Latest Article
Pemberitaan Firman yang Relevan dan Kontekstual

Pemberitaan Firman yang Relevan dan Kontekstual

Pentingnya Khotbah

Pendidikan teologi merupakan suatu proses akademis dan spiritual untuk mempersiapkan seseorang menjadi pelayan Tuhan di tengah-tengah kehidupan jemaat. Dia dipersiapkan untuk menjadi seorang teolog yang mampu membuat rekonstruktsi teologis yang kreatif dan kontekstual sebagai hasil dari kontemplasi pertumbuhan spiritualitasnya, sehingga dia mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menggembalakan anggota jemaat dalam terang kasih Kristus. Salah satu indikasi yang terlihat jelas oleh anggota jemat bagaimana tingkat kemampuan akademis dan kematangan spiritualitas yang berkualitas terlihat pada kemampuan seseorang untuk memberitakan firman.[1] Karena itu manakala seseorang memiliki kemampuan mencerna berbagai bidang ilmu teologia dan mampu menulis berbagai analisa dalam artikel teologis, tetapi ternyata dia tidak mampu atau gagal untuk memberitakan firman, dia tidak akan dapat bertahan sebagai pelayan Tuhan di tengah-tengah jemaat.

Dalam hal ini tidak berlebihan jikalau ada yang mengatakan khotbah merupakan puncak dari ilmu teologi. [2] Sebab khotbah merupakan hasil (output) yang lahir dari seluruh mekanisme pendidikan teologi dan pertumbuhan spiritualitas seseorang yang secara khusus dipersiapkan menjadi pelayan Tuhan, sehingga hasil atau buah tersebut harus dipetik oleh gereja atau umat Allah sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Christian Preaching: A Trinitarian Theology of Proclamation, Mikhael Pasquarello III menyatakan:  “Proklamasi gereja tentang Injil dan fungsi-fungsinya sebagai mediator antara penafsiran dan khotbah. Karena hakikat dan tugas dari khotbah, teologi dan penafsiran melayani pentingnya tujuan dari penciptaan dan topangan hidup komunitas umat yang mana pelayanan Firman adalah ekspresi final dari teologi.”[3]

Fungsi Khotbah

Secara umum ilmu teologi merupakan interpretasi yang lahir dari pemahaman dan pembelajaran tentang teks dan konteks umat Allah yang telah mengalami karya keselamatan Allah sebagaimana yang diberitakan oleh Alkitab. Khotbah atau pemberitaan firman merupakan tindakan interpretasi (penafsiran) yang lahir dari pemahaman dan pembelajaran tentang konteks kehidupan umat yang riel dalam hubungannya dengan konteks dari teks Alkitab yang akan diberitakan. Ini berarti berita Alkitab yang menjadi dasar pemberitaan firman pada prinsipnya merupakan media penyingkapan diri Allah sendiri (God Self-disclosure) di tengah-tengah pergumulan dan permasalahan umatNya. Dalam pemberitaan firman/khotbah terjadi perjumpaan antara Allah dengan manusia, sehingga konteks hidup dan pergumulan jemaat menjadi medan (wilayah) dari karya Allah yang berkenan bertindak dalam sejarah. Melalui khotbah, Allah menyapa dan berfirman kepada umat-Nya. Melalui khotbah, setiap umat dimotivasi dan digerakkan oleh Roh Kudus untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Umat Allah yang mendengarkan khotbah memeroleh pencerahan diri (self-illuminating). Firman yang diterima umat adalah firman yang bertujuan untuk membarui kehidupan umat.[4] Jadi melalui pemberitaan firman, Allah berkenan menggembalakan umat dan memampukan mereka dengan persepektif hidup baru sebagai kawan-sekerja-Nya untuk bertindak dalam terang firman-Nya, sehingga mereka menjadi berkat bagi sesamanya.

Mempersiapkan Khotbah yang Bertanggungjawab

Sebagaimana dipahami bahwa suatu khotbah atau pemberitaan firman pada hakikatnya merupakan interpretasi yang lahir dari pemahaman dan pembelajaran tentang kehidupan umat riel dalam hubungannya dengan konteks dari teks yang akan diberitakan. Suatu khotbah senantiasa mencerminkan lingkaran hermeneutis yang dinamis dan kreatif antara teks yang adalah firman Tuhan dengan konteks kehidupan jemaat.  Karena itu yang perlu diperhatikan agar kita dapat mempersiapkan suatu khotbah secara bertanggungjawab adalah:

  1. Perlunya persiapan yang matang. Karena kurang dipersiapkan dengan matang, maka khotbah sering disampaikan secara asal-asalan (ala kadarnya) saja. Di atas mimbar pengkhotbah tersebut berusaha mengeluarkan data-data dari memori yang sempat diingatnya.  Karena itu tidak jarang dia membuat ilustrasi yang sama sekali tidak cocok, atau contoh-contoh yang pernah ia alami dalam percakapan atau pastoral dengan anggota jemaat. Akibatnya suatu khotbah yang tidak dipersiapkan dengan baik, bukan hanya tidak mencapai suatu tujuan; tetapi juga khotbah tersebut seringkali melukai hati dan menyinggung anggota jemaat tertentu.
  2. Waspada terhadap vulgarisasi suatu kajian teologi. Kecenderungan dari para mahasiswa teologi yang baru lulus atau kebiasaan beberapa pendeta adalah menyampaikan kajian-kajian teologis secara vulgar dan tidak bijaksana. Misal secara tidak bijaksana menyampaikan hasil dari kritik-teks kepada anggota jemaat manakah teks Alkitab yang dianggap “asli” dan “sisipan” lalu mereka membuat kajian kritis terhadap Kej. 1-11 sebagai kesaksian yang tidak historis. Contoh lain penekanan terhadap historitas diri Yesus sebagai manusia sehingga mengabaikan segi keilahian-Nya, kajian terhadap pluralisme dengan kesimpulan bahwa sebenarnya umat Kristen boleh saja menikah dengan orang yang tidak seiman, Alkitab bukan satu-satunya firman Tuhan tetapi hanyalah salah satu dari firman Tuhan, keselamatan tidak hanya melalui Kristus tetapi juga disediakan Allah dalam setiap agama, dan sebagainya. Tema-tema teologis tersebut sebenarnya perlu ditempatkan secara proporsional dan kritis. Maksud secara proporsional adalah: apakah pembahasan tema-tema teologis yang sangat kompleks tersebut telah tepat dan bijaksana untuk disampaikan dalam media khotbah? Secara kritis adalah apakah kesimpulan-kesimpulan yang kita tarik dan disampaikan dalam khotbah kepada anggota jemaat merupakan suatu kesimpulan dan analisa yang telah akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan? Padahal selaku jemaat Tuhan, sebenarnya setiap gereja Tuhan pada hakikatnya telah memiliki prinsip-prinsip ajaran iman yang jelas tentang Kristus sebagai satu-satunya Juru-selamat, dan Alkitab adalah firman Tuhan, dan sebagainya.

Penggunaan Kata/Istilah (Diksi) yang Tepat-guna

Melalui studi teologi yang cukup panjang, kita telah dikondisikan untuk mengenal berbagai isitilah, kosakata dan pemikiran dalam bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Yunani, Ibrani dan Latin. Tentu istilah dan berbagai pemikiran dalam bahasa asing tersebut sangat membantu kita untuk mengenal makna yang sesungguhnya dari teks Alkitab. Istilah-istilah atau kutipan dari bahasa asing dapat memperjelas suatu arti bahkan memperdalam suatu pemahaman. Tetapi kadang-kadang kita melupakan konteks hidup anggota jemaat yang hadir dalam suatu kebaktian. Para anggota jemaat tersebut ternyata sangat beragam: mulai dari yang muda sampai tua, dari yang kurang berpendidikan sampai dengan mereka yang berpendidikan tinggi, dari mereka yang lemah secara sosial-ekonomi sampai dengan mereka yang cukup mampu sebagai seorang pengusaha yang sukses, anggota jemaat dengan permasalahan yang sederhana sampai dengan mereka yang sedang menghadapi masalah yang sangat kompleks, anggota jemaat yang terbiasa berpikir sederhana dan praktis sampai dengan mereka yang mampu berpikir kritis dan konseptual. Suatu khotbah pada prinsipnya bukan suatu demonstrasi “ilmiah” atau “show” suatu presentasi ilmu teologi untuk menunjukkan “kepandaian” kita dalam mengutip istilah dan pemikiran dalam bahasa asing. Khotbah pada prinsipnya merupakan media di mana Allah berkenan memakainya untuk menyatakan kehendak dan karya keselamatanNya di tengah-tengah kehidupan umat.[5] Karena itu isi suatu khotbah bukanlah diri kita sendiri sebagai pengkhotbah, tetapi isi yang paling esensial dari khotbah adalah menyatakan diri Allah sendiri di dalam karya penyelamatan Kristus. [6]  Pusat khotbah adalah diri Kristus, yang mana Allah berkenan menjadikan kita sebagai anak-anakNya.[7]

Isi khotbah yang Fokus dan Mendalam

Tujuan berkhotbah bukanlah untuk memberikan kepada anggota jemaat berbagai pengetahuan dan permasalahan. Prinsip dari teologi khotbah menghadirkan peristiwa dan karya keselamatan Allah yang menyentuh pergumulan dan permasalahan manusia secara kontekstual. Melalui pemberitaan firman yang disampaikan pada hari itu, umat dapat mengalami kembali kehadiran dari karya Allah yang mampu menghunjam masuk ke dalam permasalahan dan pergumulannya, sehingga firman Allah tersebut menerangi, menyadarkan, memotivasi, dan membuka pemahaman imannya semakin lebar. Karena itu melalui pemberitaan firman, pengkhotbah menghadirkan kembali peristiwa Ilahi yang dulu pernah terjadi, sehingga umat dapat mengalami peristiwa Ilahi tersebut dalam masa kini. Itu sebabnya suatu khotbah yang baik harus fokus, yaitu sesuai dengan konteks hidup jemaat.  Jadi khotbah yang baik dan membangun jemaat ketika khotbah tersebut mampu membahas “satu pokok bahasan” saja mengenai rahasia dan peristiwa kehidupan umat manusia secara mendalam namun dengan menggunakan bahasa yang sangat sederhana, sehingga setiap orang dapat mengerti. Karena itu manakala kita membuat relevansi dan memberikan contoh, maka contoh atau ilustrasi seharusnya mendukung fokus pemikiran atau tema yang sedang kita bahas.[8]  Manakala contoh dan ilustrasi tersebut tidak mendukung sebaiknya tidak perlu disampaikan dalam khotbah. Kalau perlu cukup satu contoh atau satu ilustrasi saja tetapi sangat mendukung pokok bahasan yang sedang kita sampaikan.

Semakin banyak contoh yang digunakan hanya menunjukkan bahwa kita gagal untuk menyusun suatu narasi khotbah sesuai dengan prinsip-prinsip homiletis. Dengan demikian kita  juga gagal untuk mengkomunikasikan firman Tuhan sesuai dengan maksud perikop yang menjadi dasar dari pemberitaan firman tersebut. Sebab yang kita beritakan adalah contoh-contoh yang jauh dari kebenaran yang hendak dikemukakan oleh firman Tuhan, tetapi hanya membuat umat dininabobokan oleh suatu ilustrasi.

Khotbah yang Relevan dan Kontekstual

Khotbah akan menjadi relevan dan kontekstual, apabila isi pemberitaannya didasari oleh sesuatu yang faktual atau mencerminkan fenomena yang terjadi di dalam kehidupan umat. Fenomena tersebut dapat berupa suatu manifestasi peristiwa, yaitu sesuatu yang sedang aktual terjadi, ataukah sesuatu yang masih laten, yaitu masih berupa gejala atau potensi yang kelak akan menjadi suatu kenyataan.  Sampai saat ini pengkhotbah sering menggunakan pola pendekatan yang tradisional, yaitu mengandalkan intuisi atau prasangka subjektivitasnya sendiri. John Mansford Prior mengingatkan agar gereja yang berada di tengah perubahan sosial dan pergeseran nilai yang semakin cepat menuntut pelayanan di lapangan yang semakin profesional (Prior 1997, xiv).[9]

Untuk itu suatu khotbah yang relevan dan kontekstual apabila dilengkapi dengan penelitian sosio-budaya yang terjadi dalam kehidupan umat. Sebab melalui penelitian sosio budaya tersebut, kita dapat dapat menemukan fakta obyektif, yaitu fakta atau pengamatan yang kita setujui sebagai benar. Prior menyatakan: “Kebenaran sosial adalah apa yang diterima bersama. Oleh karena itu, pengetahuan lebih merupakan ciri-ciri masyarakat yang menerima dari padapada ciri-ciri fakta itu sendiri” (Prior 1997, 4). Untuk itu pengkhtobah perlu menggunakan suatu metodologi penelitian yang sesuai. Karena metodologi membahas pertanyaan-pertanyaan, seperti bagaimana kita dapat mengetahui apa yang kita tahu tentang dunia sosial. Bagaimanakah kita dapat memeroleh pengetahuan baru tentang dunia tempat kita hidup. Strategi dan teknik mana mesti digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data pengalaman orang/masyarakat (Prior 1997, 6).

Dengan menggunakan metodologi penelitian, maka seorang pengkhotbah akan menempuh proses sebagai berikut (Prior 1997, 253-254).

  1. Bahan khotbah yang berasal dari dalam konteks kehidupan umat: inspirasi khotbah tidak hanya dari teks Alkitab, tetapi juga dari teks kehidupan riel umat.
  2. Teori bertumbuh secara induktif analitis: pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lahir dari situasi konkret.
  3. Penyelaman dan keterlibatan: melalui penelitian, pengkhtobah dapat memahami situasi riel umat dan terlibat di dalamnya.
  4. Memandang dari sisi dalam: memeroleh pengertian tentang situasi konkret dari perspektif umat.
  5. Pengamatan mengacu pada penggalian sistematis: berupa wawancara terbuka sehingga dapat melengkapi hasil pengamatan.
  6. Kontekstualitasi melalui dokumentasi: dokumen-dokumen dapat mengisi latar-belakang dan memberi konteks yang lebih luas dan dalam.
  7. Metode dan metodologi terpadu: metode penelitian yang berbeda-beda dapat dipakai untuk melengkapi metode-metode di lapangan.
  8. Sistem pengolahan bertumbuh secara induktif-analitik: menentukan pengumpulan dan analisis data mulai di lapangan dan dikembangkan dalam seluruh proses penelitian lapangan.
  9. Mempertahankan situasi yanga asli: peneliti menjaga agar tidak mengganggu proses kehidupan sosial yang sedang berjalan.
  10. Pertimbangan etis: laporan penelitian disebarluaskan tanpa merugikan umat yang sedang ditelitinya.

Khotbah yang memerhatikan Tahun dan kalender Gerejawi

Khotbah yang kontekstual dan relevan selain tidak lepas dari konteks hidup  umat yang real, juga berkaitan dengan Tahun Liturgi (liturgical time). Hari raya gerejawi terdiri dua siklus utama, yaitu siklus Natal dan siklus Paskah. Allen Jr. memberi penjelasan makna tahun liturgi (Allen Jr. 2007, 8) yaitu:

  1. Adven, yaitu tahun liturgi yang dimulai dari 4 minggu sebelum Natal. Masa Adven merupakan persiapan gereja untuk menyambut Natal. Kata adven berasal dari kata Latin, yang berarti “kedatangan.” Dalam masa Adven, umat menantikan kedatangan Kristus atau “kedatangan Allah di dalam Kristus.” Sebenarnya, masa Adven terentang selama 40 hari sebagai periode bagi umat untuk berpuasa dan berpantang untuk menyambut Epifani. Prinsip ini berlaku seperti saat umat mempersiapkan Paskah. Namun kemudian, masa Adven dipersingkat menjadi 4 minggu. Pemahaman teologis terhadap Adven lebih terarah kepada perspektif masa depan daripada masa lampau. Karena itu, bacaan dari Perjanjian Lama menunjukkan kesaksian para nabi yang bernubuat tentang kedatangan Kristus. Bacaan dari Surat Rasuli juga menggemakan pengharapan eskatologis. Dengan demikian melalui masa Adven, umat diharapkan mampu untuk melihat kedatangan Allah di masa depan dengan merefleksikan ke masa lampau, sehingga mereka dimampukan memaknai kehidupannya di masa kini (Allen Jr. 2007, 9).
  2. Natal. Makna penghayatan umat terhadap malam Natal pada prinsipnya sama seperti umat hendak merayakan Paskah Subuh. Penghayatan tersebut juga didasarkan kepada perayaan Paskah umat Israel yang dilakukan saat matahari terbenam. Karena itu, kedatangan malaikat Tuhan yang menyampaikan kabar gembira ke­pada para gembala di padang pada malam hari bukan untuk menunjukkan akhir dari Natal, tetapi justru sebagai permulaan Natal. Jadi, malam Natal menurut tahun liturgi sebagai awal dari masa Natal dan berakhir pada hari Epifani (Allen Jr. 2007, 10).
  3. Minggu sesudah Epifani. Minggu-Minggu sesudah Epifani merupakan suatu jembatan dari masa Minggu Biasa yang berada di antara dua masa Tahun Liturgi, yaitu Natal dan Epifani. Karena itu, perayaan Minggu sesudah Epifani merupakan akhir dari masa Natal dan Epifani. Namun Minggu-Minggu sesudah Epifani masuk dalam kelompok masa Minggu Biasa. Arti epifaniadalah “penyataan,” atau “manifestasi.” Pada hari Epifani, gereja merayakan penyataan kemuliaan Allah di dalam Kristus. Perayaan Epifani ini telah dilakukan sejak dahulu oleh gereja Ortodoks Timur. Minggu Epifani yang senantiasa jatuh pada 6 Januari tersebut juga dipakai untuk merayakan kedatangan orang Majus untuk menyembah Kristus. Hari Minggu terdekat dipakai untuk merayakan peristiwa baptisan Yesus di Sungai Yordan. Jadi sebenarnya, usia perayaan Minggu Epifani lebih tua dibandingkan dengan Natal yang berasal dari gereja Barat. Lalu, Minggu terakhir dari minggu-minggu sesudah Epifani dipakai untuk merayakan peristiwa Transfigurasi, saat Kristus dimuliakan di atas gunung. Dengan demikian, secara bersengaja umat dipanggil untuk menyaksikan kemuliaan Kristus pada Minggu Epifani dan pernyataan Allah saat Dia dibaptis, serta penyataan kemuliaan Kristus di atas gunung dalam peristiwa transfigurasi.
  4. Masa Prapaskah dan Minggu Suci. Masa Pra-Paskah ini diawali dengan Rabu Abu untuk mengingatkan manusia akan kefanaannya, yang diciptakan dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Dengan demikian, masa Prapaskah mempersiapkan umat untuk menyambut hari Paskah, yaitu saat Kristus bangkit dari kematian-Nya. Untuk itu selama masa Prapaskah, umat berpuasa, menyangkal diri, dan merenungkan firman. Di Minggu Prapaskah I, bacaan Injil Tahun A, B, dan C seluruhnya berbicara tentang pencobaan Yesus di padang gurun. Umat dipanggil untuk meneladani sikap Kristus yang mampu bertahan dan setia saat menghadapi pencobaan Iblis. Selain itu, masa Prapaskah juga merupakan persiapan bagi para calon baptis (katekumen) untuk menerima baptisan pada hari Paskah.
  5. Paskah. Perayaan Paskah gereja berakar pada perayaan Paskah umat Israel. Paskah berasal dari kata pascha, yangsemula dipakai untuk perayaan Paskah Yahudi. Namun, umat Kristen kemudian menempatkan Paskah dalam perspektif iman yang baru, yaitu dalam terang peristiwa kebangkitan Kristus. Itu sebabnya gereja merayakan Paskah pada hari Minggu, yaitu saat Kristus bangkit. Dengan demikian, Paskah menjadi sendi utama bagi seluruh ibadah dan dasar iman Kristen. Namun, peristiwa kebangkitan Kristus tidak dapat terlepas dari penderitaan dan kematian-Nya. Karena itu, menjelang hari Paskah, gereja merayakan Triduum (tiga hari suci), yaitu Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah Subuh. Pada sisi lain, perayaan kebangkitan Kristus dipisahkan dengan perayaan akan peninggian-Nya (kenaikan-Nya). Jadi, ada perayaan tentang kebangkitan Kristus dan juga ada perayaan kenaikan-Nya ke surga. Dalam hal ini, umat mempersiapkan diri selama 50 hari mulai dari Paskah, atau selama 40 hari sejak hari Kenaikan Kristus ke surga.

Menafsirkan dalam Konteks yang Utuh

David J. Lose dalam tulisannya di jurnal Word and World Volume 23, Number 1 yang berjudul What Does This Mean: Four-part Exercise in Reading Mark 9:2-9 (Transfiguration) (Lose 2003, 85-93) memerlihatkan metodologi untuk menafsirkan secara leksionaris secara utuh. Penafsiran leksionaris yang utuh dalam metode penafsiran Lose meliputi: latar belakang teks (behind the text), makna teks secara harfiah (in the text), konteks penggunaan teks dalam Tahun Liturgi (around the text), dan konteks riil umat (in front of the text).

Metode David Lose tersebut dapat kita pakai dalam mempersiapkan khotbah sehingga menghasilkan khotbah yang kontekstual, yaitu:

  1. Memahami latarbelakang teks (behind the text): memahami sejarah yang menjadi latarbelakang kisah atau tuturan dalam suatu teks perikop Alkitab, sehingga kita dapat memahami alasan dan tujuan dari perikop tersebut.
  2. Makna teks secara harafiah (in the text): memahami teks yang eksplisit, dan bukan yang implisit sehingga dapat menghindari pandangan yang subjektif. Teks yang harafiah tersebut dapat menjadi landasan untuk pendalaman makna.
  3. Makna dalam Tahun Liturgi (around the text): menempatkan makna teks suatu perikop dalam konteks Tahun Liturgi yang berjalan sehingga umat dapat merayakan peristiwa Tahun Liturgi tersebut yang dilandasi oleh teks ayat atau perikop Alkitab.
  4. Konteks riil umat (in front of the text): memahami konteks riil umat sehingga penafsiran yang telah dilakukan di bagian a-c terhubung, sehingga umat dapat mengalami peristiwa penyataan Allah dalam kehidupan mereka, sehingga mereka dapat memberi respons iman yang tepat. Karena itu para pendeta atau pengkhotbah perlu berlatih agar semakin matang untuk menginspirasi umat memberi respons atau tanggapan (response’s reader).

Memberitakan Firman Tuhan yang Komunikatif

Teologi tidak boleh berhenti hanya sebagai ilmu yang tersusun secara analitis dan sistematis belaka. Teologi juga harus mampu mengkomunikasikan dirinya, sehingga umat dapat belajar tentang rahasia firman Allah dalam kehidupannya. Demikian pula suatu khotbah, tidak boleh berhenti hanya sekedar ilmu berkhotbah (homiletika) belaka. Khotbah yang baik dan mencapai suatu tujuan harus komunikatif. Untuk mencapai tujuan itu seorang pengkhotbah perlu melewati beberapa tahapan, yaitu: membuat persiapan, telah melakukan tafsiran, telah membuat relevansi yang dianggap sesuai dengan konteks dan pergumulan jemaat, dan dia telah menyusun dalam suatu naskah khotbah lengkap. Tetapi tugas persiapan tersebut ternyata belum selesai. Sebab  dia juga masih harus bergumul secara rohani, yaitu bagaimanakah dapat menyampaikan suatu khotbah tersebut secara komunikatif, mengena, dan membarui kehidupan para anggota jemaat.  Dari sudut teks khotbah, dia telah memiliki suatu  struktur dan isi khotbah yang tertulis rapi. Tetapi tidak serta merta suatu khotbah yang telah tertulis rapi dapat disampaikan dengan baik. Untuk itu kita perlu memperhatikan aspek-aspek yaitu:

  1. Ketika kita membawa dan hanya membacakan teks khotbah tersebut di atas mimbar, maka kita kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi secara alamiah dengan anggota jemaat.
  2. Khotbah merupakan suatu percakapan yang komunikatif dan personal, sehingga senantiasa harus terjadi kontak mata dengan para anggota jemaat.
  3. Kemampuan untuk melibatkan perasaan dan pikiran anggota jemaat sehingga mereka cukup antusias dan mampu mengikuti seluruh alur pemikiran dan ekspresi spiritual yang disampaikan dalam suatu khotbah. Jadi anggota jemaat dapat merasakan dan mengalami makna “firman yang menjadi daging” dalam kehidupan mereka sendiri.

Refleksi Teologis yang Lahir dari Kontemplasi Doa

Suatu khotbah yang lahir dari pengolahan otak belaka yang bersifat kognitif, hanya berhasil memuaskan kebutuhan kognitif anggota jemaat tertentu. Padahal khotbah bukanlah presentasi ilmiah/akademis dalam suatu kebaktian. Khotbah merupakan penyingkapan diri Allah sendiri di dalam Kristus sang Firman Hidup sebagaimana dipersaksikan oleh Alkitab. Karena itu umat dapat mengalami kehadiran Allah yang menguatkan dan meneguhkan mereka di tengah-tengah pergumulan hidupnya. Khotbah bagaikan tiang awan yang memimpin umat Israel ketika mereka berjalan di padang gurun pada waktu siang, dan menjadi tiang api yang memimpin mereka pada waktu malam. Tiang awan dan tiang api tersebut merupakan tanda kehadiran dari Allah yang mengasihi umatNya dengan setia. Karena itu suatu khotbah yang efektif dan dibutuhkan oleh anggota jemaat ketika khotbah tersebut lahir dari doa dan kontemplasi yang reflektif. Khotbah yang lahir dari kontemplasi doa menjadi suatu kerugma yang sungguh-sungguh lahir dari aliran hati-sanubari yang eksistensial. Sebab si pengkhotbah telah terlebih dahulu berjumpa dengan Allah, sehingga dia didorong oleh kuasa Roh Kudus untuk menyampaikan firman-Nya yang mampu mengalir bagaikan air sungai: begitu sejuk, lembut namun sangat perkasa dan kuat menerobos setiap permasalahan dan pergumulan hati para anggota jemaat.

Visualisasi Khotbah yang Efektif

Firman Allah sering disebut dengan logos (Yun.), atau juga disebut dabar Yahweh (Ibr.). Kedua kata ini yaitu “logos” dan “dabar bukan sekedar suatu rangkaian kata-kata ilahi yang dikaruniakan kepada manusia. Sebab firman yang diwahyukan kepada umat manusia merupakan firman yang terjadi di dalam sejarah. Karena itu dalam pengertian “dabar” mengandung makna “peristiwa”  (event), yaitu peristiwa atau kejadian dari Allah yang bertindak dengan berfirman kepada umat-Nya. Ini berarti suatu khotbah bukanlah sekedar rangkaian kata-kata yang saleh, indah, puitis, dan sangat rohani. Tetapi dalam khotbah juga terjadi “peristiwa” yang dapat dialami secara eksistensial oleh para anggota jemaat. Jika demikian suatu khotbah yang efektif juga perlu menghadirkan pesan yang divisualisasi, sehingga pesan itu dapat ditangkap oleh panca-inderawi manusia. Firman itu menjadi daya hidup yang memengaruhi kehidupan umat. Itulah firman yang menjadi rhema.

Beberapa bentuk visualisasi dalam khotbah dapat disajikan, misalnya:

  1. Sosio-drama: yang mana isi berita dari khotbah tersebut didukung oleh para anggota jemaat untuk memerankan suatu tokoh atau ide teologis yang mau disampaikan. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu membutuhkan persiapan dan latihan yang cukup panjang dengan para pemeran drama yang sesuai dan memiliki kemampuan. Khotbah dalam jenis ini hanya dapat dilakukan dalam momen-momen gerejawi yang sangat khusus.
  2. Gerakan dan bahasa tubuh yang memadai dan secukupnya, sehingga pemberitaan secara verbal menjadi mudah dipahami. Dengan demikian khotbah menjadi media komunikasi yang utuh dari seorang pengkhotbah. Suatu khotbah yang lahir dari hati akan dirasakan oleh umat yang mendengar dan melihatnya.
  3. LCD (power-point): yang mana melalui LCD, seluruh bahan dan alur pemikiran dalam khotbah tersebut didukung oleh tulisan singkat dan gambar (image), bahkan suatu film pendek, sehingga anggota jemaat di samping mampu mendengar (audio), mereka juga mampu melihat (visual) berita dari firman Tuhan yang disampaikan. Penggunaan LCD untuk mendukung visualisasi khotbah kini relatif lebih mudah karena dapat kita kerjakan seorang diri, asal kita cukup kreatif dan mampu menempatkan secara tepat slide atau film tersebut untuk mengungkapkan “message” atau kerugma yang ingin kita sampaikan.

Progresivitas Pengkhotbah

Kemajuan seseorang dalam khotbah sejalan dengan pertumbuhan rohani dan pemikiran teologisnya. Pertumbuhan rohani terjadi dalam interaksi dan komunikasi seseorang yang eksistensial dengan Allah, sesama dan lingkungan hidupnya. Seorang pelayan firman akan menjadi sangat efektif ketika dia memiliki interaksi yang sangat kuat dengan anggota jemaat dan masyarakat di sekitarnya. Demikian pula pertumbuhan pemikiran teologis seseorang, ditentukan oleh pola hidup yang serba teratur dan keinginan yang sangat kuat untuk membaca buku-buku dalam berbagai disipilin ilmu yang memperkaya wawasan dan melatih kemampuan analitisnya. Kita juga perlu belajar dan studi banding dengan berbagai pengkhotbah. Sebab pengkhotbah yang baik adalah juga seorang pendengar dan murid yang baik. Kesediaan untuk senantiasa belajar menunjukkan bahwa pengkhotbah juga seorang yang memiliki karakter Kristus yang rendah-hati. Karena itu pelayan firman yang bertumbuh dan dapat menjadi berkat adalah pelayan firman yang selalu rendah-hati di hadapan Allah dan sesamanya.

Daftar Acuan

Allen Jr, O. Wesley. 2007. Preaching & Reading the Lectionary, “A Three-Dimensional Approach to the Liturgical Year”.  St. Louis, Missouri: Chalice Press.

Buttrick, David. 1987. Homiletic (Moves and Structures). Philadelphia: Fortress Press

Lose, David J. 2003. What does this mean?: four-part exercise in reading Mark 9:2-9 (Transfiguration). Word and world volume 23, number 1 Winter: 85-93.

Pasquarello III, Michael. 2006. Christian Preaching. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic

Prior, John Mansford. 1997. Meneliti Jemaat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Rothlisberger. 1979. Homiletika (Ilmu Berkhotbah). Jakarta: BPK Gunung Mulia

 

[1]). Kata “memberitakan” berasal dari kata kerysein. Istilah “kerysein” menitikberatkan hubungan pemberita itu dengan beritanya. Ia membawa sebuah berita yagn tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan berita itu dinyatakan dan ditugaskan kepadanya. Orang itu semata-mata menjadi pemberita, penyiar dari pesan yang disampaikan kepadanya. Dengan demikian seorang pemberita firman hanya melaksanakan apa yang ditugaskan Allah dengan taat dan setia (Rothlisberger 1979, 15).

[2]). Khotbah memiliki tempat yang sentral di dalam gereja, karena tugas gereja yang utama adalah mengabarkan firman Tuhan di dalam dunia. Karena itu di dalam Perjanjian Baru nampak bahwa Yesus Kristus sendiri menganggap hal mengajar orang sebagai tugas-Nya yang paling penting (Mark. 1:38-39). Di samping itu Ia menyembuhkan orang sakit dan membuang setan-setan, akan tetapi hal itu dianggap sebagai tanda-tanda saja yang mengiringi pekabaran Injil sambil meneguhkannya (Mark. 16:20).

[3]). “Theology monitors the church’s proclamation of the gospel and functions as the mediator between exegesis and preaching. Because of the nature and task of preaching, theology and exegesis serve the important purpose of creating and sustaining the life of a community in which the ministry of the Word is the final expression of its theology” (Pasquarello III 2006, 37).

[4]). Pemberitaan firman merupakan wujud dari kasih-karunia Allah yang memperkenankan umat untuk mendengar suara-Nya. Karena itu respons umat seharusnya adalah dengan hati yang terbuka untuk dibarui dalam pertobatan. Mikhael Pasquarello III menyatakan: “It is only because of the gracious activity of God and not ourselves that we are able to speak with confidence; thus the Christian faith is shaped by a life of repentance and hope. Moreover, the whole creation continues to long with hope for the revelation of such reconciliation and friendship, to participate in the communion of the Son with the Father through the gift of the Spirit(Pasquarello III  2006, 43).

[5]). Bahasa dalam khotbah seharusnya menggunakan bahasa sehari-hari yang dikenal dan dipahami oleh umat. David Buttrick menyatakan:  “Preaching speaks ordinary language, the ordinary language of human conversation. The language of preaching is not a separate holy language; sermons should not sound religious” (Buttrick 1987, 187).

[6]). David Buttrick berkata: “Preaching speaks of the Mystery of Gd through Jesus Christ. Preaching interprets a being-saved  community within a mysterious human world” (Buttrick 1987, 262).

[7]). Kristus senantiasa dihayati dan diimani oleh gereja sebagai Sang Firman Hidup. Karena itu Kristus adalah pusat dari seluruh pemberitaan firman Tuhan dan ukuran etis-moral dan keselamatan bagi seluruh umat. Dengan demikian khotbah senantiasa mempersaksikan Kristus sebagai Tuhan dan Juru-selamat umat manusia.

[8]). Penggunaan contoh atau ilustrasi pada hakikatnya untuk menyatakan kebenaran suatu pernyataan menjadi lebih jelas dalam konteks kehidupan sehari-hari. Karena itu David Buttrick menyatakan: “They will offer examples drawn from life. Examples function in many ways. We may single out major ways in which examples are used, however. Examples will be used (1) to establish the truth of statements by demonstrating that they are “true life”; (2) to form analogies – for examples, God forgives as a parent forgives, or (3) as datum for an exploration of “what going on in our lives” (Buttrick  1987, 128).

[9]). Prior, John Mansford.  1997.  Meneliti Jemaat. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply