“Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut” (Mikh. 7:18-19).
Pengampunan sempurna mengandaikan terjadinya rekonsiliasi atau pendamaian yang utuh (holistik), sehingga mendatangkan realitas kehidupan yang dipenuhi oleh damai-sejahtera, ketenteraman, dan sentosa. Dalam ilmu psikologi hasil dari pengampunan sempurna akan menghasilkan “well-being.” Arti “well-being” adalah: sentosa, makmur, selamat, dan bebas dari gangguan apa pun.
Kondisi “well-being” tersebut dikaitkan dengan “wellness” yang menunjuk pada integrasi dari pikiran, tubuh dan jiwa. Wellness yang optimal memungkinkan kita untuk menemukan makna dan tujuan hidup kita. Secara keseluruhan, wellness adalah kemampuan untuk menjalani hidup sepenuhnya dan memaksimalkan potensi diri kita sehingga kita dapat hidup secara bermakna dan berkualitas. Salah satu faktor utama dan penting untuk menciptakan kondisi “well-being” dan “wellness”apabila kita telah mengalami pengampunan yang sempurna dari Tuhan. Kita akan mengalami damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia, yaitu perasaan tenteram, sentosa, dan bebas dari kegelisahan walaupun kita sedang menghadapi berbagai persoalan.
Problem pengampunan yang sempurna adalah kondisi kemanusiaan kita yang berdosa kepada Allah. Dosa bukan sekadar pelanggaran terhadap hukum Allah, tetapi utamanya kita melawan dan memberontak kepada Allah. Relasi kita dengan Allah menjadi terputus. Akibat dosa adalah manusia mengalami kerusakan total (total-depravity). Secara kodrati manusia sangat mustahil mengalami pengampunan yang sempurna dengan upaya dan usahanya. Ketidakmungkinan manusia menyelamatkan diri disebabkan karena berada dalam kerusakan total yang membelenggu dirinya. Sebab bagaimana mungkin manusia dapat meraih pengampunan yaitu keselamatan, apabila mereka sedang tidak berdaya berada dalam belenggu kuasa dosa? Karena itu agar memperoleh pengampunan dosa di hadapan Allah, manusia sering melakukan berbagai cara. Namun di sisi lain segala cara dan upaya yang ditempuh oleh manusia agar memperoleh keselamatan dan pengampunan dosa tersebut ternyata gagal.
Banyak orang melakukan apa saja demi memperoleh pengampunan dari Tuhan. Apakah dengan menjual seluruh harta milik untuk dijadikan biaya beribadah, berziarah ke tanah suci, menyakiti dan melukai tubuh, mengorbankan orang-orang yang seharusnya disayangi sebagai korban sembelihan dan bakaran. Motif keagamaan dari para teroris menganggap sebagai martir saat mereka melakukan bom bunuh diri dengan tujuan berkenan di hadapan Allah. Betapa kuat keinginan manusia untuk memperoleh pengampunan sempurna dari Tuhan. Semakin kuat keinginan manusia untuk memperoleh pengampunan sempurna dari Tuhan maka semakin kuat manusia menempuhnya dalam berbagai cara. Dalam hal ini agama menjadi media yang diharapkan memberi pedoman dan tuntunan bagi umat untuk memperoleh pengampunan dari Tuhan. Namun, apakah agama-agama sanggup menjadi media yang efektif memberikan pedoman dan tuntunan kepada umat manusia agar ada jaminan dan kepastian untuk selamat?
Salah satu hambatan utama bagi agama-agama menuntun umat untuk mencapai pengampunan sempurna atau keselamatan adalah dosa hamartia. Arti dari dosa hamartia adalah seluruh upaya yang terbaik dan sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau komunitas ternyata hasilnya melenceng. Ilustrasi untuk menggambarkan kondisi dosa hamartia seperti seorang yang menembak dengan anak panah atau peluru dengan seluruh upaya yang terbaik, tetapi melenceng saat ditembakkan ke titik sasaran. Kondisi dosa hamartia diungkapkan oleh rasul Paulus, yaitu: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rm. 7:19). Manusia sesuai dorongan hati-nuraninya sebenarnya ingin melakukan apa yang baik, tetapi faktanya manusia justru melakukan apa yang jahat. Kita semua tahu apa itu kebenaran dan hukum-hukum Tuhan. Tetapi paradoksnya apa yang kita tahu dan setujui itu kita langgar.
Dalam tradisi iman umat Israel, salah satu cara memperoleh pengampunan sempurna dari Tuhan adalah mempersembahkan kurban. Syarat kurban haruslah hewan yang tidak bercela, yaitu: sehat, tidak cacat tubuhnya, tidak terkena penyakit, dan umur harus maksimal 1 tahun. Peraturan korban keselamatan di Imamat 3:1 adalah: “Jikalau persembahannya merupakan korban keselamatan, maka jikalau yang dipersembahkannya itu dari lembu, seekor jantan atau seekor betina, haruslah ia membawa yang tidak bercela ke hadapan TUHAN.” Saat akan dipersembahkan sebagai kurban bakaran, seorang imam akan meletakkan tangannya di atas hewan kurban itu lalu menyembelihnya. Setelah itu para imam menyiramkan darahnya di sekitar mezbah dilanjutkan membakar seluruh tubuh hewan sebagai korban bakaran.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin dosa manusia dapat ditebus atau diganti oleh kematian hewan kurban? Ketentuan hukum Taurat tentu merupakan bagian dari penetapan firman Tuhan. Jalan keselamatan di era perjanjian Allah dengan umat Israel waktu itu ditempuh melalui persembahan kurban. Namun jaminan keselamatan berupa pengampunan sempurna tidak secara otomatis dapat diganti dengan persembahan kurban sebanyak-banyaknya. Sebab praktik persembahan kurban tersebut memiliki celah untuk dimanipulasi. Orang akan memilih memberi persembahan kurban sebanyak-banyaknya, tetapi mereka tetap hidup dalam kejahatan. Di Yesaya 1:11, Allah menyatakan murka-Nya kepada umat yang tetap hidup jahat namun bersikap munafik dengan memberi persembahan kurban yang banyak, yaitu: “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?” firman TUHAN; “Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai.”
Sikap senada sering dipraktikkan melalui kemunafikan yang ditutupi oleh berbagai perbuatan baik untuk memperoleh amal. Misal korupsi dilakukan secara komunal kepada teman-teman terdekat, uang yang diperoleh secara ilegal dipersembahkan sebagai persembahan untuk pembangunan rumah ibadah, menolong anak yatim-piatu dan orang-orang miskin. Mereka anggap Tuhan akan memberkati perbuatan jahat sebab mereka telah melakukan kebajikan kepada banyak orang. Padahal Allah Maha kudus, maha adil, dan maha kasih. Tuhan melihat isi hati dan batin manusia yang terdalam.
Jikalau demikian, bagaimanakah agar Allah mengaruniakan pengampunan yang sempurna? Pengampunan sempurna dalam teologi iman Kristen ditempatkan di dalam kedaulatan kasih-karunia Allah. Kata “kedaulatan kasih-karunia Allah” menyatakan bahwa hanya Allah saja yang memiliki wewenang atau otoritas untuk mengampuni dosa manusia. Kedaulatan kasih-karunia Allah tersebut sama sekali tidak ditentukan oleh upaya manusia apakah dalam bentuk perbuatan baik, membuat amal, berlaku saleh, dan melakukan berbagai ritual keagamaan. Hakikat perbuatan baik atau kesalehan seharusnya bukan sebagai media untuk memperoleh pengampunan atau keselamatan. Perbuatan baik atau kesalehan sebenarnya merupakan manifestasi wajar sebagai seorang manusia. Namun dalam seluruh perbuatan baik atau kesalehan manusia tersebut sesungguhnya mengandung kuasa dosa. Itu sebabnya manusia berada di bawah hukuman Allah walau ia melakukan perbuatan baik. Apalagi jikalau manusia itu melakukan perbuatan yang jahat, maka pastilah hukuman Allah tersebut akan menimpanya baik dalam kehidupan masa kini maupun dalam kehidupan masa mendatang.
Kedaulatan kasih-karunia Allah diwujudkan dalam inkarnasi Kristus, yaitu Firman Allah yang menjadi manusia. Tujuan inkarnasi Kristus adalah melaksanakan rencana ilahi yang sudah berabad-abad dinubuatkan oleh para nabi, yaitu karya penebusan dan pendamaian melalui kematian Kristus. Hakikat pengampunan sempurna dari Allah terangkum dalam peristiwa Kristus yaitu melalui inkarnasi dan penebusan-Nya. Di dalam wafat dan kebangkitan Kristus, umat percaya memperoleh jaminan keselamatan, yaitu pengampunan dosa. Efesus 1:7 berkata: “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.” Firman Tuhan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa di dalam dan oleh darah Kristus, kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan menurut kekayaan kasih-karunia-Nya.
Jika demikian bagaimana hubungan Efesus 1:7 dengan firman Tuhan di Mikha 7:18-19 yang berkata: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut” Hubungan teologis antara Efesus 1:7 dengan Mikha 7:18-19 adalah:
- Makna ungkapan “Siapakah Allah seperti Engkau” menunjuk pada kekhususan diri Allah Trinitas yang menyatakan dalam Yesus Kristus.
- Kristus selaku Anak Allah berkuasa mengampuni dosa. Di Matius 9:6 Tuhan Yesus berkata: “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” –lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu–:”Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!”
- Setiap umat yang mengalami penebusan Kristus akan dijadikan sebagai ciptaan baru, sebab seluruh dosa dan pelanggarannya yang lama sudah diampuni. 2 Korintus 5:17 berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
- Dosa-dosa yang membelenggu kita telah dibuang oleh Allah ke dalam tubir-tubir laut yaitu kuasa darah Kristus. Firman Tuhan di surat 1 Petrus 2:24 berkata: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.”
Pengampunan sempurna dalam kasih-karunia Allah yang dinyatakan dalam penebusan Kristus memampukan kita untuk mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita. Kekayaan kasih karunia Allah tersebut bagaikan sumber air yang terus-menerus memancar sehingga senantiasa melimpah dalam kemurahan dan belas-kasihan. Kita dapat belajar dari kisah kehidupan Nelson Mandela yang mampu mengampuni orang-orang yang menghina dan menyakiti dia selama bertahun-tahun saat di penjara. Bahkan orang-orang yang menyakiti dia diundang secara khusus dalam pelantikannya sebagai seorang presiden.
Bagaimana apabila kita tidak memiliki kekayaan kasih-karunia Allah dalam penebusan Kristus? Apabila kita tidak memiliki kekayaan kasih-karunia Allah dalam penebusan Kristus adalah kita akan menyimpan kesalahan, mendendam, dan membenci sesama yang telah melukai hati kita. Akibatnya hidup kita dipenuhi oleh akar pahit. Ibrani 12:15 berkata: “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” Akar pahit yang tumbuh dalam batin kita akan menyebabkan kita kehilangan “well-being” yaitu perasaan tenteram, damai, sukacita, dan hidup yang bermakna. Karena itu kita juga akan kehilangan “wellness” yaitu tujuan dan semangat hidup yang berkualitas.
Jikalah saat ini di antara kita masih ada yang hidup dalam kuasa dosa, kebencian, kemarahan dan dendam, maka kita diundang untuk menyambut kasih-karunia Allah di dalam penebusan Kristus. Terimalah darah Kristus yang membasuh, menguduskan, dan memurnikan hidup kita. Sambutlah anugerah kasih Allah untuk menikmati “well-being” dan “wellness” yang telah dinyatakan dalam penebusan Kristus. Jangan sia-siakan hidup yang fana dalam kepahitan dendam dan kemarahan. Sebaliknya lepaskan ikatan dosa kebencian, dan kemarahan dengan pemulihan penebusan Kristus yang memenuhi kita dengan pengampunan, dan kemurahan hati.
Quote:
“Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih” (Luk. 7:47).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono