapan bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, apakah mereka menghendaki persatuan ataukah persebaran? Makna kesatuan saat ini justru merupakan bagian yang sangat penting untuk mencegah disintegrasi sebagai bangsa. Manusia membutuhkan kesatuan, khususnya saat manusia mengalami keterasingan satu sama lain (hlm. 295). Karena itu, Singgih menafsirkan makna hukuman Allah terhadap pembangunan menara Babel dalam kaitan dengan keseluruhan teks Kejadian 1-11. Dengan keputusan makan dari buah pengetahuan pohon pengetahuan baik dan jahat (Kej. 3), manusia ingin menjadi seperti Allah (Kej. 3:5). Setelah makan buah pengetahuan pohon pengetahuan baik dan jahat, manusia dijaga untuk tidak makan buah dari Pohon Kehidupan. Dasarnya adalah bahwa tindakan-tindakan manusia tersebut dipandang Allah sebagai suatu ancaman bagi surga. Demikian pula pada zaman pra-Air Bah, ketika “anak-anak manusia” dinikahi oleh “anak-anak Allah” (Kej. 6:1-4), dan kejahatan manusia bertambah-tambah dianggap sebagai suatu ancaman terhadap surga (hlm. 292). Pencegahan yang dilakukan Allah terhadap ulah manusia tersebut adalah dengan mengacaubalaukan bahasa atau komunikasi antar-manusia (hlm. 293).

Kalau kita cermati, seluruh pemikiran Singgih tentang makna “ancaman bagi surga” belum diuraikan secara mendalam. Pertanyaan yang timbul adalah apa yang dimaksud dengan pernyataan “Allah yang menghukum manusia karena terancam oleh ulah manusia?” Bagaimanakah menjelaskan diri Allah sebagai Pencipta, namun dapat terancam oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia ciptaan-Nya? Tampaknya, makna ancaman bagi surga terkait dengan Kejadian 3:5, yaitu manusia akan menjadi seperti Allah apabila makan buah pengetahuan baik dan jahat. Singgih menyatakan, “Memang manusia telah melangkah terlalu jauh, karena mengira bahwa dirinya, sebagai mahluk berhikmat, bisa mengambil hikmat menyeluruh yang ada pada Allah, dalam arti mau menjadi seperti Allah. Tetapi salah langkah ini juga membawa kebaikan, yaitu manusia menjadi sadar akan batas dia dengan Allah, dan tetap perlu menggunakan hikmat dalam hidupnya yang terbatas itu” (hal. 308). Tanggapan saya jika Allah juga memandang salah langkah manusia itu juga dapat membawa kebaikan, yaitu manusia menjadi sadar akan batas dia dengan Allah, mengapa tindakan manusia dianggap menjadi ancaman bagi surga? Kalau ada kemungkinan membawa kepada kebaikan, tak perlu juga ada kemungkinan bahwa tindakan manusia tersebut merupakan ancaman bagi Allah.

Kesimpulan dan Evaluasi Kritis

Buku Singgih, Dari Eden ke Babel merupakan perjalanan tafsir yang kaya dan mendalam, sehingga umat tidak terkungkung hanya dalam lingkup kisah Penciptaan sampai Eden sebagaimana buku-buku tafsir yang selama ini memberi tekanan pada Kejadian 1 – 3. Karena itu dengan perspektif yang lebih luas dan utuh dari Kejadian 1 – 11, Singgih membuka beberapa aspek pemahaman teologis yang menggelitik dan menantang. Bagi Singgih, kisah Kejadian 1 – 11 merupakan sebuah kesatuan yang dilandasi oleh karakter Allah (hlm. 317). Walaupun makna kesatuan tersebut tidak berarti meniadakan bagian-bagian yang tidak mulus, misalnya: kisah Kain yang dikutuk dan tinggal sebagai pengembara di Tanah Nod ternyata tidak cocok dengan kisah Kain yang menjadi pembangun peradaban di narasi selanjutnya. Juga, silsilah di Kejadian 10 yang mempersaksikan bahwa dunia ini terdiri dari berbagai bangsa dan berbagai bahasa ternyata tidak cocok dengan narasi Kejadian 11 yang mempersaksikan bahwa seluruh dunia ini bahasa dan omongannya cuma satu saja (hlm. 318). Singgih dalam bukunya tersebut ingin menampilkan sebagai suatu karya tafsiran yang orisinal, karena itu ia melakukan penerjemahan setiap ayat mulai Kejadian 1 sampai Kejadian 11. Di samping berbagai dialog yang dilakukan dengan Walter Lempp sebagaimana diakuinya, ternyata ia juga lebih sering berdialog dengan Umberto Cassuto. Namun pada akhirnya, Singgih konsisten menggunakan metode tafsirnya, yaitu reader’s response (tanggapan pembaca) di samping metode kritis-historis yang digabungkan dengan tafsir naratif sebagaimana dinyatakan di bagian awal bukunya (hlm. 27).

Dengan pola pendekatan tersebut, penafsiran Singgih menjadi suatu penafsiran yang lebih mengena sebab melibatkan kediriannya selaku seorang penafsir atau teolog dalam konteks riilnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Singgih bahwa ia tidak mau memutlakkan tafsir kritis-historis, tetapi pada pihak lain, ia juga tidak membuang tafsir historis-kritis. Model tafsir historis-kritis berusaha merekonstruksi sejarah masa lampau sehingga apa yang dikatakan dalam teks dapat dilihat pentingnya dalam konteks sejarah pada waktu itu (hlm. 22). Tetapi, Singgih mengingatkan bahwa konteks sejarah masa lampau tidak bisa begitu saja direkonstruksi berdasarkan teks dan juga petunjuk sosiologis dan arkeologis karena ada pengaruh dari para editor teks, sehingga konteks sejarahnya bisa jauh terpisah dari apa yang disampaikan dalam teks (hlm. 23). Sedangkan, model tafsir naratif memusatkan perhatian pada teks tanpa praduga dogmatis dan semacamnya. Model tafsir naratif juga terlihat tidak tertarik untuk membela wawasan ajaran, sebab hanya mengejawantahkan dunia cerita yang hadir dalam teks (hlm. 24). Itu sebabnya Singgih cenderung menggunakan model tafsir reader’s response (tanggapan pembaca) sebab pembaca tidak bersikap pasif mengikuti “apa mau teks”. Sebaliknya, pembaca tergerak untuk melakukan dialog dengan teks (hlm. 25). Dalam keseluruhan model tafsir ini, Singgih menolak tafsir dogmatis atau non-kritis untuk menafsirkan teks Alkitab sebagai suatu tafsiran biblis, kecuali untuk keperluan homiletik (hlm. 22).

Singgih menyatakan tentang Kitab Kejadian bahwa sehubungan dengan kisah Penciptaan, ia tidak menganut creatio ex nihilo (penciptaan dari yang tidak ada). Kisah Penciptaan dari Kejadian pasal 1 dan 2 justru mempersaksikan bahwa Allah menciptakan dari bahan yang sudah ada. Narasi Kitab Kejadian menggambarkan Allah menciptakan alam semesta dengan bahan mentah. Karena itu, Singgih mengartikan kata bara bukan dengan “menciptakan”, tetapi “memotong” (to cut). Pada sisi lain, Singgih setuju bahwa kata bara bisa diterjemahkan dari creatio ex nihilo dalam pengertian seperti seorang seniman yang memahat patung dari kayu. Semula patung yang indah tersebut tidak ada, sebab yang ada hanyalah kayu atau pohon. Pertanyaan yang muncul adalah: “Dengan hasil penafsiran tersebut, apakah berarti bahwa Singgih (atau penulis Kitab Kejadian) berpandangan bahwa ’bahan mentah’ yang akan digunakan oleh Allah dalam karya penciptaan telah ada sejak kekal? Hasil penafsiran Singgih tersebut menimbulkan suatu kesan bahwa “bahan mentah” yang akan digunakan oleh Allah bukanlah ciptaan. Kalau bukan ciptaan, “bahan mentah” yang digunakan oleh Allah dalam penciptaan dimaknai sebagai apa? Apakah kita dapat menyebut “bahan mentah” tersebut sebagai ciptaan yang asali?

Hukuman Allah kepada pelanggaran Adam dan Hawa, pembinasaan terhadap manusia dan raksasa hasil perkawinan anak-anak manusia dengan “anak-anak Allah” sebelum kisah pra-Air Bah, dan pembangunan menara Babel ditafsirkan Singgih sebagai “ancaman bagi surga”. Saya lebih cenderung tidak menggunakan istilah “ancaman” karena makna “ancaman bagi surga” berarti juga ancaman bagi Allah. Secara teologis, gagasan “ancaman bagi Allah” itu bersifat absurd. Pernyataan “ancaman bagi surga” mengandaikan Allah dalam Kejadian 1 – 11 seakan-akan digambarkan secara “antropomorfistis” belaka, yaitu dalam kondisi manusia yang terbatas. Namun apakah penggambaran Allah secara “antropomorfistis” tersebut juga meniadakan hakikat-Nya yang ilahi dan melampaui seluruh pengertian manusiawi. Karena itu dalam memahami narasi Kejadian 1 – 11 tentang tujuan hukuman Allah, saya lebih memilih untuk menggunakan istilah “perlawanan kepada surga” daripada “ancaman bagi surga”, sebab seluruh tindakan yang dihukum Allah tersebut berkaitan dengan suatu motif dan tindakan manusia yang jahat, yaitu kecenderungan manusia untuk menjadi seperti Allah.

Upaya kontekstualisasi yang dilakukan Singgih dalam tafsirannya merupakan suatu upaya yang harus ditindaklanjuti dan dikembangkan agar narasi teks pada suatu zaman tertentu tetap aktual. Untuk itu, para penafsir Alkitab perlu memperlengkapi dirinya dengan pemahaman yang mendalam terhadap budaya, adat-istiadat, sejarah, dan peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam komunitas umat. Contoh Bruder Timotius Wignyosubroto menggunakan media wayang sejak 12 Agustus 2009 untuk pemberitaan Injil. Ia menciptakan wayang yang disebut dengan “Wayang Wahyu” yang tokoh-tokohnya diambil dari Alkitab, khususnya tokoh Yesus. Alasan utamanya adalah karena bruder tersebut memahami bahwa orang Jawa di Surakarta sangat akrab dengan budaya kesenian wayang. Karena itu melalui seni wayang, Bruder Timotius memperkenalkan kesaksian Alkitab khususnya karya keselamatan Allah di dalam Kristus.

Daftar Acuan

Kresna, Ardian. 2012. Dunia Semar. Jogjakarta: Penerbit Diva Press.

Lempp, Walter. 1971. Tafsiran Kedjadian (1:1-4:26). Djakarta: BPK Gunung Mulia.

Magnis Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Poole, Matthew. 1979. A Commentary on the Holy Bible. Volume 1: Genesis – Job. Pennsylvania: The Banner of Truth Trust.

Wenham, Gordon J. 1987. Word Biblical Commentary: Genesis 1-15. Waco, Texas: Word Books Publisher.

Situs:

keuskupan-purwokerto.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=563 (tentang wayang “Wahyu”) (diunduh pada 2 September 2012).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply