Latest Article
Imlek  “Memaknai Budaya dan Keimanan”

Imlek “Memaknai Budaya dan Keimanan”

Pendahuluan

Perayaan Imlek kini telah menjadi hari libur nasional. Namun ketetapan formal yuridis secara nasional masih menyisakan pertanyaan: “Siapakah yang merayakan Imlek?” Sebab perayaan Imlek sering dikaitkan dengan kepercayaan tradisional dan agama bangsa Cina. Menurut Chris Hartono dalam Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil semua orang Tionghoa sampai dengan parohan pertama abad XIX pada dasarnya menganut ajaran Sam Kauw (Tiga Agama) yang merupakan perpaduan dari ajaran Khonghucu, Tao dan Budha (Hartono 1996, 12). Dengan demikian, perayaan Imlek dikaitan dengan perayaan keagamaan dari agama Tao, Budha, dan Khonghucu. Jika demikian di luar ketiga agama tersebut, apakah Imlek boleh dirayakan oleh umat Kristen? Tulisan singkat dalam booklet ini menjelaskan bagaimanakah sikap iman Kristen terhadap perayaan Imlek.

Identitas ketionghoaan tidak mudah dirumuskan dalam konteks Indonesia. Sebab identitas diri sebagai orang Tionghoa di Indonesia dibentuk oleh konstruksi budaya, sosial dan politik sehingga sering muncul suatu gambar diri yang tidak utuh dan terpecah-pecah, misalnya peraturan pemerintah Orde Baru tentang pergantian nama orang Tionghoa yang harus “diindonesiakan.” Penulis sendiri mengalami pergolakan batin dengan pergantian nama tersebut. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau Ariel Heryanto dalam Kompas 30 Januari 2005 halaman 16 menyatakan bahwa proses pencarian identitas diri masih belum tuntas di kalangan masyarakat etnis Cina di Indonesia. Itu sebabnya tidak mengherankan jikalau perayaan Imlek disikapi dengan berbagai ragam oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia termasuk sikap orang Kristen-Tionghoa.

Bagi penulis, perayaan Imlek perlu disikapi secara kritis dan teologis agar selaku umat percaya kita tidak ikut-ikutan merayakan Imlek hanya karena berlatarbelakang keturunan Tionghoa. Kita perlu menemukan proses identitas diri melalui perayaan Imlek dalam perspektif iman Kristen, sehingga terjalin suatu benang merah makna perayaan Imlek dengan esensi iman Kristen yang berpusat pada Kristus. Dalam konteks inilah penulis mencoba untuk menyumbangkan pemikiran teologisnya agar umat memperoleh arahan dan pencerahan yang membebaskan. Penulis mengharapkan tanggapan, kritis, dan diskusi yang konstruktif sehingga umat yang telah dipersekutukan sebagai jemaat dapat menjadi umat yang membangun konstruksi teologis dalam konteks rielnya

Imlek mulai semarak dirayakan oleh sebagian besar orang-orang Tionghoa di Indonesia setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967 tentang pembatasan dan larangan segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya hari raya Imlek. Berdasarkan Keppres No. 6/2000, Menteri Agama menerbitkan Keputusan No. 13/2001 yang menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Lalu Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 19 tahun 2002.

Kita tahu bahwa antara tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Padahal sebelumnya pada 1946, satu tahun Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno telah mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No. 2/OEM-1946. Surat Penetapan Pemerintah No. 2/OEM-1946 pasal 4 menetapkan empat hari raya orang Tionghoa, yaitu: Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu, Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu. Penetapan empat hari raya orang Tionghoa tersebut juga mengindikasikan bahwa hari raya Imlek merupakan salah satu perayaan agama Khonghucu. Dalam bukunya yang berjudul Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Ikhsan Tanggok menggolongkan hari raya Imlek sebagai hari keagamaan Khonghucu. Ikhsan Tanggok menyebut hari raya keagamaan Khonghucu (Tanggok 2005, 192-200) terdiri dari.

  1. Hari kelahiran Khonghucu yang terdiri dari Thiam Hio, Prosesi Penaikan Sajian Sembayang.
  2. Hari raya Tangcik
  3. Hari wafatnya Khonghucu
  4. Hari raya Imlek yang terdiri dari Dewa Dapur Naik ke Langit, Sembayang Tahun Baru, Sembayang King Thi Kong, Cap Go Meh.

Imlek: Perayaan Agama atau Budaya?

Imlek atau yang disebut dengan Sin Cia berlatar-belakang pada kehidupan pertanian di Cina. Karena itu Imlek dikenal juga dengan Nong Li (农历, dibaca: nung li), yang artinya “penanggalan petani.” Sebab pada hari Imlek, para petani menyambut musim semi (Chun Lie) yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama (Cap Go Meh). Nio Joe Lan dalam bukunya yang berjudul: Peradaban Tionghoa Selajang Pandang menyebut perayaan Imlek sebagai “Pesta Musim Semi” (Lan 1961, 139-142). Secara etimologis, kata Imlek berasal dari kata Im = bulan, dan kata Lek = kalendar atau penanggalan. Karena kalender Cina menggunakan sistem lunar, yaitu berdasarkan sistem peredaran bulan.

Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan sistem solar, yaitu berdasarkan sistem matahari (orang Tionghoa menyebut kalender Masehi dengan sebut Janglek). Karena berasal dari kehidupan pertanian, maka tidak mengherankan jikalau dalam perayaan Imlek senantiasa disajikan berbagai jenis makanan. Makanan yang disajikan minimal terdiri 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio dalam kalender Cina yang berjumlah 12 shio. Kedua belas hidangan itu disusun di meja sembayang yang bagian depannya ditutup dengan kain khusus berwarna merah dengan gambar Naga. Pemilik rumah kemudian berdoa untuk memanggil arwah para leluhur agar menyantap hidangan yang telah disuguhkan. Tujuannya upacara itu adalah untuk mengucap syukur dan doa harapan agar di tahun mendatang seluruh keluarga mendapat rezeki, menjamu arwah leluhur, dan menjalin persaudaraan dengan kerabat dan tetangga (bai nian). Dalam acara bai nian  (拜年, baca: pai nien) tersebut dilakukan pemberian angpau (红包) (amplop merah).

Pemberian angpau dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau belum menikah setelah mereka memberi pai-pai (sikap pai-pai tsb adalah sikap sederhana, menundukkan dan introspeksi sesaat serta menghormat).

Selain berkaitan dengan latar-belakang musim, perayaan Imlek dikaitkan pula dengan mitologi. Orang-orang Cina percaya bahwa menjelang Imlek, monster (Iblis) Nian akan datang mengganggu dan mengancam kehidupan mereka. Monster Nian adalah monster yang ganas dengan wajah yang buruk. Nian turun dari gunung untuk memburu ternak, sawah, dan orang-orang sebagai mangsanya.

Karena itu menjelang Imlek, orang-orang Cina menutup pintu rumahnya sebelum senja turun dan melakukan beberapa cara untuk menyelamatkan dirinya. Pertama, mereka meletakkan sejumlah makanan di depan pintu pada hari pertama tahun baru dengan keyakinan jikalau Nian makan sajian tersebut maka dia tidak akan memangsa orang yang tinggal di dalam rumah itu. Kedua, cara menghadapi monster Nian adalah dengan memasang kain merah di depan pintu (Dui Lian) sebab Nian sangat takut dengan warna merah. Ketiga, untuk mengusir monster Nian, orang-orang harus membunyikan berbagai alat dan petasan agar Nian segera pergi meninggalkan mereka. Mitologi monster (Iblis) Nian mau menyampaikan pesan bahwa Nian merepresentasikan semua hal yang buruk dan perubahan/pergantian waktu yang dapat memangsa manusia. Hal-hal yang buruk itu dapat membinasakan manusia dari waktu ke waktu, sehingga manusia harus waspada dengan mengantisipasinya. Muatan filosofi perayaan Imlek adalah seseorang hanya akan dapat meraih masa depan yang lebih baik, jikalau dia tidak hanya bersikap pasif menanti rezeki, dan hanya berdoa saja. Masa depan yang cerah dan rezeki berlimpah harus diupayakan dan diperjuangkan dalam tindakan konkret dengan menyingkirkan dan melawan setiap manifestasi “monster (Iblis) Nian.”

Dengan uraian di atas, penulis telah menunjukkan bahwa perayaan Imlek bukanlah perayaan suatu agama tertentu misalnya agama Khonghucu. Sebaliknya perayaan Imlek merupakan perayaan budaya dan adat-istiadat yang lahir dari dunia pertanian dan mengandung suatu filosofi hidup yang sarat makna. Karena itu perayaan Imlek terbuka untuk dirayakan dalam kehidupan berbagai agama, termasuk dalam ibadah iman Kristen. Melalui perayaan Imlek, kita juga dapat menarik hikmat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman Kristen dalam memaknai kehidupan ini.

Imlek dalam Perspektif Teologis

Perayaan Imlek telah dikenal 2000 tahun yang lalu, yaitu pada zaman dinasti Xia (夏潮), sekitar 2205-1766 s.M. Setelah dinasti Xia runtuh, penanggalan Imlek selalu berubah menurut kemauan dinasti yang berkuasa.

Baru pada masa dinasti Han (206-220 s.M) penanggalan Imlek dari dinasti Xia diresmikan sampai sekarang dan tahun kelahiran Khonghucu ditetapkan sebagai tahun pertama. Namun nilai-nilai filosofi perayaan Imlek dari zaman ke zaman sebagaimana diuraikan di atas tidak terlalu berubah. Perayaan Imlek sebagai pergantian musim dingin ke musim semi, dan mengantisipasi ancaman monster Nian agar manusia hidup sejahtera.

Merefleksikan perayaan Imlek mengingatkan kita akan latar-belakang dan makna perayaan Paskah di Perjanjian Lama. Kita dapat melihat hubungan teologis antara perayaan Imlek dengan perayaan Paskah, yaitu:

Perayaan Imlek sebagai pergantian musim dingin menjadi musim semi, yang mana kehidupan (alam dan mahluk hidup) yang semula membeku berubah menjadi hidup kembali di musim semi. Umat yang dahulu hidup dalam kecemasan dan ancaman bahaya kini berubah menjadi sukacita dan berpengharapan.

Perayaan Paskah menandai perubahan situasi kehidupan umat Israel. Umat Israel yang semula terkungkung dalam perbudakan dan penindasan, namun Allah bertindak dengan memberi harapan di era yang baru. Paskah adalah era baru sebab Allah bertindak membebaskan dan menyelamatkan umat-Nya. Karena itu di Keluaran 12:2 Allah berfirman: “Bulan inilah akan menjadi permulaan segala bulan bagimu, itu akan menjadi bulan pertama bagimu tiap-tiap tahun.” John I Durham dalam Word Biblical Commentary Exodus menyatakan: “The reference to the Passover month as the ‘lead month’ the first of the year’s months is best understood as a double entendre. On the one hand, the statement may be connected with an annual calendar, but on the other hand, it is surely an affirmation of the theological importance of Yahweh’s Passover” (Durham 1987, 153). Durham menyatakan bahwa Paskah sebagai bulan yang utama dan pertama memiliki makna ganda, yaitu sebagai kalender tahunan dan penegasan teologis tentang Paskah Yahweh. Makna Paskah Yahweh adalah TUHAN bertindak menyelamatkan umat-Nya dari kuasa perbudakan.

Orang-orang Tionghoa menjelang malam Imlek takut dengan kedatangan monster (Iblis) Nian yang akan membinasakan ternak dan manusia sehingga mereka tidak berani keluar dan memasang kain merah di depan pintu mereka (dui lian) sebab Nian takut dengan warna merah. Saat melihat dui lian tersebut, Nian akan melewati rumah itu, sehingga mereka akan selamat. Bukankah umat Israel menjelang malam Paskah juga tidak berani keluar rumah? Umat Israel tinggal di dalam rumah dengan menyembelih seekor anak domba/kambing jantan yang berumur setahun (Kel. 12:5). Lalu darah hewan domba/kambing tersebut dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan ambang pintu atas (Kel. 12:7). Tujuannya agar saat melaikat Tuhan melihat darah di kedua tiang dan ambang pintu, Dia melewati rumah tersebut, karena itu disebut dengan “Paskah” yang artinya: melewati. Bila malaikat Tuhan “melewati” rumah itu berarti seluruh anggota keluarga dalam rumah itu akan selamat (Kel. 12:13). Sebaliknya mereka yang tidak membubuhkan darah anak domba/kambing jantan Paskah akan “dimangsa” oleh malaikat Tuhan sebagaimana terjadi di rumah-rumah orang Mesir.

Apakah ini berarti dui lian yang berwarna merah merupakan bayang-bayang ingatan akan darah anak domba/kambing jantan yang dibubuhkan di kedua tiang dan ambang pintu? Jika benar, maka dalam perayaan Imlek secara samar-samar, orang-orang Tionghoa telah menerima wahyu (penyataan Allah) tentang makna dui lian dengan kain berwarna merah sebagai darah penebusan dari anak domba/kambing jantan untuk keselamatan mereka. Dalam perspektif iman Kristen, darah domba atau kambing jantan sebagai korban Paskah merupakan gambaran akan pengorbanan Kristus di atas kayu salib. Yohanes 1:29 menyatakan: “Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” Kristus adalah Sang Anak Domba Paskah yang sesungguhnya.

Melalui darah Kristus, Allah tidak menghukum kita. Allah berkenan “melewati” kita dengan membenarkan kita melalui karya pendamaian Anak-Nya (Rm. 5:1). Kata “melewati” di sini berarti: menyelamatkan. Melalui darah Kristus, Allah telah menguduskan dan mengampuni segenap dosa kita (Ef. 1:7-8).

Sikap Orang Kristen-Tionghoa terhadap Imlek

Sebutan orang Kristen-Tionghoa di Indonesia sulit kita identifikasikan secara tepat, sebab tidak berarti semua orang Kristen-Tionghoa mempraktikkan tradisi dan budaya Tionghoa.

Bahkan tidak mudah merumuskan identitas orang Tionghoa di Indonesia. Ariel Heryanto dalam Kompas 30 Januari 2005 menyebut ada tiga kelompok orang Tionghoa, yaitu: 1). Tampil “se-China mungkin,” 2). “Tak peduli” dengan hal itu, dan 3). Ingin membuktikan secara tegas sikap politiknya yang anti rasisme. Karena itu merumuskan bagaimana sikap orang Tionghoa terhadap Imlek tergantung sudut pandang ketiga kelompok tersebut, apalagi ketika orang Tionghoa tersebut menjadi Kristen dalam arti yang sesungguhnya. Sebab menjadi orang Kristen yang sesungguhnya, umat Kristen tidak lagi terikat dengan budaya dan adat-istiadat nenek moyangnya bilamana akan mengaburkan atau menghalangi iman kepada Kristus. Sejauh budaya dan adat-istiadat tersebut memperkaya umat dalam memahami kebenaran Kristus, umat Kristen akan mengadopsinya.

Karena itu sikap orang Kristen-Tionghoa terhadap Imlek haruslah kritis, sehingga unsur-unsur pengajaran yang “politeistis” tidak memengaruhi esensi iman kepada Allah di dalam Kristus. Selaku umat percaya, kita menolak untuk bersujud di depan meja sembayang, memberi makan dan mendoakan para arwah leluhur, sembayang Sam Seng yaitu sembayang pengorbanan tiga hewan seperti babi, ayam, dan ikan bandeng, – dan sembayang Ngo Seng, yaitu sembayang tiga hewan tersebut ditambah dengan bebek dan kepiting. Kita juga menolak sikap takhayul misalnya mitos tidak diperbolehkan menyapu rumah selama tiga hari pada perayaan Imlek, mitos menyalakan petasan untuk mengusir monster (Iblis) Nian, dan sebagainya. Dengan demikian orang Tionghoa-Kristen dapat menerima perayaan Imlek sebagai peristiwa perubahan musim, atau tahun baru dalam perspektif iman Kristen, tetapi menolak kepercayaan yang terkandung dalam perayaan ritual Imlek.

Dari sudut perspektif iman Kristen, perayaan Imlek harus dipahami secara teologis dalam kaitannya dengan perayaan Paskah yang berpuncak pada karya penebusan Kristus. Dengan demikian dalam memaknai perayaan Imlek secara iman Kristen, perayaan Imlek tersebut perlu ditafsir ulang agar dapat dimaknai secara teologis. Tanpa muatan teologis yang alkitabiah, maka keterlibatan kita dalam perayaan Imlek hanyalah suatu sikap yang dangkal dan ikut-ikutan belaka. Dalam hal ini kita tidak boleh sekedar latah merayakan Imlek setiap tahun sesuai kalender hanya karena kita keturunan Tionghoa. Selaku umat percaya kita diperkenankan merayakan Imlek dalam perspektif karya penebusan Kristus sebagai Anak Domba Allah. Dengan demikian, kita merayakan Imlek bukan untuk mencegah monster (Iblis) Nian memangsa kita (bdk. kisah Batara Kala dalam pewayangan), tetapi merayakan karya penebusan Kristus yang mana Allah melalui kurban Kristus berkenan “melewati” kita dari hukuman dan murka-Nya.

Selain itu kita merayakan Imlek dalam perspektif iman Kristen bukan dengan memasang dui lian (kain merah) di tiang pintu rumah untuk menakut-nakuti monster Nian, tetapi menghayati darah Kristus yang mahal dengan hidup benar sebagai anak-anak Allah.

Surat 1 Petrus 1: 18-19 menyatakan: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”

Sebagaimana penulis telah mengulas bahwa dalam acara bai nian  (拜年, baca: pai nien) dilakukan pemberian angpau (红包) (amplop merah). Pemberian angpau dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau belum menikah setelah mereka memberi pai-pai. Tradisi bai nian tersebut dapat diberi muatan teologis alkitabiah, yaitu makna memberi hormat kepada orang-tua bukan hanya pada hari raya tertentu namun seharusnya pai-pai dilakukan anak-anak setiap hari sebagai tanda sikap hormat dan taat kepada orang-tua. Pemahaman hukum Allah yang kelima, yaitu “hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu” (Kel. 20:12) dimaknai secara utuh, yaitu dengan cara mengasihi orang-tua khususnya di saat mereka telah tua dan tidak berdaya. Karena itu seharusnya makna bai nian dalam perspektif iman Kristen justru dilakukan oleh orang-orang muda kepada orang-tua mereka. Anak-anak yang telah beranjak dewasa bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan orang-tua khususnya saat mereka lemah, sakit, dan tidak berdaya. Tradisi bai nian tidak boleh dimanipulasi maknanya sehingga anak-anak yang telah beranjak dewasa justru tergantung secara ekonomis kepada orang-tua mereka. Tradisi bai nian juga dapat dimaknai sebagai media umat untuk menyatakan bela-rasa kasih Allah kepada anggota keluarga dan sesama. Dengan demikian melalui tradisi bai nian dapat dikembangkan suatu spiritualitas keramahtamahan yang tulus kepada setiap orang. Akhirnya keramahtamahan dalam tradisi bai nian menjadi media kepedulian, cinta-kasih, dan kesediaan berkurban kepada sesama sebagaimana Allah di dalam inkarnasi Kristus telah melawat umat manusia.

Kesimpulan

  1. Imlek merupakan perayaan yang berlatar-belakang pada kehidupan pertanian yang memaknai pergantian musim dengan suatu sikap filosofi kehidupan. Karena itu Imlek bukanlah milik perayaan suatu agama tertentu. Imlek dapat dirayakan oleh setiap orang yang berlatar-belakang Tionghoa atau siapapun untuk memaknai realitas kehidupan dengan perspektif yang positif dan membangun tali persaudaraan, serta pengharapan akan janji Allah .
  2. Umat Kristen-Tionghoa dapat merayakan Imlek dalam pengertian bahwa Imlek perlu ditempatkan dalam perspektif iman Kristen yang berpusat pada Kristus. Perayaan Imlek tidak boleh mengaburkan karya keselamatan dan anugerah Allah dalam pengorbanan Kristus. Darah Kristus yang menyelamatkan manusia dari kuasa Nian (malaikat maut), sehingga mereka hidup dalam damai-sejahtera dengan Allah.
  3. Konteks Imlek dapat dijadikan landasan teologis oleh umat untuk membangun spiritualitas dan imannya yang kontekstual, sehingga iman umat mampu tumbuh dan berakar di atas “tanah” kehidupan budayanya. Budaya dan istiadat tidak ditolak namun ditransformasikan dalam terang keselamatan Kristus.
  4. Melalui perayaan Imlek, umat dapat mengembangkan spiritualitas keramahtamahan dan kepedulian yang dilandasi oleh bela-rasa Allah yang telah berinkarnasi dalam Kristus. Umat dipanggil untuk mengasihi dan menghormati orang-tuanya selama mereka hidup khususnya saat mereka lemah, sakit, dan tidak berdaya (U-Hau). Selain itu umat mengasihi dan menjalin persahabatan dengan kerabat (bai-nian) serta sesama tanpa membedakan ras, suku, dan agama.
  5. Masyarakat Tionghoa perlu menemukan identitas dirinya secara positif walau telah mengalami trauma dalam berbagai peristiwa politis, diskriminasi sosial, dan kerusuhan. Penemuan identitas diri orang-orang Tionghoa akan bermakna apabila mereka mengalami kasih Allah yang membebaskan dan menyelamatkan dalam karya penebusan Kristus. Sebab Kristuslah, Sang Anak Domba Allah yang telah menghapus dan memulihkan setiap luka dan penderitaan manusia.

Daftar Acuan

 Fairbank, John King and Merle Goldman. 2006. China: A New History. USA: President and Fellows of Harvard College.

Durham, John. 1987. Word Biblical Commentary Exodus. Waco, Texas: Word Books Publisher.

Ikhsan Tanggok. 2005. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan.

Hartono, Chris. 1996. Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.

Joe Lan, Nio. 1961. Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Djakarta:

Penerbit Keng Po.

Website:

Chun Lian (http://www.chinapage.org/duilian/chunlian0.html)

Makna Simbolik Hidangan Imlek (http://www.gangbaru.com/v5/index.php/tradisi/10-makna-simbolik-hidangan-imlek.html)

Rangkaian dan makna perayaan Imlek (http://baltyra.com/2011/01/26/rangkaian-dan-makna-perayaan-imlek/#ixzz2rDG9FaIF)

The History of Chinese New Year (http://chineseculture.about.com/od/chinesefestivals/a/ChineseNewYear.htm)

The Legend of Nian (http://www.qingdaochinaguide.com/news/culture/chinese-new-year-nian-legend.html)

 

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply