Latest Article
Rabu Abu

Rabu Abu

Rabu, 10 Februari 2016

Menghidupi Spiritualitas Ketersembunyian

(Mat. 6:1-6, 16-21; Yl. 2:1-2, 12-17; Mzm. 51:1-17; 2Kor. 5:20-6:10)

 Ibadah Rabu Abu dilaksanakan gereja setelah Minggu Transfigurasi Yesus, yaitu peristiwa penyataan Kristus sebagai Anak Allah dengan tubuh kemuliaan-Nya. Karena itu Minggu Transfigurasi mengakhiri masa Minggu-minggu sesudah Epifani, dan umat akan memasuki awal masa Prapaskah, yaitu Rabu Abu. Jadi Ibadah Rabu Abu merupakan awal Prapaskah yang terentang selama empat puluh hari lamanya sampai Kamis Putih siang. Selama empat puluh hari itu, umat dipanggil untuk berpuasa dan bertarak terhadap keinginan-keinginan dan nafsu agar siap secara rohaniah merayakan peristiwa Paskah (kebangkitan Kristus). Peristiwa Paskah dirangkum oleh gereja menjadi Tiga Hari Suci, yaitu: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Tiga Hari Suci itu disebut dengan Triduum. Jadi Ibadah Rabu Abu mempersiapkan umat secara spiritual agar layak merayakan Triduum, sehingga mampu menghayati karya keselamatan Allah dalam ibadah.

Kekhasan ibadah Rabu Abu adalah umat mendapat abu di dahinya (atau sesama saling mengoleskan abu di dahi). Saat Pendeta mengoleskan abu di dahi umat, dia berkata dengan mengutip Kejadian 3:19 dengan berkata: “Ingatlah, engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu.” Brueggemann menyatakan bahwa gereja memaknai Kejadian 3:19 dalam konteks peristiwa taman Eden, khususnya hukuman Allah kepada ular, perempuan dan manusia. Karena itu Kejadian 3:19 merupakan kulminas/klimaks dari hukuman Allah. Dengan pemahaman tersebut, Brueggemann memaknai pengolesan (pengenaan) abu dalam ibadah Rabu Abu sebagai tindakan yang bersifat sakramental. Karena itu penggunaan simbol abu dalam Ibadah Rabu Abu juga penting dan bermakna. Penggunaan simbol abu memiliki makna iman yang berakar pada kesaksian Alkitab dan tradisi gereja selama berabad-abad. Simbol dibutuhkan karena manusia adalah mahluk simbolis. Manusia membutuhkan lambang-lambang untuk mengekspresikan kediriannya, yaitu isi batin/imannya yang tidak dapat diungkapkan secara penuh oleh bahasa tulisan dan ungkapan lisan.

Apabila Brueggemann menyatakan bahwa simbol abu dalam ibadah Rabu Abu bersifat sakramental, tentunya bukan dimaksudkan bahwa simbol abu tersebut adalah sakramen. Kita perlu membedakan antara “sakramen” dengan “sakramental.” Dalam bukunya yang berjudul Institutio, Johannes Calvin menyatakan bahwa sakramen adalah tanda lahiriah yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji akan kerelaan-Nya terhadap kita supaya iman kita diteguhkan. Dengan perkataan lain, Calvin memaknai sakramen sebagai kesaksian tentang rahmat Allah yang dinyatakan dengan tanda lahiriah yang direspons dari pihak manusia dengan menyatakan kasih dan kesetiaan umat kepada-Nya (Calvin 1980, 224). Sedangkan sesuatu yang dianggap “sakramental” memiliki cakupan makna yang lebih luas. Sesuatu dianggap bersifat sakramental sebab memiliki sesuatu yang bersifat khusus, rohaniah, dan berkaitan dengan tanda-tanda rahmat Allah, misalnya: Alkitab sebagai buku yang dibawa dalam Prosesi Masuk dan Prosesi Keluar, gambar/ikon Allah Trinitas, simbol abu dalam ibadah Rabu Abu, penyalaan lilin pada hari raya gerejawi, pengenaan cincin dalam ibadah pernikahan, dan pujian jemaat dalam kebaktian. Semua tanda-tanda lahiriah yang bersifat sakramental senantiasa diperlakukan khusus dan sikap khidmat. Demikian pula halnya dengan pengolesan (pengenaan) abu dalam kebaktian Rabu Abu. Simbol abu digunakan dalam suatu liturgi Rabu Abu, sehingga melalui simbol tersebut umat menyadari akan kefanaan, kerapuhan, dan keberdosaannya – yang pada pihak lain umat dipanggil terbuka untuk menerima anugerah keselamatan Allah dalam pengampunan-Nya.

Namun simbol abu sebagai tanda pertobatan perlu diejawantahkan dalam kehidupan yang nyata. Apa artinya dahi kita diolesi dengan abu dan melaksanakan ibadah dengan khidmat tetapi hidup kita tidak mengalami pembaruan yang berarti. Ibadah Rabu Abu melalui puasa menuntun kita untuk hidup dalam pertobatan hidup. Karena itu pengolesan abu di dahi merupakan ekspresi rohaniah yang dengan sadar mengakui dan menyesali semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukan, sehingga mohon kemurahan dan kerahiman Allah. Spiritualitas yang mendasari umat untuk bertobat mulai Rabu Abu sampai Sabtu Sunyi adalah hati yang hancur dan jiwa yang remuk. Nabi Yoel menyerukan kepada umat Israel: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yl. 2:13). Kita akan mampu menyesal segala kesalahan dan dosa kita dengan hati yang hancur, manakala kita menyadari betapa besar kebaikan, kemurahan dan kasih-sayang Allah yang dilimpahkan kepada diri kita. Karena itu kita tidak akan menyesal dan bertobat dengan segenap hati bilamana Allah yang kita sembah adalah Allah yang keras dan kejam. Nabi Yoel menegaskan bahwa Allah di dalam Kristus adalah pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Di dalam kerahiman-Nya, kita tersungkur seraya berkata: “Kristus, ampunilah aku orang yang berdosa ini.”

Jiwa yang remuk adalah ekspresi batin kita yang terdalam. Ekspresi tersebut bersifat personal dan tersembunyi, sehingga tidak terlihat secara langsung oleh banyak orang. Tetapi pengolesan abu di dahi sebagai tanda pertobatan merupakan ekspresi komunal dan terbuka di depan publik. Kedua dimensi rohaniah yang tersembunyi dan terbuka itu harus otentik, jikalau salah satu tidak selaras maka spiritualitas kita dilandasi oleh kemunafikan. Makna sikap munafik adalah ketidaksesuaian antara tindakan dengan nilai-nilai spiritualitas yang dinyatakan secara verbal. Sikap munafik juga bisa terjadi jikalau pertobatan dinyatakan secara lahiriah di depan publik tetapi ternyata tidak dilandasi oleh jiwa yang remuk dan hati yang hancur. Karena itu pengolesan abu seharusnya dimaknai sebagai ekspresi batiniah kita yang terdalam, yaitu kesadaran dan jeritan hati yang memohon belas-kasihan dan pengampunan Allah. Tindakan ritual pengolesan abu di dahi bukan dimaksudkan sebagai suatu sikap pamer secara rohaniah di depan publik tetapi komitmen iman dan pertobatan hidup. Dengan demikian melalui simbol abu di dahi kita diingatkan dan disadarkan bahwa kita fana dan berdosa sehingga membutuhkan kerahiman Allah dan anugerah-Nya.

Kerahiman dan pengampunan Allah direspons umat dengan tindakan yang nyata. Di Matius 6, Yesus mengajar umat percaya bagaimana mereka merespons kerahiman dan pengampunan Allah melalui Tiga Disiplin Spiritualitas, yaitu: Berdoa (Mat. 6:5-8), Berpuasa (Mat. 6:16-28), dan Memberi Persembahan/sedekah (Mat. 6:1-4). Pertobatan yang dinyatakan dengan pembaruan hidup dinyatakan umat melalui relasi personal yang intim dengan Allah melalui Doa, menyangkal diri melalui Puasa, dan menyatakan kemurahan hati dengan Sedekah. Makna Tiga Disiplin Spiritualitas dalam kehidupan umat adalah:

  1. Spiritualitas Doa merupakan komunikasi dan relasi personal yang intim dengan Allah, sehingga melalui doa umat mengalami kasih dan anugerah Allah yang berlimpah. Karena itu melalui spiritualitas doa umat memuji dan memuliakan Allah. Umat juga mengalami kesadaran akan keberdosaannya tanpa menghukum diri sebab dilandasi oleh sikap iman yang percaya kerahiman Allah yang tanpa batas.
  2. Spiritualitas Berpuasa merupakan tindakan menyangkal diri terhadap segala sesuatu yang melekat secara duniawi. Puasa bukan suatu spiritualitas yang memengaruhi hati Allah untuk kepentingan dan keinginan daging, tetapi perjuangan rohaniah untuk melawan keinginan daging. Melalui puasa kita menahan diri untuk melawan kenikmatan lahiriah, sehingga keinginan Roh menjadi dominan dan mengendalikan kehidupan kita. Karena itu spiritualitas berpuasa harus dilakukan secara disiplin dan berkesinambungan sehingga kehidupan kita semakin melekat kepada Kristus, dan bukan kepada dunia.
  3. Spiritualitas Memberi Persembahan/sedekah merupakan tindakan iman yang menyatakan kasih dan kemurahan hati kepada sesama yang dilandasi oleh kasih Allah di dalam penebusan Kristus. Melalui spiritualitas memberi persembahan/sedekah setiap umat menyisihkan secara khusus uang atau makanan yang ditujukan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, khususnya mereka yang menderita. Bantuan yang kita berikan diharapkan menjadi cara menguatkan dan memberdayakan mereka. Karena itu tujuan spiritualitas memberi persembahan/sedekah adalah memberdayakan sesama yang mendapat bantuan. Tiga bentuk memberi bantuan/diakonia adalah: Diakonia Karitatif (membagi kebutuhan primer), Diakonia Reformatif (memberdayakan umat dengan pelatihan) dan Diakonia Transformatif (memberdayakan sistem dan struktural dalam kehidupan masyarakat).

Tiga Disiplin Spiritualitas yang diajarkan oleh Yesus tersebut wajib dipraktikkan umat dengan cara tersembunyi, yaitu: “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6). Spiritualitas ketersembunyian juga dipraktikkan saat umat berpuasa, yaitu: “supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:16). Demikian pula saat umat memberi persembahan, yaitu: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:4). Berulang-ulang Yesus menekankan aspek ketersembunyiaan saat umat melakukan kebajikan rohaniah dalam bentuk Tiga Disiplin Spiritualitas, yaitu: Berdoa, Berpuasa, dan Memberi Persembahan/sedekah.

Spiritualitas ketersembunyian merupakan tindakan yang mempraktikkan iman yang mampu membebaskan diri dari kecenderungan untuk memeroleh pujian dan penghargaan orang lain atas kebajikan yang ia lakukan. Ia melakukan kebajikan dan kesalehan semata-mata demi mengasihi dan mempermuliakan Allah, sehingga ia tidak memiliki keinginan sedikitpun memeroleh pujian atas semua yang telah dilakukannya. Karena itu dalam spiritualitas ketersembunyian seseorang menghayati kesalehan dan kebajikan yang dilakukannya sebagai suatu spiritualitas yang sifatnya personal sehingga ia merasa tidak pantas diketahui oleh publik. Dia memahami makna kesalehan di hadapan Allah melalui Doa, Puasa, dan Memberi Sedekah dalam konteks seperti relasi suami-istri yang memiliki hubungan intim dan eksklusif, sehingga menjadi suatu aib bilamana ia mengungkapkan dan memamerkan kepada publik. Memamerkan kesalehan secara terang-terangan di depan publik merupakan suatu perbuatan yang memalukan, sebab memamerkan rahasia hubungan intim dengan Allah dengan cara yang tidak pantas. Karena itu lawan kata dari spiritualitas ketersembunyian adalah spiritualitas pamer-diri. Di Matius 6:2, Yesus berkata: “Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.” Upah dari spiritualitas pamer-diri adalah pujian dari orang banyak, sehingga ia kehilangan upah dan pujian dari Allah.

Spiritualitas ketersembunyian merupakan salah satu dari karakter Allah. Sebab Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya adalah Allah yang berada di tempat tersembunyi. Di Matius 6:18, Yesus berkata: “Supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Yesus menyatakan bahwa Allah yang adalah Bapa berada di tempat yang tersembunyi. Takhta kemuliaan Allah di sorga tidak dapat dilihat secara kasat mata dan dihampiri oleh manusia. Allah berada di tempat yang tidak terjangkau. Ia transenden dan ilahi. Karena itu perbuatan-perbuatan Allah yang menyelamatkan dan memelihara seluruh mahluk hidup tidak senantiasa terlihat langsung oleh manusia, tetapi kasih-Nya yang memelihara, memberi daya hidup dan pengharapan senantiasa melimpah ke atas seluruh ciptaan. Namun Allah tidak pernah menuntut untuk dipuji dan disembah. Pujian dan sembah bukan kebutuhan Allah, tetapi kebutuhan manusia. Manusia yang tidak memuji dan menyembah Allah akan kehilangan karunia keselamatan dan makna atas hidupnya, sebab ia mengabaikan sumber hidup dan Penciptanya. Dengan mempraktikkan spiritualitas ketersembunyian berarti umat berperilaku seperti Allah yang senantiasa melimpahkan berbagai karunia dan berkat namun bebas pamrih, yaitu bagi setiap orang.

Di Matius 5:45 Yesus mengumpamakan karunia Allah yang melimpah dan bebas pamrih seperti matahari menerbitkan cahayanya bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Di dalam spiritualitas ketersembunyian senantiasa terkandung kekayaan rohaniah yang melimpah dan inklusif, sehingga mampu memberkati setiap orang tanpa kecuali. Sebaliknya seseorang yang hidup dalam spiritualitas pamer-diri akan serba miskin dalam segala aspek. Ia hanya mampu memamerkan segi lahiriah yang dangkal dan kosong, tetapi tidak mampu memberi kontribusi yang memberkati orang-orang di sekitarnya. Melalui spiritualitas Doa, Puasa, dan Memberi Sedekah dalam masa Prapaskah yang dilakukan dengan spiritualitas ketersembunyian umat dipanggil membuka pintu rahmat Allah sehingga menyalurkan secara berlimpah berkat Allah tersebut kepada orang-orang di sekitarnya. Sebab dengan spiritualitas ketersembunyian, umat memiliki relasi yang intim dengan Allah dan mengalami kekayaan rahmat Allah secara tersembunyi, sehingga hidupnya dinyatakan dengan kemurahan hati kepada sesama.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono