Latest Article
Yesus Kristus, Sang Firman Allah (Ulasan Yohanes 1:1-18)
Yesus Kristus, Sang Firman menjadi manusia

Yesus Kristus, Sang Firman Allah (Ulasan Yohanes 1:1-18)

Pengantar

Umat Kristen menegaskan pengakuan imannya kepada Allah yang Esa (Ul. 6:4; 1Tim. 2:5) serentak mengimani Yesus Kristus, Sang Firman Allah yang telah ada sejak kekal dengan Allah. Makna keesaan Allah dalam konteks ini tidak dipahami sebagai keesaan secara bilangan, namun sebagai persekutuan kasih. Keesaan Allah secara bilangan memahami monoteisme yang meniadakan relasi dengan keberadaan Ilahi di luar diri-Nya. Sebaliknya keesaan Allah dalam persekutuan kasih adalah monoteisme yang membuka dan memiliki relasi dengan keberadaan Ilahi di luar diri-Nya. Keesaan Allah dalam persekutuan kasih dinyatakan sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Ketiga-Nya Esa dalam hakikat-Nya. Bapa-Anak-Roh Kudus adalah Esa, namun ketiga-Nya saling mendiami (berkelindan) sejak kekal.

Relasi Bapa-Anak-Roh Kudus yang Esa dalam persekutuan kasih menyatakan bahwa Bapa mengasihi Anak dan Anak mengasihi Bapa, Bapa mengasihi Roh Kudus dan Roh Kudus mengasihi Bapa, Anak mengasihi Roh Kudus dan Roh Kudus mengasihi Anak. Prinsip teologis ini sesuai dengan kesaksian Surat 1 Yohanes 4:8, yaitu: “Allah adalah kasih.” Hakikat Allah adalah kasih jikalau Allah dalam diri-Nya saling mengasihi sejak kekal. Pernyataan “Allah adalah kasih” menyatakan bahwa dalam diri Allah yang Esa terdapat dimensi pluralitas-Nya. Seandainya Allah adalah Esa secara bilangan, maka Ia tidak dapat mengasihi Yang Ilahi di luar diri-Nya. Sebaliknya Allah yang Esa secara bilangan akan menampilkan sosok otoriter-Nya yang meniadakan “Yang Lain.” Dia akan menjadi Allah yang keras, kejam, dan tidak mengenal belas-kasihan serta tidak membuka ruang relasi.

Kesaksian Alkitab tentang Allah yang Esa tidak berkurang maknanya dengan peristiwa inkarnasi Sang Firman Allah dalam diri Yesus Kristus. Sebaliknya melalui inkarnasi-Nya, Yesus Kristus menghadirkan Sang Bapa dan Roh Kudus dalam keesaan kasih-Nya. Karena itu Yesus Kristus bukan sekadar Kepala Ciptaan namun Ia bersama Bapa dan Roh Kudus menciptakan alam semesta. Yesus Kristus juga bukan sekadar Pemimpin Malaikat sebab semua malaikat Allah harus menyembah Dia (Ibr. 1:6). Namun juga harus diingat Yesus Kristus bukanlah Bapa, tetapi Ia adalah Sang Firman Allah yang menjadi manusia. Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus tidak lebur dalam keberadaan-Nya, namun saling mendiami dan saling mengasihi. Di Yohanes 14:11 Yesus berkata: “Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.” Perhatikanlah pernyataan Tuhan Yesus, yaitu: “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” menunjukkan keberadaan atau kepribadian Yesus dan Allah terpisah namun saling mendiami. Bapa-Anak-Roh Kudus memiliki keunikan dalam personalitas-Nya namun ketiga-Nya esa dalam hakikat-Nya. Dengan demikian “Barangsiapa telah melihat Kristus, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Percaya kepada Kristus berarti percaya kepada Allah dan memeroleh hidup yang kekal (Yoh. 17:3).

Penjelasan

Kesaksian Yohanes 1:1, yaitu: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” menunjuk “waktu kekekalan Allah.” Pernyataan “waktu kekekalan Allah” dalam konteks ini bersifat figuratif, sebab Allah pada hakikatnya tidak memiliki waktu. Ia tidak berawal dan tidak berakhir. Dalam kekekalan-Nya Allah saling mendiami dan saling mengasihi dalam diri Bapa-Firman-Roh Kudus.

Sang Firman Allah tersebut keluar dari Sang Bapa, demikian pula Roh Kudus keluar dari Sang Bapa. Dengan demikian Sang Bapa dalam kekekalan-Nya mengeluarkan Sang Firman dan Roh Kudus. Walau Sang Firman dan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa tidak berarti Sang Firman dan Roh Kudus lebih rendah derajat-Nya sebab ketiga-Nya yang Esa telah berada dalam kekekalan, dan bukan dalam interval waktu. Yang keluar dari Allah adalah sama atau sehakikat dalam keilahian-Nya. Karena itu tidaklah mungkin yang keluar dari Sang Bapa disebut “mahluk.” Makna “mahluk” adalah ciptaan yang bersifat fana. Sedang Sang Firman adalah kekal dan sehakikat dengan Sang Bapa. Itu sebabnya di Yohanes 8:58, Yesus menyatakan:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Inti kesaksian Yohanes 1:1 hendak menyatakan praeksistensi Yesus sebelum menjadi manusia, dan keilahian-Nya yang kekal bersama dengan Bapa dan Roh Kudus.

Ini berarti prinsip teologis Sang Firman dan Roh Kudus keluar dari Bapa dalam kekekalan Allah adalah bersifat misteri, sehingga melampaui batasan pengertian dan pemahaman manusiawi (transenden). Respons umat dalam memahami relasi Bapa-Firman-Roh Kudus bukanlah mencoba untuk memecahkan misteri ilahi tersebut namun mengimani dengan ketakjuban kasih dan penyerahan diri kepada Allah yang menyatakan diri-Nya secara Trinitaris.

Sang Firman yang keluar dari Sang Bapa disebut “Anak Tunggal Bapa.” Makna Anak Tunggal Bapa bukanlah gelar yang diperoleh Yesus dari pengakuan manusia, sebaliknya gelar Anak Tunggal Bapa merupakan hakikat ilahi yang telah dimiliki-Nya sejak kekal karena Dialah satu-satunya yang keluar dari Sang Bapa. Bandingkan dengan Matius 11:27, yaitu: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” Gelar Anak Tunggal Bapa juga menyatakan bahwa Yesus selaku inkarnasi Firman Allah memiliki relasi kasih yang intim dan tiada taranya dengan Sang Bapa. Karena itu di Yohanes 10:30, Yesus menyatakan: “Aku dan Bapa adalah satu.” Kata “satu” (heis) dalam konteks ini menunjuk pada kesatuan kasih Ilahi yang eksklusif, intim dan tiada taranya antara Allah dengan Yesus.

Relasi kasih Allah dalam diri Bapa-Firman-Roh Kudus adalah relasi kasih yang mencipta. Yohanes 1:3 menyatakan: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Kata “dia” di sini adalah Sang Firman. Seluruh alam semesta dan isinya diciptakan oleh Sang Firman. Namun bukankah di Kejadian 1:1 menyatakan bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi? Allah ataukah Sang Firman yang menciptakan alam semesta? Sebagaimana telah ditegaskan di bagian awal bahwa Bapa-Anak-Roh Kudus telah ada sejak kekal dan esa. Karena itu karya penciptaan alam semesta dan seisinya adalah karya Allah yang Trinitarian. Allah melalui Firman dan Roh Kudus-Nya yang menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1-2). Secara khusus Sang Firman adalah Sabda Allah yang kreatif. Allah berfirman: “jadilah,” maka “terjadilah” (kun fayakun). Kekhususan Sang Firman yang berdaya-cipta dinyatakan dalam Ibrani 11:3, yaitu: “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” Firman Allah yang mencipta itu berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus, sehingga Ibrani 1:2 menyatakan: “maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Dengan demikian dalam peristiwa inkarnasi Kristus, Firman Allah yang ilahi dan kekal masuk dalam realitas manusiawi dan terbatas.

Kesaksian Yohanes 1:14 menyatakan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Makna pernyataan “Firman itu telah menjadi manusia” (ho logos sarx egeneto) seharusnya diterjemahkan menjadi “Firman itu telah menjadi daging.” Sang Firman Allah yang kekal dan ilahi, yaitu Dia yang telah menciptakan alam semesta dan di dalam diri-Nya memiliki sumber hidup pada satu titik waktu dalam sejarah manusia berkenan menjadi manusia dengan segala keutuhan manusiawi-Nya. Dalam inkarnasi Kristus, Sang Firman Allah yang kekal memasuki interval ruang dan waktu, serta sungguh-sungguh menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Ini berarti dalam diri Yesus, Sang Firman bukan tampak seperti manusia, atau seakan-akan hadir memperlihatkan diri-Nya dalam kebertubuhan manusia tetapi Dia sungguh-sungguh menjadi manusia dengan tubuh-jiwa-roh sebagai manusia Yesus dari Nazaret. Tubuh kemanusiaan Yesus bukanlah tubuh yang semu sebagaimana dipahami oleh doketisme. Dalam ajaran doketisme pada prinsipnya menolak kemanusiaan Yesus. Kemanusiaan dan kebertubuhan Yesus menurut doketisme hanyalah semu. Namun tidaklah demikian menurut kesaksian Injil Yohanes keberadaan Yesus sebagai manusia. Yesus mengalami kodrat manusiawi yang dapat mengalami situasi lelah (Yoh. 4:6), haus (Yoh. 4:7, 19:28), makan (Yoh. 4:31-34), dorongan emosi kasih (Yoh. 11:5), menangis (Yoh. 11:35), terharu (Yoh. 12:27; 13:21), dan perasaan masygul (Yoh. 11:33). Surat Ibrani dengan jelas memberi kesaksian yang serupa, yaitu: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Karena itu makna “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” menegaskan bahwa di dalam Yesus Kristus Allah mendirikan pemerintahan-Nya di tengah-tengah kehidupan dan sejarah umat manusia. Kerajaan Allah yang semula transenden dan sorgawi kini dalam inkarnasi Yesus terwujud nyata dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Karena Sang Firman Allah sungguh-sungguh menjadi manusia, maka kita dapat melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yoh. 1:14b). Di dalam inkarnasi Sang Firman Allah menjadi manusia Yesus, Ia menghadirkan “karya penyataan” (revelatory work). Melalui kehidupan dan karya Kristus, umat manusia dapat menemukan kehidupan (Yoh. 1:4), terang (Yoh. 1:4-5), anugerah (Yoh. 1:14), kebenaran (Yoh. 1:14), bahkan diri Allah sendiri. Sebab di Yohanes 1:18, Yesus menyatakan: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Ungkapan “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” menunjuk relasi personal yang eksklusif dan intim tiada-taranya antara Yesus dengan Allah. Karena itu hanya Yesus yang sanggup menyatakan kedirian Allah yang sesungguhnya. Kepada Filipus yang bertanya kepada Yesus agar dapat menunjukkan Bapa, Yesus memberi jawaban: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami” (Yoh. 14:9). Yesus adalah manifestasi diri Allah yang adalah Sang Bapa di dalam keberadaan diri-Nya sebagai Anak Allah. Melalui inkarnasi Sang Firman menjadi manusia berarti melalui kehidupan dan karya penebusan Kristus, kodrat kemanusiaan dimuliakan. Kodrat kemanusiaan yang semula telah jatuh dalam dosa dan telah kehilangan kemuliaan sebagai gambar dan rupa Allah, kini di dalam Kristus dipulihkan.

Tujuan utama inkarnasi Sang Firman menjadi manusia di dalam Yesus Kristus adalah melimpahi umat manusia dengan rahmat Allah, sehingga dengan rahmat Allah manusia dirangkul dalam samudera kasih-Nya yang tak terhingga untuk menerima status sebagai “anak-anak Allah.” Di Yohanes 1:12 menyatakan: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” Di dalam dan melalui Kristus, umat berenang dalam energi (kuasa) Allah sehingga mereka dimampukan untuk mengalami persekutuan kasih dengan Yang Ilahi. Jika demikian tujuan akhir dari tindakan percaya kepada Kristus adalah “pengilahian” (deifikasi). Yang mana arti “pengilahian” bukan dimaksudkan umat percaya menjadi Allah, tetapi umat percaya memeroleh bagian dalam keilahian Allah sebagai “anak-anak Allah.” Ciptaan tidak akan pernah dapat menjadi bagian hakikat Sang Pencipta. Namun melalui kehidupan dan karya Kristus, umat percaya dikaruniai rahmat Allah untuk ambil bagian dalam kuasa kasih-Nya. Sebab melalui rahmat Allah yang dikaruniakan kepada kita, kita dimampukan untuk mengalami pembenaran dan pengudusan.

Pertanyaan Panduan untuk Diskusi

  1. Apakah yang dimaksudkan dengan keesaan Allah secara bilangan?
  2. Mengapa iman Kristen menolak makna keesaan Allah secara bilangan?
  3. Menurut Saudara apakah kedudukan Bapa-Anak-Roh Kudus setara ataukah tidak setara? Jelaskanlah.
  4. Jelaskanlah makna keesaan Allah sebagai persekutuan kasih.
  5. Apakah yang dimaksudkan dengan ajaran doketisme?
  6. Mengapa iman Kristen menolak pengajaran doketisme?
  7. Apa tujuan utama dari inkarnasi Sang Firman Allah menjadi manusia?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply